Rabu, 21 Oktober 2009

DPD Perlu Belajar Hukum Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Master Hukum UI

        Sikap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) benar-benar sangat memalukan. Pasalnya baru-baru saja terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR unsur DPD dipermasalahkan karena dianggap tidak mewakili lembaga DPD. Pada hakekatnya Farhan Hamid itu bukan bertindak untuk dan atas nama kelembagaan DPD, tetapi ia adalah dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama dirinya sebagai anggota MPR. Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, anggota MPR itu terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Jadi terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR secara hukum itu sudah sah, karena sudah sesuai ketentuan konstitusi, UU maupun peraturan Tata Tertib MPR.
DPD Perlu belajar hukum ketatanegaraan dengan baik, sebab sikap yang diperagakan oleh DPD ini benar-benar sangat memalukan. Apalagi yang dipermasalahkan tidak bersifat mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan Negara. Permasalahannya hanya sepele soal ketiadaan “pembagian permen secara seimbang antara DPR dengan DPD” di Pimpinan MPR.
Jika DPD ngambeg hal itu wajar-wajar saja karena sakit hati tidak diberikan jatah 2 anggotanya duduk di Pimpinan MPR. Namun, DPD perlu menahan amarahnya kepada DPR, sebab, selain tidak seimbang melawan DPR baik mengenai kewenangannya maupun jumlah anggotanya, bisa-bisa jika DPR sudah geram kepada DPD malah memasuki ruang sidang paripurna majelis menjelma menjadi anggota MPR membubarkan DPD.

Kamis, 24 September 2009

Idul Fitri Hubungannya dengan Kehidupan Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen-Pati


            Lebaran dan Idul Fitri memang sudah berlalu, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh berlalu begitu saja. Bagi umat muslim, sebulan penuh telah melaksanakan ibadah puasa dan dilanjutkan dengan kegiatan ibadah tarawih dan tadarusan. Kegiatan itu semata-mata dilakukan untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan, karena kegiatan ibadah di Bulan Ramadhan nilainya dilipatgandakan ketimbang bulan-bulan yang lain.
           Namun sangat disayangkan, banyak yang belum memahami nilai-nilai semangat Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Pasca Ramadhan kita kenal dengan sebutan hari raya Idul Fitri atau lebaran, momentum tersebut digunakan untuk salam-salaman memohon maaf dan bathin. Saya tidak tahu apakah permohonan maaf tersebut dilakukan dengan tulus atau tidak. Atau bahkan sebaliknya, hanya dilakukan sekedar basa-basi belaka. Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh imbalan pahalanya tidak lain adalah kita menjadi suci kembali, ibarat bayi yang baru dilahirkan. Pada hari itu Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa hambanya, tetapi untuk urusan dosa dengan umat manusia (hablumminnas), maka antar sesama manusia sendiri yang wajib saling memafkan. Jangan sampai permohonan maaf lahir dan bathin ini hanya jadikan sebuah tradisi yang tidak bermakna.       Konkretnya hanya sekedar sebuah seremonial belaka.
Jika kita melaksanakan puasa dengan benar, maka bulan-bulan berikutnya ahlak dan moral kita akan menjadi lebih baik lagi, akan tercermin baik di Lingkungan bekerja, kehidupan masyarakat, berbangsa dan Bernegara. Karena Bulan puasa adalah ruh untuk bulan-bulan berikutnya.
Indikatornya seseorang yang berpuasa dengan benar, maka jika menjadi pemimpin pasti ia akan menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana, dan bagi karyawan atau pegawai akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggungjawab karena bekerja pada hakekatnya adalah merupakan ibadah.

Rabu, 25 Maret 2009

Apakah Sesungguhnya Fungsi Materai Itu ?.



Oleh Warsito, SH., M.Kn
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta


         Siapakah yang dipersalahkan jika banyak orang yang tidak mengetahui kegunaan materai dalam pembuatan kontrak atau perjanjian?. Anggapan selama ini, di instansi pemerintah atau swasta, jika orang sudah tanda tangan di perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat. Padahal sebenarnya fungsi materai tidak sekuat apa yang mereka kira.Materai itu tidak memilki pembuktian apa-apa.
        Lalu apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang otentik maka harus memenuhi syarat-syarat berikut: Bentuk perjanjian/kontrak ditentukan oleh UU; dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum/notaris; dibuat di wilayah pembuatan kontrak tersebut (pasal 1868 BW). Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya.
Sekali lagi materai itu tidak memiliki pembuktian apa-apa, kecuali hanya untuk membayar pajak kepada negara.

Jumat, 13 Maret 2009

Lembaga Negara Manakah Inisiator Membubarkan DPD?.


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-Master Kenotariatan UI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri


            Lembaga Negara manakah yang harus menjadi inisiator amendemen konstiusi membubarkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?. Jawabnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Meskipun secara formalistis Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berhak dan berwenang mengusulkan amendemen UUD 1945, tetapi dalam praktek ketatanegaraannya DPR-lah sesungguhnya yang berwenang mengubah dan mengusulkan amendemen konstitusi. Sebab 550 anggota DPR merangkap MPR kekuatannya luar biasa dahsyat sudah dapat membubarkan DPD.
Menunggu inisiator dari DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sampai kiamat tiba, tidak mungkin DPD mau menjelma MPR mengusulkan membubarkan kelembagaannya. Meskipun anggota DPD merangkap juga MPR berwenang mengusulkan konstitusi, sekali lagi tidak mungkin sebagai lembaga Negara yang terlibat memutuskan akan bunuh diri mengusulkan kelembagaannya dibubarkan.
      Dalam sistem ketatanegaraan, Negara yang menganut kesatuan tidak mengenal istilah bicameral,apalagi bicameralnya Indonesi ini adalah bicameral pura-pura.
Tuan-tuan anggota MPR apakah tidak malu jika konstitusi kita dikaji oleh akademisi dunia internasional, khususnya menyangkut keberadaan DPD yang tidak mendatangkan manfaat ini. Selain itu produk DPD juga tidak memiliki arti (meaningless). Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, dari aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit), lebih baik DPD itu dibubarka saja. Terkecuali tuan-tuan anggota DPR merangkap MPR mengambangkan DPD itu sengaja untuk tujuan beristirahat di hari tua ketika sudah tidak laku lagi di partai politik.

Rabu, 11 Maret 2009

Interpreter Konstitusi Itu MPR, Ataukah MK ?.

