Minggu, 17 Juli 2016

Jangan Biarkan DPD Selamanya Menelan “Pil KB”




Oleh WARSITO, S.H., M.Kn.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta

Jabatan Fungsional: LEKTOR

 


           Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipersepsikan publik  “antara ada dan tiada”, tetapi kenyataannya mandul untuk memutuskan undang-undang, itu sama saja MPR melalui produk konstitusinya merestui menyuruh DPD selamanya menelan “PIL KB”. DPD adalah lembaga negara hasil perubahan undang-undang dasar 1945, sebelum melakukan perubahan UUD 1945  MPR terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum pada sidang istimewa tahun 1998, Ketetapan MPR tersebut dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Fungsi referendum tersebut justru mempermudah tata alir perubahan konstitusi itu sendiri, sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi dari masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang  sepenuhnya diserahkan kepada MPR tidak sepenuhnya tepat, 2007 lalu dipertontonkan para anggota majelis yang telah memberikan usulan dukungan amandemen, kemudian  secara sepihak menarik kembali. Sayang Ketetapan MPR tentang referendum tersebut, telah dicabut oleh MPR berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
           Dengan dicabutnya TAP MPR tentang referendum tersebut,kuasa  rakyat sudah tidak dapat lagi mengontrol tindakan majelis apabila UUD 1945 hendak dilakukan perubahan. Sebaiknya Ketetapan MPR tentang referendum itu, tidak perlu dicabut, mengingat fungsi  referendum itu  dapat sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu sendiri. Referendum tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Berbeda, jika referendum belum dicabut ternyata rakyat menyetujui usulan DPD untuk memperkuat kelembagaannya, maka MPR wajib melakukan perubahan konstitusi. Kuasa  rakyat harus diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan esensi dari makna sebuah konstitusi sebagai staatfundamentalnorm ( norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, artinya Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, (baca: TAP MPR), tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (baca: UUD 1945).
      Kini anggota DPD sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories di dalam ketatanegaraan, konstitusi membiarkan sengaja‘selamanya DPD dipaksa menelan  “pil KB” sehingga tidak dapat melahirkan produk yang bersifat mengatur (regelling) kepada rakyat. DPD tidak diberikan kewenangan yang memadai turut dalam pengambilan keputusan bidang legislasi, pengekangan fungsi DPD ini  tercermin di dalam pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Si bapaknya DPD ( baca: DPR) tidak bakalan marah terhadap sikap anaknya (baca: DPD), DPR punya kartu truf dialah  yang membidani kelahirannya, bapaknya menasehati kepada DPD ‘anakku sayang,: “sabar dulu jangan meminta amandemen sekarang tunggu saatnya 2009’ (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali), selesai 2009 tunggu 2014 dan seterusnya. Sebenarnya ayahnya sadar (baca: DPR) bahwa amandemen yang melahirkan DPD teramputasi tersebut adalah "penganiayaan kelembagaan DPD". Bisakah DPR bersikap ksatria mengakui kesalahan dengan memberikan dukungan amandemen kelima UUD 1945?.
          Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seseorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant, atau sebaliknya politik yang determinant. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan  dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung ataupun tidak langsung, konstitusi itu pasti akan mudah bergejolak, karena tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
      DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan di dunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa kini anak tersebut sadar, dan menanyakan kepada orang tuanya untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini, kalau kelahiranku cacat fisik dan dibuat tidak berdaya, kira-kira begitu gerutuan DPD.
      Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dibuat terbatas seperti itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota agar dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: pasal 37 UUD 1945), hal demikian perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, adalah sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pelemahan DPD di konstitusi tersebut sudah terstruktur dan menyebar ke dalam pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 anggota dan jumlah anggota DPR 560, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini bisa dianggap adil dan benar?. Sebagai contoh lagi pelemahan DPD di konstitusi yang bersifat terselubung adalah rumusan pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat” apakah muatan konstitusi tersebut disengaja atau tidak? Muatan konstitusi ini adalah sangat berbahaya sekali, bagi masa depan konstitusi, karena membuka peluang adanya interpretasi hukum yang bersayap, seharusnya rumusan yang tepat adalah ‘presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan/atau DPD’. MPR hanya menggunakan kaca mata kuda, karena sekedar memindahkan bunyi penjelasan UUD  yang bersifat normatif di masukkan kedalam pasal-pasal tanpa melihat terlebih dahulu bahwa telah ada lembaga legislatif yang bernama DPD. Kesimpulannya adalah, bahwa muatan konstitusi seperti itu memang  sengaja dibuat untuk  DPD,  agar tidak berdaya.
      Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amandemen kelima UUD, semua pihak wajib mendukung amandemen tersebut demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik untuk pembelajaran anak bangsa baik untuk sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, tahun 2007 ada pihak-pihak yang mempermainkan dengan menarik dukungannya kembali, seperti yang dilakukan oleh partai demokrat kemudian disusul oleh partai golkar, lagi-lagi DPD hanya pasrah dan dibuat tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas tentang pencabutan dukungan amandemen tersebut, baik di dalam peraturan perundang-undangan maupun di Tatib MPR sendiri. Dengan demikian terdapat rechtvacuum (kekosongan hukum), dan tidak ada kepastian hukum. Lebih celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan dukungan amandemen, dalam bentuk pengumpulan tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat layaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) sebagai peraturan mengikat yang wajib ditaati, dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu Perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan dan tata krama yang berlaku di ketatanegaraan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah kini, hanyalah dapat berdoa agar penguatan kelembagaannya bisa terwujud. Saatnya Dewan Perwakilan Daerah kini dapat meyakinkan kepada rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD ini bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ‘kantong’ DPD, tetapi lebih dari pada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah, dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Senin, 11 Juli 2016

