Tampilkan postingan dengan label Latar Belakang Perubahan UU Peradilan Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Latar Belakang Perubahan UU Peradilan Agama. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Desember 2021

ASPEK SOSIOLOGIS DAN YURIDIS PERTIMBANGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA

 


 

Undang-Undang Peradilan Agama mengalami perubahan kedua kali tentu ada alasannya, baik ditinjau dari aspek yuridis maupun sosiologis serta menyelaraskan dengan perubahan UU terkait. Hukum yang berlaku di Indonesia ini ada 3 (tiga) macam: 1. Hukum positif, (dijabarkan didalam UU. No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU. No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan melalui Pasal 7 Hierarki peraturan perundang-undangan sbb: UUD 1945; TAP MPR; UU/Perppu; PP; Perpres; Perda); 2. Hukum Islam, yang berlaku bagi umat islam yang bersumber dari al qur’an dan sunah nabi; 3. Hukum adat sepanjang keberadaannya masih ada dan tidak bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku di masyarakat seperti kepatutan, kebiasaan, norma agama dan undang-undang. Hukum adat yang berlaku di masyarakat sebagai kearifan lokal harus dihormati dan dijunjung tinggi secara konstitusional hukum adat telah diakui keberadaannya melalui pasal 18B UUD 1945.

 

Landasan Sosiologis-Yuridis Perubahan Undang-Undang Peradilan Agama

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dengan tegas melalui Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar’iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang.


Perubahan Undang-Undang Peradilan Agama diperlukan antara lain dilatarbelakangi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, selain undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial itu sendiri yang terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, perlu pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut: 1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; 2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan agama maupun hakim pada pengadilan tinggi agama, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim; 3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc; 4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; 5. keamanan dan kesejahteraan hakim; 6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; 7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban biaya perkara; 8. bantuan hukum; dan 9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada  dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

 KOMPETENSI PERADILAN AGAMA

Berdasarkan Pasal 2 UU. No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU. No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :a. Pengadilan Agama; b. Pengadilan Tinggi Agama.(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

KEKUASAAN PENGADILAN

Berdasarkan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU. No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Kompetensi Peradilan Agama: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. wakaf dan shadaqah. (2) Bidang perkawinan ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan ialah penentuan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Berdasarkan Pasal 50 menyatakan dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 50 juga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Dalam perkembangannya Kompetensi Peradilan Agama melalui Perubahan kedua UU. No. 3 Tahun 2006 telah menambahkan kewenangan kompetensi peradilan agama didalam memutus perkara melalui Perubahan Pasal 49 sehingga menjadi berbunyi sbb: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a.perkawinan;
b.waris;
c.wasiat;
d.hibah;
e.wakaf;
f.zakat;
g. infaq;

h.shadaqah;dan
i. ekonomi syari'ah.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19