 
Warsito, SH M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
Mantan Tim Perumus Tata Naskah
DPD-RI
Master Kenotariatan UI
PNS DPD-RI Digolongkan II/c Berhenti Dengan
Hormat



     Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK jika dikaji secara mendalam, maka akan terjadi kontradiktif dengan UU. No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan, sebab putusan MK itu bukan merupakan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.OLeh karena itu, jika putusan MK diabaikan,tidak ada dampak konsekuensi yang ditimbulkan.
       Pertanyaannya,apakah benar MK itu guardian constitution (penjaga gawang konstitusi)?.Menurut hemat saya anggapan itu sangat berlebihan.Dan apakah benar MK itu sebagai interpreter konstitusi?.Dua-duanya anggapan itu keliru besar.Lembaga negara manakah sesungguhnya yang menjaga gawang konstitusi itu?.Jawabnya adalah MPR,sebagai lembaga negara yang telah merumuskan konstitusi,MPR tentu berkewajiban pula untuk memelihara dan menjaganya.Dan lembaga negara manakah sesungguhnya sebagai penerjemah atau interpreter konstitusi?.Jawabnya juga MPR,bukan MK.MPR yang telah merumuskan dengan susah payah konstitusi,tentu MPR pula yang mengetahui isi kandungan konstitusi yang masih bersifat abstraksi(remang-remang). Sekali lagi bukan MK.
Jumlah hakim MK 9 (sembilan) orang, terdiri dari: 3 unsur legislatif,3 unsur eksekutif dan 3 unsur yudikatif.Putusan MK sering diwarnai pemaksaan mayoritas dengan disertai dissenting opinion (pendapat hukum berbeda) diantara para hakim konstitusi.
Meskipun putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap(incraht van gewijsde),namun putusan MK bukan merupakan produk perundang-undangan sebagaimana ditetapkan oleh UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bahkan ada yang lebih aneh diantara kewenangan yang dimiliki MK, yaitu,memutus sengketa kewenangan lembaga negara.Pertanyaannya,bagaimana jika MK yang berkedudukan sebagai lembaga negara sering mensosialisasikan UUD 1945,MPR yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara memperkarakan MK?.Lembaga negara manakah yang akan mengadili?.jawabnya MK.Bagaimana mungkin MK dapat memutus perkara dengan obyektif mengingat ia sebagai lembaga negara berperkara sekaligus sebabagai lembaga negara penghakim?.Meskipun secara legalistis pimpinan MPR yang mempunyai tugas untuk mensosialisasikan konstitusi sebagaimana diperintahkan oleh UU Susduk,sulit bagi MPR memenangi pertarungan ini,jika sewaktu-waktu kasus ini bergulir.

Selasa, 10 Maret 2009

PERANAN DPR-RI DALAM AIPA



Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Peermintaan Seendiri



BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang

AIPO (ASEAN Inter-Parliamentary Organization) secara resmi didirikan pada tanggal 2 September 1977, merupakan wadah pemersatu bagi parlemen-parlemen Asia Tenggara. Embrio terbentuknya AIPO diawali beberapa pertemuan kegiatan kunjungan bilateral antar anggota parlemen lima negara-negara anggota ASEAN untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesepahaman untuk saling membantu dan mendorong terwujudnya kerjasama yang lebih erat untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi negara-negara ASEAN. Pertemuan pertama diberi nama First ASEAN Parliamentary Meeting (APM). Pertemuan APM ke-2 diselenggarakan di Kuala Lumpur-Malaysia, mengadopsi statutes of the ASEAN Parliamentary Cooperation yang draftnya dirumuskan oleh Indonesia, menghasilkan draft statuta bernama: “Statutes of the ASEAN Parliamentary Cooperation” dan Deklarasi bersama (joint declaration), antara lain: meningkatkan kerja sama yang lebih erat antara parlemen negara-negara anggota ASEAN, yang bertugas mencari jalan untuk menyelesaikan permasalahan guna mencapai tujuan bersama. Tindaklanjut pertemuan APM pertama diselenggarakan di Tugu-Bogor pada tanggal 12-15 Mei 1975, kemudian terbentuk Working Committee, salah satu tujuannya adalah meletakkan dasar untuk membentuk sebuah forum/wadah bagi parlemen negara-negara anggota ASEAN, guna memberi kontribusi nyata bagi kesejahteraan dan perdamaian kawasan Asia Tenggara khususnya, dan dunia pada umumnya. ASEAN Charter yang dikembangkan ASEAN telah berubah dari bentuk asosiasi, menjadi suatu organisasi yang berkepribadian hukum (legal personality), sebagai landasan yuridis untuk mencapai tujuan dan sasaran bersama yang diinginkan. APM yang ke-3 dilaksanakan di Manila-Philipina, menyetujui the Statutes of AIPO secara resmi menandai berdirinya AIPO, sekaligus perubahan APM menjadi AIPO. Sidang Umum AIPO diadakan secara periodik setiap tahun sekali, ketua parlemen negara penyelenggara merangkap sebagai presiden AIPA.

