Kamis, 29 Januari 2009

MPR dan Politik Pertanahan



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Master Kenotariatan UI
- Konsultan Pertanahan
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



        Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah menerbitkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sayang TAP MPR tersebut tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan TAP MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003. Tap MPR tersebut tidak perlu dicabut, dengan sendirinya sudah tidak berlaku karena ia bukan hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan.
       Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hal lain negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

        Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam artian kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Politik Pertanahan

       Politik Pertanahan diatur didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Politik Pertanahan juga diatur di dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Negara adalah sebagai organisasi pemegang tertinggi kekuasaan negara dibidang pertanahan, oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Nasionalisme
      Salah satu prinsip utama dari UUPA adalah mengenai nasionalisme dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan alam Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UUPA berbunyi: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia." Demikian pula Pasal 1 ayat (2): "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional."
Ini artinya bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh para pendahulu kita sebagai keseluruhan, dan menjadi hak dari bangsa Indonesia. Jadi tanah tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. Menurut Prof. Boedi Harsono tanah berfungsi sebagai komunalistis reigius. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan, tetapi menjadi tanah hak Bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan hubungan yang bersifat pribadi.
Adapun antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
       Pada masa Orde Baru-reformasi permasalahan agraria ditandai semakin banyaknya aksi-aksi protes oleh korban ke kantor pertanahan, DPR dan Komnas HAM. Permaslahan agraria itu tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah pertanahan.
Sebagai contoh ketidakpastian hukum dibidang pertanahan, kasus sengketa PT Portanigra dengan Warga Meruya Selatan yang diperoleh dari H. Djuhri. Seseorang yang sudah memiliki sertipikat yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang (BPN) selama bertahun- tahun telah menguasai secara fisik digugat, dan anehnya dapat dikalahkan di pengadilan, karena dapat dibuktikan sebaliknya.
Kelemahan Publikasi Pertanahan
        Di negara manapun ada dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat digugat, dalam hal ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena sertipikat tertulis atas nama pembeli terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura.
Kedua, publikasi negatif, artinya negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak yang bersengketa mengadakan research sendiri. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Masuk Publikasi Pertanahan yang Mana?.
        Sistem hukum Indonesia selalu soft, alias tidak jelas. Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif. Lantas apa publikasi pertanahan Indonesia?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Ini artinya negara bersifat ambivalensi. Sebab, disisi lain negara memberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak kepemilikannya, sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi konflik di Pengadilan. Publikasi Pertanahan Indonesia yang ambivalen ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 PP. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan juridis pemerintah agar kasus pertanahan yang selama ini terjadi tidak semakin merebak.

Selasa, 27 Januari 2009

Makna Dibalik Angka 128 Anggota DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



