Kamis, 10 September 2015

DPD diperkuat Atau Dibubarkan?



DPD diperkuat Atau Dibubarkan?
Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

Para pakar ketatanegaraan, peneliti, dan akademisi, nampaknya sudah mulai redup, atau bahkan sudah bosan menyuarakan agar keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ditinjau ulang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pasalnya, selama ini, kedudukan DPD sebagai lembaga Negara “antara ada dan tiada” dalam batas penalaran logis untuk apa dilahirkan, jika produknya tidak memiliki arti (meaningless).
DPD adalah lembaga negara yang dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali, dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain . MPR yang jumlah anggotanya 692 (560 dari anggota DPR) merasa kapan pun bisa membubarkan DPD. Pelemahan DPD juga dapat disimak dengan saksama mengenai jumlah anggota DPD yang tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi adalah 1/3 jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132. Darimana DPD dapat menggenapi syarat 1/3 dari 692 anggota MPR jika sewaktu-waktu ingin mengusulkan perubahan UUD 1945?. Tentu DPD harus berjuang keras dan "Merayu DPR" untuk memberikan dukungan usulan amandemen yang digagas oleh DPD. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini akan membuat pontang-panting DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, hasil amandemen UUD 1945 MPR melahirkan lembaga Negara bernama DPD yang secara substansial fungsinya sama saja dengan DPA sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan atau pendapat itu tidak ditindaklanjuti.
Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Melalui UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), TAP MPR kembali sebagai hierarki peraturan perundang-undangan. Pasca amandemen UUD 1945, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Pada 1 Oktober 2015 usia DPD genap menginjak sebelas tahun. Mari berkontemplatif sejenak tentang keberadaan DPD. Apakah sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga Negara ini untuk rakyat, dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya?. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab isu-isu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD hanya menjalankan tugas konstitusionalnya tetapi tidak melakukan terobosan-terobosan baru yang progresif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan selama ini?.
Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini DPD akan dikenal luas oleh masyarakat.
Menurut Sri Soemantri, salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasr 1945 ialah dibentuknya badan baru yang bernama DPD. Dalam ketentuan lama (sebelum diubah), tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam undang-undang yang kemudian ditetapkan yang dimaksud dengan utusan-utusan dari daerah-daerah ialah wakil dari provinsi-provinsi yang jumlahnya antara 4 (empat) sampai dengan 8 (delapan) orang, tergantung dari jumlah penduduk warga Negara di masing-masing provinsi. Hal ini dituangkan dalam undang-undang.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan prinsip yang mendasari bangunan parlemen Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 berkembang dari anutan prinsip supremasi parlemen dan pembagian kekuasaan (distribution of power) ke prinsip pemisahan kekuasaan (sparation of power) dan “check and balances”. Sejak perubahan pertama UUD 1945 MPR tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi Negara yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga lainnya. Di bidang legislatif terdapat tiga institusi, yaitu MPR, DPR, dan DPD, ditambah dengan BPK yang juga berfungsi sebagai instrumen kontrol di bidang keuangan Negara. Di bidang yudikatif, terdapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung disertai Komisi Yudisial yang berfungsi dalam rangka rekruitmen hakim dan kontrol atas integritas dan kehormatan para hakim dengan kemungkinan mengusulkan pemberhentian mereka. Sedangkan dibidang eksekutif, terdapat jabatan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Lembaga-lembaga yang menyandang ketiga cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif tersebut diatas, diletakkan diatas basis pengaturan yang sederajat satu sama lain, dan mempunyai hubungan yang saling mengandalkan satu sama lain dalam rangka menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan demokrasi.
Masih menurut Jimly, MPR sebelumnya dianggap merupakan penjelamaan seluruh rakyat, dan karena itu sistem rekruitmen anggotanya ditentukan berlapis-lapis dengan mengendalikan tiga pilar perwakilan, yaitu melalui prosedur perwakilan politik (Political representation), utusan daerah (perwakilan daerah= regional representation), dan utusan golongan (perwakilan fungsional=functional representation). Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena itu, (1) hakekat perwakilan daerah pada DPD dan hakekat perwakilan rakyat pada DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakekat perwakilan daerah dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur rekruitmenya. Calon DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan oleh partai politik. (3) Karena hakekat DPD terkait erat dengan kepentingan daerah, maka fungsi-fungsi yang dimilikinya seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi pertimbangan dikaitkan secara khusus dengan kepentingan daerah atau berkenaan dengan hal-hal yang mempunyai sangkut paut langsung dengan kepentingan daerah.
Saat ini DPD menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama parlemen di konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amandemen UUD 1945 menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya.
Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memilik arti (meaningless), itulah kajian penulis tentang keberadaan DPD yang anaomali dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan layaknya lembaga-lembaga Negara lain. .
Penulis pernah mengemukakan dalam artikel di Harian Media Indonesia (11/5-2007), bahwa usulan perubahan kelima UUD 1945 pada tahun 2007 sebenarnya inisiator dari DPD, namun dalam perjalanannya dihambat oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya. Tujuan penghambatan tersebut dapat terbaca dengan jelas, DPR tentu tidak ingin DPD menjadi lembaga Negara kuat dan sejajar kelembagaannya, yang akan menjadi rivalnya dalam pertarungan legislasi. Padahal usulan perubahan UUD 1945 ketika itu telah mencapai 238 anggota MPR, dari jumlah anggota MPR 678. Dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR 678. Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga kesempatan bagi MPR unsur DPR untuk menyatakan usulan amandemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan keluar, apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amandemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi disalahgunakan oleh pimpinan MPR memberikan keputusan untuk menarik atau memberikan dukungan amandamen?.
Sebenarnya jika anggota MPR unsur DPR patuh hukum, meski perjanjian usulan amandemen sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR. Setelah DPD gagal mengamandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya di dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD tidak kurang akal, sejurus kemudian berpendapat dan mendesak agar calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 lalu tanpa harus melalui perubahan UUD 1945, menurutnya aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. Usulan dari Dewan Perwakilan Daerah agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan diperbolehkan untuk berkompetisi jelas mudah dimentahkan. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/9-2007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undang-undang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang juga tidak dianjurkan, dengan demikian DPD mengambil kesimpulan bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut dilontarkan dengan pedas oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD “Tolong UUD 1945 dibaca secara komprehensif, jangan dipotong-potong, kalau kami katakan DPD enggak mengerti UUD kami kan tidak enak”. (Kompas, 7/9-2007).

Marilah kita menyimak dengan saksama kutipan Ir. Soekarno berikut ini:
Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga1 15 Juli 1945).
Kutipan Ir.Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan karena hanya buatan manusia biasa, sehingga di dalam Pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law). Jadi masih ada ruang untuk amandemen UUD 1945, apakah DPD dibubarkan atau dipertahankan dengan diberi wewenang.
Dewan Perwakilan Daerah yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika sendiri di dalam konstitusi. Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balances) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah analoginya anak lahir kondisi sudah “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas konstitusionalnya secara maksimal.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.
Sikap Kenegarawanan
MPR tidak perlu ragu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. Hasil amandemen, UUD 1945 juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi disisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang secara substansi mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembaga-lembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD menjadi tidak bernilai (meaningless).
Selain melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang benar adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan pasal 7C UUD 1945 itu sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah membekukan MPR/DPR 21 juli 2001 sehingga dia diturunkan MPR melalui sidang istimewa pada 23 Juli 2001. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur didalam penjelasan.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lemah ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?.
Editorial Media Indonesia 29/12/2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asalkan kegiatan itu tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD kembali agar sesuai dengan paham demokrasi.

Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?
Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Pemasungan kewenangan kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan konsensus atau lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amendemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir limabelas tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU. MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah hati atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa tuan-tuan mudah membuat UUD ketinggalan zaman dan cepat usang (verourded)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuan-tuan melahirkan lembaga Negara DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?.
Pasca amandemen UUD 1945, dipastikan tidak ada satupun anak bangsa yang hafal konstitusi. Hal ini disebabkan, disamping amandemen UUD 1945 hampir menambahkan 300% ayat, hal lain ketidakhafalan pelajar dan mahasiswa diakibatkan oleh kandungan konstitusi yang sudah tercerabut akarnya dari nilai-nilai estetika, sehingga kebanyakan orang segan untuk membacanya apalagi menghafalnya. Berapa jumlah ayat UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan?. Jawabnya 71 ayat. Setelah dilakukan perubahan menjadi 199 ayat, dengan demikian penambahannya 128 ayat.
Dewan Perwakilan Daerah kini mulai sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga Negara lain. Singkatnya DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi, karena yang memutuskan undang-undang adalah DPR bersama presiden..
Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (baca: bukan kewenangan) di dalam Pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Tugas DPD tersebut jika kita mengkaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat bermuara ditangan DPR. Mengapa tidak menyampaikan aspirasi langsung ke DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari ameandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar sejajar dengan DPR memiliki tugas fungsi saling mengontrol.
Adapun Mekanisme Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah diatur secara jelas dan tegas didalam konstitusi.

Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah 692 anggota MPR (DPR 560, DPD 132). Jadi 1/3 nya 692 anggota MPR adalah 230 sebagai syarat usulan perubahan konstitusi untuk diagendakan dalam sidang MPR.
Ayat (2) untuk mengubah Pasal-Pasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (692x2/3)= 461 anggota MPR. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan. Disni pentingnya kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota majelis agar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (692:2+1) dibutuhkan jumlah 347 anggota MPR untuk amandemen konstitusi..
Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amendemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada Pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amandemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak sadar telah membentuk cluster bernama MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MPR itu antara lain adalah menetapkan dan merubah UUD 1945. Seperti itulah gambarannya jika MPR memperkuat kelembagaan DPD akan berdampak kepada konstitusi yang mengatur kewenangan MPR.
Sebenarnya MPR ketika 2007 lalu sudah harus menindaklanjuti dengan saksama
usulan perubahan UUD 1945 yang digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Usulan dukungan amandemen tersebut ternyata fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan,sehingga dukungan amandemen tersebut menjadi berkurang, namun demikian masih dalam batas ambang memenuhi persyaratan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan malah menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnysa MPR melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian tersebut mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya dukungan amendemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini juga agar DPD dapat berkonsentrasi untuk tahap berikutnya mencapai kourum 2/3 kehadiran jumlah anggota MPR. Dan tahap berikutnya mencapai lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis, putusan untuk merubah UUD 1945 agar kelembagaan DPD dapat kuat sejajar dengan lembaga DPR.
Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (baca: pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Lex superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR. DPD perlu memahami bahwa yurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden. Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD. Asas kehati-hatian ini penting dimiliki DPD, agar tidak terperosok ke dalam lubang untuk kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD itu hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari seluruh jumlah 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya adalah persyaratan kourum kehadiran rapat 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Kegagalan amandemen UUD 1945 dan kegagalan menggagas Capres dari unsur perseorangan untuk diwadahi dalam undang-undang, bukan duka terakhir untuk DPD. Usulan DPR agar judul undang-undang pemilu memberi pemisahan antara lembaga legislatif dan DPD, menambah lengkap duka DPD. Usulan DPR itu mendapat reaksi keras dari pimpinan dan anggota DPD (Media Indonesia 21/9-2007). Pemisahan lembaga DPD dengan legislatif, membuat berang sebagian anggota DPD yang merasa kelembagaannya itu dilecehkan. Tanggapan itu dilontarkan oleh Ketua DPD 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita, “kalau DPD dianggap bukan bagian dari legislatif, lantas lembaga apa?. Eksekutif pasti bukan, yudikatif? Apalagi pasti bukan. Audit jelas juga bukan itu tugas BPK. Pertimbangan?. Tentu bukan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden. Penasehat seperti DPA? Jelas bukan karena penasehat tidak dipilih oleh rakyat. Menurut Ginanjar penasehat itu diangkat oleh yang dinasehati” tanya Ginandjar (Media Indonesia 21/9-2007). Senada dengan itu anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yang juga Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud kala itu mempertanyakan motivasi dibalik usulan tersebut, Aksa Mahmud meminta “kalau bukan legislatif bubarkan saja”. Masak DPD lembaga eksekutif. Ini ada apa?. Tegasnya di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta ( Media Indonesia 2/9-2007). Tanpa upaya pendelegitimasian DPD, pada hakekatnya peran dan fungsi DPD itu sudah dipasung oleh konstitusi, DPR tidak perlu menambahi pelengkap derita DPD dengan mengusulkan pemisahan DPD dari lembaga legislatif.
Keteledoran melahirkan lembaga DPD dampaknya luar biasa dahsyat, yaitu, uang rakyat akan terkuras untuk kegiatan operasional dewan dan Sekretariat Jenderalnya sedangkan produknya tidak bernilai (meaningless).
MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan MPR tidak cermat ketika merubah UUD 1945, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dewan Perwakilan Daerah kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai kekuatan penuh di parlemen. Tugas dan fungsi DPD dirumuskan dalam Pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaannya hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Yang menjadi permasalahan sekarang, beranikah DPR dengan sikap kesatria memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan ataukah sebaliknya politik yang dikedepankan. Apabila jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis. Begitulah idealnya jika MPR ingin merubah UUD 1945.

Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 37 UUD 1945). Ini perlu dipahami seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Mari kita simak Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang keras untuk melakukan amandemen kelima UUD tetapi belum berhasil. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, apakah DPD dipertahankan diberi kewenangan ataukah dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.


KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT TAP MPR No: 1/MPR/2003, TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN SATUS HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR TAHUN 1960-2002



Oleh:Warsito
Dosen Universitas Satyagama, Jakarta


BAB I
P E N D A H U L U A N
Abstrak

Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD 1945. Berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan, pasca amandemen UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam.
Menurut penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan.
Pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan didalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi masalahnya akan berdampak kepada soal uji materi mengenai lembaga negara manakah yang akan berwenang menguji TAP MPR jika keberadaannya melanggar UUD 1945.
Kedua, Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR/MPRS kembali dilakukan pembuat undang-undang, ini menunjukkan kebingungan pembuat UU itu sendiri untuk menempatkan posisi yang tepat mengenai status hukum Tap MPR. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003. Ini berarti, Ketetapan MPRS/MPR dari tahun 1960-2002 perlu diteliti dan disisir kembali apa saja yang menjadi bagian dari hukum. Memperhatikan dengan saksama Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR tahun 1960-2002, berarti Tap MPR yang belum dicabut dan masih diakui itu, merupakan bagian dari hukum yang keberadaanya mengikat, baik kedalam maupun keluar anggota majelis.


A. STATUS HUKUM KETETAPAN MPR

Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003”.
Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR kembali dilakukan pembuat undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011, memasukkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD 1945. Meski sebelumnya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, TAP MPR ditempatkan urutan kedua dibawah UUD 1945. Namun, setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Status Hukum TAP MPR justru dihilangkan dari hierarki tata urutan Peraturan Perundang-Undangan. Disini terlihat tampak kebingungan pembuat Undang-Undang untuk menentukan Status Hukum Ketetapan MPR tersebut, apakah bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan atau tidak.
Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD 1945. Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan pasca amandemen UUD 1945, yang mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam.
Gambaran Umum perbandingan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan TAP MPR No: III/MPR/2000 dengan UU. No. 10 Tahun 2004 dan UU. No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan:

Berdasarkan UU NO: 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. UUD 1945;
2. TAP MPR;
3. UU/PERPU;
4. PP;
5. PERPRES;
6. PERDA PROVINSI;
7. PERDA KABUPATEN KOTA

Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 memuat pengelompokan Ketetapan MPR/MPRS sejak 1960-2002. Dalam pengelompokan ini masing-masing Ketetapan MPRS/MPR pada hakekatnya merupakan putusan yang bersifat penetapan yang bersifat individual, konkrit dan final, tidak lagi merupakan peraturan yang bersifat umum dan abstrak yang mengikat kedalam dan keluar. Pengelompokan tersebut menempatkan Ketetapan MPRS/MPR kedalam lima kelompk yaitu, Ketetapan MPRS/MPR yang memuat aturan yang sekaligus memberi tugas kepada Presiden: Ketetapan MPR MPR/MPRS yang bersifat penetapan (beschikking): Ketetapan MPR/MPRS yang bersifat mengatur kedalam (intern regeling); Ketetapan MPR yang bersifat deklaratif; Ketetapan MPRS/MPR yang bersifat rekomendasi dan perundang-undangan.
Dikutip dari Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Putusan MPR yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI. Berdasar Ketetapan MPR tersebut diatas status hukum Ketetapan MPRS/MPR dikelompokkan menjadi 6 (enam) kategori, yaitu:

Pasal I TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku ada (8 Ketetapan)yaitu;

1. Ketetapan MPRS RI Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
3. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
5. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.
6. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
7. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.
8. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedelapan TAP tersebut telah berakhir masa berlakunya dan/atau telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003
1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi
Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.

Pasal 3 TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ada 8 (delapan) Ketetapan, yaitu;
1. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004.
2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
3. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000.
4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia.
5. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.
6. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.
7. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional.
8. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, Dewan Pertimbangan Agung,
Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kedelapan TAP tersebut tidak berlaku karena Pemerintahan hasil Pemilu 2004 telah terbentuk.

Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang ada 11 (sebelas) Ketetapan, yaitu;
1. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 Pengangkatan Pahlawan Ampera.
2. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3. TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
5. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 Tentang Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Nasional.
6. TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8. TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
9. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan.
10.Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
11. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pasal 5 TAP MPR No. I/MPR/2003
Tap MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 ada 5 (lima) Ketetapan, yaitu;
1. TAP MPR No. II/MPR/1999
2. TAP MPR No. I/MPR/2000
3. TAP MPR No. II/MPR/2000
4. TAP MPR No. V/MPR/2001
5. TAP MPR No. V/MPR/2002
Sudah tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya Peraturan Tata Tertib MPR hasil Pemilu 2004.

Pasal 6 TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan ada 104 (seratus empat) Ketetapan.

B. Perumusan Masalah
UU. No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menempatkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD 1945.
Setelah menyimak dengan saksama akhirnya dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara manakah yang berwenang melakukan uji materi TAP MPR tersebut?.
2. Apakah TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis?.
3. Sudah tepatkah TAP MPR dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan?.

B.Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran
1. Istilah Konstitusi
Istilah Konstitusi berasal dari bahasa perancis (constituer) yang berarti membentuk.Pemakaian istilah Konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Grondwet. Perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi.
Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang-Undang Dasar), L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau grondwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam desertasinya menyebutkan Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.
Konstitusi suatu negara termuat di dalam Undang-Undang Dasar(Grondwet, fundamental law) dan berbagai aturan Konvensi. Bahkan Inggris tidak memiliki Undang-Undang Dasar. Konstitusinya terdiri dari beberapa prinsip dan aturan yang timbul dan berkembang selama berabad-abad sejarah bangsa dan negaranya. Para sarjana politik berpendapat bahwa harus dibedakan antara negara berkonstitusi dan negara yang mempunyai pemerintahan Konstitusional (constitution state, constitutional government). Negara yang mempunyai konstitusi (mempunyai Undang-Undang Dasar yang lengkap dan indah) belum tentu mempunyai pemerintahan yang konstitusional.

2. Die Theorie vom stufenordnung der Rechtsnormen
Hans Kelsen, dalam Maria Farida (2007: 41) dikemukakan oleh Monika Suhayati menyatakan, Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen merupakan teori yang dikemukakan oleh Hans Nowiasky. Teori ini dikembangkan dari Stufentheorie dari Hans Kelsen. Hans Kelsen dari teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) menyatakan bahwa norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis menyatakan dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar dikatakan pre-supposed. Menurut Hans Kelsen, hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain itu. Karena, norma hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dengan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Teori jenjang norma hukum diilhami dari seorang murid Hans Kelsen yang bernama Adolf Merkl. Adolf Merkl mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz), yaitu suatu norma hukum keatas bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah suatu norma hukum juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya. Oleh karena itu suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, dimana masa berlaku suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Diilhami teori Adolf Merkl tersebut, Hans Kelsen mengemukakan dalam hal susunan atau hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) menjadi tempat bergantungnya norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar berubah maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada dibawahnya. Sthufentheori kemudian dikembangkan oleh salah satu murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky dalam die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen, yang menyatakan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok. Pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara), staatsgrundgesetz (aturan dasar negara atau aturan pokok negara), formeel gezetz (undang-undang formal), verordnung@autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom). Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) merupakan norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara. Norma fundamental negara merupakan norma tertinggi dalam suatu negara dan tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ”Pre-supposed” atau ”ditetapkan terlebih dahulu” oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum dibawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan lagi merupakan norma yang tertinggi.
Menurut Hans Nawiasky, staatsfundamentalnorm berisi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm berisi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm yaitu syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.Staatsfundamentalnorm ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Sedangkan staatsgrundgesetz (aturan dasar negara atau aturan pokok negara) merupakan kelompok norma hukum dibawah staatsfundamentalnorm. Norma dari staatsgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga merupakan norma hukum tunggal. Suatu staatsgrundgeset dapat dituangkan di dalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar. Di dalam setiap staatsgrundgesetz biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, hubungan antar lembaga-lembaga negara dan hubungan antar negara dengan warga negaranya.

