Oleh Dr (c)
WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun,
Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
JABATAN FUNGSIONAL DOSEN: LEKTOR
A. LATAR
BELAKANG
Saya insyaf sedalam-dalamnya,
bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia
belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa
pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang
bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali
tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian
Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan
kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang
bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang
Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh
Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).
Gerakan reformasi secara heroik pada tahun 1998 puncaknya dapat menumbangkan
singgasana Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada hari Kamis,
tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi ini, berawal dari krisis ekonomi
dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan
perekonomian nasional menjadi berkembang liar krisis moral, akhlak, politik,
hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. People
power gerakan mahasiswa dibantu komponen bangsa amat dahsyat tidak
terbendung lagi akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan
Soeharto yang dinilai represif, sarat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
dan otoriter sehingga menjadikan bom waktu, Soeharto yang baru dilantik menjadi
Presiden untuk ketujuh kalinya oleh MPR pada Maret 1998, selang dua bulan
kemudian bernasib tragis tumbang dari tahtanya dipaksa “memakzulkan dirinya
sendiri” dari jabatan Presiden Republik Indonesia.
Dalam Panduan memasyarakatkan UUD 1945 (2003: xi,
xii 5,6, 16, 25), era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan
menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan
akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya
kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang didesakkan oleh berbagai komponen
bangsa itu antara lain:
a. amandemen
UUD 1945;
b. penghapusan
dwi fungsi ABRI;
c. penegakan
supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan
pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d. desentralisasi dan hubungan yang
adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e. mewujudkan
kebebasan pers;
f. mewujudkan
kehidupan demokrasi.
Perubahan UUD 1945 merupakan pengalaman historis bersifat monumental bagi
bangsa dan negara Indonesia, karena menyempurnakan aturan dasar mengenai
hal-hal yang bersifat fundamental bagi kehidupan dan masa depan bangsa dan negara
Indonesia. Dengan perubahan itu, UUD 1945 disempurnakan menjadi makin sesuai
dengan tuntutan perkembangan kebutuhan bangsa Indonesia dan peradaban umat
manusia. Perubahan konstitusi itu menjangkau jauh ke masa depan Indonesia,
sehingga memiliki daya tahan yang kuat ke masa yang akan datang. Selain itu,
tujuan diadakan perubahan UUD 1945 antara lain, untuk menyempurnakan aturan
dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui
pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang
lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman.
Selain itu, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk
menyempurnakan UUD 1945, agar sesuai, antara lain perkembangan paham demokrasi
dan Hak Asasi Manusia, tegaknya supremasi hukum, dikembangkannya ekonomi daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan terwujudnya negara
kesejahteraan pada era modern ini, yang di Ridhoi Allah SWT. Perubahan UUD 1945
diharapkan dapat menjangkau jauh ke masa depan bangsa, agar tidak mudah usang
atau lapuk di makan zaman (verourded).
Dari
sudut pandang filosofis, sosiologis, politis maupun juridis secara teoritis UUD
dapat diubah. Oleh karena itu, kita perlu
terus mendorong MPR mengupayakan perubahan konstitusi yang lebih baik, demi
kepentingan negara-bangsa. MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 ada 5
(lima) kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad
Hoc I berkaitan dengan perubahan UUD 1945 sebagai platform atau koridor
yaitu:
a.
tidak
mengubah pembukaan UUD 1945;
b.
tetap
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.
tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensial;
d.
menghapuskan
penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan ke
dalam pasal-pasal;
e.
perubahan
UUD 1945 tersebut dilakukan dengan cara adendum.
Sebagai buah reformasi, MPR telah melakukan
perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil amandemen yang
sangat signifikan dirasakan antara lain dapat: mengembalikan kuasa daulat
rakyat melalui pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh
rakyat (pasal 6A ayat {1} UUD 1945 sebelumnya pemilihan presiden dan wakil
presiden dilakukan oleh MPR yang mendistorsi kuasa daulat rakyat; dapat
membatasi dengan tegas kekuasaan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali
masa jabatan (pasal 7 UUD 1945); melahirkan lembaga negara bernama Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang memiliki
reputasi sangat baik sebagai peradilan progresif di abad modern ini yang
berfungsi sebagai penjaga gawang konstitusi (guardian constitution),
dll.
