Kamis, 30 Juni 2016

JANGAN GEMETARAN DENGAN MATERAI


                                                               Oleh  WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Spesialis Hukum Perdata, Universitas Satyagama Jakarta,
Alumni Magister Kenotariatan UI
    
Mengapa banyak orang yang gemetaran ketika tanda tangan diatas materai?. 
 Image result for gambar materai baru
Mereka tidak dapat dipesalahkan karena belum memahami sepenuhnya apa kegunaan materai. Benda yang bernama meterai sudah dikenal keseharian oleh khalayak umum. Bahkan, diantara kita banyak yang sudah mempergunakan untuk keperluan alat pembuktian, baik perjanjian yang dibuat dibawah tangan, maupun perjanjian yang sifatnya dalam bentuk otentik. Sayangnya, khalayak umumnya masih banyak beranggapan, jika orang sudah membubuhi tanda tangan diatas meterai dalam bentuk perjanjian/kontrak, sudah memiliki  pembuktian yang kuat dan sah. Bahkan banyak yang ketakutan diantara mereka ketika membubuhkan tanda tangan diatas meterai padahal, fungsi meterai tidak sekuat apa yang mereka kira. Berdasarkan UU No 13/85 tentang Bea Meterai, fungsi meterai hanyalah untuk membayar pajak kepada Negara, bukan menentukan sah atau tidaknya, apalagi menentukan kuat tidaknya perjanjian.
Fungsi Meterai
            Berdasarkan Pasal 2 UU No 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, Bea Meterai dikenakan antara lain, untuk keperluan: surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; akta-akta notaris termasuk salinannya; akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya; surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
            Agar kontrak atau perjanjian memilki kekuatan pembuktian yang sempurna maka harus memenuhi syarat-syarat akta otentik sebagai berikut: bentuknya ditentukan oleh UU; dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; jurisdiksi wilayah kewenangan pejabat tersebut (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHPerdata). Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian memiliki pembuktian sempurna apa yang termuat didalamnya. Jadi  meterai tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian, melainkan hanya kewajiban untuk membayar pajak kepada negara.

Sahnya Perjanjian
            Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata: kesepakatan; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan oleh sebab yang halal. Syarat kesepakatan dan kecakapan dikelompokkan sebagai syarat subyektif. Konsekuensinya, jika syarat subyektif  tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Berikutnya, suatu hal tertentu, dan oleh sebab yang halal, digolongkan menjadi syarat obyektif. Konsekuensinya, jika syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau batal dengan sendirinya (null and void) dianggap tidak pernah ada. Jika syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut mengikat sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, harus ditaati, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab.

Asas Kebebasan Berkontrak
            Semua orang bebas membuat perjanjian, namun dalam membuat perjanjian ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, yaitu batasan: kepatutan; kebiasaan, dan; undang-undang (hukum). Perjanjian dapat dibuat dalam bentuk dibawah tangan oleh para pihak, tanpa melalui perantaraan pejabat umum (notaris), kedudukannya sah sebagaimana ditentukan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Perjanjian dibawah tangan statusnya dapat berubah memiliki pembuktian sempurna seperti akta otentik, meski tidakdipakaikan meterai, jika isi dan kebenarannya diakui oleh para pihak (Pasal 1875 KUHPerdata). Jika perjanjian dibuat secara otentik dihadapan pejabat umum, maka statusnya dapat memiliki pembuktian sempurna apa yang termuat di dalamnya. Akta otentik memiliki tiga aspek pembuktian: aspek formal, bentuknya ditentukan oleh UU dan dibuat oleh pejabat umum; aspek materiil, orang tidak dapat memungkiri perjanjian yang sifatnya dibuat dalam bentuk akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya; aspek lahiriah, akta otentik akan dapat membuktikan kebenaran dirinya sendiri, jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di pengadilan.
            Dalam perspektif hukum islam dan hukum perdata, ucapan lisan dikategorikan sebagai sebuah perjanjian, hanya saja masalahnya, jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di pengadilan perjanjian lisan ini amat sangat lemah pembuktiannya. Marilah kita menyimak dengan saksama firman Allah SWT dalam Al- qur’an Surat  An-Nahl ayat 91 yang artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.  (QS. An-Nahl: 91).