          Apakah sebenarnya makna dibalik jumlah 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD itu?. Suatu kebetulan, ataukah sudah diatur secara sistemik oleh MPR unsur DPR?. Untuk menjawab kebetulan atau sudah diatur secara sistemik,terlebih dahulu marilah kita mengkaji secara mendalam muatan konstitusi baik secara substantif maupun secara kwantitatif.
Dari segi kwalitatif, jelas DPD itu adalah lembaga Negara yang tidak memiliki makna(meaningless).Sebab ia hanyalah lembaga Negara pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak berimplikasi juridis. Namun jika kita mengkaji lebih mendalam dari segi kwantitatif, ada yang menarik dari keberadaan jumlah anggota DPD yang 128 itu. Mengapa harus berjumlah 128?. Marilah kita merefleksi sejenak hal ihwal ayat UUD 1945 pra amendemen yang berjumlah 71 ayat, sedangkan pasca amendemen UUD 1945 menjadi 199 ayat,dengan demikian penambahannya 128 ayat. Jumlah penambahan 128 ayat ini sama persis dengan jumlah anggota DPD. Apakah hal ini masih dianggap suatu kebetulan ataukah ada maksud tertentu agar amendemen UUD 1945 itu cukup ditambahkan 128 ayat saja?. Apakah berarti hal ini bisa dibaca tidak akan terjadi amendemen kelima UUD 1945?. Inilah kenyataannya, mau tidak mau harus diakui bahwa angka 128 anggota DPD itu menyimpan misterius. Padahal konstitusi menyatakan jumlah anggota DPD itu tidak boleh lebih sepertiga dari jumlah anggota DPR, semestinya jumlah ideal anggota DPD adalah 224,jumlah yang masih diperbolehkan karena belum melebihi sepertiga jumlah DPR, dengan asumsi masing-masing tujuh anggota setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jumlah itu apabila dipandang terlalu banyak masih bisa diturunkan menjadi seratus sembilan puluh dua dengan asumsi enam anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jika jumlah itu masih dianggap terlalu banyak masih dapat diturunkan lagi menjadi seratus enam puluh dengan asumsi lima anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Akhirnya keputusan DPR di UU Susduk memutuskan 128 untuk anggota DPD, yaitu, empat anggota untuk setiap masing-masing provinsi dari jumlah tiga puluh dua provinsi. Ada apa dengan jumlah 128 anggota DPD ini?.
Jika diadakan semacam perlombaan untuk menemukan bentuk hukum (rechtvinding) lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, maka, dipastikan peserta lomba akan kesulitan menjawab bentuk hukumnya. Pasalnya jika DPD sebagai lembaga legislatif, keberadaannya tidak ikut memutuskan undang-undang yang bersifat mengatur (regelling).Sebaliknya, jika bukan lembaga legislatif keberadaannya termasuk rumpun lembaga legislatif sebagaimana dimaksud oleh UU. No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
         Sayang sekali lembaga DPD ini, dari tahun ketahun hanya bekerja berputar-putar tidak karuan, sedangkan produknya tidak memiliki arti (meaningless). Apabila DPD tidak segera diperkuat melalui amendemen UUD 1945, maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bernasib sama seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jangan biarkan lembaga negara ini mengalum, dan mubadzir karena hanya akan memboroskan keuangan Negara.

Minggu, 25 Januari 2009

Perlukah Kaji Ulang Keberadaan DPD Melalui Sidang Majelis?


Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



      Jika keberadaan setiap organisasi baik menyangkut hubungan orang-perorang, kelompok, komunitas tertentu, tatakelola pemerintahan maupun kelembagaan negara tidak memiliki arti, cepat atau lambat pasti akan musnah. Hukum alam itu pasti akan berlaku. Keperkasaan hukum alam itu pernah terbukti merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
      Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin dilakukan. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang. Siapa mau?.
Inisiator dari DPR. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, inisiator menggelar sidang amendemen UUD 1945 harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Dugaan kuat selama ini karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, hal itu terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna., ada dugaan kuat DPD akan tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Di sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika tidak laku di partai politik.. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
         Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa bersandar DPR periode 2009-2014 dapat memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap tidak memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Jiwa kenegarawanan pasti bersedia mengkaji ulang keberadaan DPD. Sebab posisi DPD selama ini antara ada dan tiada. Baik secara normatif, maupun data fisik DPD itu memang ada, tetapi dari aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) DPD itu produknya tidak memiliki arti apa-apa, sebab keberadaannya hanya sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak memiliki implikasi juridis. Kenegarawanan sejati akan berani mengambil satu putusan diantara dua pilihan. Yaitu, DPD dipertahankan dengan diberikan kewenangan sejajar dengan DPR, ataukah dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara tiada guna. MPR tidak boleh terus-menerus menutup mata membiarkan DPD menjadi bulan-bulanan DPR. Berapa ratusan milyar uang rakyat yang dihambur-hamburkan mubadzir, jika MPR terlambat mikir (telmi) tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD. Singkatnya, MPR perlu segera menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang tidak memiliki arti (meaningless).

