Selasa, 27 Desember 2016

Jika Nikah Siri Dipidanakan


                                   Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta;                                                                    Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang;                                           Dosen Fakultas Universitas Jayabaya, Jakarta.

         Enam tahun lalu, tepatnya pada tahun 2010 publik dihebohkan pemberitaan kontroversi mengenai legal tidaknya nikah siri dapat dipidanakan. Bagi kalangan perempuan terutama yang duduk di parlemen tentu geram melihat sepak terjang banyaknya laki-laki yang menikah lagi dengan alasan sunah nabi, padahal syarat-syarat untuk menikah kedua, ketiga dan seterusnya tidak terpenuhi, seperti tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya. Besar kemungkinan anggota parlemen dari kalangan Srikandi akan memuluskan menyetujui draft RUU Nikah siri menjadi undang-undang untuk memidanakan suami-suami menikah siri. Sisi lain, anggota Parlemen dari kalangan Pria, kuat dugaan akan menolak habis-habisan RUU tersebut, karena menganggap membatasi hak asasinya. Kedudukan hukum nikah siri memang sangat menarik untuk diteliti, dikaji, dianalisa dengan saksama, secara terintegrasi dan komprehensif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (ius constitutum), maupun secara hukum Islam (dalil naqli) bagi warga Negara Indonesia yang tunduk dan taat pada hukum Islam. Yang menarik, pemidanaan nikah siri ini diobsesikan akan mendapatkan dukungan penuh dari kalangan anggota parlemen perempuan, srikandi-srikandi senayan tentu tidak mau menjadi korban suaminya menikah lagi. Ironisnya, sisi lain, wanita non parlemen yang dinikahi siri, justru merasa berbahagia, nikah siri baginya dianggap berkah. Kemauan nikah siri bagi kaum wanita pada umumnya banyak faktor kepentingannya, misalnya, menyukai pria yang berjabatan dan harta yang berlimpah tetapi tidak peduli, soal rupa, usia senja, apalagi yang namanya cinta. Tetapi bagi kaum laki-laki nikah siri dianggap suatu kebutuhan dan kepuasan, apalagi jika ekonominya sudah mulai mapan, maka bisikan nikah siri terngiang kuat ditelinga kaum laki-laki pada umumnya untuk melaksanakan hasrat “sunah nabi” itu. Umumnya laki-laki merasa kurang puas hanya memiliki seorang istri. Pendapat tersebut pada umumnya, artinya nikah siri bagi kaum wanita tidak mutlak selalu dilandasi oleh faktor-faktor negatif semata, tentu ada pengecualian bagi kaum wanita yang memiliki jiwa shalehah, baginya melaksanakan nikah dibawah tangan (siri), tetap tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kepada sang suaminya. Sebagaimana kita ketahui hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini ada tiga yaitu, hukum positip, hukum Islam dan hukum adat. Semuanya hukum tersebut menjadi living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah masyarakat, keberadaannya perlu diakui, dijunjung tinggi dan dihormati, tidak boleh hukum antar tata hukum saling berbenturan satu sama lain, sehingga mengakibatkan perpecahan antar umat. Pasal 143 RUU Nikah Siri yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antar dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta. RUU yang mengatur sanksi bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan untuk melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus nikah siri. Tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus. Sebab selama ini anak-anak maupun istri-istri hasil nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum. Namun pemberlakuan pemidanaan nikah siri ini jelas tidak tepat selain melanggar Alqur’an juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nikah siri ini hanya soal tidak tertib administrasi saja sehingga dampaknya anak-anak dan suami atau istri tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Pernikahan sudah dilakukan dengan memenuhi syarat nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan. Namun pernikahan ini belum dicatat, sehingga tidak memiliki akta perkawinan. Kedudukan akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak memiliki bukti otentik inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki hubungan perdata. Apakah legal memidanakan Nikah Siri?. Marilah menyimak dengan saksama Firman Allah SWT dalam Alqur’an Surat An Nisaa: 3 yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berangkat dari Firman Allah SWT Surat AN Nisaa sebagaimana tersebut diatas, jelas pemidanaan nikah siri dalam konteks sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Selain dalil naqli yang kuat sebagaimana tersebut diatas pemidanaan nikah siri juga tidak mendapatkan ruang didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai saat ini masih berlaku. UUP (undang-Undang Perkawinan) Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Yang menjadi masalah besar karena perkawinan siri tidak dicatatkan maka secara hukum perdata, baik suami/istri atau anak-anaknya tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, dengan pengakuan yang dilakukan oleh seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Bedakan Pasal 43 UUP yang menyatakan bahwa, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya pasal tersebut menyatakan untuk anak luar nikah bagi ibunya tidak perlu mendapat pengakuan, dengan sendirinya anak luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun untuk bapak agar anak memiliki hubungan perdata tetap harus mendapat pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU. No. 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 8/2011, tentang Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 1. menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 3. memutus pembubaran partai politik; 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : UUD 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. . Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris. Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat. Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya. Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris. Dengan putusan MK tersebut diatas jelas anak luar kawin selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya juga dengan bapak atau keluarga bapaknya. Dengan demikian gugurlah pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 43 UUP tersebut diatas. Dalam konteks Islam menikah untuk kedua, ketiga dan keempat kalinya memang dimungkinkan sepanjang laki-laki itu dapat berlaku adil pada istri-istrinya, dan tentu saja mendapat persetujuan istrinya. Akan tetapi bagi yang tidak dapat berlaku adil maka lebih baik cukup satu saja. Perbedaan Asas Perkawinan menurut Hukum Perdata dengan UU. No. 1 Tahun 1974 Sebagai perbandingan asas Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah monogami mutlak sebagaimana dipersepsikan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Maksud pasal ini suami atau istri baru dapat menikah untuk kedua kali dan seterusnya, jika salah satu pasangannya terjadi cerai hidup atau cerai mati. Hukum perdata memandang soal perkawinan hanya memiliki hubungan-hubungan perdata (Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dilihat dari sudut pandang UUP (Undang-Undang Perkawinan) asas perkawinan juga monogami, tetapi monogami pengecualian, dipersepsikan pasal 3 ayat (1) :”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Pasal 3 ayat (2): “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Berbeda dari sudut pandang kitab undang-undang hukum perdata, tujuan perkawinan menurut UUP pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan abadi berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa”. Jadi perkawinan menurut UUP ada unsur religiusnya yang berorientasi nilai-nilai Ketuhanan, untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah dalam naungan dan ridho Allah SWT. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dipandang memiliki hubungan-hubungan bersifat keperdataan saja. Syarat Menikah untuk kedua kali dan seterusnya Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“ Kesimpulan Sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang partikulatif tidak memungkinkan pemidanaan bagi pelaku nikah siri, selain melanggar Firman Allah SWT dalam Surat AN NISAA:3 sebagaimana tersebut diatas juga melanggar Undang-Undang Perkawinan itu sendiri sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Minggu, 17 Juli 2016

