Selasa, 30 Januari 2024

PRESIDEN JOKO WIDODO HAMPIR MUSTAHIL BISA DI IMPEACHMENT KECUALI

 


 

Oleh WARSITO, SH., M.Kn                                                                                                                                                                                          

     Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta

  

Gerakan atau wacana dari beberapa kelompok masyarakat yang menginginkan Joko Widodo turun dari jabatan Presiden, atau diturunkan dari jabatan Presiden sebenarnya tidak perlu ditanggapi secara serius oleh pak Jokowi atau pendukungnya, apalagi panik dan risau. Sebab, menurunkan jabatan Presiden itu tidak bisa sembarangan, harus konstitusionalitas tidak bisa faktor suka atau tidak suka, konstitusi telah mengatur impeachment presiden dengan tegas dan rinci, hal ini dimaksudkan agar presiden tidak mudah dijatuhkan sewaktu-waktu ditengah jalan karena akan berdampak kepada pelayanan publik, ketidakpastian hukum dan sistem perpolitikan nasional yang akan menjadi tidak menentu.

 

Presiden hanya dapat diberhentikan ditengah jalan dari jabatannya oleh MPR ketika unsur-unsur didalam Pasal 7A UUD 1945 telah terpenuhi. Yaitu, pak Jokowi terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Wacana pemberhentian presiden di tengah jalan atas dasar suka tidak suka atas kekurangpuasan kinerja presiden tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pak Jokowi dari jabatan presiden.

 

Pasca amandemen UUD 1945 soal pemakzulan presiden sudah diatur secara lengkap dalam pasal 7B UUD 1945 sebagai berikut: Didahului dugaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Ketika bola panas dari DPR dilempar ke MK, dari komposisi 9 hakim MK, yang 3 diantaranya diajukan oleh  presiden, 3 orang hakim MK  diajukan oleh DPR dan 3 hakim MK diajukan oleh Mahkamah Agung besar kemungkinan presiden akan terbentengi, dengan kata lain, Presiden akan aman, mengingat  3 hakim yang dari unsur legislatif di parlemen koalisinya sudah overload mendukung pemerintah, secara hitungan matematik  3 hakim MK dari unsur legislatif pun “akan teringat darimana asal-usulnya” maka besar kemungkinan juga akan memutuskan menolak dugaan DPR  bahwa presiden telah melanggar UUD 1945. Dari komposisi jumlah 9 hakim  MK ini jika putusan dilakukan voting, maka hampir pasti presiden akan aman dari goyangan impeachment.

 

Tetapi sepahit-pahitnya jika MK menyatakan Presiden bersalah melanggar hukum, maka putusan MK tersebut masih akan dikembalikan kepada DPR, berikutnya DPR akan mengundang sidang MPR untuk menyikapi putusan MK tersebut. Dari sini baru akan timbul kekacauan konstitusi, ketika presiden diputuskan bersalah melanggar UUD 1945 oleh MK, karena anggota DPR yang merangkap anggota MPR di parlemen koalisinya sudah overload mendukung pemerintah, maka akan mudah terbaca putusan sidang istimewa MPR bakalan menolak memberhentikan Presiden. Seharusnya ketika putusan MK menyatakan Presiden bersalah melanggar UUD 1945 demi menjamin kepastian hukum, putusan MK tersebut harus bersifat final kemudian ditindaklanjuti sidang istimewa MPR untuk memberhentikan presiden.

Jadi berdasarkan tata cara pemberhentian presiden yang teramat rumit dan agak sulit tersebut hampir mustahil presiden dapat diberhentikan dipersimpangan jalan ketika presiden tidak melanggar UUD 1945.

 

 

 

KEGADUHAN AMANDEMEN KELIMA UUD 1945 DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA

 


 

Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta

        Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta 
JABATAN FUNGSIONAL DOSEN: LEKTOR

 

   A.   LATAR BELAKANG

            Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

            Gerakan reformasi secara heroik pada tahun 1998 puncaknya dapat menumbangkan singgasana Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi ini, berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional menjadi berkembang liar krisis moral, akhlak, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. People power gerakan mahasiswa dibantu komponen bangsa amat dahsyat tidak terbendung lagi akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto yang dinilai represif, sarat  KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan otoriter sehingga menjadikan bom waktu, Soeharto yang baru dilantik menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya oleh MPR pada Maret 1998, selang dua bulan kemudian bernasib tragis tumbang dari tahtanya  dipaksa “memakzulkan dirinya sendiri” dari jabatan Presiden Republik Indonesia.