Kamis, 22 Januari 2009

DPD Cepat Atau Lambat Sesuai Hukum Alam Akan Dapat Dibubarkan


Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



         Hukum alam pastilah akan berlaku, begitu juga terhadap lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini. DPD Cepat Atau Lambat Sesuai Hukum Alam Akan Dapat Dibubarkan karena keberadaannya tidak memiliki makna. Hukum alam itu terbukti pernah merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
        Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang. Inisiator dari DPR. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, terkecuali MPR menggelar sidang majelis dengan agenda amendemen UUD 1945. Inisiator menggelar sidang amendemen harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna. Namun demikian, karena DPD itu mendatangkan keuntungan materi besar bagi para anggotanya, dugaan kuat itulah, yang menyebabkan DPD tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika DPR sudah jompo sambil berkipas-kipas mendapatkan gaji dan tunjangan yang memuaskan. Hanya orang-orang yang memiliki sifat kenegarawanan yang tidak memiliki intrik-intrik di konstitusi untuk kepentingan sesaat. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
         Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan dengan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa berharap DPR periode 2009-2014 memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap belum memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Seorang kenegarawanan itu pasti akan bertanya, apa manfaatnya DPD?. Kenegarawanan sejati akan dihadapkan dua pilihan untuk diambil satu putusan. DPD dipertahankan akan diberikan kewenangan jika ia bermanfaat, atau dibubarkan karena hanya ternyata lembaga negara tiada guna. Singkatnya, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang hasilnya tidak memiliki arti (meaningless).

MPR Perlu Segera Menggelar Sidang Amendemen



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



          Hukum alam pastilah akan berlaku untuk setiap lembaga negara yang tiada guna. Hukum alam itu pula terbukti pernah telah merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
        Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang.
Inisiator dari DPR
        Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, terkecuali MPR menggelar sidang majelis dengan agenda amendemen UUD 1945. Inisiator menggelar sidang amendemen harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna. Namun demikian, karena DPD itu mendatangkan keuntungan materi besar bagi para anggotanya, dugaan kuat itulah, yang menyebabkan DPD tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika DPR sudah jompo sambil berkipas-kipas mendapatkan gaji dan tunjangan yang memuaskan. Hanya orang-orang yang memiliki sifat kenegarawanan yang tidak memiliki intrik-intrik di konstitusi untuk kepentingan sesaat. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
          Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan dengan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa berharap DPR periode 2009-2014 memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap belum memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Seorang kenegarawanan itu pasti akan bertanya, apa manfaatnya DPD?. Kenegarawanan sejati akan dihadapkan dua pilihan untuk diambil satu putusan. DPD dipertahankan akan diberikan kewenangan jika ia bermanfaat, atau dibubarkan karena hanya ternyata lembaga negara tiada guna. Singkatnya, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang hasilnya tidak memiliki arti (meaningless).

Selasa, 20 Januari 2009

Belajar dari Laos

Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri


        Tidak ada kejadian dimuka bumi ini, kecuali didalamnya membawa peringatan dan mengandung hikmah bagi orang-orang yang mau berfikir. Begitu pula kejadian di Laos, ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).
      Hikmah yang dapat dipetik dari kejadian tersebut adalah, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR tidak boleh terus menerus tutup mata, MPR dapat segera menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Sudah saatnya MPR mengkaji ulang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pasalnya akhir-akhir ini lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi ini, sering ribut dan berantem melulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. MPR sangat cerdas, jika dapat menggunakan momentum sisa waktu masa bhakti keanggotaan MPR periode 2004-2009 yang tinggal menunggu detik-detik akhir ini, menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Dasar hukumnya jelas, yaitu, aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) keberadaan DPD. Materi amendemen UUD 1945 antara lain, mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan, ataukah sebaliknya, membubarkan DPD karena hanya sebagai lembaga negara tiada guna. Jika hasil amendemen UUD 1945 ternyata memutuskan membubarkan DPD, ratusan milyar uang rakyat dapat diselamatkan atau dihemat. Implikasi amendemen UUD 1945, dengan bubarnya DPD, maka DPD tidak akan diikutsertakan pada pemilu 2009, dengan demikian, keuangan negara tidak terbebani untuk membiayai Pemilu anggota DPD yang tiada guna itu. Hal lain, implikasi hasil amendemen UUD 1945, negara tidak akan memberikan fasilitas kepada dewan berupa, gaji, tunjangan dan kegiatan operasional lainnya. Inilah yang dalam artikel ini, saya menyatakan MPR memiliki kecerdasan jika dapat mengkaji ulang keberadaan DPD. Penyelenggaraan sidang majelis dengan agenda pembubaran DPD tersebut dapat jalan terus meskipun tanpa kehadiran seluruh anggota MPR unsur DPD. Sebab jumlah anggota MPR unsur DPR yang 550 itu, sudah dapat ”menyudahi” DPD (baca: membubarkan DPD). Sebaliknya jumlah anggota MPR unsur DPD yang hanya 128 itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada DPR. Syarat usulan perubahan konstitusi saja tidak dapat memenuhi, karena jumlah anggota DPD itu kurang sepertiga dari jumlah anggota MPR. Oleh karena itu, ketika DPD dongkol dan geregeten kepada DPR yang terus meledek, DPD hanya bisa berkerut-kerut gigi belaka.
      Katakan dengan jujur, apakah keberadaan lembaga DPD saat ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jika selama ini keberadaan DPD bermanfaat untuk rakyat, silakan diteruskan, tetapi berilah ia kewenangan seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain. Jangan ia dibuat mengambang dan terus dipasung. Sebaliknya, jika selama hampir lima tahun ini, ternyata keberadaan DPD itu tidak bermanfaat, ia sekedar hanya penggembira dalam sistim ketatanegaraan belaka, lebih baik DPD bubarkan sekarang juga.
      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR, maka, selamanya pula, DPD akan menjadi bahan ejekan DPR terus. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk).