Jangan Biarkan DPD Selamanya Menelan “Pil KB”




Oleh WARSITO, S.H., M.Kn.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta

Jabatan Fungsional: LEKTOR

 


           Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipersepsikan publik  “antara ada dan tiada”, tetapi kenyataannya mandul untuk memutuskan undang-undang, itu sama saja MPR melalui produk konstitusinya merestui menyuruh DPD selamanya menelan “PIL KB”. DPD adalah lembaga negara hasil perubahan undang-undang dasar 1945, sebelum melakukan perubahan UUD 1945  MPR terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum pada sidang istimewa tahun 1998, Ketetapan MPR tersebut dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Fungsi referendum tersebut justru mempermudah tata alir perubahan konstitusi itu sendiri, sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi dari masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang  sepenuhnya diserahkan kepada MPR tidak sepenuhnya tepat, 2007 lalu dipertontonkan para anggota majelis yang telah memberikan usulan dukungan amandemen, kemudian  secara sepihak menarik kembali. Sayang Ketetapan MPR tentang referendum tersebut, telah dicabut oleh MPR berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
           Dengan dicabutnya TAP MPR tentang referendum tersebut,kuasa  rakyat sudah tidak dapat lagi mengontrol tindakan majelis apabila UUD 1945 hendak dilakukan perubahan. Sebaiknya Ketetapan MPR tentang referendum itu, tidak perlu dicabut, mengingat fungsi  referendum itu  dapat sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu sendiri. Referendum tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Berbeda, jika referendum belum dicabut ternyata rakyat menyetujui usulan DPD untuk memperkuat kelembagaannya, maka MPR wajib melakukan perubahan konstitusi. Kuasa  rakyat harus diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan esensi dari makna sebuah konstitusi sebagai staatfundamentalnorm ( norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, artinya Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, (baca: TAP MPR), tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (baca: UUD 1945).
      Kini anggota DPD sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories di dalam ketatanegaraan, konstitusi membiarkan sengaja‘selamanya DPD dipaksa menelan  “pil KB” sehingga tidak dapat melahirkan produk yang bersifat mengatur (regelling) kepada rakyat. DPD tidak diberikan kewenangan yang memadai turut dalam pengambilan keputusan bidang legislasi, pengekangan fungsi DPD ini  tercermin di dalam pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Si bapaknya DPD ( baca: DPR) tidak bakalan marah terhadap sikap anaknya (baca: DPD), DPR punya kartu truf dialah  yang membidani kelahirannya, bapaknya menasehati kepada DPD ‘anakku sayang,: “sabar dulu jangan meminta amandemen sekarang tunggu saatnya 2009’ (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali), selesai 2009 tunggu 2014 dan seterusnya. Sebenarnya ayahnya sadar (baca: DPR) bahwa amandemen yang melahirkan DPD teramputasi tersebut adalah "penganiayaan kelembagaan DPD". Bisakah DPR bersikap ksatria mengakui kesalahan dengan memberikan dukungan amandemen kelima UUD 1945?.
          Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seseorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant, atau sebaliknya politik yang determinant. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan  dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung ataupun tidak langsung, konstitusi itu pasti akan mudah bergejolak, karena tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
      DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan di dunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa kini anak tersebut sadar, dan menanyakan kepada orang tuanya untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini, kalau kelahiranku cacat fisik dan dibuat tidak berdaya, kira-kira begitu gerutuan DPD.
      Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dibuat terbatas seperti itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota agar dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: pasal 37 UUD 1945), hal demikian perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, adalah sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pelemahan DPD di konstitusi tersebut sudah terstruktur dan menyebar ke dalam pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 anggota dan jumlah anggota DPR 560, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini bisa dianggap adil dan benar?. Sebagai contoh lagi pelemahan DPD di konstitusi yang bersifat terselubung adalah rumusan pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat” apakah muatan konstitusi tersebut disengaja atau tidak? Muatan konstitusi ini adalah sangat berbahaya sekali, bagi masa depan konstitusi, karena membuka peluang adanya interpretasi hukum yang bersayap, seharusnya rumusan yang tepat adalah ‘presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan/atau DPD’. MPR hanya menggunakan kaca mata kuda, karena sekedar memindahkan bunyi penjelasan UUD  yang bersifat normatif di masukkan kedalam pasal-pasal tanpa melihat terlebih dahulu bahwa telah ada lembaga legislatif yang bernama DPD. Kesimpulannya adalah, bahwa muatan konstitusi seperti itu memang  sengaja dibuat untuk  DPD,  agar tidak berdaya.
      Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amandemen kelima UUD, semua pihak wajib mendukung amandemen tersebut demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik untuk pembelajaran anak bangsa baik untuk sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, tahun 2007 ada pihak-pihak yang mempermainkan dengan menarik dukungannya kembali, seperti yang dilakukan oleh partai demokrat kemudian disusul oleh partai golkar, lagi-lagi DPD hanya pasrah dan dibuat tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas tentang pencabutan dukungan amandemen tersebut, baik di dalam peraturan perundang-undangan maupun di Tatib MPR sendiri. Dengan demikian terdapat rechtvacuum (kekosongan hukum), dan tidak ada kepastian hukum. Lebih celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan dukungan amandemen, dalam bentuk pengumpulan tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat layaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) sebagai peraturan mengikat yang wajib ditaati, dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu Perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan dan tata krama yang berlaku di ketatanegaraan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah kini, hanyalah dapat berdoa agar penguatan kelembagaannya bisa terwujud. Saatnya Dewan Perwakilan Daerah kini dapat meyakinkan kepada rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD ini bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ‘kantong’ DPD, tetapi lebih dari pada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah, dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Senin, 11 Juli 2016

Dapatkah MK Merubah Konstitusi?



.
Oleh  WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta, 
Alumni S2 Magister Kenotariatan UI
Jabatan Fungsional: LEKTOR



Ajaib Mahkamah Konstitusi (MK) berani memutus  Pilpres satu putaran, menjadikan  saya penasaran membuka-buka kembali buku Risalah Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002 terbitan Sekretariat Jenderal MPR (Cetakan: tahun 2008). Risalah amandemen ini menggunung satu paket yang terdiri dari sebelas buku, dicetak Sekretariat Jenderal MPR dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Mata saya terbelalak, tatkala  membaca tujuan pemberlakuan pasangan calon presiden dan wakil presiden menang satu putaran jika  mendapatkan suara lebih dari limapuluh persen dan sedikitnya dua puluh persen di lebih setengah propinsi, karena sebaran penduduk Indonesia yang tidak merata dimaksudkan agar Capres dan Cawapres tidak berkampanye hanya berpusat didaerah padat penduduk di kota-kota maju. Pertanyaannya, mengapa MK nekat merubah isi konstitusi yang bukan merupakan kewenangannya?.
Image result for gambar Gedung MK
Pilpres 9 Juli lalu sudah berakhir. Pandangan kita ketika itu tertuju pada sosok bangunan yang bernama MK sebagai gravitasi atau pusat pusaran organ-organ kelembagaan negara lainnya. MK bermagnet karena memiliki kewenangan yang paling spektakuler yaitu, menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum yang bersifat final dan mengikat. Salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi yang di lembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” MK dibentuk secara resmi pada tanggal 13 Agustus 2003, sejak dibentuknya lembaga tersebut sosialisasi gencar dilaksanakan.