BAB II
PEMBAHASAN

SIUM ke-27 diselenggarakan di Cebu City-Philipina menyepakati rekomendasi Ad Hoc Committee untuk melakukan transformasi AIPO menjadi institusi yang efektif dan terintegrasi dengan ASEAN. Amandemen statuta AIPO, termasuk di dalamnya adalah perubahan nama AIPO menjadi AIPA oleh sidang luar biasa executive committee yang diadakan di Kuala Lumpur. Deklarasi ASEAN dilaksanakan di Bangkok-Thailand Agustus 1967 salah satu tujuan deklarasi itu adalah mewujudkan visi ASEAN 2020, Bali Concord II tahun 2003. Visi mulia yang perlu mendapat dukungan dan difasilitasi untuk menuju terwujudnya komunitas ASEAN berdasarkan pada pilar: ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community ((ASCC). Terwujudnya komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terintegratif perlu terus didorong dan difasilitasi melalui peran aktif para anggota parlemen dan organisasi kemasyarakatan lainnya, guna lebih mempererat hubungan parlemen-parlemen negara Asia Tenggara. AIPA perlu memiliki perundang-undangan bersama (common legislative initiative), untuk dikembangkan menjadi perundang-undangan nasional. Legislasi bersama itu, dapat memberi jalan keluar untuk memfasilitasi proses ratifikasi berbagai kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai bersama oleh ASEAN, sehingga ASEAN Community tersebut dapat diwujudkan. Peranan AIPA sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara, sebagai buktinya adalah aktifnya para anggota parlemen membahas dan mencari solusi bagi masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Tujuan dibentuknya AIPO adalah untuk meningkatkan kesadaran, solidaritas, kerjasama, dan hubungan yang lebih erat serta meningkatkan aspirasi regional bagi terwujudnya perdamaian, stabilitas pertahanan, dan kemajuan negara-negara anggota ASEAN. Pada saat berdirinya, AIPO beranggotakan lima parlemen negara-negara ASEAN, yakni: Indonesia, Malaysia, Philipines, Singapore dan Thailand. Kemudian pada tahun 1995 dan 1997 AIPO bertambah jumlahnya menjadi tujuh anggota, menyusul Vietnam dan Laos. Kemudian September 1999, Kamboja menyusul bergabung dengan AIPO. Sesuai prinsip anggaran dasarnya, keanggotaan AIPO itu terbuka bagi parlemen-parlemen negara anggota ASEAN. Khusus untuk Brunei Darussalam dan Myanmar, karena sistem pemerintahan kedua negara itu, belum memiliki parlemen, maka belum dapat bergabung dengan AIPO. Namun setiap ada kegiatan yang diselenggarakan oleh AIPO, kedua negara itu, tetap berperan aktif sebagai Peninjau Khusus (Special Observer). Selain anggota tetap, AIPO juga membina hubungan kerjasama dengan parlemen-parlemen negara lain diluar anggota ASEAN, yang berkedudukan sebagai parlemen mitra dialog (dialogue partner) terdiri dari: parlemen Australia, Amerika Serikat, Kanada, Cina, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Papua New Guinea, Federasi Rusia, dan Federasi Eropa, serta parlemen yang berstatus sebagai peninjau (observer).
Sidang Umum ke-28 AIPA akan diselenggarakan pada tanggal 19-24 Agustus 2007 di Kuala Lumpur-Malaysia, bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun AIPO ke-30. Peringatan ini memiliki sentuhan yang mendalam bagi parlemen-parlemen negara Asia Tenggara, karena bertepatan dengan peresmian transformasi ASEAN Inter-Parliamentary Organization (AIPO) menjadi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA). Sampai dengan ulang tahunnya ke-30, AIPO beranggotakan 8 parlemen bernama: ASEAN member countries (Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam). Secara filosofis, dan historis berdirinya AIPO, terkait erat dengan pembentukan Association of Southeast Asian Nation (ASEAN), melalui deklarasi ASEAN yang ditandatangani pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok-Thailand. Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand adalah lima negara yang tercatat dalam sejarah sebagai the founding fathers terbentuknya ASEAN.
Pembentukan AIPO ini tidak terlepas dari peran aktif yang dijalankan oleh DPR-RI, sebagai salah satu negara penandatangan statuta berdirinya AIPO pada tahun 1977. Sampai saat ini, DPR-RI terus-menerus aktif memperjuangkan masalah-masalah yang sedang dihadapi Asia Tenggara. Sebagai bangsa Indonesia kami bangga, memiliki DPR-RI dapat memberikan kontribusi nyata dalam percaturan regional. DPR-RI adalah mewakili bangsa Indonesia dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama seluruh rakyat Indonesia, melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945 yaitu: ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’.
Peranan AIPA diharapkan menjadi alat kontrol terhadap perkembangan situasi di kawasan Asia Tenggara. Memasuki abad ke- 21 ini, situasi global telah berubah cepat menjadi masyarakat yang demokratis dan transparan, dituntut peranan AIPA untuk lebih meningkatkan kepekaannya terhadap perubahan-perubahan sosial dewasa ini. AIPA agar terus mendorong terwujudnya isi deklarasi ASEAN, sehingga masyarakat negara-negara anggota ASEAN mampu menjadi masyarakat yang percaya pada diri sendiri, memiliki wawasan kedepan, serta aktif melakukan kerjasama baik secara bilateral, multilateral, maupun internasional. Hubungan antara AIPO dengan ASEAN telah dibangun dan diefektifkan melalui interaksi langsung, dialog, pertemuan dan konsultasi. Wujudnya, setiap kali penyelenggaraan sidang, AIPO selalu mengundang pimpinan ASEAN selaku ketua ASEAN Standing Committee, untuk menyampaikan langkah-langkah maju yang telah dicapai oleh ASEAN. Begitu juga, presiden AIPO senantiasa menghadiri setiap pertemuan KTT ASEAN, untuk melaporkan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai AIPO. Concept paper yang diajukan oleh parlemen Indonesia, diterima sebagai usul untuk mewujudkan satu peta jalan (roadmap) transformasi AIPO menjadi institusi yang efektif dan terintegratif sebagai cerminan kehendak rakyat. Sidang merekomendasikan untuk melaksanakan survei comparatif tentang legislasi yang berkaitan dengan isu-isu khusus dan mengindentifikasikan permasalahannya, kemudian membuat legislasi yang merupakan concern bersama isu trans- nasional. AIPO berpandangan bahwa setiap manusia, tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama, kebangsaan, etnik golongan, status sosial dan keluarga, memiliki hak untuk hidup, martabat dan menikmati hasil pembangunan. Perhimpunan parlemen negara-negara anggota ASEAN dibentuk mempunyai maksud dan tujuan yang jelas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar amandemen the statutes of AIPO antara lain: memajukan solidaritas, kesepahaman, kerjasama dan hubungan yang lebih erat diantara Parlemen negara-negara ASEAN, negara peninjau khusus AIPA, negara peninjau dan organisasi keparlemenan lainnya.
Transformasi AIPO menjadi AIPA berawal dari usulan parlemen Philipina mengajukan konsep tentang kemungkinan mendirikan parlemen ASEAN pada SIUM ke-3 AIPO di Jakarta. Keberhasilan perubahan AIPO menjadi AIPA tidak terlepas dari peran aktif yang dijalankan oleh delegasi Indonesia, untuk memperjuangkan perubahan eksistensi sebuah organisasi. Berawal dari keinginan Indonesia untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan AIPO Adhoc Committee tentang transformasi AIPO menjadi sebuah institusi yang lebih efektif dan terintegratif. Delegasi Indonesia membentuk tim kecil dan mengadakan kunjungan ke beberapa negara anggota AIPO, dalam rangka merumuskan konsep roadmap transformasi AIPO. Gagasan Indonesia itu, pada akhirnya diterima sebagai konsep dasar bagi transformasi AIPO menjadi AIPA.
Peranan Sekretaris Jenderal AIPA sangat strategis untuk mensosialisasikan AIPA kepada masyarakat di kawasan ASEAN khususnya, dunia pada umumnya. Sekretariat tetap AIPO berkedudukan di Jakarta ditetapkan pada tanggal 17 Februari 1990 berdasarkan amandemen statuta AIPO. Dengan sendirinya Sekretariat AIPO itu juga berubah menjadi Sekretariat AIPA. Sekretariat AIPA dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal berdomisili di tempat Sekretariat tetap AIPA berada. Sekretariat tetap AIPA di Jakarta, dapat dimaknai sebagai bentuk apresiasi dan kepercayaan parlemen-parlemen Asia Tenggara kepada kinerja Setjen DPR-RI pada umumnya, dan Bagian AIPO pada khususnya. Setjen DPR-RI tidak hanya dituntut untuk mampu melayani secara teknis administratif, kualitas, produktivitas dan kinerja yang ditujukan terbatas hanya untuk pelaksanaan fungsi dan tugas DPR-RI secara internal , tetapi lebih daripada itu, Setjen DPR-RI juga diuji kemampuannya secara berkesinambungan untuk mampu melayani kegiatan parlemen-parlemen yang bersifat regional. Indonesia pernah dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal secara permanent yaitu M.J.B.P Maramis, yang ditetapkan pada SIUM ke-11 AIPO di Singapura. Dalam perkembangannya Sekjen AIPO itu adalah Sekjen parlemen negara tuan rumah penyelenggara SIUM dengan masa jabatan 1(satu) tahun bersamaan dengan masa jabatan presiden AIPO. Dengan kepercayaan itu, Setjen DPR-RI senantiasa dapat menjaga kehormatan, martabat, citra serta kewibawaannya. Keputusan Sekretariat tetap AIPO di Jakarta itu, hendaknya dijadikan spirit oleh Bagian AIPO Setjen DPR-RI, sebagai dorongan untuk terus-menerus meningkatkan kinerjanya dengan sebaik-baiknya, yang pada akhirnya akan dapat mengharumkan nama baik bangsa dan negara dimata parlemen-parlemen negara ASEAN.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Sebagai warga negara Indonesia, kami bangga memiliki DPR-RI yang mampu berperan aktif memperjuangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya, dan penegakan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara ini. Harapan kami sebagai anak bangsa kepada organisasi antar parlemen-parlemen negara Asia tenggara, agar tidak disebut sekedar forum seremonial, maka, ‘berbunyilah nyaring’ kepada dunia internasional turut memecahkan permasalahan dan isu-isu aktual yang sedang dihadapi dunia. Misalnya, bagaimana sikap AIPA menyelesaikan kasus Irak yang adil dan bermartabat. Sikap tegas AIPA juga ditunggu untuk memecahkan kasus nuklir Iran yang ditujukan untuk kepentingan damai. Saatnya AIPA tampil kedepan, karena negara-negara yang ‘mengaku besar’, saat ini sudah tidak dapat diharapkan keadilannya. Dengan sikap tegas politik yang digaungkan oleh parlemen-parlemen Asia Tenggara itu, setidaknya dunia mendengar, bahwa AIPA itu bukan hanya berjuang untuk kepentingan ketertiban kawasan ASEAN, tetapi lebih daripada itu, AIPA mampu berperan untuk kepentingan masyarakat dunia pada umumnya. Meskipun ‘gertakan’ AIPA itu nanti pada akhirnya hanya spirit perjuangan moral untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan sikap tegas itu, dipastikan AIPA akan mendapatkan tempat dihati masyarakatnya, paling tidak dunia akan mengakui eksistensi AIPA tersebut, yang telah berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dunia dari kehancuran. Apabila ‘pesan perdamaian’ itu telah disampaikan oleh AIPA kepada dunia, yang termasuk didalamnya adalah DPR-RI, maka barulah kami, benar-benar bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Selamat untuk Bapak Mr. AIPO Indonesia, Hon. M. Kharis Suhud, yang telah memperkenalkan AIPO membumi di kawasan ASEAN khususnya, dan dunia pada umumnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada perkumpulan parlemen-parlemen Asia Tenggara ini, untuk memperjuangkan kawasan Asia Tenggara yang lebih baik lagi. Harapan kami transformasi AIPO menjadi AIPA ini, lebih mempererat tali persaudaraan dan memberikan sentuhan yang mendalam (keep and touch) antar parlemen negara-negara anggota ASEAN.

