Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Jabatan Fungsional: LEKTOR
Ketika saya menginjakkan kaki pada tahun 2006 di Malaysia, saya dibuatnya tercengang dengan suguhan spanduk yang berseliweran di jalanan bertuliskan: “SAYANGILAH MALAYSIA dan SAYANGILAH KUALA LUMPUR!”. Sepanjang perjalanan saya membathin mengapa rakyat Malaysia begitu membanggakan negaranya dan begitu besar cintanya kepada negaranya? Dalam perjalanan dari Bandara menuju penginapan saya di Hotel Royal Bintang di Kuala lumpur, saya mengamati dengan saksama sepanjang perjalanan dinegara Malaysia dan kota Kuala Lumpur saya tidak menjumpai adanya pak OGAH, tidak adanya pedagang asongan yang berkeliling dijalanan (karena sudah direlokasi di China Town), dari sini saya dapat menyimpulkan bahwa Malaysia itu adalah negara kemakmuran. Satu lagi pemandangan berseliweran dijalanan yang saya lihat, warga Malaysia begitu membanggakan Produk dalam negerinya dengan mayoritas berkendara memakai mobil Proton. Berbeda dengan di Indonesia khususnya di Jakarta jalanan bagaikan neraka macetnya luar biasa disesaki mayoritas mobil-mobil mewah buatan luar negeri. Melihat gemerlap Jakarta yang berkendaraan mobil mewah seolah mencerminkan rakyat Indonesia itu sudah sejahtera ke tingkat kemakmuran, padahal sebaliknya, mayoritas penduduk Indonesia masih dapat digolongkan miskin jika dibandingkan Malaysia. Berbeda pemandangan di Indonesia, pedagang asongan menjamur diuber-uber dan dirazia oleh Polisi Pamong Praja, meski besoknya ketakutan tidak berjualan, tetapi ke esokan harinya datang lagi menjamur bak pepatah: "mati satu tumbuh seribu". Kenekatan ini semua akibat rakyat butuh makan dan untuk biaya sekolah anak-anak meski berjualan di jalanan resikonya dapat pentungan ketika dirazia. Hal lain, karena pemerintah Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyatnya.
Parlemen Malaysia Memperjuangkan Rakyat Soal Cabai Naik.
Ketika saya di Malaysia melihat Parlemen sedang bersidang ribut besar hanya masalah soal cabai naik. Kami bersama rombongan
Anggota DPD-RI studi banding ke Malaysia untuk RUU DKI Jakarta. Ketika kami berkunjung
ke Parlemen Malaysia di Putra Jaya, saya dibuatnya terperanjat kaget ketika
melihat jalannya persidangan parlemen Malaysia dalam suasana ribut dan berantam
hanya soal sepele mengenai harga cabe yang sedang meroket. Melihat jalannya sidang parlemen
di Malaysia ini saya teringat DPR kita yang justru antagonis kerjanya, ributnya DPR
Indonesia bukan karena harga cabe naik, bensin naik, beras naik, gula naik, kopi
naik atau KPR-BTN naik yang bisa membuat sempoyongan rakyat, malah yang
diributkan soal cetek tentang pasal-pasal dan paket Pimpinan MPR, Paket
Pimpinan DPR dan paket Pimpinan DPD yang sama sekali justru tidak ada
hubungannya untuk kepentingan rakyat-negara bangsa. ANOMALI!. Ketika memasuki ruang sidang
Parlemen Malaysia kami rombongan ada yang ketinggalan jas sehingga sebagian ada
yang nggak bisa masuk melihat jalannya persidangan, akhirnya kami mencari akal agar
bisa masuk ruangan sidang maka kami gantian memakai jas. Satu pemandangan yang
menarik dan agak lucu saya menyaksikan persidangan parlemen Malaysia, ketika
gontok-gontokan dan ribut soal harga cabe naik bahkan kain sarung yang
dikenakan oleh anggota parlemen laki-laki sempat ada yang melorot, untung
bisa dikencengi lagi dengan ikat pinggang. Selesai menghadiri persidangan
kami dipresentasikan oleh bagian persidangan parlemen Malayisa bahwa ada diskon
KPR besarnya tergantung kepada urut-urutan penduduk asli Malaysia. Jika
Penduduk Asli Malaysia Melayu besaran diskon 5% berbeda dengan India dan Tionghoa.
Berkunjung ke Kementerian Pendidikan Malaysia (Menteri
Pelajaran Malaysia)
Kami rombongan
DPD-RI juga mengunjungi Departemen Pendidikan Malaysia (Kementerian Pelajaran
Malaysia) dari sini dipresentasikan oleh atase pendidikan Malaysia bahwa
Pendidikan di Malaysia itu percume (gratis) dari mulai SD-Perguruan Tinggi,
bahkan tidak segan-segan negaranya membiayai warga negaranya yang ingin studi melanjutkan
S3 keluar negeri. Dari sinilah saya bisa tahu mengapa rakyat Malaysia begitu
cinta kepada negaranya, sebab negaranya memang benar-benar hadir dihadapan
rakyatnya.