3. Perundang-Undangan yang Berlaku
Indonesia sebagai negara hukum, ditegaskan didalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: ” Negara Indonesia adalah negara hukum”, untuk mewujudkan Negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 22A UUD 1945, yang menyebutkan:
”ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.
Bagir Manan, didalam Monika Suhayati, peraturan Perundang-Undangan merupakan:
a. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku atau yang bersifat umum;
b. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan;
c. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum abstrak atau abstrak umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, perisiwa atau gejala konkret tertentu;
d. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemen verbindende voorschrift yang meliputi antara lain de supra-nationale algemeen verbindende voorchrifen, wet, AmvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciaale staten verordeningen.
Pengertian perundang-undangan (wetgeving) dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik ditingkat pusat, maupun ditingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah.

4. Ketetapan MPR/MPRS
Ketetapan MPR/MPRS sebelum perubahan UUD 1945 mempunyai kekuatan mengikat kedalam Anggota MPR/MPRS dan juga mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar anggota MPRS/MPR yaitu kepada lembaga tertinggi negara, Presiden, legislatif, yudikatif, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan serta kepada seluruh lapisan masyarakat. Ketetapan MPR/MPRS merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahannya. Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan sumber dan dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.

Menurut Sri Soemantri, hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Apabila suatu Undang-Undang dilihat dari isinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Lembaga negara yang diberi wewenang untuk melakukan uji materi Undang-Undang terhadap UUD adalah Mahkamah Konstitusi sebagaimana kewenangnya diatur di dalam Pasal 24C UUD 1945.
Harun Al Rasid, menyatakan bahwa secara yuridis, UUD 1945 masih berlaku sementara, walaupun berlakunya UUD tersebut dengan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang kemudian disetujui oleh DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, appeal tersebut berdasarkan pasal 3 UUD 1945 sebagai tugas MPR untuk menetapkan UUD 1945. Dekrit presiden merupakan political decision yang sudah tidak bisa diubah lagi, dengan demikian persetujuan DPR terhadap dekrit tersebut sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai efek yuridis, karena DPR fungsinya membuat undang-undang.
Menurut Yamin, harus jelas bagi rakyat apakah Undang-Undang Dasar akan menuju pada Republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu, Undang-Undang Dasar harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan Negara dan juga memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya, singkatnya kebebasan-kebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu, serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita.

C. Analisa
1. Tereduksinya Kewenangan MPR
Pasca amandemen UUD 1945, MPR kewenangannya menjadi tereduksi, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Monika Suhayati, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan ”kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan ini mengamanatkan kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat, bertugas memberi mandat kepada penyelenggara negara lainnya, yang wajib memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang diberikan. Hamid S. Attamimi dengan meminjam istilah JJ Rousseau dalam Monika Suhayati menggambarkan kedudukan dan kualitas rakyat dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ”Citoyen atau burger” (rakyat yang berdaulat). Setelah MPR dibentuk, rakyat asli dinamakan ”suyet” atau onderdaan” (rakyat yang diperintah). Kehendak MPR adalah kehendak rakyat yang berdaulat (citoyen/burer) dan MPR berarti Majelis Perundingan/negotiation/deliberation rakyat , sedangkan kehendak rakyat yang diperintah diwakili oleh DPR. Sebagai pemegang kedaulatan Rakyat, Ketetapan MPR/MPRS berada langsung dibawah UUD 1945 dan diatas undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia serta Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Perubahan Pasal I ayat (2) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan salah satu lembaga negara diantara lembaga negara lainnya yang memiliki kedudukan setara, namun dengan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berbeda. MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagi parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan kedaulatan rakyat, sekaligus menandai tamatnya doktrin supremasi MPR yang menyebutkan ”MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara” dan bahwa”karena MPR memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.
Perubahan UUD 1945 lainnya yang mempengaruhi kewenangan MPR yaitu perubahan pada Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945 Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Setelah mengalami perubahan, Pasal 3 UUD 1945 berbunyi:
1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD;
2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Sedangkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan meniadakan kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 meniadakan kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Perubahan Pasal 3 UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Maria Farida Indrati, di dalam Monika Suhayati telah mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan yang berisi peraturan yang berlaku keluar. Hilangnya kewenangan untuk membentuk ketetapan yang mengatur keluar tersebut merupakan akibat adanya ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut mempunyai akibat bahwa presiden tidak lagi mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab menjalankan garis-garis besar daripada haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, oleh karena presiden bukan lagi merupakan mandataris MPR. Pasca Perubahan UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang mengeluarkan putusan yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam MPR. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar diatur didalam TAP MPR No: I/MPR/2003, Tentang Peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002.
Menurut Jimly, di dalam Monika Suhayati setelah perubahan UUD 1945, pada hakekatnya MPR tetap dapat disebut sebagai suatu institusi yang tersendiri, meskipun kedudukannya tidak lagi bersifat tertinggi dikarenakan UUD 1945 menentukan MPR ditentukan terdiri atas anggota DPR dan DPD, dan UUD 1945 juga menentukan adanya kewenangan MPR yang bersifat tersendiri maka mau tidak mau MPR juga harus dipahami sebagai suatu lembaga yang tersendiri. MPR masih diberi wewenang untuk memilih dalam rangka mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang kosong, kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Hanya saja sifat pekerjaan MPR tidak bersifat tetap dan terus-menerus, melainkan hanya bersifat Ad Hoc. Perubahan kewenangan MPR setelah perubahan UUD 1945 diikuti dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR/MPRS dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 2004. Ketentuan ini menempatkan undang-undang langsung berada dibawah UUD 1945.

D. Kesimpulan
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor: I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002 masih terdapat beberapa Ketetapan MPR/MPRS yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, menurut Monika Suhayati, (2011:2007) terbitnya UU. Nomor: 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memasukkan kembali Ketetapan MPR/MRS dalam hierarki peraturan perundang-undangan atas dasar Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor: I/MPR/2003. Ketetapan MPR/MPRS yang substansinya belum secara keseluruhan digantikan dengan Undang-Undang antara lain, tentang Ketetapan MPRS Nomor:XXV/MPRS/1966 mengenani pembubaran Partai Komunis Indonesia, Ketetapan MPR Nomor: XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Ketetapan MPR Nomor: V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang sudah digantikan dengan undang-undang antara lain, Ketetapan MPR Nomor: XI/MPR/1998, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan; Ketetapan MPR Nomor: VI/MPR/2000, Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Saya sependapat dengan analisa Monika Suhayati (2011: 207-208), bahwa Ketetapan MPRS/MPR yang dimasukkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011 apabila dikaji menurut teori Hans Nawiasky adalah tepat. Karena merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrungezets) sebagaimana dengan batang tubuh UUD 1945, selain itu, Ketetapan MPRS/MPR sebelum perubahan UUD 1945 merupakan landasan pembentukan Undang-Undang (formeel gezetz) dan peraturan lain yang lebih rendah. Sehingga dengan adanya Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrundgezet) yang mana berkedudukan dibawah UUD 1945 dan diatas undang-undang.
Namun Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan didalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi jika disimak dengan saksama akan berdampak kepada soal uji materi. Lembaga negara manakah yang berwenang menguji TAP MPR jika melanggar UUD 1945?.
Kedua, meski pasca amandemen UUD 1945 kedudukan MPR mengalami pergeseran dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara, bersebab, antara lain kewenangannya dipangkas secara signifikan tidak memilih presiden lagi, namun dalam prakteknya, MPR tetap sebagai lembaga tertinggi negara. MPR selain dapat menghapus dan menambah sederetan lembaga-lembaga negara melalui perubahan UUD 1945, MPR yang berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bersalah melakukan pelanggaran hukum, baik penyuapan, pengkhianatan terhadap negara atau melakukan perbuatan tercela.

E. Saran

1.Jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara yang berwenang melakukan uji materi idealnya MPR itu sendiri. Karena MPR yang mengeluarkan TAP MPR, MPR sendiri yang mengetahui isi kandungannya.

2. TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis karena TAP MPR bagian dari peraturan perundang-undangan.

3. TAP MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, mengingat TAP MPR amanat Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003”.




DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU


Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003.

Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen
Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966.

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.


Garna, Judistira. Pemikiran Modern dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Primaco Akademika, 1997.

Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbi Kanisius, 2007.

Indriati S., Maria Farida. Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945. Yuridika. Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005.

Indrayana Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reformn 1999-2000: An Evaluation of Contitutional-Making Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007.

Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968.

Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011.

Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993.

Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004.

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001.

Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.

Puspita Dewi, Rachmani. Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 25 No. 4, Oktober 2007.

Soemantri Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.

Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Sumardi. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2006.

Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Panduan Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.

Panduan Sosialisasi Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.


B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

___________. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 1/MPR/2003, Tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

___________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389.

__________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.12, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.


B. JURNAL
_________. Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum Jurnal, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011.