Marilah merenung sejenak dengan kutipan pidato Ir. Soekarno berikut ini:

      Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

      Kutipan Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam kehidupan ketatanegaraan kita saat ini. Soekarno mengingatkan kepada kita semua, bahwa UUD 1945 yang telah dibuatnya adalah karya manusia biasa, dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan, oleh karena itu, di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan landasan juridis untuk dapat diubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat hukum senantiasa hidup di masyarakat (living law).
DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, menjadi problematika di dalam konstitusi. Indikatornya terlihat dari upaya Dewan Perwakilan Daerah yang tidak puas kehadirannya hanya diberikan kewenangan setengah hati, sehingga DPD mengusulkan perubahan kembali UUD 1945 agar sistem ketatanegaraan dapat melakukan fungsi kegiatan saling mengontrol (check and balance).

Perlu Sikap Kenegarawanan

      MPR tidak perlu gengsi untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. MPR perlu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap pelaksanaan perubahan UUD 1945. Alangkah arifnya jika MPR memiliki sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Soekarno ketika merumuskan UUD 1945. Contoh kenegarawanan Soekarno perlu ditiru, ia mengatakan bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan mengingat yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Sepanjang perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002, telah tercatat ada kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Sebaliknya juga terdapat banyak kekurangan didalamnya.
      Salah satu gebrakan MPR adalah dapat menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power, yang sebelumnya ditafsirkan dapat dipilih secara terus menerus. Dengan kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945 itu, maka konstitusi hasil amandemen itu jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan.
Namun demikian, MPR perlu menyadari, bahwa hasil perubahan UUD 1945 tersebut banyak kekurangan didalamnya. Salah satu kelemahan MPR adalah membubarkan DPA, sisi lain MPR menukargantikan dengan lembaga DPD yang sama-sama tidak memberikan kewenangan. Sifat pertimbangan dari kedua lembaga negara itu tidak memiliki implikasi juridis, artinya jika pertimbangan itu tidak dilaksanakan, konsekuensi juridis dampak yang ditimbulkan tidak ada.
Belajar dari Laos
      Agar kasus Laos tidak terulang dikemudian hari, tidak ada pilihan lain bagi MPR kecuali menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 membubarkan, atau mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan agar keberadaannya samakuat dengan DPR (strong bicameralisme). Sebab muara kericuhan DPD dengan DPR tidak lain dipicu adanya kelahiran DPD yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi. Merasa DPD dianggap lemah, DPR terus menerus mengejek. Jika MPR terus menerus menutup mata membiarkan DPD dinistakan, terbaca dengan sikap tidak segera menggelar sidang majelis, berarti MPR memang sengaja melahirkan DPD untuk menjadi bulan-bulanan DPR.
      Apabila DPD ingin eksistensinya tetap dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Sebaliknya, jika DPD tetap diambangkan, hanya dibuat sebagai lembaga negara pajangan, lebih baik dibubarkan saja. Asas kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) seharusnya dikedepankan tatkala merumuskan perubahan UUD 1945, agar keberadaan konstitusi benar-benar dapat menjangkau jauh kemasa depan sehingga keberadaannya dapat mengikuti perkembangan zaman, lebih dari itu, ia dapat bermanfaat untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Kamis, 15 Januari 2009