B.PEMBAHASAN
Menurut Yamin, didalam Adnan Buyung Nasution (hal: 121: 2001) harus jelas bagi
rakyat apakah UUD akan menuju pada republik yang menjadi aspirasi rakyat.
Karena itu UUD harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang
berkaitan dengan negara dan juga harus menentukan persyaratan yang menjamin
kesejahteraan dan hak-hak rakyat, serta memberi perlindungan pada kebebasan
berpendapat, berserikat dan sebagainya. Singkatnya kebebasan-kebebasan yang
menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu (zaman kolonial),
serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut
aspirasi-aspirasi kita (Yamin, I, 1959: 230).
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang
DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi
menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam
tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini
sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’,
dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga
(kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya.
DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan
perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi
maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan
daerah”.
Kegaduhan gagasan amandemen
kelima UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 2007 tatkala DPD mengusulkan agar
kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR, sayangnya gagasan amandemen
tersebut gagal total di pertengahan jalan. Berikutnya, pada tahun 2011 DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) kembali ribut mengusulkan amandemen kelima UUD 1945,
tetapi kali ini belum sampai pada tahap diajukan oleh DPD pelan-pelan
menghilang bak ditelan bumi. Selanjutnya pada tahun 2014 MPR telah secara resmi
mengajukan amandemen kelima UUD 1945 untuk mengubah sejumlah substansi dalam
konstitusi, hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Tim Ad Hoc II MPR, Jafar Hafsah
dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014, nasional.kompas.com),
sayangnya usulan tersebut juga belum dapat ditindaklanjuti. Jika penulis
perhatikan, dari periode ke periode masa jabatan anggota MPR selalu gaduh
mewacanakan perubahan kelima UUD 1945, sayangnya antara periode sebelumnya
dengan periode sekarang maupun di masa yang akan datang tidak dijadikan sebuah
keputusan melembaga dan sistemik, sehingga terkesan dari periode ke periode
masa bhakti anggota MPR masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri
cuma membikin suasana kegaduhan perpolitikan dan hukum ketatanegaraan nasional.
Di tahun 2016 ini MPR gencar kembali mengusung perubahan kelima UUD
1945,bedanya usulan amandemen konstitusi kali ini bukan inisiatif DPD, tetapi
hasil kecerdasan MPR membaca gerak nadi masyarakat yang menginginkan kembali
GBHN dimasukkan ke dalam konstitusi dimana selama ini kita kehilangan arah
panduan untuk bernegara. Jika amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan
pada tahun 2017, besar kemungkinan akan bernasib sama dengan gagasan amandemen
sebelumnya yang hanya bising membuat kegaduhan perpolitikan nasional alias
GAGAL TOTAL, mengharap MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 2018, HAMPIR
MUSTAHIL, sebab anggota MPR didalamnya anggota DPR dan anggota DPD akan mencari
selamat sendiri-sendiri sibuk berkonsentrasi merebut hati rakyat terjun ke
kantong-kantong konstituen guna menghadapi pertarungan pemilu legislatif pada
tahun 2019.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal
22C jo. Pasal 22D UUD 1945 yang diputuskan dalam rapat
paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001 kelembagaannya
hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi “napas buatan” oleh MPR tidak
diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling).
Ketidakberdayaan DPD dapat
diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama.
Jika di
Inggris memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords dan
House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang
mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan Golongan) sebelum
konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan
mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political
representatives). Dari model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan
memiliki sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda
dari Inggris, Amerika Serikat memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral
parliament, yaitu, The House of Representatives dan The Senate
yang secara bersama-sama disebut The Congress The United States of America.
The House of Representatives mirip dengan The House of Commons di
Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan
umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat
Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga
dipilih melalui pemilihan umum setempat (Pengantar llmu Hukum
Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi: 2006).
Kelatahan
sistem parlemen kita yang mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan
Amerika Serikat, pada tahap implementasinya justru menjadi lelucon belaka.
Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun
serpihan-serpihan reruntuhan setelah dihempas badai (gagalnya) amandemen
konstitusi tahun 2007 lalu.
Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu
DPR. Analogi lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola,
132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang, melawan tim DPR yang berkekuatan
penuh 560
anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini
pertahanan lapangan (usulan 1/3 perubahan
konstitusi) tidak akan mampu.
Hampir mustahil, usulan amandemen yang diusung secara parsial oleh DPD
untuk memperkuat kelembagaannya dapat menembus jantung pertahanan DPR,
sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945 yang mengharuskan
1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu
anggota MPR untuk pengambilan putusan.