Dapatkah MK Merubah Konstitusi?



.
Oleh  WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta, 
Alumni S2 Magister Kenotariatan UI
Jabatan Fungsional: LEKTOR



Ajaib Mahkamah Konstitusi (MK) berani memutus  Pilpres satu putaran, menjadikan  saya penasaran membuka-buka kembali buku Risalah Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002 terbitan Sekretariat Jenderal MPR (Cetakan: tahun 2008). Risalah amandemen ini menggunung satu paket yang terdiri dari sebelas buku, dicetak Sekretariat Jenderal MPR dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Mata saya terbelalak, tatkala  membaca tujuan pemberlakuan pasangan calon presiden dan wakil presiden menang satu putaran jika  mendapatkan suara lebih dari limapuluh persen dan sedikitnya dua puluh persen di lebih setengah propinsi, karena sebaran penduduk Indonesia yang tidak merata dimaksudkan agar Capres dan Cawapres tidak berkampanye hanya berpusat didaerah padat penduduk di kota-kota maju. Pertanyaannya, mengapa MK nekat merubah isi konstitusi yang bukan merupakan kewenangannya?.
Image result for gambar Gedung MK
Pilpres 9 Juli lalu sudah berakhir. Pandangan kita ketika itu tertuju pada sosok bangunan yang bernama MK sebagai gravitasi atau pusat pusaran organ-organ kelembagaan negara lainnya. MK bermagnet karena memiliki kewenangan yang paling spektakuler yaitu, menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum yang bersifat final dan mengikat. Salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi yang di lembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” MK dibentuk secara resmi pada tanggal 13 Agustus 2003, sejak dibentuknya lembaga tersebut sosialisasi gencar dilaksanakan.

Sekelumit Sejarah (Prelude) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Laica Marzuki (2006), dalam bukunya berjalan-jalan di ranah hukum, sesungguhnya, dalam rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945, telah muncul gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh. Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (Balai Agung) menjadi pula badan yang membanding, yakni, “..apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia atau hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.” Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (guna check and balances antar ketiga cabang kekuasaan). “Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.” (RM.A.B. Kusuma, 2004:229).
Sehubungan hal tersebut, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya Constitutioneelhof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di Zaman Weimar.”Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya,” kata Soepomo lebih jauh. Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin, Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja. Suardi Tasrif menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara inkonklusif (1971:197). “Neither Fish, nor fowl (bukan ikan, bukan daging),” kata Tasrif.
Dengan memerhatikan dan mencermati dengan saksama risalah BPUPKI mengenai perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Soepomo dengan Moh. Yamin tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa, peradilan Mahkamah Konstitusi (peradilan spesial/khusus) pada hakekatnya sudah didambakan oleh para perumus UUD 1945. Namun, mengingat kondisi negara ketika itu dalam keadaan darurat perang, kegiatan mempersiapkan kemerdekaan dan mengesahkan UUD 1945 lebih diprioritaskan, sehingga  badan dimaksud (Mahkamah Konstitusi) untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut. Kita dapat membaca pemikiran  para perumus UUD 1945 mengapa ketika itu tidak melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan badan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perumus UUD 1945  optimis dan menaruh harapan besar, kiranya  setelah Indonesia merdeka dalam kondisi negara yang damai dan tentram, akan ada anak-anak bangsa melakukan pengkajian konstitusi membentuk lembaga kekuasaan kehakiman dimaksud. Kini, 56 tahun yang lalu dambaan itu menjadi kenyataan dengan terwujudnya keberadaan  Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan secara konstitusional melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Sayangnya, MPR yang telah melahirkan MK, kini justru sering mengambil alih kemudi MPR. Padahal untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 itu kewenangannya  ada di lembaga negara yang bernama MPR (Pasal 3 dan  37 UUD 1945),  bukan domain MK. Tetapi dalam teori, ternyata MK menambahi kewenangannya sendiri menjadi purbawisesa dapat merubah konstitusi.
MK yang nekat memutuskan Pilpres satu putaran, membikin geger dan mengacaukan sistem ketatanegaraan. MPR sebaiknya ksatria mengakui bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden tidak diantisipasi terjadinya dua pasangan calon. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi membuat tafsir sekaligus putusannya yang justru melanggar UUD 1945 itu sendiri. Ini berarti secara teori Mahkamah sudah merubah UUD 1945 yang sesungguhnya kewenangan MPR.
Marilah kita menyimak dan memperhatikan dengan saksama Pasal 6A UUD 1945
Ayat (3): Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Ayat (4): Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Konstitusi yang ditulis didalam bahasa Indonesia itu sudah gamblang sekali, tidak ada penafsiran lain dalam hal pelaksanaan Pilpres. Sekalipun pelaksanaan Pilpres hanya diikuti dua pasang calon, harus melewati ayat (3) terlebih dahulu, agar terpilih satu putaran (first round)  mendapatkan suara lebih dari 50%, sedikitnya 20% suara di setiap propinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah propinsi. Jika ayat (3) tersebut tidak terpenuhi, berikutnya dilaksanakan pemilihan ulang sesuai ayat (4), dimana calon yang mendapatkan suara terbanyak dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Mengenai pasal 159 UU. No. 42 tahun 2008 yang diuji materikan ke MK itu, isinya persis turunan dari konstitusi kalau nggak mau dibilang nyontek, bedanya, cuma  sedikit tambahan antisipasi, jika sewaktu-waktu terjadi pasangan calon  memperoleh suara sama banyak akan dilakukan pemilihan ulang. Sedangkan di konstitusi jika tidak tercapai ayat (3) diwajibkan  dua putaran (scond round). Putusan MK justru melanggar UUD 1945, karena MK telah memutus melebihi kewenangannya. MK yang diberi kewenangan antara lain menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MPR , justru secara substantif  merubah konstitusi sendiri.