Saatnya Mengkaji Ulang Keberadaan DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI


      Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR sudah saatnya mengkaji ulang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pasalnya akhir-akhir ini lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi ini, sering berantem dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Jika MPR cerdas menggunakan sedikit sisa waktu masa bhakti keanggotaan MPR periode 2004-2009 yang tinggal menunggu detik-detik akhir ini, MPR bisa saja memaksa menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Dasar hukumnya jelas, yaitu, aspek kemanfaatan (zwechtmassikheit) dari kelembagaan DPD. Materi amendemen UUD 1945 antara lain, mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan, ataukah sebaliknya, membubarkan DPD karena selama ini ternyata hanya sebagai lembaga negara tiada guna. Jika hasil amendemen UUD 1945 ternyata memutuskan membubarkan DPD, hitunglah, berapa ratusan milyar uang rakyat yang bisa diselamatkan atau dihemat. Implikasi amendemen UUD 1945, pertama, DPD tidak akan diikutsertakan pada pemilu 2009, dengan demikian biaya Pemilu tidak menggelembung. Implikasi kedua, hasil amendemen UUD 1945, keuangan negara tidak akan terbebani untuk memberikan fasilitas kepada dewan berupa, gaji, tunjangan dan kegiatan operasional lainnya. Inilah yang dalam artikel ini, saya katakan MPR memiliki kecerdasan jika dapat mengkaji ulang keberadaan DPD. Penyelenggaraan sidang majelis dengan agenda pembubaran DPD tersebut dapat jalan terus meskipun tanpa kehadiran seluruh anggota MPR unsur DPD. Sebab jumlah anggota MPR unsur DPR yang 550 itu, sudah bisa berbuat ”segala-galanya” kepada DPD. Katakanlah dengan jujur, apakah keberadaan lembaga DPD ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jika selama ini keberadaannya bermanfaat untuk rakyat, silakan diteruskan saja, dan berilah kewenangan ia seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain, jangan malah dipasung. Sebaliknya, jika selama hampir lima tahun ini tidak ada manfaatnya, sekedar penggembira dalam sistim ketatanegaraan, lebih baik bubarkan saja sekarang juga.
Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara pemberi wejangan, maka selamanya pula, DPD akan menjadi bahan ledekan DPR. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Bahkan lebih dari itu, di forum Internasional DPR tega meledek DPD. Kejadian itu ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).

Marilah merenung sejenak dengan kutipan pidato Ir. Soekarno berikut ini:

      Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

      Kutipan Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam kehidupan ketatanegaraan kita saat ini. Soekarno mengingatkan kepada kita semua, bahwa UUD 1945 yang telah dibuatnya adalah karya manusia biasa, dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan, oleh karena itu, di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan landasan juridis untuk dapat diubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law).
DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, menjadi problematika di dalam konstitusi. Indikator problematika konstitusi ini terlihat dari upaya Dewan Perwakilan Daerah yang tidak puas atas kehadirannya yang tidak diberikan kewenangan oleh UUD 1945, sehingga DPD mengusulkan perubahan kembali UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balance), yaitu dengan cara memperkuat peran dan fungsi lembaga DPD.

