Selasa, 31 Januari 2017

Antara Percaya Sumpah Patrialis Akbar Atau KPK?




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta 



                Pasca ditangkapnya OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK, Patrialis Akbar dengan percaya diri memberikan keterangan pers dengan suara lantang sambil  bersumpah demi Allah untuk meyakinkan publik, bahwa dirinya merasa dizalimi. Sumpah yang diucapkan ini  tidak main-main karena mengatasnamakan Tuhan dapat menarik simpati masyarakat sehingga dapat mengaburkan pandangan publik, apakah sesungguhnya yang bersangkutan melakukan korupsi atau tidak. Dampaknya, ada sebagian minoritas masyarakat yang dihadapkan dua pilihan antara percaya kepada Patrialis, atau kepada KPK. Namun, melihat rekam jejak KPK selama ini ketika menangkap OTT tidak pernah ada satupun yang gagal dikurung atau bebas diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka dalam batas penalaran logis sulit rasanya untuk tidak mempercayai  kinerja KPK yang  profesional dan memiliki akuntabilitas tinggi. Kerja KPK yang profesional selama ini dapat dijadikan referensi publik, bandul timbangan masyarakat akan bergeser lebih percaya kepada KPK ketimbang sumpah yang diucapkan nekat oleh Patrialis Akbar.
KPK Itu Hebat
Ketika saya mendapat tugas dari Bapak Rektor Universitas Satyagama, Jakarta, untuk mengikuti undangan Training of Trainers (ToT) Pendidikan Anti Korupsi, bagi dosen PTS Kopertis Wilayah III DKI Jakarta,  Kopertis Wilayah I Medan, Kopertis Wilayah IX Makasar, dan Kopertis Wilayah XII Ambon, yang diselenggarakan pada tanggal 9 s/d 11 Desember 2013 di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, saya  sungguh merasa bangga, dan salut memiliki komisi antirasuah di negeri ini yang sistem bekerjanya selain profesional, independen, adil juga  akuntabel. Penyidik KPK, Ganjar, ketika di kelas pernah memberitahukan kepada kami, bahwa KPK memiliki alat super canggih barangnya kecil  mirip balpaint tapi  harganya super mahal sekitar 400jutaan. Alat itu berfungsi untuk menyadap percakapan hingga 400m, hebatnya pula ketika percakapan orang yang diduga korupsi itu belok masuk ke kamar tidur atau kamar mandi alat itu pun bisa di stel masuk mengikuti ke ruangan tsb, bahkan ketika sang koruptor sedang berbisik-bisik dengan membawa seorang perempuan di hotel akan terdengar semua percakapan itu. Makanya penyidik KPK senyum-senyum saja ketika ada koruptor yang mungkir, padahal alat bukti sadapannya sudah berada digenggamannya. Hebat perangkat milik KPK itu, lebih lanjut pak Ganjar sempat menerangkan dihadapan dosen-dosen, jika ada koruptor yang mungkir padahal rekamannya sudah ditangan KPK, maka KPK tambah geregetan, berbeda jika sang koruptor langsung mengakui. Sebelum penutupan ToT tsb, pak Ganjar penyidik KPK banyak dikerubuti para peserta untuk mengajak berfoto bersama, saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berfoto bersama sambil kenalan dan minta No. HPnya.  Selain penyidik KPK beliau juga dosen fakultas hukum Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu saya pernah bilang dengan pak Ganjar, jika sewaktu-waktu saya membutuhkan beliau untuk memberikan seminar kepada mahasiswa kami di Universitas Satyagama, beliau menyatakan kesiapannya. Sayang, niatan saya sampai sekarang belum pernah kesampaian, padahal orangnya baik dan mempersilahkan saya datang ke UI jika membutuhkan sebagai narasumber.