Jumat, 06 Maret 2009

Menakar Keberadaan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Master Kenotariatan UI


        Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang ditulis di tinta ”emas” konstitusi anggota DPD mengaku akan berjuang untuk kepentingan rakyat. Bagaimana mungkin dapat memperjuangkan rakyat sedangkan keberadaan lembaga DPD sendiri tidak berdaya?. DPD itu tidak memiliki kewenangan apapun. Solusi yang paling pas untuk DPD adalah dibubarkan saja, sebab selama ini hanya sebagai lembaga negara tidak memiliki arti (meaningless).

       Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA, sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang fungsinya sama saja dengan DPA.

         Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

           Kutipan Ir.Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau tetap memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan karena hanya buatan manusia biasa, sehingga di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law).
Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika di dalam konstitusi.Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balance) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah ibarat anak lahir dalam kondisi “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas konstitusionalnya secara maksimal.

         Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.
          Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balance secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amendemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
Selain itu, pasca amendemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Hal lain, status hukum TAP MPR tidak dikenal lagi di dalam UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU. P3). Pasca amendemen UUD 1945, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Sikap Kenegarawanan

          MPR tidak perlu malu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR (dapat disebut mata hatinya MPR) adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amendemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi disisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembaga-lembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD tidak bernilai (meaningless).
Selain berdosa telah melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amendemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang benar adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan pasal 7C UUD 1945 sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah membekukan MPR/DPR 23 juli 2001 sehingga dia disidang istimewakan MPR. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur didalam penjelasan. Pada waktu itu terjadi pro dan kontra, apakah penjelasan UUD 1945 itu merupakan bagian hukum atau tidak?.

Belajarlah Dari Pengalaman

       DPD pernah mengalami kegagalan dalam mengamendemen UUD 1945 guna memperkuat kelembagaannya di dalam pasal 22D UUD 1945. Gagal mengamendemen UUD 1945 sejurus kemudian DPD berpendapat dan mendesak calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 mendatang tanpa harus melalui perubahan UUD 1945, menurutnya aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. Usulan dari Dewan Perwakilan Daerah agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan dibuka terlihat bakal “mentah”. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/9-2007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undang-undang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang juga tidak dianjurkan, dengan demikian DPD mengambil kesimpulan bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut dilontarkan dengan pedas oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD “Tolong UUD 1945 dibaca secara komprehensif, jangan dipotong-potong, kalau kami katakan DPD enggak mengerti UUD kami kan tidak enak”. (Kompas 7/9-2007).

        Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Lex superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR. DPD perlu memahami bahwa yurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden.Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD. Asas kehati-hatian ini penting dimiliki DPD, agar tidak terperosok lubang kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amendemen UUD 1945 itu sulit untuk diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD itu hanya 128 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi atau 226 anggota MPR dari seluruh jumlah anggota MPR 678. Tahapan berat berikutnya adalah persyaratan kourum kehadiran rapat 2/3 dari jumlah anggota MPR 678 yang berarti 452 anggota. Selanjutnya putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR 678 yang berarti memerlukan persetujuan 340 anggota. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Kegagalan amendemen UUD 1945 dan kegagalan menggagas Capres dari unsur perseorangan untuk diwadahi dalam undang-undang, bukan duka terakhir untuk DPD. Usulan DPR agar judul undang-undang pemilu memberi pemisahan antara lembaga legislatif dan DPD, menambah lengkap duka DPD yang pada 1 Oktober 2009 akan tutup usianya. Usulan DPR itu mendapat reaksi keras dari pimpinan dan anggota DPD (Media Indonesia 21/9-2007). Pemisahan lembaga DPD dengan legislatif, membuat berang sebagian anggota DPD yang merasa kelembagaannya itu dilecehkan. Tanggapan itu dilontarkan oleh Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, “kalau DPD dianggap bukan bagian dari legislatif, lantas lembaga apa dong?. Eksekutif pasti bukan, yudikatif? Apalagi pasti bukan. Audit jelas bukan itu tugas BPK. Pertimbangan?. Tentu bukan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden. Penasehat sebagai DPA? Jelas bukan karena penasehat kok dipilih oleh rakyat. Penasehat itu kan diangkat oleh yang dinasehati” tanya Ginandjar (Media Indonesia 21/9-2007). Senada dengan itu anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yang juga Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud mempertanyakan motivasi dibalik usulan tersebut, Aksa Mahmud meminta “kalau bukan legislatif bubarkan saja”. Masak DPD lembaga eksekutif. Ini ada apa?. Tegasnya di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta ( Media Indonesia 2/9-2007). Tanpa upaya pendelegitimasian DPD, pada hakekatnya peran dan fungsi DPD itu sudah dipasung oleh konstitusi, DPR tidak perlu menambah pelengkap derita DPD dengan usil mengusulkan pemisahan DPD dari lembaga legislatif. DPD memang sengaja dijadikan anak tiri konstitusi, oleh karena itu MPR perlu introspeksi dan mengambil sikap tegas, kedepan DPD dibubarkan atau diberi kewenangan..