Perlu Sikap Kenegarawanan

      MPR tidak perlu gengsi untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. MPR perlu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap pelaksanaan perubahan UUD 1945, alangkah arifnya jika MPR memiliki sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Soekarno sebagai salah satu perumus UUD 1945. Soekarno memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan mengingat yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Konstitusi yang pernah dilakukan perubahan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002, tercatat telah ada kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Sebaliknya juga banyak kekurangan-kekurangan didalamnya.
Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power.
Dengan kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945 itu, maka konstitusi hasil amandemen itu jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan.
Namun demikian, juga perlu disadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 tersebut banyak kekurangannya. Salah satu kelemahan itu adalah MPR membubarkan DPA, sisi lain MPR menukargantikan dengan lembaga DPD yang sama-sama tidak memiliki kewenangan. Sifat pertimbangan dari kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi juridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi juridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Apabila DPD ingin eksistensinya tetap dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Sebaliknya, jika DPD hanya dibuat sebagai lembaga negara pajangan, lebih baik dibubarkan saja.

Rabu, 14 Januari 2009

Tarik Tambang DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD-RI




        Mari kawan semua, jangan melamun saja!. Bagi kita yang masih merasa memiliki kepedulian terhadap sistim ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik, berkontemplatiflah sejenak, seraya merenungkan kembali keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD dilahirkan dimuka bumi ini. Jika keberadaannya bermanfaat untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, silakan eksistensi DPD diteruskan. Sebaliknya, jika keberadaannya tidak bermanfaat (mubazir), hanya sebagai Accessoir (mengekor) dalam pembahasan undang-undang, maka lebih baik lembaga ini dibubarkan saja. MPR periode 2004-2009 masih ada waktu untuk meninjau kembali keberadaan DPD ini. Jika hasil amendemen kelima UUD 1945 ternyata membubarkan DPD, maka pada pemilu 2009 rakyat tidak memilih anggota DPD lagi yang berarti akan menghemat keuangan negara.
Tarik Tambang DPR Versus DPD
      Jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD mengajukan pengujian materi (judicial review) Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk), yang substansinya tentang komposisi Pimpinan MPR atau untuk mengAdHockan Pimpinan MPR, apakah Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (gezetkheit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) ataukah aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit)?.

      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. DPD akan tetap terus diledek oleh DPR. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Bahkan lebih dari itu, di forum Internasional pun DPR tega meledek DPD. Kejadian itu ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).
      DPR dan DPD terus akan selalu ribut. Sebenarnya persoalan yang diributkan sangat sepele. Contoh sebelumnya, RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

      MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

      Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.
Norma Konstitusi.
       Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Selasa, 13 Januari 2009

Saksikan Pertikaian DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri



      Jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD mengajukan pengujian materi (judicial review) Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk), yang substansinya tentang komposisi Pimpinan MPR atau untuk mengAdHockan Pimpinan MPR, apakah putusan Mahkamah Konstitusi akan menggunakan pendekatan aspek keadilan (gezetkheit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) ataukah aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit)?.

      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Atraksi menarik dari Senayan konon dari para wakil rakyat dapat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak meributkan soal-soal sepele yaitu meminta bagi-bagi jatah kekuasaan. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

       MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
       Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

       Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.
Norma Konstitusi.
      Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Senin, 12 Januari 2009

Menonton Pertikaian DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri



      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Atraksi menarik dari Senayan konon dari para wakil rakyat dapat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak meributkan soal-soal sepele yaitu meminta bagi-bagi jatah kekuasaan. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

       MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
       Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.


Norma Konstitusi.

      Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Minggu, 11 Januari 2009

Menakar Judicial Review UU Susduk


Warsito, SH M.Kn.
• Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
• Mantan Tim Perumus Tata Naskah
DPD-RI
• Master Kenotariatan UI
• PNS MPR-RI dan DPD-RI Yang
Berhenti Atas Permintaan Sendiri


      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) benar-benar melecehkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sudah usulan amendemen UUD 1945 digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Mengamuk lagi DPD.
Atraksi menarik dari Senayan konon tempat mangkalnya para wakil rakyat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak ribut-ribut soal legislasi nasional. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD untuk memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika tetap diberikan dua jatah anggotanya duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ujung-ujungnya ancaman judicial review tersebut tidak lain adalah untuk berebut kekuasaan antara DPD dengan DPR agar memperoleh jatah “kue” seimbang. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

      MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Jika Dikabulkan MK.

      Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.

Norma Konstitusi.

       Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karena keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini Artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Disini tinggal kelihaian DPD untuk berargumentasi hukum dihadapan Sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah sangat adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu Pimpinan MPR tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19