Rabu, 09 September 2015

Etika Kehidupan Berbangsa





Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa (TAP MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Jika ada menteri yang seharusnya patuh kepada yang mengangkat (Presiden), dibelakang malah mengoceh menjelekkan, meski, perbuatannya bukan tergolong melanggar hukum, tetapi, dikategorikan sudah menyalahi etika kenegaraan. Jika ada menteri yang mengkritisi kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya didukung, biar secara normatif juga tidak menabrak undang-undang, tetapi dari norma: etika, kepatutan, kebiasaan dan nilai-nilai keadaban publik sudah jatuh ke titik nadir.
Merasa Malu Harus Mundur
Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sampai saat ini masih berlaku dan merupakan hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3). Etika Kehidupan Berbangsa bertujuan membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan kualitas tiap-tiap anak negeri agar beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Dalam Etika Politik dan pemerintahan sudah memberikan amanat kepada setiap pejabat dan elit partai politik di negeri ini untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Etika Penegakan Hukum
Etika Penegakan hukum yang berkeadilan, mengamanatkan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap ada ketertiban umum di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya tertib sosial di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya ketenangan di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya keteraturan di masyarakat, semua itu hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Etika Kehidupan berbangsa meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif kepada tiap-tiap anak negeri ini dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Jika para politisi, para menteri, pejabat publik dan warga masyarakat paham akan pentingnya etika kehidupan berbangsa ini, maka setiap tindakannya akan senantiasa berpikir ulang: Melanggar hukum atau tidak; baik atau buruk; patut atau tidak; dan pantas atau tidak. Terlebih, jika ada pejabat publik yang sudah diberi raport lampu kuning, bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht), baru mundur, menurut amanat Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini, sebenarnya pejabat tersebut selekas-lekasnya sudah harus mundur dari jabatannya. Tapi, jika nekat tidak mau mundur dan bermuka tembok meski melakukan kesalahan, pada hakekatnya, sesungguhnya yang bersangkutan sudah gugur dengan sendirinya menjadi pejabat publik.


Lembaga Kenotariatan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Oleh WARSITO 
Dosen Universitas Satyagama, Jakarta 