Reformasi Telah Mati



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Alumnus Magister Kenotariatan UI
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri




          Gerakan reformasi membahana yang dipelopori oleh kaum mahasiswa yang didukung elemen masyarakat pada tahun 1998 kini tinggal nama saja. Tujuan semula memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden, tidak lain agar kondisi secara umum kehidupan masyarakat, bangsa dan negara akan semakin lebih baik.Namun teori reformasi itu tidak sejalan dengan kenyataan,justru reformasi yang didambakan, kini jauh panggang dari api. Makna reformasi justru harus direformasi kembali.
Gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa,klimaksnya berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa heroik berhentinya Soeharto dari jabatan presiden terjadi ditengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi awal pergerakan reformasi di tanah air.
        Tuntutan reformasi antara lain yakni: a. amendemen UUD 1945; b. penghapusan dwi fungsi ABRI; c. penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); e. mewujudkan kebebasan pers; dan f. mewujudkan kebebasan demokrasi.
Marilah memerhatikan dengan saksama, apakah sesungguhnya yang telah dihasilkan oleh reformasi ini?. Di bidang perekonomian,kebutuhan harga bahan pokok justru semakin meroket, sebagian besar rakyat sudah tidak berdaya lagi menjangkau harga-harga yang menggila ini.

Bagaimana reformasi di Bidang Politik?.

          Reformasi konstitusi hanya menambah kesemrawutan di dunia politik.Sederet lembaga-lembaga negara dihadirkan,padahal sebenarnya keberadaannya itu tidak dibutuhkan.Contoh lembaga negara yang tidak dibutuhkan adalah, yakni, Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang hanya sekedar dijadikan accessoir (ikutan) dalam sistem ketatanegaraan belaka, sebab parlemen pokoknya adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Keberadaan DPD tidak lebih sekedar hanya memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR tetapi tidak berimplikasi yuridis.Namanya sebuah pertimbangan kalau tidak dipakai pastilah dibuang ke tong sampah oleh DPR.
Namun hasil reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek.Dari sisi manfaat,pasca amendemen konstitusi, ketatanegaraan kita menjadi lebih modern dan progressif, antara lain dapat menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.Sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power).

           Celakanya lagi, reformasi di bidang politik itu tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru sebelumnya. Indikatornya terlihat, undang-undang pemilu 2009 yang baru disyahkan (sebelumnya sempat mengalami penundaan), malah menjadi ajang keributan antara DPR dengan DPD. Permasalahannya cukup sederhana, DPR dianggap menyerobot kavling DPD. Pada pemilihan umum sebelumnya anggota DPR yang ingin menjadi anggota DPD diberikan jeda selama 4 tahun tidak menjadi pengurus partai politik. Pada undang-undang pemilu yang baru,anggota DPR yang ingin mencalonkan menjadi anggota DPD cukup mengajukan berhenti dari kepengurusan partai politik. Ketentuan undang-undang yang membuat longgar anggota DPR menjadi anggota DPD dipandang merugikan DPD. Benarkah hak konstitusional DPD dirugikan UU pemilu?. Konflik DPD dengan DPR tentang persyaratan menjadi anggota DPD, tidak lain hanya bertujuan untuk kepentingan anggota DPD dan DPR. Substansi yang diributkan sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Inikah makna reformasi itu?. Oleh karena itu wajar, jika masyarakat bersikap acuh kepada DPD ketika ingin mengajukan judicial review UU pemilu terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
           Penting bagi kita merefleksi makna reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 yang usianya kini hampir sebelas tahun,sejak Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Kontemplatif tersebut diperlukan, agar reformasi yang telah diperjuangkan dengan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa yang mengorbankan harta benda, tetesan darah bahkan nyawa, kembali memiliki arah yang jelas.
          Kini Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Soeharto adalah presiden yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara kita Indonesia. Sebagai manusia biasa, tidak bisa dipungkiri, Soeharto tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya semasa memimpin negeri ini. Namun demikian, kekurangan-kekurangan Soeharto itu, tidak boleh dijadikan senjata untuk mendiskreditkan Soeharto. Kita perlu mikul duwur mendem jero kepada pemimpin kita. Falsafah jawa ini perlu kita pegang teguh, kita agungkan dan kita junjung tinggi, agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang begitu membahana di gedung MPR/DPR yang dipadati oleh lautan manusia.Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti dari jabatan presiden sesegera mungkin.Tetapi tidak dipikir apakah lengsernya Soeharto, keadaan negara akan semakin membaik ataukah justru sebaliknya. Atas desakan para mahasiswa dengan dibantu berbagai komponen bangsa, akhirnya pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 tepat pukul 9.05 WIB, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Mendengar pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden,seketika itu juga para mahasiswa melakukan sujud syukur,berpelukan dan menangis terharu,seraya mengumandangkan takbir, atas kemenangan perjuangan reformasi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menceburkan diri ke kolam air mancur gedung MPR/DPR untuk meluapkan kegembiraannya.
Reformasi Telah Mati

         Pada 21 Mei 2009 mendatang, reformasi genap memasuki 11 tahun. Melihat keadaan reformasi yang tidak jelas seperti ini, saya sedih. Ternyata reformasi yang pernah menggetarkan dunia itu,tidak mendatangkan banyak kebaikan untuk rakyat. Reformasi macet,secara umum keadaan reformasi tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru. Reformasi benar-benar telah mati. Yang lebih menyakitkan lagi, perilaku elite politik tidak mencerminkan perilaku kelembagaan negara yang memperjuangkan aspirasi rakyat.Tercermin banyaknya elite politik yang ditangkap KPK karena skandal kasus korupsi.Mereka tidak menyadari,bahwa keberadaannya di gedung MPR/DPR yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas wah, pada hakekatnya mahasiswa lah yang mengantarkan mereka kesana.Bukankah elite politik sebelumnya ‘terserang flu berat’ diam seribu bahasa terhadap penguasa?.Mahasiswa dan seluruh komponen bangsa yang telah memperjuangkan reformasi,tidak menuntut elite politik memberikan balas jasa kepadanya.Yang diharapkan pejuang reformasi hanya satu, yaitu, meminta kepada elite-elite politik untuk dapat memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
       Jangan sampai era yang serba sulit ini, kata reformasi diplesetkan menjadi sebuah novel dengan judul: ‘repot nasi’.Judul novel itu bisa saja kita anggap sebagai guyonan,tetapi pada hakekatnya hati kita tidak dapat memungkiri kenyataan itu,karena kondisi masyarakat yang terjadi saat ini memang demikian,yaitu, sulitnya mencari sesuap nasi di era reformasi.

Selasa, 03 Maret 2009

Surat Terbuka Untuk Setjen MPR-DPD Penyesuaian Ijasah itu Kebijakan Atau Peraturan?.


Oleh: Warsito, SH., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta;
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI;
-PNS DPD-RI digolongkan II/c Yang Berhenti Atas
Permintaan Sendiri;
- Master Kenotariatan UI;
- Juara I Lomba Pidato Tingkat Pegawai MPR-DPR
Tahun 2003;
- Juara I Lomba MTQ Kec. Kayen, Pati
Tahun 1983.


Pembaca website MPR yang saya cintai.
   