Sabtu, 09 Juli 2016

Belajar Hukum Dari Amien Rais




Oleh WARSITO, SH., M.Kn
                             Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,  Jakarta        Jabatan Fungsional: LEKTOR


          Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Yth Mendiang Prof Emiritus Satjipto Rahardjo artikel-artikel hukum yang ditulisnya diberbagai media sangat renyah dan menarik untuk dibaca dan dinikmati, sehingga rugi besar bagi saya, akademisi dan masyarakat umum jika melewatkan tidak membaca artikel yang bisa membawa kita "dapat berjalan-jalan di ranah hukum" sebagaimana buku karya monumental yth. bpk.  Prof. Dr. Laica Marzuki, SH.

Image result for www.kpk.go.,id
          Tulisan saya ini membahas betapa langkanya orang jujur dan berintegritas di negeri ini, yang ada kita diberi tontonan saban hari melalui media masa, dimana orang yang disangka menerima hasil kejahatan korupsi alih-alih mengakuinya, yang ada justru sebaliknya, bersilat lidah, mungkir dan berbelit-belit untuk mengulur-ulur waktu agar kasusnya perlahan-lahan namun pasti bak menghilang ditelan bumi.
          Hukum ditangan orang-orang yang berhati baik, maka jadilah baik, meski ketidaksempurnaan teks redaksionalnya, sebaliknya hukum ditangan orang-orang jahat akan dapat menjadi malapetaka meski aturannya sudah lengkap. Mengutip artikel Prof. Satjipto Rahardjo yang berjudul: “Amien Rais Untuk Pembelajaran Hukum” (Kompas, 23 Mei 2007), mengingatkan kepada kita semua, bahwa, hukum itu bukan seperti rinso yang bisa mencuci sendiri melainkan perlu mobilisasi dari seluruh komponen bangsa. Di tengah-tengah keributan tentang apa yang dinamakan dengan aliran dana dari Departemen Perikanan dan Kelautan kepada sejumlah pihak, Prof Amien Rais secara terbuka mengaku bahwa dirinya termasuk yang menerima aliran dana nonbudgeter tersebut (Kompas, 16 Mei 2007). Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, disini, pengetahuan kita diperkaya, bahwa mobilisasi hukum ini tidak dilakukan oleh polisi atau jaksa, dapat penulis tambahkan juga tidak dilakukan oleh hakim dan  KPK melainkan dari adresat seorang anak bangsa yang bernama Amien Rais. Gerry Spence, advokat senior Amerika Serikat, masih dalam artikel Satjipto Rahardjo tersebut mengatakan, sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia yang berbudi luhur (evolved person) lebih dulu. Kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster daripada malaikat penolong orang susah.
          Begitu indahnya artikel Prof. Tjip (sapaan Prof. Satjipto Rahardjo), bahwa Prof Amien Rais tanpa sadar telah mengajarkan kepada kita semua bahwa negara hukum itu akan menjadi bangunan yang berkualitas manakala manusia-manusia di dalamnya berbudi pekerti luhur. Biarlah, kalau memang menurut hukum saya harus dipenjara, saya biar dipenjara, begitu kata profesor kita.



HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19