Sekelumit Sejarah (Prelude) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Laica Marzuki (2006), dalam bukunya berjalan-jalan di ranah hukum, sesungguhnya, dalam rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945, telah muncul gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh. Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (Balai Agung) menjadi pula badan yang membanding, yakni, “..apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia atau hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.” Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (guna check and balances antar ketiga cabang kekuasaan). “Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.” (RM.A.B. Kusuma, 2004:229).
Sehubungan hal tersebut, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya Constitutioneelhof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di Zaman Weimar.”Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya,” kata Soepomo lebih jauh. Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin, Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja. Suardi Tasrif menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara inkonklusif (1971:197). “Neither Fish, nor fowl (bukan ikan, bukan daging),” kata Tasrif.
Dengan memerhatikan dan mencermati dengan saksama risalah BPUPKI mengenai perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Soepomo dengan Moh. Yamin tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa, peradilan Mahkamah Konstitusi (peradilan spesial/khusus) pada hakekatnya sudah didambakan oleh para perumus UUD 1945. Namun, mengingat kondisi negara ketika itu dalam keadaan darurat perang, kegiatan mempersiapkan kemerdekaan dan mengesahkan UUD 1945 lebih diprioritaskan, sehingga  badan dimaksud (Mahkamah Konstitusi) untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut. Kita dapat membaca pemikiran  para perumus UUD 1945 mengapa ketika itu tidak melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan badan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perumus UUD 1945  optimis dan menaruh harapan besar, kiranya  setelah Indonesia merdeka dalam kondisi negara yang damai dan tentram, akan ada anak-anak bangsa melakukan pengkajian konstitusi membentuk lembaga kekuasaan kehakiman dimaksud. Kini, 56 tahun yang lalu dambaan itu menjadi kenyataan dengan terwujudnya keberadaan  Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan secara konstitusional melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Sayangnya, MPR yang telah melahirkan MK, kini justru sering mengambil alih kemudi MPR. Padahal untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 itu kewenangannya  ada di lembaga negara yang bernama MPR (Pasal 3 dan  37 UUD 1945),  bukan domain MK. Tetapi dalam teori, ternyata MK menambahi kewenangannya sendiri menjadi purbawisesa dapat merubah konstitusi.
MK yang nekat memutuskan Pilpres satu putaran, membikin geger dan mengacaukan sistem ketatanegaraan. MPR sebaiknya ksatria mengakui bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden tidak diantisipasi terjadinya dua pasangan calon. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi membuat tafsir sekaligus putusannya yang justru melanggar UUD 1945 itu sendiri. Ini berarti secara teori Mahkamah sudah merubah UUD 1945 yang sesungguhnya kewenangan MPR.
Marilah kita menyimak dan memperhatikan dengan saksama Pasal 6A UUD 1945
Ayat (3): Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Ayat (4): Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Konstitusi yang ditulis didalam bahasa Indonesia itu sudah gamblang sekali, tidak ada penafsiran lain dalam hal pelaksanaan Pilpres. Sekalipun pelaksanaan Pilpres hanya diikuti dua pasang calon, harus melewati ayat (3) terlebih dahulu, agar terpilih satu putaran (first round)  mendapatkan suara lebih dari 50%, sedikitnya 20% suara di setiap propinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah propinsi. Jika ayat (3) tersebut tidak terpenuhi, berikutnya dilaksanakan pemilihan ulang sesuai ayat (4), dimana calon yang mendapatkan suara terbanyak dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Mengenai pasal 159 UU. No. 42 tahun 2008 yang diuji materikan ke MK itu, isinya persis turunan dari konstitusi kalau nggak mau dibilang nyontek, bedanya, cuma  sedikit tambahan antisipasi, jika sewaktu-waktu terjadi pasangan calon  memperoleh suara sama banyak akan dilakukan pemilihan ulang. Sedangkan di konstitusi jika tidak tercapai ayat (3) diwajibkan  dua putaran (scond round). Putusan MK justru melanggar UUD 1945, karena MK telah memutus melebihi kewenangannya. MK yang diberi kewenangan antara lain menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MPR , justru secara substantif  merubah konstitusi sendiri.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19