BAB I P E N D A H U L U A N

 1.1. Latar Belakang Masalah Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai “Notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka, lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag), yang dikehendaki oleh masyarakat, untuk membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan autentik, demikian fungsi lembaga kemasyarakatan Kenotariatan dikemukakan oleh G.H.S Lumban Tobing (1983:2). Kedudukan Notaris berfungsi sebagai pejabat umum (openbare ambtenaar) yang melaksanakan sebagian tugas umum pemerintahan dalam bidang hukum privat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan /atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Notaris berkedudukan sebagai pejabat umum yang melaksanakan sebagian tugas dari negara di bidang hukum perdata untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta-akta autentik, dimana akta-akta itu sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Peranan Notaris yang diangkat oleh negara, menjalankan tugas utama pemerintah untuk melayani masyarakat di bidang hukum perdata, diberikan kewenangan menggunakan Lambang Negara dalam menjalankan tugas dan jabatannya, tetapi anomalinya, keberadaan Notaris diluar sistem pemerintahan Indonesia. Notaris tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tidak dimasukkannya Notaris kedalam salah satu sistem pemerintahan Indonesia itu, satu sisi, agar Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tetap mandiri dan tidak berpihak. Sisi lain, beradanya Notaris diuar sistem pemerintahan Indonesia secara psikologis dapat mengganggu Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pelayan publik, karena tidak mendapatkan hak-hak pensiun dari negara. Kedudukan Notaris bertindak untuk dan atas nama serta diangkat oleh Negara melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Selain itu, di dalam menjalankan tugas dan jabatannya Notaris diberikan kuasa oleh Undang-Undang untuk membuat akta-akta autentik yang dapat memiliki pembuktian sempurna. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 Pasal 7 Ayat (1), Tentang Penggunaan Lambang Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 54 menyatakan bahwa penggunaan Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatan diperuntukkan oleh: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Dewan Perwakilan Rakyat; d. Dewan Perwakilan Daerah; e. Mahkamah Agung dan badan peradilan; f. Badan Pemeriksa Keuangan; g. Menteri dan pejabat setingkat menteri; h. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan; i. Gubernur, bupati atau walikota; j. Notaris; dan k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang. Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor digunakan untuk kantor: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Dewan Perwakilan Rakyat; d. Dewan Perwakilan Daerah; e. Mahkamah Agung dan badan peradilan; f. Badan Pemeriksa Keuangan; g. Menteri dan pejabat setingkat menteri; h. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan; i. Gubernur, bupati atau walikota; j. Notaris; dan k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang. Obyek materia dan forma ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara rakyat dengan organisasi tertinggi negara (pemerintahan) dalam kontek kewenangan dan pemberian pelayanan publik. Dengan bahasa yang berbeda Ndraha (2003:7) mendefinisikan ilmu pemerintahan sebagai: “ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan pelayanan civil, dalam hubungan pemerintahan (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan.” Dalam sistem civil law (Eropa Continental) seperti yang dianut Indonesia, karakteristik utama Notaris adalah menjalankan fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat publik di bidang hukum perdata. Notaris diangkat oleh Negara dan bertugas menjalankan fungsi pelayanan publik dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik. Profesi Notaris adalah mandiri (independent), Notaris dilarang memihak salah satu pihak, perbuatan hukum akta yang dibuatnya dapat menjamin kepastian hukum. Begitulah keluhuran dan kemuliaan profesi Notaris sebagai jabatan kepercayaan dari Negara, yang pembuatan akta-aktanya tidak dapat diintervensi atau didekte oleh pihak-pihak lain, sekalipun oleh pemerintah itu sendiri. Sebelum terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diberlakukan mulai tanggal 6 Oktober 2004, maka perundang-undangan yang pernah berlaku di bidang Notariat, adalah: 1. Peraturan Jabatan Notaris (Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie, Stbl. 1860: 3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris sementara (lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan lembaran Negara Nomor 700); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang sumpah/ janji Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang Jabatan Notaris sangat dinanti-nantikan oleh Notaris, Undang-Undang ini sebagai pelaksanaan dari Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Kalangan Notaris sudah cukup lama berharap Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Jabatan Notaris. Akhirnya, pada tanggal 6 Oktober 2004 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut diundangkan dan disahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri yang disambut gembira oleh kalangan Notaris. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang. G.H.S Lumban Tobing (1983:2-17) menyatakan, sejarah Notariat di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah lembaga Notariat di negara-negara Europa pada umumnya dan di negeri Belanda pada khususnya. Perundang-undangan di Indonesia di Bidang Notariat berakar pada “Notariswet” dari negara Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned.Stbl. No. 20), Notariswet mengambil contoh dari Undang-Undang Notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda. Sejarah lembaga Notariat dimulai pada abad ke -11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara, yaitu “Latijnse Notariaat”. Mula-mula lembaga Notariat ini dibawa dari Italia Utara ke Perancis, dari Perancis ini pula pada permulaan abad ke-19 lembaga Notariat dikenal meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara lain. Nama “Notariat”, berasal dari nama pengabdinya, yakni “Notarius”. Para “Notarii” adalah orang-orang yang memiliki keahlian tulisan cepat didalam menjalankan pekerjaan mereka dan disamakan sebagai “stenografen”, “Notarii” mula-mula memperoleh namanya dari “Nota Literaria”, yaitu ”tanda tulisan” atau “character”. Lembaga Notariat dari Italia Utara, abad ke -13 dibawa ke Perancis, di Perancis inilah lembaga Kenotariatan telah memperoleh puncak perkembangannya. Pada tanggal 6 Oktober 1791 di Perancis pertama kalinya diundangkan undang-undang di bidang Notariat, berdasarkan undang-undang tersebut hanya dikenal satu macam Notaris. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan undang-undang dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803). Berdasarkan undang-undang ini para Notaris dijadikan “ambtenaar” dan sejak itu mereka berada dibawah pengawasan dari “Chambre de Notaries”. Dari Perancis, Notariat dibawa ke negeri Belanda dengan dua buah dekrit Kaisar, masing-masing pada tanggal 18 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1811. Dikeluarkanlah Undang-Undang pada tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. No. 20) Tentang Jabatan Notaris, sebagai perubahan dari “Ventosewet” itu sendiri. Notariat seperti yang dikenal di zaman “Republik der verenigde Nederlanden” mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, beberapa bulan setelah Jacatra sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan Batavia), Melchior Kerchem, Seorang berkebangsaan Belanda dari Sekretaris College Van Schepenen” di Jacatra, diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan Notaris pada waktu itu, oleh karena berbeda dengan pengangkatan para Notaris sekarang ini, didalam akta pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota Jacatra untuk kepentingan publik. Untuk menjalankan pekerjaannya itu sesuai dengan sumpah setia pengangkatannya dihadapan Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal dengan Departemen Gedung Keuangan-Lapangan Banteng). Pada tanggal 16 Juni 1625, dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para Notaris di Indonesia, yang berisi 10 pasal, diantaranya mengatur ketentuan bahwa para Notaris terlebih dahulu harus diuji dan diambil sumpahnya. Pada masa itu Notaris adalah pegawai dari Oost Ind. Compagnie. Tahun 1632 dikeluarkan plakkaat yang berisi ketentuan bahwa para Notaris, Sekretaris dan pejabat lainnya dilarang membuat akta-akta transport, jual beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari gubernur jenderal dan “Raden Van Indie”, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Jika didasarkan pada kenyataan, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kita pernah memiliki perundang-undangan di bidang Notariat, yakni Peraturan Jabatan Notaris(Notaris Reglement-Stbl.1860-3) yang merupakan pengganti dari ”Instructie Voor Notarissen in Indonesia” (Stbl.1822-11). Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum itu dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang, Notaris adalah pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapat perlindungan dan jaminan dan tercapainya kepastian hukum, demikian konsideran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Selain itu, UUD 1945 menentukan secara tegas Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Istilah Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah Konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Grondwet. Perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Undang-Undang, dan grond berarti tanah/dasar. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang-Undang Dasar) diatas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau grondwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam desertasinya menyebutkan Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia. Konstitusi suatu negara termuat di dalam Undang-Undang Dasar(Grondwet, fundamental law) dan berbagai aturan Konvensi. Bahkan Inggris tidak memiliki Undang-Undang Dasar. Konstitusinya terdiri dari beberapa prinsip dan aturan yang timbul dan berkembang selama berabad-abad sejarah bangsa dan negaranya. Para sarjana politik berpendapat bahwa harus dibedakan antara negara berkonstitusi dan negara yang mempunyai pemerintahan Konstitusional (constitution state, constitutional government). Negara yang mempunyai konstitusi (mempunyai Undang-Undang Dasar yang lengkap dan indah) belum tentu mempunyai pemerintahan yang konstitusional. Harun Al Rasid, menyatakan bahwa secara yuridis, UUD 1945 masih berlaku sementara, walaupun berlakunya UUD tersebut dengan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang kemudian disetujui oleh DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, appeal tersebut berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 sebagai tugas MPR untuk menetapkan UUD 1945. Dekrit presiden merupakan political decision yang sudah tidak bisa diubah lagi, dengan demikian persetujuan DPR terhadap dekrit tersebut sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai efek yuridis, karena DPR fungsinya membuat undang-undang. Menurut Yamin, harus jelas bagi rakyat apakah Undang-Undang Dasar akan menuju pada Republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu, Undang-Undang Dasar harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan Negara dan juga memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya, singkatnya kebebasan-kebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu, serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita. Menurut Kosasih Taruna Sepandji (2000:9) untuk memudahkan penyelenggaraan negara, sesuai yang terkandung dalam konstitusi, maka negara memiliki semacam lembaga-lembaga dan perangkatnya yang mengatur jalannya roda pemerintahan, sehingga tercapai apa yang menjadi cita-cita bersama. Pada pelaksanaannya, lembaga-lembaga kenegaraan dan atau pemerintahan, akan mengambil kaidah gerak normatifnya dengan mengacu pada konstitusi yang dianut. Pengambilan acuan ini sangat penting, karena bagaimana pun konstitusi merupakan landasan bagi pelaksanaan kerja suatu lembaga negara dan atau pemerintahan. Di Indonesia dan negara-negara lainnya, berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara diatur dalam konstitusi misalnya Indonesia. Pengaturan ini perlu untuk memberikan batasan kepadanya agar tidak terjadi kekacauan dan tumpang tindih bidang kerja. Dengan kata lain bentuk pemerintahan dan sistem kenegaraan yang berlaku akan sangat ditentukan oleh isi dari konstitusi tersebut, oleh karenanya pemahaman yang luas, menyeluruh dan holistik sangat diperlukan dalam mempelajari suatu konstitusi dan kelembagaan negara. Lembaga Kenotariatan secara implisit diatur didalam Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: ”Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.” Selain lembaga-lembaga negara yang sudah diatur secara eksplisit di dalam UUD 1945, seperti lembaga negara MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah Konstitusi), MA (Mahkamah Agung), KY (Komisi Yudisial), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), ada lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yakni antara lain, Lembaga Kenotariatan. Fungsi Notaris adalah sebagai pelayanan publik dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik yang sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Ketentuan Pasal 24 Ayat (3) tersebut menjadi dasar hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, juga keberadaan berbagai badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut, hal-hal mengenai badan-badan lain itu diatur dalam Undang-Undang. Notaris berwenang membuat alat bukti yang sempurna sebagaimana dinyatakan Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang lebih dikenal dengan sebutan BW (Burgerlijk Wetboek): ”Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya.” Alat bukti adalah salah satu kebutuhan di dalam upaya penegakan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan tulisan autentik atau tulisan dibawah tangan. Menurut ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata yang dimaksud sebagai tulisan dibawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Namun kedudukan akta dibawah tangan dapat berubah memiliki pembuktian sempurna seperti akta autentik jika isi dan kebenarannya diakui oleh para pihak sebagaimana ditentukan Pasal 1875 KUHperdata sebagai berikut: “Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siap tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut UU dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik.” Agar akta-akta dapat digolongkan sebagai akta autentik harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan Pasal 1868 KUHPerdata sebagai berikut: a. Bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang; b. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum; dan c. Ditempat berkuasa dimana pegawai umum tersebut. Akta Autentik memiliki 3 (aspek) pembuktian sebagai berikut: a. Aspek Pembuktian Formal maksudnya akta otentik dibuat bentuknya telah sesuai ketentuan UU dan dibuat oleh Pegawai-Pegawai Umum; b. Aspek Pembuktian Lahiriah Maksudnya akta otentik akan dapat membuktikan kebenaran dirinya sendiri, jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di Pengadilan; c. Aspek Pembuktian Materiil Maksudnya orang tidak dapat memungkiri sifatnya akta yang otentik tsb kecuali dapat sebaliknya. Begitu pentingnya peranan Notaris didalam melayani masyarakat terkait pembuatan akta-akta yang bersifat autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan, baik yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik. Dalam hal perjanjian yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, Peran Notaris dapat memberikan kepastian hukum bagi mereka yang membuat perjanjian, karena dipersamakan dengan Undang-Undang yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab sebagaimana ditentukan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” (Terjemahan: Subekti dan Tjitrosudibio). Agar suatu perjanjian memiliki daya ikat lebih kuat tidak dapat dimintakan kebatalan atau batal demi hukum dengan sendirinya, maka haruslah perjanjian itu memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHperdata sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; dan d. Oleh sebab yang halal. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia itu terlindungi, hukum harus dilaksanakan, pelaksanaan hukum berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum dalam hal ini hukum yang dilanggar tersebut harus ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Lawrence M. Friedman (1981), menyatakan penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum. Secara kelembagaan, institusi penegakan hukum adalah bagian dari sistem pemerintahan dalam makna luas (in ruimere zin), termasuk alat perlengkapan negara yustisiil, lazim dikenal dengan nama lembaga peradilan dibawah kekuasaan kehakiman (MA RI). Pendapat Lawrence M. Friedman tersebut, dalam makna luas dapat diartikan bahwa akta autentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dapat memberikan kontribusi nyata dalam penegakan hukum jika sewaktu-waktu dikemudian hari terjadi sengketa di pengadilan, hakim akan bersifat pasif dengan alat bantu berupa bukti akta autentik. Penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum (Lawrence M. Friedman, 1981). Tanpa penegakan hukum (formeel recht) maka kaidah-kaidah hukum materiil (meterieel recht) niscaya menjadi tumpukan kertas (een papieren) saja. Negara hukum yang didambakan bakal menjadi impian belaka. Pendapat Lawrence M. Friedman tersebut menggugah kita semua agar Indonesia yang berdasar atas hukum, pembuatan akta-akta autentik yang kewenangannya telah didelegasikan Negara kepada Notaris/PPAT dapat menjamin kepastian hukum di masyarakat, baik dari aspek hukum formil maupun materiil. Jika pembuatan akta-akta autentik tidak memenuhi aspek legalitas formil dan materiilnya, niscaya yang terjadi hanyalah tumpukan-tumpukan kertas sebagaimana digambarkan oleh Lawrence M. Friedman tersebut. Pada akhirnya, cita negara hukum sebagaimana didambakan konstitusi hanyalah teks redaksional yang bersifat semantik. Menurut Sudikno Mertokusumo, setiap peraturan perundang-undangan itu tidak semua jelas dan tidak pula lengkap, oleh karena itu harus ditemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan. Dalam konteks itu, dibutuhkan profesionalisme seorang Notaris/PPAT dalam melaksanakan tugas dan jabatannya harus bertindak teliti, hati-hati, dan cermat, meskipun demikian, tetap sewaktu-waktu akta yang dibuatnya ada kemungkinan terjadi konflik di pengadilan, meski sudah memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya. Menurut Van Apeldoorn, manakala orang awam ditanyakan tentang hukum maka ingatannya tertuju pada bangunan pengadilan, sosok-sosok hakim, advokat, juru sita dan polisi. Pendapat Van Apeldoorn tersebut menggambarkan betapa mulianya tugas profesi Notaris /PPAT sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam membuat akta-akta yang bersifat autentik yang dapat dijadikan sebagai alat pembuktian. Jika seorang Notaris/PPAT tidak cermat, teliti dan hati-hati dalam melaksanakan tugas dan jabatannya membuat akta-akta yang bersifat autentik, maka dampaknya akan terjadi ketidakpastian hukum di masyarakat luas. Pada akhirnya, peran Notaris/PPAT yang mendapat pendelegasian kewenangan dari Negara justru turut mendegradesi pemerintahan yang sudah memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Akta-akta autentik yang dilahirkan melalui proses yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dampaknya dapat dibatalkan atau dengan sendirinya batal demi hukum/dianggap tidak pernah ada (null and void). Oleh karena itu, betapa mulianya profesi seorang Notaris/PPAT di negeri ini, sebab akta yang dibuatnya, selain dapat memberikan jaminan kepastian hukum juga memberikan kontribusi kepada Negara berupa pajak BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang harus dibayar oleh pembeli tanah, dan Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada Penjual dalam hal peralihan hak atas tanah. Peran Notaris/PPAT dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik dapat memberikan jaminan kepastian hukum, sekaligus dapat mengantarkan lahirnya pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Pembentukan Mahkamah Agung dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara, ketatanegaraan dan kehidupan politik, dan tentunya dalam kontek penelitian ini konflik akta yang dibuat oleh Notaris/ PPAT yang berpotensi mendapat gugatan oleh masyarakat. Dengan tersedianya jalan pembentukan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, diharapkan konflik yang terkait dengan pembuatan akta-akta autentik oleh Notaris/PPAT tidak berkembang liar menjadi konflik horizontal tanpa penyelesaian yang obyektif, jelas, baku, transparan dan akuntabel. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, banyak faktor-faktor yang menyebabkan peranan Notaris/PPAT yang diangkat oleh negara, menjalankan fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat publik di bidang hukum perdata, tetapi berada diluar sistem pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan demikian dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Pemerintah belum memperhatikan pemberian honorarium/gaji bulanan dan uang pensiun, hal ini secara psikologis berdampak mengganggu peran dan fungsi Notaris/PPAT sebagai pelayanan publik; 2. Notaris/PPAT yang selama ini dipahami oleh masyarakat memiliki peran dan fungsi sama, sesungguhnya dalam praktek kewenangannya berbeda. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, sedangkan PPAT, secara limitatif kewenangannya hanya mengenai perbuatan hukum yang berobyek tanah. 3. Pengangkatan PPAT masih menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37/1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Semestinya, seseorang yang sudah diangkat menjadi Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dengan sendirinya merangkap menjadi PPAT, namun BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini, dengan dalih kewenangan Notaris dengan PPAT itu berbeda domainnya. Padahal kedudukan Undang-Undang itu lebih tinggi dibandingkan dengan PP, berlaku asas lex superior derogat legi inferior (Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi). 4. Anomali kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh negara menggunakan lambang negara, tetapi tidak termasuk sistem pemerintahan di Indonesia, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. 5. Sulitnya pemerintah memberikan izin praktek kepada Notaris di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, meski sudah memenuhi syarat masa kerja lebih dari tiga tahun. 6. Tingginya biaya peralihan hak (jual beli) yang dikenakan kepada pajak penjual dan pajak pembelian yang disebut BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) masing-masing sebesar 5% (lima persen) setelah BPHTB dikurangi NJOPTKP (Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak), masing-masing daerah NJOPTKP-nya berbeda-beda, ditambah biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya-biaya lain yang mengakibatkan masyarakat menganggap jasa Notaris/PPAT itu terlalu mahal. 7. Penerbitan Sertipikat baik dari kepemilikan girik atau dari kepemilikan akta jual beli biayanya terlalu mahal dan memerlukan proses yang cukup lama. 1.3. Pembatasan Masalah Setelah mencermati dengan saksama dan sungguh-sungguh ruang lingkup masalah sebagaimana telah diutarakan diatas, peneliti dapat merumuskan masalah-masalah yang dapat diformulasikan kedalam pembatasan masalah. Penelitian ini membedah fungsi Notaris/PPAT yang diangkat oleh negara sebagai pejabat umum untuk melayani masyarakat yang melaksanakan sebagian tugas dari negara di bidang hukum perdata dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik. Tetapi menariknya, meski Notaris diangkat oleh negara diberikan kewenangan menggunakan Lambang Negara, tetapi Notaris berada diluar sistem pemerintahan, Notaris tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan tidak dimasukkannya Notaris dalam sistem pemerintahan Indonesia, mengakibatkan pemerintah mengabaikan hak-hak konstitusional Notaris yang selayaknya mendapatkan honorarium/tunjangan atau gaji bahkan pensiun di hari tua. Sulitnya Pemerintah memberikan Izin praktek kepada Notaris di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, meski sudah memenuhi syarat masa kerja lebih dari tiga tahun. Selain itu tingginya biaya peralihan hak (jual beli) yang dikenakan kepada pajak penjual dan pajak pembelian yang disebut BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) masing-masing sebesar 5% (lima persen) setelah dari BPHTB dikurangi NJOPTKP (Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak), masing-masing daerah NJOPTKP-nya berbeda, ditambah biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya-biaya lain yang mengakibatkan masyarakat menganggap jasa Notaris/PPAT itu terlalu mahal. Hal lain, penerbitan sertipikat dari girik atau dari akta jual beli terlalu mahal dan memakan waktu terlalu lama. 1.4. Perumusan Masalah Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kedudukan Notaris diluar sistem pemerintahan Indonesia, tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif ? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pemerintah tidak memperhatikan gaji/tunjangan atau pensiun kepada Notaris/PPAT di hari tua? 3. Sejauhmana peranan pemerintah terhadap pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT? 4. Sejauhmana peranan Notaris/PPAT dalam memberikan pelayanan publik terkait dengan kepengurusan Sertipikat dan perijinan lainnya terkait dengan tindaklanjut pembuatan aktanya? 5. Sejauhmana peranan pemerintah tentang pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT sebagai pelayanan publik dalam sistem pemerintahan di Indonesia? 1.5. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.5.1. Maksud Penelitian Maksud penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kedudukan Notaris berada diluar sistem pemerintahan Indonesia tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal Notaris mendapat pendelegasian kewenangan dari negara diangkat oleh negara untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik yang sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Selain itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya diberikan kewenangan menggunakan Lambang Negara. 1.5.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan kedudukan Notaris diluar sistem pemerintahan Indonesia, tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif . 2. Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah tidak memperhatikan gaji/tunjangan atau pensiun kepada Notaris/PPAT di hari tua. 3. Peranan pemerintah terhadap pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT. 4. Peranan Notaris/PPAT dalam memberikan pelayanan publik terkait dengan kepengurusan Sertipikat dan perijinan lainnya terkait dengan tindaklanjut pembuatan aktanya. 5. Peranan pemerintah tentang pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT sebagai pelayanan publik dalam sistem pemerintahan di Indonesia. 1.6. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat, baik untuk kalangan akademisi, praktisi maupun ruang lingkup pemerintahan itu sendiri yang menjadi obyek materia dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Akademisi Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi bagi ilmu pengetahuan pada umumnya di bidang Kenotariatan yang keberadaannya menarik untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut mengenai lembaga kemasyarakatan yang bernama Notaris dikaitkan dengan teori-teori tentang sistem pemerintahan, kualitas pelayanan publik serta bagi pengembangan ilmu pemerintahan khususnya yang menyangkut pemberian pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT. 2. Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi para penentu kebijakan pengangkatan Notaris/PPAT, ditandai dengan bertambahnya wawasan pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu Kenotariatan dan ke-PPAT-an, mengenai konsep-konsep pendelegasian kewenangan, peran negara, sistem pemerintahan dan kualitas pelayanan publik. Penelitian ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah, sehingga pada akhirnya dapat memposisikan peran Notaris/PPAT dalam sistem pemerintahan di Indonesia dengan tepat. Notaris yang berada diluar sistem pemerintahan Indonesia, bukan termasuk eksekutif, legislatif dan yudikatif, satu sisi memang sudah tepat, agar Notaris senantiasa dalam menjalankan tugas dan jabatannya bertindak mandiri dan tidak memihak. Sisi lain, Peran Notaris sebagai pelayan publik yang diangkat oleh negara berdampak psikologis, karena tiadanya penghargaan pemerintah kepada Notaris dengan memberikan uang pensiun di hari tua. Kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris sudah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, agar Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya senantiasa taat dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga kode etik yang mengatur mengenai kaidah moral yang harus ditaati dan dihormati dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab sudah diatur di dalam kode etik Notaris. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pemerintahan 2.1.1. Ilmu Pemerintahan Menurut Ndraha (2003: 7), Ilmu pemerintahan dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein. Berdasarkan definisi itu dapat dikonstruksikan ruang lingkup ilmu pemerintahan sebagai berikut: -yang diperintah; -pemerintah; -tuntutan yang diperintah (jasa publik dan layanan sipil); -hubungan pemerintahan; -pemerintah yang bagaimana yang dianggap mampu menggunakan kewenangan, menunaikan kewajiban, dan memenuhi tanggungjawabnya. -bagaimana membentuk pemerintahan yang demikian itu; -bagaimana pemerintah menggunakan kewenangan, menunaikan kewajiban, dan memenuhi tanggungjawabnya; -bagaimana supaya kinerja pemerintahan sesuai dengan tuntutan yang diperintah dan perubahan zaman?. Sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait mengkait satu sama lain. Dengan melihat dan menganalisis sistem dapat diketahui berfungsi atau tidaknya. Rusaknya salah satu bagian dari sistem akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri. Pemerintahan pada semua tingkatan pada dasarnya adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, organisasi atau lembaga merupakan sistem yang dinamis yang senantiasa mengalami perubahan. Untuk menjaga kestabilan sistem dalam menghadapi perubahan diperlukan pemahaman terhadap kedudukan dan fungsi masing-masing sistem. Berkaitan dengan sistem, “sistem” pada sistem pemerintahan nasional perlu dipahami kedudukan dan fungsinya agar terjadi keharmonisan bangsa yang dinamis didasarkan pada asas saling percaya. Pemerintahan adalah bisnis kepercayaan, oleh karena itu perlu terus menerus dibangun rasa saling percaya antar komponen bangsa. Berkaitan dengan kepercayaan (trust), Fukuyama (2002) mengingatkan bahwa untuk membangun sebuah bangsa yang maju diperlukan kondisi saling percaya yang tinggi (high trust). Menurut Prajudi (1973:11), sistem adalah suatu jaringan daripada prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan atau fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan. Sistem-sistem dapat dibedakan menjadi: a. Sistem-sistem alamiah; b. Sistem-sistem buatan. Namun ada pula pembagian menjadi: 1. Sistem tertutup (sebuah sistem yang didalamnya tidak ada hubungan antara sistem tersebut dengan lingkungannya). 2. Sistem terbuka (sebuah sistem yang berhubungan dengan lingkungannya). Selain itu sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni tata jenjang dan fungsi. Menurut sudut pandang tata jenjang sistem bersifat hierarkis mulai dari suprasistem sampai sub-subsistem yang terkecil. Menurut Ryass (2000:28), ada tiga komponen besar yang menjadi bagian dalam menjalankan sebuah sistem pemerintahan yaitu: 1. Aturan main dari sistem pemerintahan tersebut, baik konstitusi yang terbentuk, penegakan hukum yang jelas, dan pola-pola pengembangan etika pemerintahan; 2. Lembaga-embaga yang menjalankan sistem pemerintahan yang berwenang melaksanakan aturan main yang berlaku; 3. Pelaku yang menjadi aktor utama dalam menjalankan sistem pemerintahan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kewenangan-kewenangan yang melekat pada lembaga-lembaga yang mewadahi. Suatu sistem pada tingkat pertama memerlukan aturan main tentang proses dan prosedur pengambilan keputusan yang disepakati. Sekali aturan main ditetapkan, semua pihak harus tunduk kepadanya, senang atau tidak senang. Inilah yang disebut sebuah sistem. Sebagai konsekuensi dari adanya aturan main yang disepakati, diterima, dan harus ditaati itu, diperlukan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas yang cukup untuk melaksanakan aturan main tadi, serta mengawasi perilaku dari pihak-pihak yang dirujuk oleh aturan itu untuk mematuhinya. Bicara tentang lembaga, pada umumnya orang sependapat bahwa organisasi atau lembaga merupakan sebuah sistem yang dinamis yang senantiasa mengalami perubahan dan sebagai sebuah reaksi atas lingkungan yang dengan cepatnya berubah sehingga berpengaruh secara langsung terhadap aturan main dan perubahan kultur dari para pelaku atau yang menjalankan sistem tersebut. Kembali ke organisasi atau lembaga yang dimaksud bahwa masalah yang dihadapi dalam sebuah sistem dipengaruhi oleh bagaimana caranya mengubah organisasi yang ada sekarang menjadi organisasi masa depan. Sistem yang baik dipengaruhi oleh organisasi yang baik. Sebuah organisasi yang baik harus memiliki pola adaptasi atau perubahan yang sangat cepat mengikuti perkembangan yang ada sehingga kalau perlu sebuah organisasi telah mendesaian diri menjadi organisasi yang lebih maju pada sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Menurut Soepomo dalam Adnan Buyung Nasution (2001:91), Hubungan antara Negara dan masyarakat betul-betul identik negara tidak dapat dilihat terlepas dari masyarakat dan masyarakat tidak dapat dilihat lepas dari Negara. Negara tidak lebih dari masyarakat yang ditata, dijaga ketertibannya, diperintah atau dikendalikan oleh negara. Negara benar-benar bersifat totaliter karena mencakup semua bidang dalam masyarakat tanpa pengecualian. Soepomo menjelaskan hubungan ini sebagai berikut: “Menurut pengertian negara” yang integralistik, sebagai bangsa yang teratur, sebagai persatuan rakyat yang tersusun, maka pada dasarnya tidak ada dualisme “staat dan individu”, tidak akan ada pertentangan antara susunan staat dan susunan hukum individu, tidak akan ada dualisme “staat und staatfreir Gesellchaft” (negara dan masyarakat bebas dari campur tangan negara). (Yamin, I, 1959:114). Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris berdasarkan Pasal 3 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 (duapuluh tujuh) tahun; d. Sehat Jasmani dan Rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e. Berijasah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (duapuluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Berdadasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, kewenangan Notaris sebagai berikut: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan Petetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewajiban Notaris diatur di dalam pasal 16 UUJN sebagai berikut: 1. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; 2. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol; 3. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta; 4. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; 5. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; 6. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; 7. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; 8. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut waktu urutan pembuatan akta setiap bulan; 9. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang Kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; 10. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; 11. mempunyai cap stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; 12. membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; 13. menerima magang calon Notaris. Sementara larangan Notaris diatur di dalam pasal 17 UUJN sebagai berikut: 1. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; 3. merangkap sebagai pegawai negeri; 4. merangkap jabatan sebagai pejabat Negara; 5. merangkap jabatan sebagai advokat; 6. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; 7. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; 8. menjadi Notaris Pengganti;atau 9. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Kode Etik Notaris adalah: ”seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut ”perkumpulan” berdasar keputusan Kongres perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para pejabat sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.” Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Tentang Peraturan Jabatan PPAT, Perbuatan Hukum PPAT sebagai berikut: a. Jual beli; b. Tukar-menukar; c. Hibah; d. Pemasukan kedalam Perusahaan (inbreng); e. Pembagian Hak bersama; f. Pemberian HGB atau HP diatas HM; g. Pemberian Hak Tanggungan; h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Menurut Natsir masih dalam Adnan Buyung Nasution (2001: 107), negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi. Natsir beranggapan bahwa negara merupakan lembaga, sebuah organisasi yang mempunyai tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum. Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga: Pendidikan, ekonomi, agama, politik, keluarga, perdagangan, dan sebagainya. Negara mencakup keseluruhan masyarakat dan semua lembaganya; Negara mempersatukan lembaga-lembaga ini didalam sistem hukum, mengatur bagian-bagian masyarakat yang berbeda-beda itu. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan dan hukumnya; tujuannya ialah untuk membimbing dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu Natsir menyimpulkan, penegasan Ibnu Chaldun benar bahwa arti negara dalam hubungannya dengan masyarakat seperti bentuk (aradh) dalam hubungannya dengan isi (jauhar). Kedua hal itu tak dapat dipisah-pisahkan. Karena itu negara seharusnya berakar dalam masyarakat, dan dasar negara seharusnya dianggap bukan sekedar sebagai falsafah negara tetapi juga sebagai falsafah kehidupan, sebuah falsafah yang dijalankan sehari-hari, yang akan membentuk manusia sebagai pribadi maupun secara kolektif (Risalah, 1975/V:359-360). Gejala dan peristiwa pemerintahan dikaji oleh sejumlah disiplin ilmu pengetahuan menjadi spesialisasi masing-masing, bergerak dari obyek forma Ilmu Pengetahuan. Ini yang dinamakan pendekatan lintas (trans) disiplin. Misalnya, tatkala Sosiologi mempelajari gejala pemerintahan, lahirlah subdisiplin Sosiologi yang baru, yaitu sosiologi pemerintahan, sejajar dengan spesialisasi-spesialisasi sosiologi yang lain seperti sosiologi politik, sosiologi bahasa, sosiologi industri, sosiologi hukum, dan sebagainya. Oleh ilmu pemerintahan, sosiologi pemerintahan bisa juga diklaim sebagai subdisiplin ilmu pemerintahan, bergantung pada siapa produsernya. Dilihat dari sudut epistemologi, pendekatan lintas disiplin itu amat penting. Studi yang mempergunakan pendekatan ini bisa menghasilkan disiplin baru, minimal kajian baru, hybridized discipline. Memang selain terra incognita, daerah perbatasan dan kawasan lintasan ilmu-ilmu merupakan sasaran imajinasi dan obsesi para pemburu ilmu pengetahuan (researcher), berupa situs misterius yang menantang untuk di eksplorasi. Pada gilirannya, hibrida-hibrida itu berkembang dan melepaskan diri dari bayang-bayang induknya, untuk kemudian menjadi disiplin baru. Pada saat itu, Ilmu Pemerintahan berkembang membentuk sebuah masyarakat Ilmu-Ilmu Pemerintahan (bestuurswtenschappen). Gejala sosial, manusia adalah makhluk sosial. Ia adalah pelaku proses sosial. Proses sosial meliputi proses assosiatif (dekat mendekati) dan proses dissosiatif (jauh menjauhi). Dilihat dari sudut pelaku, mendekati yang satu dapat berarti menjauhi yang lain. Proses sosial merupakan rangkaian, keadaan, atau peristiwa. Kejadian, keadaan atau peristiwa tersebut dapat diamati melalui kenampakannya(appearance). Yang tampak dan dapat diamati pada atau dialami melalui, sesuatu hal (kejadian, keadaan, peristiwa) disebut gejala atau fenomena (tunggal phenomenan, jamak phenomena). Hal-hal yang dapat menggejala dapat dibedakan dengan hal-hal lain yang merupakan thing-in-itself atau ding-an-sich. Sudah barang tentu, gejala yang berulang-ulang atau terdapat dimana-mana (universal) itulah yang dapat diamati secara leluasa, gejala yang sekali lalu, tidak. Dengan demikian, gejala sosial adalah bidang kajian yang maha luas. Ia menjadi sasaran kajian (obyek ilmu-ilmu) humaniora. Gejala pemerintahan adalah gejala sosial khusus (spesifik). Identifikasi gejala pemerintahan berawal dari definisi pemerintahan dan ilmu pemerintahan. Pemerintahan adalah proses pemenuhan (penyediaan) kebutuhan pihak yang diperintah akan jasa publik yang tidak di privatisasikan dan layanan civil kepada setiap orang pada saat diperlukan. Jadi pemerintahan selalu menyangkut kedua belah pihak, pemerintah (dengan kekuasaannya) dengan yang diperintah (dengan tuntutannya). Lembaga yang didesain khusus yang berkewajiban memenuhi kebutuhan yang dimaksud disebut pemerintah (unit kerja publik). Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari semua aspek pemenuhan kebutuhan itu dalam hubungan pemerintahan. Pemenuhan kebutuhan itu terlihat melalui berbagai kegiatan, peristiwa, kejadian, atau keadaaan. Hal-hal yang dapat diamati dan dialami berkaitan dengan kegiatan, kejadian, peristiwa, dan keadaan yang dimaksud, dianggap sebagai gejala pemerintahan. Gejala pemerintahan itulah yang menjadi sasaran kajian atau obyek penelitian ilmu pemerintahan. Gejala dan peristiwa pemerintahan menurut Von Bertalanffy di dalam Sadu Wasistiono (2013: 1), baik sebagai ilmu (knowledge) maupun sebagai kemahiran (know-how) dewasa ini semakin banyak diminati orang untuk dipelajari dan didalami baik di Indonesia maupun di mancanegara. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya literatur yang secara khusus membahas pemerintahan, yang terlepas dari bayang-bayang kajian politik ataupun administrasi publik. Dari berbagai literatur tentang pemerintahan yang ada diperoleh pemahaman bahwa pemerintahan adalah sebagai sebuah sistem yang dinamis. Dilihat arah sistem sebagaimana dikemukakan oleh Bertalanffy, pemerintahan dapat dikategorikan ke dalam socio cultural system. Sebagai sebuah sistem dinamis, pemerintahan selain dianalis komponen-komponen pembentuk sistemnya, perlu pula dipelajari interaksinya dengan lingkungan (environment) baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternalnya. Dinamika yang terjadi dalam sistem pemerintahan justru seringkali malah disebabkan karena adanya interaksi dengan lingkungannya. Apalagi dalam era teknologi komunikasi dan informatika seperti sekarang ini, telah menyebabkan perubahan lingkungan terjadi dengan sangat cepat dan sulit diprediksi. Penerapan ilmu pemerintahan bagi pembangunan di Indonesia, adalah merupakan fungsi sosial dari ilmu pemerintahan, mengembangkan ilmu pemerintahan melalui prioritas penelitian dan pengembangan, hendaknya dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat, penetrasi global telah menyentuh tanpa mengenal marjin masuk mempengaruhi dinamika kehidupan manusia dan alam. Dalam mempelajari ilmu pemerintahan perlu dipertahankan Epistemologi, yaitu bagaimana cara kita mendapat pengetahuan. Selanjutnya hakekat apa yang dikaji (Ontologi), dan aksiologi yaitu nilai kegunaan ilmu yang dipelajari. Manusia sebagai Homo Sapiens diberikan kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk membuat rencana, melaksanakan dan proses lainnya, dengan mempergunakan alat itu karena adanya kemampuan dari pengetahuan yang dimilikinya. Penguasaan sarana berpikir ilmiah merupakan suatu hal bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan, tanpa penguasaan hal tersebut maka kegiatan ilmiah yang baik tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik. Berpikir ilmiah dalam proses pendidikan merupakan bidang studi tersendiri yang berarti kalau kita mempelajari pemerintahan sebagai salah satu cabang ilmu sosial, dalam hal ini kita perlu meperhatikan dua hal sebagai berikut: 1) Sarana ilmiah yang merupakan bukan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Sebagaimana kita ketahui karakteristik ilmu adalah antara lain penggunaan berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. 2) Tujuan mempelajari sarana ilmiah yaitu untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk memecahkan masalah, terutama ilmu pemerintahan untuk memecahkan masalah-masalah praktek dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ilmu pemerintahan pada awalnya membangun dan berkembang sebagai ilmu, melalui perkembangan yang mempergunakan hasil studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial, secara bertahap ilmu pemerintahan menyusun landasan sendiri, cara pendekatan sendiri, dan metodologi tersendiri dalam meneliti dan menghayati aktivitas pemerintahan, atau gejala-gejala proses kegiatan pemerintah. Menurut Max Weber (1921) ada tiga jenis kewenangan yakni: a. Tradisional; b. Kharismatik; c. Rasional. Kewenangan tradisional tercipta karena adanya tradisi-tradisi tertentu yang dipelihara sehingga seseorang atau suatu lembaga secara tradisional diberi kekuasaan yang sah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kewenangan tradisional banyak ditemui pada sistem sosial yang masih sederhana atau lembaga-lembaga yang dibangun sejak jaman dahulu. Kewenangan kharismatik terbentuk karena adanya seseorang yang memiliki keunggulan, baik fisik, kecerdasan, psikis, maupun metapsikis kemudian memperoleh pengakuan dari orang lain. Kewenangan rasional terbentuk karena adanya dasar hukum yang mengaturnya. Dikalangan pemerintahan yang digunakan adalah kewenangan rasional. Seorang pejabat melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan publik karena yang bersangkutan diberi mandat oleh peraturan perundang-undangan. 1. Pemberian pelayanan disini dimaksudkan bahwa pemerintah sebagai public servant yang tugas utamanya memberi pelayanan kepada rakyatnya. Terlebih lagi pada negara demokrasi berkedaulatan rakyat dimana kedaulatan memang berada ditangan rakyat. Jenis-jenis pelayanan yang diberikan pemerintah meliputi: a. Pelayanan pertahanan, yakni mencegah serangan dari luar maupun dari dalam yang dapat mengancam eksistensi negara; b. Pelayanan hubungan dengan lain negara dan dunia internasional; c. Pelayanan keamanan dan ketertiban; d. Pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, fasilitas umum dan sebagainya; e. Pelayanan pemenuhan kebutuhan pengembangan sesuai potensi masyarakat; f. Pelayanan administrasi berupa ijin, surat keterangan, dokumen-dokumen dari negara seperti paspor dan sebagainya; g. Pelayanan residual sesuai kebutuhan masyarakat secara spesifik. Prinsipnya tidak boleh ada kekosongan pelayanan publik. Adapun ciri khas dari ilmu pemerintahan yang dapat diproses penilaiannya secara terus-menerus yaitu: 1. Berkaitan dengan kekuasaan yang sah (kewenangan); 2. Melingkupi kepentingan orang banyak/masyarakat luas; 3. Berkaitan dengan pemberian pelayanan pada masyarakat luas; 4. Syarat dengan nilai-nilai. 5. Dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah empirik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1 . Desain Penelitian Denzin dan Lincoln (1994:2) dalam Emzir mengemukakan definisi penelitian kualitatif sebagai berikut: Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study in their natural setting, attempting to make sense of or interpret phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of variety of empirical materials-case stydy, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts-that describe routine and problematic moment and meaning in individuals’ lives. Definisi ini menyarankan suatu pendekatan a priori yang didasarkan pada asumsi filosofis (pendekatan naturalistis interpretatif) pada penelitian kualitatif dan sumber-sumber informasi jamak dan pendekatan naratif yang tersedia bagi peneliti. Sementara itu Crewell mengemukakan masih dalam Emzir (2010:1) mendefinisikan penelitian kualitatif yang kurang bertumpu pada sumber-sumber informasi, tetapi membawa ide-ide yang sama: Qualitative research is an inquiry process of undersanding based on distinct methodological traditions of inguiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting. Creswell menekankan suatu gambaran yang “kompleks dan holistik”, suatu rujukan pada naratif yang kompleks yang mengajak pembaca kedalam dimensi jamak dari sebuah masalah atau isu dan menyajikannya dalam semua kompleksitasnya. Sementara itu menurut Lodico, Spaulding, dan Voegtle masih dalam Emzir (2010:2), penelitian kualitatif, yang juga disebut penelitian interpretatif atau penelitian lapangan adalah suatu metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan anthropologi dan diadaptasi ke dalam seting pendidikan. Peneliti kualitatif menggunakan metode penalaran induktif dan sangat percaya bahwa terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan. Penelitian kualitatif berfokus pada fenomena sosial dan pada pemberian suara pada perasaan dan persepsi dari partisipan dibawah studi. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa pengetahuan dihasilkan dari seting sosial dan bahwa pemahaman pengetahuan sosial adalah suatu proeses ilmiah yang sah (legitimate). Desain Penelitian atau Rancang Bangun Penelitian, adalah rencana dan struktur penyelidikan yang disusun demikian rupa sehingga peneliti akan memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. Rencana itu merupakan skema menyeluruh yang mencakup program penelitian. Disini terangkum paparan mengenai hal-hal yang akan dilakukan oleh peneliti mulai dari penulisan hipotesis dan implikasi operasional hipotesis tersebut, sampai pada analisa terhadap data. Adapun struktur penelitian lebih sulit dijelaskan, karena “struktur” menjadi konsep yang semakin penting jika kita melanjutkan kajian, marilah kita berhenti sejenak untuk mengupayakan suatu definisi dan penjelasan singkat. Suatu struktur adalah kerangka, pengaturan, atau konfigurasi unsur-unsur struktur itu yang terhubungkan dengan cara-cara jelas serta tertentu. Cara terbaik untuk menyatakan struktur ialah menuliskan persamaan matematik yang merelasikan bagian-bagian struktur tersebut antara satu dengan lainnya. Persamaan matematik seperti itu, karena term-termnya didefinisikan dan dihubungkan secara spesifik oleh persamaan itu, atau sehimpun persamaan, tidaklah bersifat taksa (ambigu). Pendek kata struktur adalah paradigma atau model relasi-relasi antara variabel-variabel dalam suatu kajian. Suatu desain penelitian mengungkapkan struktur masalah penelitian maupun rencana penyelidikan yang digunakan untuk mendapatkan petunjuk empirik mengenai relasi dalam masalah tersebut. Kegunaan desain penelitian mempunyai dua maksud atau kegunaan mendasar: (1) Menyediakan jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (2) Mengontrol atau mengendalikan varian. Desain membantu peneliti mendapatkan jawab untuk pertanyaan penelitian dan juga membantu peneliti mengontrol varian-varian eksperimental, varian ekstra, dan varian galat pada suatu masalah penelitian tertentu yang sedang dikaji. Karena seluruh kegiatan penelitian boleh dikata mempunyai maksud dan tujuan menyediakan jawab untuk pertanyaan penelitian, kita dapat melewatkan saja kegunaan ini dan dapat menyebut-nyebutnya dalam pembicaraan. Maka dapatlah kita katakan sekarang bahwa desain penelitian mempunyai maksud dan kegunaan besar, yaitu: mengontrol varian. Akan tetapi, penyempitan seperti ini dapat pula berbahaya. Desain penelitian dibuat untuk menjadikan peneliti mampu menjawab pertanyaan penelitian dengan sevalid, seobyektif, setepat, dan sehemat mungkin. Desain penelitian disusun dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan agar dapat menghasilkan petunjuk empirik yang kuat relevansinya dengan masalah penelitian ( Kerlinger, 2006: 483-485). DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003. Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966. Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987. Garna, Judistira. Pemikiran Modern dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Primaco Akademika, 1997. Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968. Kusumaatmadja Mochtar dan Ett R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003. Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993. Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001. Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989. Soemantri Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1982. Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993. Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Tobing, G.H.S Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga, 1983. Panduan Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. Panduan Sosialisasi Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬___________. Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris. UU No. 30, LN No. 117 Tahun 2004, TLN No.4432. ___________. Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi. UU No. 24, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No.4316. ___________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389. ___________. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No.39, LN No. No. 3886. ____________. Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial. UU No.22, LN No. 89 Tahun 2004, TLN No. 4415. ____________. Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU No.8 LN No. 44 Tahun 1985, TLN No. 3298. ____________. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 35. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. ____________. Undang-Undang Tentang Bank Indonesia. UU No.3, LN No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357. C. KEPUTUSAN MPR RI Indonesia. Keputusan MPR RI No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002 Lembaran Lepas 2002. D. PERATURAN PEMERINTAH Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Penggunaan Lambang Negara, PP No. 43 Tahun 1958 LN No.71 Tahun 1958, TLN 1636. E. PERATURAN MENTERI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia no. M.02.PR.08.10 Tahun 2002. F. KEPUTUSAN MENTERI Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Pembinaan Notaris. Kepmen Kehakiman Republik Indonesia no. M.04- HT.03.10 Tahun 1998. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Kenotarisan. Kepmen Kehakiman Republik Indonesia no. HT.01.HT.03.10 Tahun 2003. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Formasi Notaris di Seluruh Indonesia. No. M. 01-HT.HT.03.01 Tahun 2004. G. SURAT EDARAN Surat dari Presiden Union Internacional Del Notariado Latino(UINL), yang dikirimkan kepada Harun Kamil, S.H. selaku Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 4 September 2002, tentang keharusan adanya satu wadah tunggal organisasi profesi Notaris, di Negara yang berbentuk Kesatuan. Rome: 2002. H. KEPUTUSAN KONGRES INI Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Ikatan Notaris Indonesia (INI). Jakarta: 2005, Sekretariat PP-INI. Kode Etik Notaris Indonesia. Jakarta: 2005, Sekretariat PP-INI. Keputusan Kongres Luar Biasa INI tentang Penyesuaian Anggaran Dasar INI Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Januari di Bandung 2005, Jakarta: Sekretariat PP-INI,2005. Keputusan Kongres Ke-XIX INI di Jakarta tanggal 27-28 Januari 2006, Jakarta: Sekretariat PP-INI,2006. I. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 2 Desember 2005 tentang Perkara Hak Uji Materiil antara HNI, PERNORI dan ANI melawan Pemerintah c.q Menkeh dan HAM RI c.q. Dirjen AHU Jakarta: 2005.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19