Dalam Panduan memasyarakatkan UUD 1945 (2003: xi, xii 5,6, 16, 25), era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang didesakkan oleh berbagai komponen bangsa itu antara lain:

a.    amandemen UUD 1945;

b.    penghapusan dwi fungsi ABRI;

c.    penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan   

     pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);

d.   desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);

e.    mewujudkan kebebasan pers;

f.     mewujudkan kehidupan demokrasi.

     Perubahan UUD 1945 merupakan pengalaman historis bersifat monumental bagi bangsa dan negara Indonesia, karena  menyempurnakan aturan dasar mengenai hal-hal yang bersifat fundamental bagi kehidupan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Dengan perubahan itu, UUD 1945 disempurnakan menjadi makin sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan bangsa Indonesia dan peradaban umat manusia. Perubahan konstitusi itu menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, sehingga memiliki daya tahan yang kuat ke masa yang akan datang. Selain itu, tujuan diadakan perubahan UUD 1945 antara lain, untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman.

Selain itu, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD 1945, agar sesuai, antara lain perkembangan paham demokrasi dan Hak Asasi Manusia, tegaknya supremasi hukum, dikembangkannya ekonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan terwujudnya negara kesejahteraan pada era modern ini, yang di Ridhoi Allah SWT. Perubahan UUD 1945 diharapkan dapat menjangkau jauh ke masa depan bangsa, agar tidak mudah usang atau lapuk di makan zaman (verourded).

            Dari sudut pandang filosofis, sosiologis, politis maupun juridis secara teoritis UUD dapat diubah. Oleh karena itu, kita perlu terus mendorong MPR mengupayakan perubahan konstitusi yang lebih baik, demi kepentingan negara-bangsa. MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 ada 5 (lima) kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I berkaitan dengan perubahan UUD 1945 sebagai platform atau koridor yaitu:

a.    tidak mengubah pembukaan UUD 1945;

b.    tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c.    tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial;

d.   menghapuskan penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal;

e.    perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan dengan cara adendum.

 Sebagai buah reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil amandemen yang sangat signifikan dirasakan antara lain dapat: mengembalikan kuasa daulat rakyat melalui pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat {1} UUD 1945 sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR yang mendistorsi kuasa daulat rakyat; dapat membatasi dengan tegas kekuasaan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945); melahirkan lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang memiliki reputasi sangat baik sebagai peradilan progresif di abad modern ini yang berfungsi sebagai penjaga gawang konstitusi (guardian constitution), dll.

 

B.PEMBAHASAN

            Menurut Yamin, didalam Adnan Buyung Nasution (hal: 121: 2001) harus jelas bagi rakyat apakah UUD akan menuju pada republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu UUD harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan negara dan juga harus menentukan persyaratan yang menjamin kesejahteraan dan hak-hak rakyat, serta memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya. Singkatnya kebebasan-kebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu (zaman kolonial), serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita (Yamin, I, 1959: 230).

Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

Kegaduhan gagasan amandemen kelima UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 2007 tatkala DPD mengusulkan agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR, sayangnya gagasan amandemen tersebut gagal total di pertengahan jalan. Berikutnya, pada tahun 2011 DPD (Dewan Perwakilan Daerah) kembali ribut mengusulkan amandemen kelima UUD 1945,  tetapi kali ini belum sampai pada tahap diajukan oleh DPD pelan-pelan menghilang bak ditelan bumi. Selanjutnya pada tahun 2014 MPR telah secara resmi mengajukan amandemen kelima UUD 1945 untuk mengubah sejumlah substansi dalam konstitusi, hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Tim Ad Hoc II MPR, Jafar Hafsah dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014, nasional.kompas.com), sayangnya usulan tersebut juga belum dapat ditindaklanjuti. Jika penulis perhatikan, dari periode ke periode masa jabatan anggota MPR selalu gaduh mewacanakan perubahan kelima UUD 1945, sayangnya antara periode sebelumnya dengan periode sekarang maupun di masa yang akan datang tidak dijadikan sebuah keputusan melembaga dan sistemik, sehingga terkesan dari periode ke periode  masa bhakti anggota MPR masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri cuma membikin suasana kegaduhan perpolitikan dan hukum ketatanegaraan nasional. Di tahun 2016 ini MPR gencar kembali mengusung perubahan kelima UUD 1945,bedanya usulan amandemen konstitusi kali ini bukan inisiatif DPD, tetapi hasil kecerdasan MPR membaca gerak nadi masyarakat yang menginginkan kembali GBHN dimasukkan ke dalam konstitusi dimana selama ini kita kehilangan arah panduan untuk bernegara. Jika amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2017, besar kemungkinan akan bernasib sama dengan gagasan amandemen sebelumnya yang hanya bising membuat kegaduhan perpolitikan nasional alias GAGAL TOTAL, mengharap MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 2018, HAMPIR MUSTAHIL, sebab anggota MPR didalamnya anggota DPR dan anggota DPD akan mencari selamat sendiri-sendiri sibuk berkonsentrasi merebut hati rakyat terjun ke kantong-kantong konstituen guna menghadapi pertarungan pemilu legislatif pada tahun 2019.

Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945 yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001 kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi “napas buatan” oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Jika di Inggris  memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords  dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral parliament, yaitu, The House of Representatives dan The Senate yang secara bersama-sama disebut The Congress The United States of America. The House of Representatives mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum setempat (Pengantar llmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).

Kelatahan sistem parlemen kita yang mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap implementasinya justru menjadi lelucon belaka. Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan setelah dihempas badai (gagalnya) amandemen konstitusi tahun 2007 lalu. Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu DPR. Analogi lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola, 132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang, melawan tim DPR yang berkekuatan penuh 560 anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini pertahanan lapangan (usulan 1/3 perubahan konstitusi) tidak akan mampu.

Hampir mustahil, usulan amandemen yang diusung secara parsial oleh DPD untuk memperkuat kelembagaannya dapat menembus jantung pertahanan DPR, sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945 yang mengharuskan 1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu anggota MPR untuk pengambilan putusan.

Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, sudah 110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amandemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan jumlah anggota DPR 550 anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut dan mengingkari tanpa rasa malu, ibarat sudah meludah ditelan kembali. Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit, DPD dianjurkan mengusulkan amandemen hasil pemilu 2009 saja. DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 ini nampaknya anggota MPR serius untuk melakukan amandemen UUD 1945 khususnya isue sentral mengenai perlunya GBHN kembali dimasukkan di dalam UUD 1945.

Usulan perubahan kelima konstitusi jilid I, yang digagas DPD telah  mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal  204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. Perilaku yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu yang terkesan dibuat-buat ini, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), dugaan kuat memiliki kepentingan politik dibalik penjegalan amandemen itu. Batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amandemen konstitusi ditentukan kenegarawanan jumlah 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).

 Gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang mengemuka di tahun 2016 ini, DPD yang akan menenggak keuntungan karena dapat mendompleng mengusulkan kembali agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR. Usulan perubahan kelima konstitusi pada tahun 2007 lalu dukungan sudah mencapai 238 anggota MPR (110 anggota DPR dan 128 anggota DPD) tetapi kandas dipertigaan simpang jalan, padahal sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Untuk kali kedua di akhir tahun 2011 DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen) ketika itu DPD telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12/2011).

Dalam hal ihwal amandemen konstitusi, penulis pernah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen Jilid II ketika itu yang diusulkan DPD tidak ada terlihat perubahan yang signifikan, cuma sedikit semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi biar mendapat simpati rakyat, meski ide ini bakalan sulit direalisasikan. Dibanding 2007, usulan amandemen yang digagas DPD 2011 lalu, memang cukup cemerlang dan realistis. Bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki agenda yang utama, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat dan sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi.                       

 Anggota DPD secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. Alias, DPD bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Ada dugaan kuat DPD sengaja di design tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan, sebab jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  ada dugaan kuat memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki  peran strategis.

Hanya ada dua opsi bagi MPR, mempertahankan DPD dengan memberi kewenangan, ataukah membubarkan. Indikasi kuat DPD “tidak diurus” dipertontonkan dengan terang benderang oleh DPR dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.