Taruhan Makan di Restaurant Pulau Dua Senayan.
Dengan melihat rekam jejak KPK yang bekerja secara apik dan marwahnya selama ini terjaga dengan baik, saya sempat taruhan kecil-kecilan dengan teman, saya memilih lebih percaya KPK ketimbang sumpah Patrialis Akbar meski membawa-bawa nama Allah segala, sementara teman saya lebih percaya sumpah Patrialis Akbar yang merasa di zalimi. Jika ternyata hasilnya sumpah Patrialis Akbar yang benar alias dinyatakan tidak bersalah, berarti saya yang kalah akan mentraktir teman saya di rumah makan Pulau Dua, Senayan. Kebalikannya, jika KPK yang benar dan Patrialis diputus bersalah oleh pengadilan TIPIKOR maka teman saya akan mentraktir saya di rumah makan lesehan sunda. Marilah kita saksikan bersama, apakah yang benar sumpah Patrialis Akbar, ataukah KPK yang profesional?. Dari melihat wajah ketika sedang mengucapkan sumpah, gerak tubuh maupun suasana kebatinan saya lebih percaya 99% kepada KPK.

Sabtu, 28 Januari 2017

Bukan PNS Tapi Bisa Pensiun Bagaimana Caranya?

Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

 
                Siapa pun yang membaca judul tulisan diatas, dalam batas penalaran logis tak percaya, bahkan  bagi orang yang belum bersih hati nurani bisa dianggap tulisan saya tersebut hanya membual sebelum menyimak dengan saksama tulisan ini secara komprehensif.
                Perbedaan status PNS dengan swasta bersumber dari segala intinya adalah soal pemberian  pensiun kepada PNS dihari tua, sedangkan bagi karyawan swasta tidak. Di tahun 1980-an banyak orang yang ogah untuk menjadi PNS lantaran gajinya sangat kecil sekali, sekarang status PNS menjadi seksi dan banyak diuber-uber orang karena gaji dan remunerasinya yang sudah wah, maka tak heran dan sudah menjadi rahasia umum banyak PNS yang diterima karena menyuap bukan karena kompetensinya, tak tanggung-tanggung bahkan ada yang hingga ratusan juta untuk memuluskan menjadi golongan IIIa. Seiring dengan perkembangan zaman sekarang roda berputar, di tahun 1980an PNS yang dihindari kini menjadi dikejar bak seperti gadis seksi meski terkadang dengan menghalalkan segala cara. Reformasi birokrasi era Pemerintahan Jokowi ini sekarang sudah sangat baik dapat merubah paradigma sistem perekrutan PNS melalui CAT (Computer Asisted Test) yang dibuat oleh BKN yang hasilnya langsung diumumkan seketika, dampaknya memberikan ruang gerak sempit untuk praktek sogok-menyogok, namun peluang suap masih bisa sedikit terbuka jika peserta sudah penentuan akhir di tingkat user (pengguna tempat bekerja PNS) masih bisa dimainkan dengan cara suap atau nepotisme.
                Anggapan masyarakat bahwa PNS itu dijamin oleh pemerintah dihari tua sebagai pandangan yang sangat keliru, semua tergantung kepada manusianya bisa memanajemen perekonomian dengan baik atau tidak. Sebagai bukti nyata di perkampungan saya di pedalaman Pati, Jawa-Tengah, banyak pensiunan Pemda, guru dll yang hidupnya justru kelibet utang rentenir bank keliling (bank plecet) yang setiap hari harus mengangsur utang dengan mata mencicil. Hal ini dilakukan karena merasa tiap bulan dapat sisa pensiunan dari negara setelah SK pensiunannya terlebih dahulu digadaikan di BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Swasta Bisa Pensiun
                Pada tahun 2012 saya memulai membuka tabungan PENSIUN SIMPONI di Bank BNI. Menabung tersebut saya niatkan untuk tidak saya ambil, ketentuannya dalam jangka waktu 15 tahun baru bisa dicairkan, tetapi pembagian hasilnya setiap bulan sudah  bisa di print dan diketahui banyaknya. Saya berkomitmen dengan niat sungguh-sungguh jika ada rezeki 100ribu atau 500ribu saya cemplungkan di tabungan ini, saya ibaratkan sedang  membuang hajat besar atau kecil biar saya tidak mengingat-ingat lagi. Cuma yang mencengangkan, bagi hasil Tabungan Pensiun SIMPONI ini lebih besar ketimbang dengan bunga tabungan konvensional hal ini karena belum dilakukan pemotongan pajak. Setelah dicairkan 15 tahun nanti baru hitung-hitungan pajak dilakukan. Namun jika sewaktu-waktu kita membutuhkan darurat, tabungan Pensiun SIMPONI ini bisa kita cairkan dengan konsekuensi terkena pinalti. Untuk memulai menabung PENSIUN SIMPONI  ini harus memiliki kemauan kuat dengan kata lain harus dipaksa untuk menyisihkan sebagian pengahasilan kita. Bayangkan terkadang kita membeli hal-hal konsumtif yang harganya puluhan juta, namun jangka panjang tidak bermanfaat, sedangkan untuk masa depan kita sendiri menyisihkan 100ribu atau 200rb kok teramat pelit?. Jika punya tabungan jangan dibuatkan ATM semua, pengalaman saya karena mudah geseknya berapa pun ATM kita akan mudah terkuras.
                Ayo kita bisa pensiun tanpa harus jadi PNS seperti yang saya sebutkan diatas, buatlah TABUNGAN PENSIUN SIMPONI di Bank BNI, jika kita ada rezeki bisa menyisihkan 100rb, 500rb syukur-syukur 1juta, Insya Allah hasilnya akan menakjubkan dan dapat menolong perekonomian kita jika sewaktu-waktu kita terjepit. Siapa bilang swasta itu tidak bisa pensiun?.
Semoga bermanfaat.