Sabtu, 25 Juni 2016

POSISI PRESIDEN NEBEN BUKAN UNTERGEORDNET




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003

Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan dari tahun 2000 s/d 2003 dengan kerja keras dan gedubrak-gedubrug, hasilnya sama sekali tidak terlihat dirasakan oleh  rakyat, negara-bangsa. Peliputan media masa cetak maupun elektronik baik dari dalam maupun luar negeri berjubel dan antusias meliput jalannya Sidang Tahunan MPR agar tidak ketinggalan momen penting. Sayangnya, hasil Sidang Tahunan dalam bentuk TAP MPR selama ini hanya menjadi tumpukan-tumpukan kertas belaka. Sidang Tahunan dari tahun ke tahun yang paling diuber-uber oleh wartawan, anggota Majelis  dan pegawai MPR adalah kemunculan sosok presiden dan wakil presiden memasuki ruang Sidang Paripurna Majelis. Bukan main riuh-rendahnya wartawan ketika sang pesiden muncul berebut jeprat-jepret gambar orang nomor satu di Republik ini, begitu juga tak kalah  ketinggalan pegawai MPR yang ditugaskan di posnya masing-masing ikut-ikutan lari berhamburan mendekat-dekat sang Presiden, biar terlihat di  televisi dianggap orang hebat di kampungnya. 
 