          Tuan-tuan Pejabat Sekretariat Jenderal MPR-DPD yang saya hormati.
Sudah dua minggu ini saya tidak sempat menulis opini di website MPR,dikarenakan adanya kesibukan sehari-hari dalam menjalankan tugas jabatan saya sebagai Notaris-PPAT yang tidak dapat saya tinggalkan. Jika saya tidak menulis di website MPR seminggu saja, rasanya badan ini terasa pegal sekali.
        Dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf, jika tulisan ini dianggap suatu kritik pedas. Menulis opini ini saya niatkan tidak lain kecuali untuk mencari ridho Allah SWT agar saling nasehat-menasehati diantara kita dalam hal kebenaran.
Penyesuaian ijasah itu kebijakan (beleid) atau peraturan (regelling)?. Salah besar jika Setjen MPR-DPD selama ini berargumentasi bahwa penyesuaian ijasah itu adalah suatu kebijakan. Maukah tuan-tuan saya tunjukkan jalan yang lurus?. Jalan yang lurus yaitu, penyesuaian ijasah itu adalah peraturan, sebagaimana diatur di dalam PP No. 12 Tahun 2002 yang mengatur tentang kenaikan pangkat PNS. Kalau penyesuaian ijasah itu kebijakan, bagaimana kalau kebijakan tuan-tuan itu tidak membawa kabajikan?. Kebijakan itu artinya adalah sesuatu yang memberi manfaat bagi orang banyak, bukan sebaliknya malah mematikan karir orang. Sebagai contoh suatu kebijakan, Setjen MPR pada waktu itu mengeluarkan kebijakan yang membawa kebajikan kepada pegawai yang menikah diberikan “sesuatu”. Padahal tidak diberikan sesuatu itu pun tidak apa-apa karena memang aturannya tidak ada. Oleh karena itu pelajari UU. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apakah kebijakan itu termasuk peraturan perundang-undangan atau tidak?.
Apakah Sebenarnya Kenaikan Pangkat Itu?.
       Kenaikan pangkat itu adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS yang bersangkutan terhadap Negara, selain itu kenaikan pangkat juga dimaksudkan sebagai dorongan kepada PNS untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.
Bagaimana mereka dapat meningkatkan prestasi kerja, jika PNS MPR-DPD yang telah menyelesaikan S1 tidak segera disesuaikan ijasahnya?.Dengan perkataan lain malah dijegal?. Bukankah ketika mereka sekolah sudah memperoleh ijin?. Kalau argumentasi belum ada formasi, mengapa setiap tahun menerima pegawai baru?. Sebagai contoh si BADU yang tamatan SMA bergolongan II/b itu melanjutkan kuliah lalu lulus S1 sarjana politik, si BADU-nya bukan disesuaikan malah menerima pegawai baru si KEMPRIT yang formasi lulusannya sama dengan si Badu. Dimana logika hukumnya?.
        Jika Setjen MPR-DPD baru akan menyesuaikan ijasah si BADU menunggu dia bergolongan II/d itu namanya mengada-ada, kalau tidak mau saya bilang dholim. Apa bedanya dengan kenaikan pangkat reguler?. Lihat tetangga sebelah (Setjen DPR), seangkatan saya bergolongan II/c berijasah SI sudah disesuaikan golongan III/a. Kemudian sahabat saya di Departemen Hukum dan HAM bergolongan II/b yang berijasah SI langsung disesuaikan menjadi golongan III/a.
Jadi mana yang benar?. Apakah Setjen MPR-DPD, Setjen DPR, ataukah Departemen Hukum dan HAM?. Yang benar adalah di instansi Departemen Hukum dan HAM, instansi tersebut benar-benar paham oleh karena bisa mengetrapkan PP 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS.
Jangan teruskan kebijakan yang tidak terpuji tersebut. Bagaimana jika hal ini terjadi kepada tuan-tuan pejabat Setjen MPR-DPD?.
      Dedikasikanlah keilmuanmu untuk kepentingan umat. Jangan berlaku sebaliknya.Mempunyai kewenangan tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Itu namanya dholim, karena mematikan karir orang lain. Nasehat ini saya berikan kepada Setjen MPR-DPD karena saya masih sayang, meskipun saya sudah tidak berada di dalam lingkaran sana.
       Pada umumnya PNS bersekolah lagi itu untuk penyesuaian ijasah demi untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik. Pikiran mereka tidak salah meskipun saya tidak sepenuhnya sependapat.Mereka bergolongan rendahan bahkan ada yang membiayai kuliah sampai-sampai SK PNS-nya digadaikan. Kontras dengan perilaku sebagian besar pejabat Setjen MPR-DPD yang berkuliah di biayai oleh dinas, tetapi tidak banyak yang selesai karena merasa biaya bukan dari kantongnya sendiri.
      Oleh karena itu marilah memerhatikan pasal 18 Ayat (1) butir (e) PP. 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS: PNS yang memperoleh ijsaha sarjana (S1), atau ijasah diploma IV dan masih berpangkat pengatur tingkat I, golongan ruang II/d kebawah, dapat dinaikkan pangkatnya menjadi peñata muda, golongan ruang III/a. Sekali lagi untuk pejabat Setjen MPR-DPD dedikasikanlah keilmuanmu untuk pengabdian umat, sesuai dengan gelar akademis yang telah tuan peroleh. PP tersebut sudah jelas maksudnya tidak ada interpretasi lagi.
       Saya do’akan Allah SWT membukakan pintu hatimu, segera sesuaikan sahabat-sahabat saya di Setjen MPR-DPD yang telah menamatkan kesarjanaannya dengan susah payah, jangan ditunda-tunda lagi. Semoga tuan-tuan mendapatkan petunjuk. Amien.

Jumat, 20 Februari 2009

Selamat Datang Sekretariat Parlemen



Oleh Warsito, SH., M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Mantan PNS DPD-RI di golongkan IIc
Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Juara I Lomba Pidato Tingkat Pegawai MPR-
DPR Tahun 2003


Pembaca website MPR yang saya hormati dan saya cintai.

     Tidak terasa,setahun sudah saya tidak bekerja lagi menjadi PNS MPR-DPD-RI.Disela-sela kesibukan saya menjalankan tugas jabatan sebagai Pejabat umum (public official) sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris,saya tetap menyempatkan diri untuk memantau perkembangan kontemporer ketatanegaraan Indonesia saat ini, baik melalui media cetak, maupun elektronik.
Sebagai rasa kecintaan saya kepada Sekretariat Jenderal MPR yang pernah telah membesarkan saya, tentu saya tidak pernah dan tidak akan melupakannya. Saya akan mikul duwur mendem jero.Demi kecintaan itu pula,saya sering memberikan masukan kepada Sekretariat Jenderal melalui website MPR maupun melalui media cetak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana perintah Allah SWT.

        Saudaraku Sekretariat Jenderal yang saya cintai……...
Menanggapi issu serius yang berkembang saat ini tentang penggabungan Sekretariat Jenderal MPR-DPD dilebur menjadi Sekretariat Parlemen, anda semua tidak perlu cemas,tidak perlu menyambut dengan jerit tangis. Yakin lah, rezeki itu sudah diatur oleh Allah SWT. Terutama saudara-saudaraku yang berkedudukan sebagai staff,anda ditaruh dimanapun juga tidak berpengaruh. Dampak besar terhadap peleburan sekretariat jenderal ini akan dirasakan oleh eselon III sampai dengan eselon I.
    Jika saudaraku masih ingat,didalam website MPR ini saya tidak pernah henti-hentinya menyuarakan agar pegawai Setjen MPR jangan dipindahkan ke Setjen DPD. Kecuali dengan promosi tentu mereka merasa diberikan hiburan.Masih ingatkah anda dengan pesan Sekretariat Jenderal agar kita merebut hati anggota DPD?. Ada apa dengan pesan ini?.Jawabnya,karena mereka mempunyai kepentingan untuk menduduki jabatan tertentu di Setjen DPD. Tetapi Allah SWT berkehendak lain, ternyata Sekjen DPD-RI bukan dari internal MPR sebagaimana diidam-idamkan oleh mereka.Itu merupakan salah satu do’a saya, agar jabatan itu tidak diberikan kepada orang yang meminta-minta.
Bagi staff MPR yang di pindahkan ke DPD termasuk saya merupakan malapetaka. Sebab pekerjaan numpuk, hanya pindah tempat duduk, ditambah lagi Setjen MPR tidak memahami (baca: tidak mempunyai itikad baik) terhadap PP 12 tahun 2002 yang mengatur tentang kenaikan pangkat PNS.Lebih gila lagi Setjen DPD-RI bekerjanya pulang larut malam(absen finger) belum diberlakukan pada waktu itu.
     Oleh karena itu,pesan saya kepada saudara-saudaraku,jika secara nyata nanti terjadi peleburan sekretariat Jenderal MPR-DPR-DPD menjadi Sekretariat Parlemen kita semua tidak perlu resah.
Saya do’akan semoga anda bekerja dalam damai, naungan dan ridho Allah SWT.