Kamis, 26 Januari 2017

Negara (wan) Ditangkap KPK?

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
                                              Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama                                                         Pengamat Konstitusi
 
                Berita heboh Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ditangkap KPK Oktober 2013 lalu, tak menyurutkan bagi penegak hukum lainnya untuk tidak berkorupsi.  Alih-alih MK membenahi institusinya, justru Rabu kemarin sore institusi sebagai penjaga gawang konstitusi itu kembali dipermalukan untuk kali kedua dengan ulah hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh komisi anti rasywah.
                Jika di jajaran eksekutif seperti kasus bupati Klaten yang tertangkap KPK dengan dugaan memperdagangkan promosi jabatan, publik menyikapinya masih biasa-biasa saja. Biasa-biasa karena selama ini publik mafhum untuk promosi jabatan di instansi dan kelembagaan negara sudah umum diketahui ada yang menggunakan cara-cara yang nista seperti menyuap atau melalui pendekatan nepotisme. Publik juga tak heran ketika dari kalangan legislatif baik level anggota DPR RI-DPRD yang tertangkap tangan KPK. Banyaknya hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan hakim MA yang ditangkap KPK, publik juga masih tidak begitu kaget karena dari hal-hal yang sepele saja seperti penebusan pelanggaran lalu lintas di pengadilan sudah dicegat calo.
                Tetapi pandangan publik kali ini berbeda dan geleng-geleng kepala tatkala Hakim MK yang ditangkap KPK, tentu akan menjadi berita heboh di seantero negeri ini, sebab hakim MK adalah penjaga gawang konstitusi yang satu-satunya pejabat yang dipersyaratkan harus memiliki jiwa negarawan. Negarawan adalah orang yang menanggalkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan/atau partai politiknya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat-negara-bangsa. Maka rekruitmen hakim MK perlu ditinjau ulang jangan asal comot orang yang kredibiltas dan kejujurannya masih diragukan.
Negarawan Tidak Terukur
                Selama ini pencalonan hakim MK yang dipersyaratkan orang yang negarawan tidak terukur, hakim MK yang berasal dari kader partai politik hampir mustahil bisa independen putusannya, apalagi berharap bisa negarawan. Jumlah 9 hakim MK yang komposisinya 3 diajukan oleh Presiden, 3 oleh DPR dan 3 oleh Mahkamah Agung sangat tidak tepat, sebab setelah menjadi hakim konstitusi akan tunduk kepada yang mengajukan. Akibatnya, jika sewaktu-waktu Presiden di impeachment oleh DPR dengan menggunakan hak menyatakan pendapat, dugaan DPR bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 jika dilakukan voting di MK, maka posisi presiden masih bisa aman 6:3 atau minimal 5:4 untuk menggagalkan impeachment.
Tamparan Keras Bagi SBY
                Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi yang secara resmi mengucapkan sumpah jabatan pada 13 Agustus 2013 adalah diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Sebagai presiden yang mengajukan setidak-tidaknya SBY memiliki beban moral karena ternyata yang diajukan jauh dari negarawan, apalagi pengajuannnya pada saat itu banyak mendapat kritikan dan terjadi pro kontra. Bahkan, yang saya kutip dibawah ini dari (http://www.suratkabar.id/29488/politik/jadi-hakim-mk-atas-usulan-sby-patrialis-akbar-berakhir-sebagai-tahanan-kpk) menyatakan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menilai penunjukannya ini tidak transparan dan partisipatif.