Amandemen Konstitusi Berhasil Jika DPR Negarawan

Jika DPD dapat  menembus amandemen kelima konstitusi, lembaga ini akan memiliki kewenangan ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD diperkuat, berdampak mengacaukan konstitusi, kebalikannya, jika hanya dijadikan assessoris dalam sistem ketatanegaraa lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak memiliki arti (meaningless). Sesungguhnya jumlah 560 anggota DPR ketika “memasuki ruang sidang majelis”, sudah dapat membubarkan DPD, sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD yang juga merangkap anggota MPR.

 

C.SARAN

Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali  sejak 1999-2002 selain dapat menjawab tuntutan perubahan zaman sebagaimana saya sebutkan diatas  tentunya juga banyak kelemahan yang dijumpai antara lain:

1.      MPR sudah tepat membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung), disisi lain MPR telah melakukan kesalahan besar (big mistake) dengan melahirkan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), padahal kedua lembaga negara tersebut produknya sama-sama tidak memiliki implikasi juridis jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Yang membedakan pertimbangan DPA disampaikan kepada presiden tetapi  untuk  pertimbangan DPD disampaikan kepada DPR.

2.      Rumusan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berikut  tidak tepat: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Yang tepat adalah: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan OLEH PRESIDEN”. Bagaimana mungkin sebuah benda mati berupa UUD 1945 dapat melaksanakan kedaulatan rakyat?. Cukup tepat dan realistis jika kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh presiden karena konkordan (cocok) sesuai pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dimana presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung. Selain itu kedudukan presiden sekarang bukan untergeordnet (bawahan) majelis, tetapi sudah neben (sejajar).

3.      Pancasila sebagai dasar negara menjadi keharusan untuk dimasukkan di dalam konstitusi (di pasal-pasal), Pancasila tidak cukup secara implisit di  pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar negara secara normatif dimungkinkan untuk dilakukan perubahan sesuai Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme amandemen konstitusi yang menyatakan khusus NKRI tidak dapat dilakukan perubahan, semestinya PANCASILA sebagai dasar negara juga dipertegas  tidak dapat dilakukan perubahan.

4.      Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak tepat yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Rumusan konstitusi harus jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan sehingga tidak menimbulkan penafsiran hukum bersayap. Apakah makna dipilih secara demokratis itu melalui rakyat secara langsung ataukah melalui DPRD?, sebab mekanisme pemilihan kedua-duanya adalah pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi. Dengan tegas isi muatan konstitusi akan tertutup ruang parlemen kita menafsirkan konstitusi sesuai selera, kelompok, golongan dan/atau partai politiknya. Adanya kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang dipelopori partai golkar dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dipelopori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah kesemrawutan kubu-kubuan di negeri ini dengan terang benderang memberikan pendidikan politik yang tidak patut, KMP yang koalisinya overloade berhasil memaksa merubah Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD. Beruntung SBY cekatan membuat Perpu mengembalikan Pilkada kepada kuasa daulat rakyat dan sudah dikukuhkan oleh DPR menjadi UU No. 23 tahun 2014 diubah terakhir UU. No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah.

5.      Hasil amandemen UUD 1945 selama empat kali bandul kekuasaan bergeser ke legislative heavy, sebelumnya kekuasaan ditangan presiden (executive heavy). Misalnya, hak prerogratif presiden untuk mengangkat duta dan konsul tidak perlu dimintakan persetujuan kepada DPR.

6.      Pasal 7B yang mengatur tentang pemakzulan (impeachment) presiden  tidak tepat. Yang tepat jika MK sudah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah melanggar UUD 1945 dengan perbuatan melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, harus ada pasal yang tegas di konstitusi segera MPR memberhentikan presiden. Tidak perlu MPR bersidang dengan agenda memutuskan usul DPR yang sudah nyata-nyata diputus bersalah oleh MK, hal ini akan berdampak mengacaukan konstitusi, jika keputusan MPR yang diambil dengan suara terbanyak berlawanan secara hukum dengan putusan MK ternyata presiden dan/atau wakil presiden tidak diberhentikan akibat koalisi/aliansi yang sudah overloade di DPR, maka akan mengacaukan konstitusi dan ketatanegaraan kita.