Terakhir Berkunjung Ke Duta Besar Malaysia
Sebelum
kembali ketanah air kami rombongan DPD-RI berkunjung ke Duta Besar Indonesia
untuk Malaysia yang pada waktu itu dijabat oleh Rusdihardjo (mantan Kapolri). Saat
itu sedang panas-dingin hubungan antara Malaysia dengan Indonesia apalagi
kita telah dipermalukan di dunia Internasional melalui IJC (International
Justice Court) yang pusat peradilannya di Den Haag Belanda kita kalah telak
dengan Malaysia 16:1 untuk kemenangan Malayisa sehingga kita kehilangan pulau
Sipadan dan Ligitan. Dari Kedutaan Besar dan informasi dari atase keamanan kita disinilah saya bisa
tahu mengapa Indonesia tidak memutuskan perang dengan Malaysia, selain mempertimbangkan jumlah korban kepada rakyat yang tidak berdosa juga ada rahasia
negara soal taktik pertahanan kita yang tidak saya ungkap disini. Pak Rusdihardjo pun
ketika memberikan sambutannya ketika itu tidak memakai alat pengeras suara takut ada
pihak-pihak yang menyadapnya. Soal SDM: tentara, Polisi dan Sukarelawan kita
jauh lebih unggul dan hebat ketimbang Malaysia, dengan kata lain Indonesia bukan
tandingannya Malaysia, sekali lagi ada rahasia pertahanan negara kita yang tidak elok saya ungkap disini.
Bagaimana Kecintaan Rakyat Indonesia Kepada Negaranya?
Soal jiwa
militansi, rela berkorban jiwa dan raga Rakyat Indonesia kepada negara-bangsanya jangan diragukan
lagi, untuk urusan yang satu ini rakyat Indonesia tidak ada tandingannya di seluruh dunia. Rakyat Indonesia siap bertempur rela jiwa raganya berkalang tanah untuk negara
bangsanya jika marwah bangsa sudah dihina, diledek, dikoyak-koyak, dilecehkan dan di injak-injak habis oleh negara
lain. Sejarah telah membuktikan jaman revolusi kemerdekaan meski memiliki alat tempur super canggih Belanda dan Jepang dibuat kocar-kacir oleh pejuang pro kemerdekaan yang hanya bersenjatakan pertempuran sederhana bambu runcing. Tengoklah bagaimana reaksi rakyat Indonesia ketika Malaysia sering
meledek dan memprovokasi kita, rakyat Indonesia dimana pun berada siap memanggul senjata, jiwa dan raganya siap dipertaruhkan untuk ibu pertiwi.
Tapi sayangnya
jiwa militansi rakyat Indonesia kepada negara bangsanya tidak dilakukan secara
kontinyu, dalam kondisi negara normal tidak genting seperti ini jarang terlihat gerakan mencintai Indonesia dibuktikan dengan memakai produk-produk Indonesia seperti kendaraan, pakaian, alat rumah tangga, dll. Dada kita semua baru sesak napas ketika marwah bangsa sudah dihina. Kecintaan rakyat kita kepada negara-bangsanya belum
sepenuhnya terpatri, disebabkan negara Indonesia belum sepenuhnya hadir di
tengah-tengah rakyatnya. Berbeda, jika negara melalui pemerintah sudah benar-benar memperhatikan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, masih banyak rakyat kita yang belum bisa mengenyam pendidikan dengan baik
karena ketiadaan biaya. Coba Pemerintah
menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok yang sekarang membuat klenger
rakyat karena harganya tidak beraturan semakin meroket. Terakhir, coba Pemerintah mengontrol harga-harga
rumah KPR-BTN atau memberikan diskon kepada warga negaranya, dan kebijakan-kebijakan pro rakyat lainnya. Betapa bangganya rakyat kita kepada negaranya jika pemerintah dapat melakukan langkah-langkah terobosan untuk kesejahteraan rakyatnya. Rakyat sudah muak dengan gonjang-ganjing perpolitikan nasional, RAKYAT BUTUH MAKAN, BUKAN SUGUHAN GADUH POLITK!.
Jika semua itu
sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, maka kita semua akan bertambah
bangga menjadi bangsa Indonesia. Maka slogan: Sayangilah Malaysia!, Sayangilah Kuala Lumpur akan keok
dengan Slogan kita: “CINTAILAH INDONESIA, TUMPAH DARAHKU ADALAH INDONESIA!.