Berkaca
dari pengalaman 2007 lalu, sudah 110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amandemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan jumlah anggota DPR 550
anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut dan mengingkari tanpa
rasa malu, ibarat sudah meludah
ditelan kembali. Seperti halnya 2007, ketika itu
DPR berkelit, DPD dianjurkan mengusulkan amandemen hasil pemilu 2009 saja. DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 ini nampaknya anggota MPR serius untuk melakukan amandemen
UUD 1945 khususnya isue sentral mengenai perlunya GBHN kembali dimasukkan di
dalam UUD 1945.
Usulan perubahan kelima konstitusi
jilid I, yang digagas DPD telah mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amandemen tersebut telah
diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi
tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan,
sehingga dukungan amandemen kempes
tinggal 204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan
perubahan konstitusi yang diusung DPD. Perilaku yang
dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu jelas tidak memiliki jiwa
kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada
tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan
usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu yang terkesan
dibuat-buat ini, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja
mengulur-ulur waktu untuk
menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), dugaan kuat memiliki
kepentingan politik dibalik penjegalan amandemen itu. Batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan
perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme
Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang
dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR
ketika itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang
majelis dengan
agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan
perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci
keberhasilan usulan amandemen konstitusi ditentukan kenegarawanan jumlah 560
anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR itu
bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi meski
berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis
melakukan perubahan UUD bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320 dan Pasal 37 UUD 1945).
Gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang mengemuka di tahun 2016 ini, DPD
yang akan menenggak keuntungan karena dapat mendompleng mengusulkan kembali
agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR. Usulan perubahan kelima
konstitusi pada tahun 2007 lalu dukungan sudah mencapai 238 anggota MPR (110
anggota DPR dan 128 anggota DPD) tetapi kandas dipertigaan simpang jalan, padahal sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan
konstitusi. Untuk kali kedua di akhir tahun 2011
DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen) ketika itu DPD
telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah
itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta
komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12/2011).
Dalam hal ihwal amandemen konstitusi, penulis pernah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng
keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007.
Jika kita memerhatikan secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi
sebelumnya, usulan
amandemen Jilid II ketika itu yang diusulkan DPD tidak ada terlihat perubahan yang signifikan,
cuma sedikit
semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan
calon presiden perseorangan di dalam konstitusi biar mendapat simpati rakyat, meski ide ini bakalan sulit direalisasikan. Dibanding 2007, usulan
amandemen yang digagas DPD 2011
lalu, memang cukup cemerlang dan realistis. Bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya dimonopoli
partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi itu,
sejatinya DPD memiliki agenda yang utama, yaitu, agar
kelembagaan DPD kuat dan sejajar dengan DPR dalam bidang
legislasi.
Anggota DPD secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan
DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. Alias, DPD bekerjanya jalan di
tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk
memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation)
sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki
kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar
rakyat kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik
matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Ada dugaan kuat DPD sengaja di design tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, DPR tentu tidak
menginginkan DPD kuat secara kelembagaan, sebab
jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi
dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR ada dugaan kuat memiliki
kepentingan untuk menempatkan
orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki peran strategis.
Hanya ada
dua opsi bagi MPR,
mempertahankan DPD dengan memberi kewenangan, ataukah membubarkan. Indikasi kuat DPD “tidak
diurus” dipertontonkan
dengan terang benderang oleh DPR
dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang
tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan
rakyat,
negara-bangsa.
Amandemen Konstitusi Berhasil
Jika DPR Negarawan
Jika DPD dapat menembus amandemen kelima konstitusi,
lembaga ini akan memiliki
kewenangan ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Hal lain, penguatan DPD berpotensi
mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD
bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR
sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap
menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging
konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD
diperkuat, berdampak mengacaukan konstitusi,
kebalikannya, jika
hanya dijadikan assessoris dalam sistem ketatanegaraa lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan
yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak memiliki arti (meaningless). Sesungguhnya jumlah 560 anggota DPR ketika “memasuki ruang sidang majelis”, sudah dapat membubarkan DPD,
sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD yang juga merangkap anggota
MPR.