Selasa, 10 Februari 2009

Mengapa MPR Mendistorsi Kewenangan DPD”?.




Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI


          Angin segar kini kembali berhembus memberikan harapan kepada Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Menanggapi disertasi dari teman saya Saldi Isra yang menyatakan presiden terbelenggu oleh legislasi, ada baiknya kita merenungkan dan mengkalkulasi seberapa besar pembelengguan konstitusi tersebut terhadap presiden. Sebab sebelum perubahan UUD 1945 terjadi eksekutive heavy, pasca amendemen terjadi pergeseran parlemen heavy. Apabila keposisian kedua lembaga Negara ini masih diotak-atik lagi, itu namanya kita melangkah mundur. Hal lain seringnya konstitusi diamendemen menjadi tidak baik, karena akan menggganggu keberlangsungan dinamika konstitusi dimasa mendatang. Untuk mensejajarkan DPR dengan presiden, kedua lembaga Negara baik presiden maupun DPR harus sama-sama diberi hak veto untuk menyetujui atau menolak undang-undang. Hak veto tidak boleh hanya diberikan kepada presiden saja, keliru besar pemikiran demikian.
Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini.
Dampak Pembelengguan Presiden
        Dampak dari pembelengguan presiden DPD lah yang akan menangguk untung besar, sebab jika amendemen UUD 1945 dilaksanakan, DPD akan nimbrung agar kelembagaannnya disejajarkan dengan DPR. Jadi dalam konteks ini DPR akan “dikeroyok” oleh kedua lembaga Negara yaitu, presiden dan DPD yang sama-sama meminta kewenangannya disejajarkan.
Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. Juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?. Ibarat jenis kelamin, DPD bukan laki-laki bukan juga perempuan. Lantas apa jenis kelamin DPD ini?. Apakah mau DPD disebut khuntsa (banci)?.
Referendum Untuk DPD
       MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960-2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
         Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Ada adagium hukum, lex superior derogat legi inferiori, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi.
DPD kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen.
          Marilah memerhatikan dengan saksama tugas dan fungsi DPD sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 22D UUD 1945, sbb: DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaan DPD hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan, meskipun anaknya nglunjak tidak marah. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “Sabar anakku, jangan meminta amendemen sekarang, tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kemungkinan akan memberi wejangan lebih manis lagi: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, tunggu di 2014” susun dulu perubahan secara komprehensif.
       Dibutuhkan keberanian sikap DPR memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant terhadap politik, ataukah sebaliknya politik yang determinant terhadap hukum. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka keberadaan konstitusi dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia senantiasa akan dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
       DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD. Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945 diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak konstitusional setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 1338 BW dan pasal 37 UUD 1945). Hal ini perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis jika ingin memiliki sifat kenegarawanan.Dibutuhkan kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sedemikian sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 226 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 sebagai pembelengguan DPD yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
       Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amendemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, memilih DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amendemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD,dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat DPD tersebut. Sebab ketika membuat perjanjian, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amendemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amendemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
 Berilah kewenangan DPD yang jelas kesimpulannya, pilih DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan sekarang juga karena sebagai lembaga Negara tiada bermakna.

Senin, 09 Februari 2009

Ketika sudah menjadi anggota MPR Pengabdianmu Kepada Partai Politik Itu Berakhir


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Juara I Lomba Pidato tingkat Pegawai MPR-DPR 2003
-Master Kenotariatan UI
-Konsultan Hukum
-Pegiat Konstitusi dan Pengamat DPD



         Sejak saya menyatakan berhenti dari PNS DPD setahun yang lalu, waktu saya agak leluasa untuk kembali menulis, dimana hoby utama saya adalah memang menulis, guna memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik lagi.
UUD 1945 pasca amendemen, dipastikan tidak ada satupun mahluk di dunia ini yang hafal konstitusi. Jika pembukaan UUD 1945 masih banyak yang hafal, hafalan tersebut tidak berlaku untuk pasal-pasal konstitusi. Hal ini disebabkan, disamping amendemen UUD 1945 hampir menambahkan 300% ayat, hal lain ketidakbanyakhafalan pelajar dan mahasiswa diakibatkan oleh kandungan konstitusi yang sudah tercerabut akarnya dari nilai-nilai estetika, sehingga kebanyakan orang ogah untuk membacanya apalagi menghafalnya. Pusing kepala, demikian “kata pelajar dan para mahasiswa”.
       Berapa jumlah ayat UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan?. Jawabnya 71 ayat. Setelah dilakukan perubahan menjadi 199 ayat, dengan demikian penambahannya 128 ayat. Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan perubahan oleh MPR selama empat kali dalam sidangnya sejak 1999-2002. Salah satu amendemen UUD 1945 tersebut adalah, melahirkan lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah atau DPD sekaligus menjadi permasalahan di dalam konstitusi karena keberadaannya tidak diberi kewenangan.
   Dewan Perwakilan Daerah kini mulai sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga Negara lain. Singkat ceritera DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi.
       Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (baca: bukan kewenangan) di dalam pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Tugas DPD tersebut jika kita mengkaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat bermuara ditangan DPR. Mengapa tidak menyampaikan aspirasi langsung ke DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. 

Mekanisme Perubahan UUD 1945
        Berdasarkan pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (DPR 550, DPD 128) jumlah anggota MPR 678. Jadi 1/3 nya MPR adalah 226 syarat untuk menggelar sidang MPR.
       Ayat (2) untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (678x2/3)= 452 kourum kehadiran. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan.
      Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (678:2+1) 340 anggota MPR.
Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amendemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amendemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak secara sadar telah membentuk cluster MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang.

MPR Tidak Boleh Menutup Mata
       Usulan Perubahan UUD 1945 yang kini digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah semula telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Usulan dukungan amendemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan,sehingga dukungan amendemen tersebut menjadi berkurang, namun demikian masih dalam batas ambang memenuhi persyaratan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amendemen tersebut sudah terpenuhi, bukan malah menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR harus tegas melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian tersebut mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya dukungan amendemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang “nyleneh”. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini juga agar DPD dapat berkonsentrasi untuk tahap berikutnya mencapai kourum 2/3 kehadiran jumlah anggota MPR. Dan tahap berikutnya yang akan menentukan nasib DPD, yaitu lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis putusan untuk merubah UUD 1945.
Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (baca: pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).
Ketika kita sudah menjadi anggota MPR, DPR dan DPD, maka berakhirlah pengabdian kita kepada partai, kelompok, fraksi dan golongan berubah menjadi pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Selamat merubah Undang-Undang Dasar 1945, utamakanlah pengabdianmu kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun partai politik.