7.      Presiden yang sudah pernah menjabat selama dua kali masa jabatan selain sudah jatuh tempo dan dilampu merah konstitusi tidak dapat mencalonkan presiden kembali, juga tidak dapat mencalonkan menjadi WAKIL PRESIDEN meskipun yang bersangkutan belum pernah menjabat menjadi Wapres. Sebab, jika presiden mangkat, berhenti atau diberhentikan dengan sendirinya Wapres akan menggantikan Presiden sampai habis sisa masa jabatannya (Pasal 8 UUD 1945). Jika hal ini terjadi akan mengacaukan konstitusi tentang pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7).

8.      Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945) tidak sejalan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A UUD 1945). Sekarang ini terjadi paradox/kontradiktif interminis di dalam konstitusi, pra amandemen UUD 1945 presiden yang dipilih oleh MPR yang seharusnya dibatasi  masa jabatannya justru tidak dibatasi, anomali presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung sekarang justru dibatasi. Pertanyaannya, bagaimana jika presiden memiliki prestasi luar biasa untuk mensejahterakan rakyatnya sementara dikurung konstitusi tidak dapat mencalonkan kembali?.

9.      Pasca amandemen UUD 1945 negara tidak memiliki GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sehingga tidak terwujud pembangunan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Ketiadaan GBHN akan berbahaya karena ketika berganti presiden akan  berganti pula program sesuai selera presiden masing-masing yang tidak ada supervisi dari majelis, tak ayal banyak dijumpai pembangunan yang mangkrak tidak terselesaikan. Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN yang merupakan arah penyelenggaraan negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN sekarang  sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan  jelas mengenai  keberlangsungan pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).

10.  Pasal 25 UUD 1945 secara EYD ada yang keliru: “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk “DIPERHENTIKAN” sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”. Seharusnya yang tepat “DIBERHENTIKAN”. Padahal sebelum amandemen UUD 1945 ada konsensus/kesepakatan untuk menyesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

11.  Pra amandemen, UUD 1945 hanya terdiri 71 ayat, pasca amandemen UUD 1945 menjadi 199 ayat penambahannya 128 ayat. Penambahan yang sama persis, kebetulan atau disengaja sama dengan jumlah anggota DPD ketika dilantik pertama kali pada tahun 2004. Sehingga dengan demikian sudah hampir 300% UUD 1945 dilakukan perubahan. Pertanyaannya, masih tepatkah UUD disebut UUD NRI Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)?.

12.  Pasal 7C UUD 1945 tidak tepat: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Yang tepat adalah: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”. Rumusan UUD 1945 sekarang ini seolah presiden dapat membubarkan DPD. Padahal sebelum amandemen ada 5 (lima) konsensus/ kesepakatan dasar antara lain, penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal.

13.  Hukuman mati harus dipertegas di dalam konstitusi diperbolehkan atau tidak. Pasal 28I UUD 1945 telah mempertegas hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi MK memutuskan membolehkan hukuman mati yang menurut saya sudah melebihi kewenangannya, MK bukan menafsirkan tetapi sudah merubah konstitusi.

14.  Konstitusi perlu mempertegas Pilpres cukup satu kali putaran jika cuma ada dua pasangan calon presiden dan/wakil presiden. MK dalam prakteknya melebihi kewenangannya sebagai interpreter konstitusi dengan jelas-jelas merubah isi UUD 1945 yang memutuskan satu kali putaran jika terjadi dua pasangan calon presiden dan/atau wakil presiden. Putusan MK yang diluar kewenangannya ini sesuai teori Wheare dalam perubahan konstitusi yang menyatakan perubahan konstitusi dapat dilakukan oleh judicial interpretation (MK) selain oleh some primary forces dan formal amendment.

15.  DPD (Dewan Perwakilan Daerah) strong bicameralisme (diberi kewenangan) atau  dibubarkan.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

(Pengantar llmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan         Mahkamah Konstitusi: 2006).

 

Panduan memasyarakatkan UUD 1945 (Sekretariat Jenderal MPR-RI 2003).

 

Risalah BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1995).

 

Buyung, Nasution Adnan (Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia) Studi         Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, hal.        121.

 

UUD 1945

 

 

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19