Saya bersyukur, selama menjadi abdi negara sejak 1997 s/d 2008 kini namanya ASN (Aparatur Sipil Negara) saya dapat melihat secara langsung orang nomor satu di republik ini, mulai dari Presiden kedua, Soeharto; ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie); ke empat, Abdurrahman Wahid; kelima, Megawati Soekarnoputri, dan ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono. Di gedung yang konon megah ini hati saya justru tidak merasa indah, dalam hati terus bergelayut dan bertanya-tanya untuk apa sesungguhnya ST (Sidang Tahunan) ini dilaksanakan jika hasilnya tidak bermanfaat untuk rakyat. Dalam tulisan ini saya akan fokus membahas mengenai urgensi Sidang Tahunan MPR dari aspek legal formal yang dihelat di bulan Agustus kemarin.
Posisi Presiden
Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung posisinya sekarang bukan untergeordnet (bawahan) Majelis, tetapi sudah neben (sejajar). Berbeda ketika UUD 1945 belum dilakukan perubahan, Presiden yang dipilih oleh MPR menjadikan kedudukan Presiden untergeordnet kepada Majelis. Sidang Tahunan MPR tidak memiliki produk yang bermanfaat sehingga hasilnya sia-sia belaka yang terjadi cuma menghambur-hamburkan duit rakyat. Kepada rakyat lah Presiden memberikan pertanggungjawaban dan laporan kinerjanya, bukan kepada MPR karena rakyat yang telah memilihnya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada tanggal 14 Agustus kemarin  menghelat Sidang Tahunan kembali. Penyelenggaraan rencana Sidang Tahunan semula dijadwalkan dua hari, tetapi dalam rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya di Istana Bogor, pada hari Rabu 5/8/2015 (Kompas.com), diringkas menjadi satu hari. Menurut Ketua MPR, Sidang Tahunan diringkas, biar efisien dan tidak bertele-tele. Sebelumnya, Sidang Tahunan MPR kali pertama dilaksanakan pada  tahun 2000 s/d 2003. Sidang Tahunan MPR sempat  beberapa tahun mengalami kevakuman dari tahun 2004 s/d 2014, disebabkan setelah amandemen UUD 1945 kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi Negara menjadi lembaga Negara sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengonrol (cheks and balances).
Penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan dikelompokkan TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sidang Tahunan MPR yang dihelat, selain tidak ada aturannya, juga tidak memiliki gereget. Tata Tertib MPR yang dijadikan panduan untuk menggelar Sidang Tahunan tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis tidak dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Bagaimana jika menggunakan dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3)?, UU MD3 didalamnya tidak ada tugas MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menginformasikan tugas MPR diantaranya: memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan sebagaimana sudah saya  jelaskan. Kedudukan  UU itu dibawah Ketetapan MPR (UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan /UU P3),  demi hukum harus batal dengan sendirinya (null and void). Itu pun jika UU MD3 memberikan tugas kepada MPR untuk menyelenggarakan SidangTahunan.
Jangan Mengada-Ada
Kedudukan MPR sebagai lembaga Negara sederajat dengan lembaga-lembaga Negara: DPR, DPD, MK, KY, MA, dan BPK. Dalam batas penalaran logis, MPR yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, tidak memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban organ Negara yang kedudukannya sederajat  dengannya. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945) menjadikan posisi MPR bukan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi, tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Dari Tahun ke tahun penyelenggaraan Sidang Tahunan Presiden selalu hadir. Hal ini, Presiden juga perlu membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis (DPR dan DPD), meski Presiden tahu urgensi ST ini. Hubungan yang harmonis antara Pesiden dan Majelis penting dijalin dengan erat. Sebab, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara keputusan politik, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR berharap tidak diberhentikan.
Hanya Obral Ketetapan MPR
Dari pengalaman Sidang Tahunan MPR sebelumnya, MPR hanya menerbitkan beberapa TAP MPR yang sifatnya cuma berisi rekomendasi kepada lembaga-lembaga negara untuk dilaksanakan. Kecuali, hasil Sidang Tahunan MPR, untuk memutuskan perubahan UUD 1945, yang hasilnya sangat bermanfaat untuk menata ulang organ-organ kelembagaan Negara agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Jika dilacak dan disimak dengan saksama, substansi TAP-TAP MPR yang berisi rekomendasi tersebut hanya bersifat  semantik belaka. Pasalnya, tidak ada keharusan untuk dilaksanakan, sehingga jika ada lembaga Negara membandal tidak mengindahkan rekomendasi TAP MPR, maka tidak ada konsekuensi dampak yuridis yang ditimbulkan. Ironinya, rekomendasi yang diamanatkan TAP MPR belum dilaksanakan, keberlakuannya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi, selama ini hasil  Sidang Tahunan MPR sekadar obral Ketetapan MPR, wajar, hasilnya mubadzir. Apakah MPR periode 2014-2019 ingin mengulangi kesalahan yang sama?. Padahal, Negara telah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk kemeriahan setiap Sidang Tahunan MPR. Persiapan dan pelaksanaan Sidang Tahunan dilakukan dengan prima utamanya, pasukan Sekretariat Jenderal MPR dikerahkan penuh agar jalannya Sidang Tahunan dapat berjalan lancar dan sukses. Sekretariat Jenderal MPR yang terdiri dari pegawai inti: PNS, tenaga perbantuan, terkadang meminta bantuan tetangga sebelah (Setjen DPR-RI) sebelum pelaksanaan sidang, sering “pindah rumah” menginap sementara di kantor dengan membawa pakaian: sarung, celana, baju dan sajadah, agar tidak terlambat ketika pelaksanaan Sidang Tahunan dimulai. Inilah fakta nyata, kesiapan Sekretariat Jenderal MPR menghadapi Sidang Tahunan yang belum terkuak oleh khalayak ramai. Tetapi, sayangnya, antara kerja keras dengan hasil Sidang Tahunan MPR tak berbanding lurus. Dari hasil kerja keras Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, dan anggota Majelis yang terdiri anggota DPR dan DPD yang hadir di persidangan, wajar jika mendapatkan uang Sidang. Sidang Tahunan, juga dipandang  berkah bagi tenaga perbantuan, dari hasil kerja kerasnya mendapatkan honorarium. Sidang Tahunan sedikit berdampak positip membantu kementerian tenaga kerja dan transmigrasi karena sementara dapat mengatasi masalah pengangguran. Untuk pegawai MPR, ada tambahan khusus, selain mendapatkan uang paket, uang sidang, uang cuci jas, dan beberapa vitamin penguat tubuh agar prima dalam menyiapkan pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Penyelenggaraan Sidang Tahunan, jangan diada-adakan hanya untuk memperbanyak kegiatan MPR, apalagi bertujuan untuk mencairkan dana buat bancakan ramai-ramai mendapatkan pundi-pundi rupiah. MPR jangan bingung, mentang-mentang pasca amandemen UUD 1945 tugas konstitusionalnya hanya lima tahunan sekali melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, lalu mencari-cari kerjaan. Sidang Tahunan harus dimaknai: “apakah, hasilnya ada kepentingan untuk kesejahteraan rakyat atau tidak”?
Kesimpulannya, Presiden sudah neben/sejajar dengan majelis, jadi, Sidang Tahunan MPR tidak diperlukan lagi untuk meminta laporan atau pertanggungjawaban kepada Presiden. Apa pun namanya, yang dilaporkan Presiden kepada Majelis tidak relevan lagi. Dalam batas penalaran logis, sebutan MPR itu  baru ada, ketika  sidang joint session dilaksanakan (sidang gabungan bertemunya anggota DPR dan anggota DPD (membentuk cluster MPR) yang pimpinan MPR nya dijabat oleh DPR dan DPD, ketika melantik Presiden dan Wakil Presiden. Lembaga MPR tidak layak dipermanenkan. Dipermanenkannya lembaga MPR, ujung dari semua itu, sekalipun orang awam akan bisa membaca, MPR itu memiliki kepentingan. Sebab, jika MPR tidak dipermanenkan, dampaknya,  selain Pimpinan MPR dihapuskan, juga ketiadaan Sekretariat Jenderal MPR yang memboroskan duit Negara untuk  gaji dan tunjangan Sekjen, wakil sekjen, Deputi, kepala biro, kepala bagian dan pegawai Sekretariat Jenderal. Berikutnya, jika MPR tidak dipermanenkan, kita tidak dibisingkan lagi istilah rebutan paket Pimpinan MPR.                           
    Jadi untuk apa Sidang Tahunan MPR digelar?

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19