C.SARAN
Perubahan UUD 1945 yang telah
dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002 selain dapat
menjawab tuntutan perubahan zaman sebagaimana saya sebutkan diatas
tentunya juga banyak kelemahan yang dijumpai antara lain:
1. MPR sudah tepat membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung), disisi lain
MPR telah melakukan kesalahan besar (big mistake) dengan melahirkan DPD
(Dewan Perwakilan Daerah), padahal kedua lembaga negara tersebut produknya
sama-sama tidak memiliki implikasi juridis jika sebuah pertimbangan itu tidak
ditindaklanjuti. Yang membedakan pertimbangan DPA disampaikan kepada presiden tetapi
untuk pertimbangan DPD disampaikan kepada DPR.
2. Rumusan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berikut tidak tepat: “Kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Yang tepat adalah:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan OLEH PRESIDEN”.
Bagaimana mungkin sebuah benda mati berupa UUD 1945 dapat melaksanakan
kedaulatan rakyat?. Cukup tepat dan realistis jika kedaulatan rakyat
dilaksanakan oleh presiden karena konkordan (cocok) sesuai pasal 6A ayat (1)
UUD 1945 dimana presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung.
Selain itu kedudukan presiden sekarang bukan untergeordnet (bawahan)
majelis, tetapi sudah neben (sejajar).
3. Pancasila sebagai dasar negara menjadi keharusan untuk dimasukkan di
dalam konstitusi (di pasal-pasal), Pancasila tidak cukup secara implisit
di pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar negara secara
normatif dimungkinkan untuk dilakukan perubahan sesuai Pasal 37 UUD 1945
tentang mekanisme amandemen konstitusi yang menyatakan khusus NKRI tidak dapat
dilakukan perubahan, semestinya PANCASILA sebagai dasar negara juga dipertegas
tidak dapat dilakukan perubahan.
4. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak tepat yang menyatakan: “Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Rumusan konstitusi harus jelas
dan tegas serta dapat dilaksanakan sehingga tidak menimbulkan penafsiran hukum
bersayap. Apakah makna dipilih secara demokratis itu melalui rakyat secara
langsung ataukah melalui DPRD?, sebab mekanisme pemilihan kedua-duanya adalah
pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi. Dengan tegas isi muatan konstitusi
akan tertutup ruang parlemen kita menafsirkan konstitusi sesuai selera,
kelompok, golongan dan/atau partai politiknya. Adanya kubu KMP (Koalisi Merah
Putih) yang dipelopori partai golkar dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang
dipelopori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah kesemrawutan
kubu-kubuan di negeri ini dengan terang benderang memberikan pendidikan politik
yang tidak patut, KMP yang koalisinya overloade berhasil memaksa merubah
Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD. Beruntung SBY
cekatan membuat Perpu mengembalikan Pilkada kepada kuasa daulat rakyat dan
sudah dikukuhkan oleh DPR menjadi UU No. 23 tahun 2014 diubah terakhir UU. No.
9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah.
5. Hasil amandemen UUD 1945 selama empat kali bandul kekuasaan bergeser ke
legislative heavy, sebelumnya kekuasaan ditangan presiden (executive heavy).
Misalnya, hak prerogratif presiden untuk mengangkat duta dan konsul tidak perlu
dimintakan persetujuan kepada DPR.
6. Pasal 7B yang mengatur tentang pemakzulan (impeachment)
presiden tidak tepat. Yang tepat jika MK sudah memutuskan Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah melanggar UUD 1945 dengan perbuatan
melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, harus ada pasal yang tegas di konstitusi
segera MPR memberhentikan presiden. Tidak perlu MPR bersidang dengan agenda
memutuskan usul DPR yang sudah nyata-nyata diputus bersalah oleh MK, hal ini
akan berdampak mengacaukan konstitusi, jika keputusan MPR yang diambil dengan
suara terbanyak berlawanan secara hukum dengan putusan MK ternyata presiden
dan/atau wakil presiden tidak diberhentikan akibat koalisi/aliansi yang sudah overloade
di DPR, maka akan mengacaukan konstitusi dan ketatanegaraan kita.
7. Presiden yang sudah pernah menjabat selama dua kali masa jabatan selain
sudah jatuh tempo dan dilampu merah konstitusi tidak dapat mencalonkan presiden
kembali, juga tidak dapat mencalonkan menjadi WAKIL PRESIDEN meskipun yang
bersangkutan belum pernah menjabat menjadi Wapres. Sebab, jika presiden
mangkat, berhenti atau diberhentikan dengan sendirinya Wapres akan menggantikan
Presiden sampai habis sisa masa jabatannya (Pasal 8 UUD 1945). Jika hal ini
terjadi akan mengacaukan konstitusi tentang pembatasan masa jabatan presiden
maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7).
8. Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali
masa jabatan (pasal 7 UUD 1945) tidak sejalan dengan pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A UUD 1945). Sekarang ini
terjadi paradox/kontradiktif interminis di dalam konstitusi, pra amandemen UUD
1945 presiden yang dipilih oleh MPR yang seharusnya dibatasi masa
jabatannya justru tidak dibatasi, anomali presiden yang dipilih oleh rakyat
secara langsung sekarang justru dibatasi. Pertanyaannya, bagaimana jika
presiden memiliki prestasi luar biasa untuk mensejahterakan rakyatnya sementara
dikurung konstitusi tidak dapat mencalonkan kembali?.
9.
Pasca amandemen UUD 1945 negara tidak memiliki GBHN (Garis-Garis Besar
Haluan Negara) sehingga tidak terwujud pembangunan secara berkesinambungan dan
berkelanjutan. Ketiadaan GBHN akan berbahaya karena ketika berganti presiden
akan berganti pula program sesuai selera presiden masing-masing yang
tidak ada supervisi dari majelis, tak ayal banyak dijumpai pembangunan yang
mangkrak tidak terselesaikan. Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN yang
merupakan arah penyelenggaraan negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk
mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan konflik sosial
dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku
merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau
tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan
hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya,
hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah
pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan
gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga
mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan
bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga
politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya
masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan
pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah
perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip
desentralisasi dan otonomi daerah. Sayangnya, TAP MPR
No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi
panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN
sekarang sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara
kita tidak memiliki panduan jelas mengenai keberlangsungan
pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).
10. Pasal 25 UUD 1945 secara EYD ada yang keliru: “Syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk “DIPERHENTIKAN” sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang”. Seharusnya yang tepat “DIBERHENTIKAN”. Padahal sebelum
amandemen UUD 1945 ada konsensus/kesepakatan untuk menyesuaikan dengan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD).
11. Pra amandemen, UUD 1945 hanya terdiri 71 ayat, pasca amandemen UUD 1945
menjadi 199 ayat penambahannya 128 ayat. Penambahan yang sama persis, kebetulan
atau disengaja sama dengan jumlah anggota DPD ketika dilantik pertama kali pada
tahun 2004. Sehingga dengan demikian sudah hampir 300% UUD 1945 dilakukan
perubahan. Pertanyaannya, masih tepatkah UUD disebut UUD NRI Tahun 1945
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)?.
12. Pasal 7C UUD 1945 tidak tepat: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR”. Yang tepat adalah: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR dan DPD”. Rumusan UUD 1945 sekarang ini seolah presiden dapat
membubarkan DPD. Padahal sebelum amandemen ada 5 (lima) konsensus/ kesepakatan
dasar antara lain, penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat
normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
13. Hukuman mati harus dipertegas di dalam konstitusi diperbolehkan atau
tidak. Pasal 28I UUD 1945 telah mempertegas hak untuk hidup tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi MK memutuskan membolehkan hukuman mati
yang menurut saya sudah melebihi kewenangannya, MK bukan menafsirkan tetapi
sudah merubah konstitusi.
14. Konstitusi perlu mempertegas Pilpres cukup satu kali putaran jika cuma
ada dua pasangan calon presiden dan/wakil presiden. MK dalam prakteknya
melebihi kewenangannya sebagai interpreter konstitusi dengan jelas-jelas
merubah isi UUD 1945 yang memutuskan satu kali putaran jika terjadi dua
pasangan calon presiden dan/atau wakil presiden. Putusan MK yang diluar
kewenangannya ini sesuai teori Wheare dalam perubahan konstitusi yang
menyatakan perubahan konstitusi dapat dilakukan oleh judicial interpretation
(MK) selain oleh some primary forces dan formal amendment.
15. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) strong bicameralisme (diberi kewenangan)
atau dibubarkan.
DAFTAR PUSTAKA
(Pengantar
llmu Hukum
Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Panduan memasyarakatkan UUD 1945 (Sekretariat
Jenderal MPR-RI 2003).
Risalah BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1995).
Buyung, Nasution Adnan (Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia) Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama
Grafiti, hal. 121.
UUD 1945