Jumat, 06 Februari 2009

Menuju Parlemen DPD “Bernama”



Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta. Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI


          Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini. Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. Harus bersikap ksatria, pilih dipertahankan dengan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. DPD juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?.
Referendum Untuk DPD
            MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi. Istilah Ketetapan MPR ini sudah tidak dikenal lagi.
Dewan Perwakilan Daerah kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen. Tugas dan fungsi DPD disimpulkan dalam pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaannya hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD yang dilahirkan dari amandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan tidak marah, meskipun anaknya nglunjak. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “sabar anakku jangan meminta amandemen sekarang tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kembali akan bilang: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, nanti saja di 2014”. Yang menjadi permasalahan sekarang, beranikah DPR dengan sikap kesatria memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant, ataukah sebaliknya politik yang dikedepankan. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
         DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD. Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: pasal 37 UUD 1945). Ini perlu dipahami seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 226 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amandemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Selasa, 03 Februari 2009

Pendekar "Parlemen Bermata Satu"

Pendekar "Parlemen Bermata Satu"

Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri


          Model apakah sesungguhnya sistem ketatanegaraan yang diterapkan parlemen ala Indonesia ini?. Orang yang memahami sistem ketatanegaraan dengan baik, tentu tidak akan bisa menjawab model ketatanegaraan Indonesia yang confuse ini. Pasalnya, jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD disebut pengimbang DPR kenyataannya keberadaan DPD lemah lunglai tidak berdaya jika sewaktu-waktu berhadapan dengan DPR. Sebab amendemen UUD 1945 tidak menjadikan lembaga DPD strong bicameralisme setara dengan DPR. DPD hanya soft bicameralisme. Jika ada yang menyebut sistem parlemen kita unikameral, hal ini keliru besar, karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD menjadikan parlemen tetap bermata satu alias menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan penuh di MPR. Peran DPD mandul di MPR.
         DPD adalah lembaga negara hasil perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2001. Ironis keberadaan DPD, dilahirkan tetapi hanya dipasangi nafas buatan oleh MPR melalui konstitusi. Pernafasan buatan itu sengaja dipasang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui rumusan konstitusi. MPR (baca: 550 anggota DPR di MPR) merasa kapan pun bisa mencabut pernafasan buatan itu. Pemasangan nafas buatan itu berupa tidak memberikan kewenangan yang memadai kepada DPD layaknya lembaga-lembaga negara yang lain. Nafas buatan itu juga dapat diterjemahkan jumlah anggota DPD tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi itu adalah 1/3 jumlah anggota MPR.Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128. Darimana DPD menggenapi syarat 1/3 (226 anggota) MPR?. Tentu DPD harus "Merayu DPR" agar bersedia memberikan dukungannya. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini jelas akan membuat susahpayah DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amendemen UUD 1945.
         Pada 1 Oktober 2009 mendatang masa bhakti keanggotaan DPD-RI periode 2004-2009 akan tamat sudah. Berkontemplatiflah sejenak tentang keberadaan DPD ini. Apa sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga ini?. Dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab issu-issu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Hal itu, jika DPD masih ingin memperoleh simpati pemilihnya di pemilu 2009. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD menjalankan tugas konstitusionalnya hanya memakai "kaca mata kuda", sehingga tidak dapat membuat terobosan-terobosan baru yang bersifat progressif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaan yang wajib dijawab oleh DPD, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan?.

Gebrakan positif DPD.

         Disamping kelemahan DPD sebagaimana diutarakan diatas, secara proporsional, kita juga harus memberikan apresiasi kepada DPD. Apresiasi itu kita berikan kepada DPD karena saat ini telah melakukan terobosan baru melahirkan konvensi dalam sistem ketatanegaraan. Dimana setiap tanggal 23 Agustus DPD mengadakan sidang paripurna khusus dengan mengundang Presiden, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Walikota, dan DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia untuk menghadiri pidato presiden tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Sidang Paripurna khusus tersebut pada akhirnya tidak bermanfaat, penyebabnya adalah tidak ada tindaklanjut dari DPD mengumpulkan pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif tersebut. Namun demikian, sidang paripurna khusus tersebut sedikit dapat mengangkat harkat dan martabat Dewan Perwakilan Daerah yang selama ini dianggap publik "antara ada dan tiada". Setidaknya sidang paripurna khusus itu dapat mengenalkan DPD kepada publik. Sebagaimana konsepsi publik sekarang lebih mengenal DPD itu sebagai Dewan Pimpinan Daerah ketimbang Dewan Perwakilan Daerah. Kalau kepanjangan MPR dan DPR tidak perlu dipertanyakan. Dari mulai anak SD, SLTP, SMU dan Perguruan tinggi bahkan sampai kakek dan nenek dikampung-kampung sudah mengenalnya.

Sosialisasi DPD

        Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Sosialisasi DPD yang dilakukan setiap Jum’at melalui radio SMART FM selama ini kurang menggema. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini DPD sedikit akan dikenal oleh masyarakat.

     Menginjak dewasa, DPD saat ini menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amendemen UUD 1945 protes menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya. Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memiliki arti (meaningless).
        Usulan perubahan UUD 1945 yang pernah digagas DPD digembosi oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya, padahal usulan perubahan UUD 1945 itu telah mencapai 238 anggota MPR, dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 (226 anggota MPR) dari keseluruhan jumlah 678 anggota MPR. Kegagalan amendemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang manut dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amendemen. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan menggembos tinggal 204 anggota,sehingga kesempatan bagi MPR untuk menyatakan usulan amendemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amendemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi dipelintir oleh pimpinan MPR untuk menarik atau memberikan dukungan amendemen?..
      Hal lain kegagalan amendemen UUD 1945 juga disebabkan karena pada saat anggota membuat perjanjian memberikan dukungan amendemen UUD 1945 tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah notaris. Usulan amendemen dalam bentuk perjanjian tersebut hanya dibuat dibawah tangan yang di legalisir oleh notaris (notaris melakukan pengesahan kecocokan foto copy sesuai dengan surat aslinya). Agar supaya anggota DPR yang telah memberikan dukungan amendemen tidak mudah untuk menarik, setidak-tidaknya usulan perjanjian amendemen itu di legalisasi (notaris mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus). Jika saja DPD membuat perjanjian usulan amendemen kepada anggota majelis (baca: kepada anggota DPR) dihadapan langsung notaris, maka akta itu berkekuatan otentik. Syarat-syarat akta otentik harus memenuhi unsur-unsur berikut: a. bentuknya ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang; c. dan ditempat dimana akta tersebut dibuat. Apabila unsur-unsur itu telah terpenuhi, maka akta otentik tersebut memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat di dalamnya. Akta otentik memiliki tiga pembuktian kekuatan yaitu: a. aspek formal, artinya, bentuknya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang; b. aspek materiil, yaitu orang tidak dapat memungkiri akta yang sifatnya otentik kecuali dapat membuktikan sebaliknya; c. aspek lahiriah, artinya, apabila sewaktu-waktu terjadi sengketa di pengadilan, maka, akta tersebut akan dapat membuktikan kebenaran dirinya sendiri. Meskipun perjanjian itu sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19