Jumat, 20 Januari 2017

HUBUNGAN MARITAL (SUAMI ISTRI) DALAM PERKAWINAN




Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama
                                               Alumni Magister Kenotariatan Universitas Indonesia Spesialis Hukum Perdata 

     Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah selayaknya untuk direvisi. Pasalnya undang-undang ini ada muatan diskriminatif memosisikan perempuan lemah tidak berdaya terhadap pria. Sebagai pria, meski saya merasa sedikit diuntungkan dalam peraturan ini, tetapi saya memandang UU ini tidak memenuhi aspek keadilan oleh karenanya harus dilakukan perubahan. 
         Marilah kita menyimak dengan saksama rumusan UU yang tidak adil  itu: Pasal 4 ayat (2) undang-undang perkawinan menyebutkan: “Pengadilan memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a.          Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.         Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.          Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

     Seharusnya jika suami cacat badan/ atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan istri juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk bercerai. Maaf istri tidak dapat polyandri karena akan bertentangan dengan hukum positif dan hukum islam, yang bisa dituntut istri seharusnya dapat  mengajukan perceraian.  Apabila suami tidak dapat menjalankan kewajibannya (impoten) atau  suami  cacat badan dan mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka dalam undang-undang ini harus secara tegas dinyatakan bahwa istri pun dapat menggugat perceraian kepada suami apabila hal itu dikehendaki oleh  si istri.  Persyaratan suami dapat melakukan perkawinan lebih dari satu sebagaimana syarat-syarat  pasal 4 ayat (2) adalah kontradiktif intermenis dengan pasal 33 Undang-undang perkawinan itu sendiri yang menyebut: “suami istri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia dan memberi bantuan, lahir batin yang satu kepada yang lain. Suami itu adalah pelindung istri, sebagaimana tujuan dari perkawinan itu adalah bukan semata-mata mengejar kebutuhan biologis, akan tetapi lebih daripada  itu mempunyai tujuan yang luhur sebagaimana disebut dalam undang-undang perkawinan pasal 1 yang menegaskan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 26,  yang memandang perkawinan itu hanya dalam hubungan-hubungan keperdataan saja tidak beraspek religius.   Sebenarnya sudah sejak 17 tahun lalu undang-undang perkawinan ini menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi untuk segera dilakukan revisi, utamanya  revisi yang menyangkut hubungan  suami istri (kekuasaan marital) dalam berumah tangga. Sehingga revisi tersebut diharapkan dapat menempatkan wanita sejajar dengan pria dalam hubungan suami istri.  

Kamis, 19 Januari 2017

Dibutuhkan Berapa Periode MPR Amandemen Konstitusi?


 
Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
               Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
           JABATAN FUNGSIONAL DOSEN: LEKTOR

Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. DPD itu maju tidak, mundur juga tidak alias bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Ada dugaan kuat DPD sengaja di design tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, dalam batas penalaran logis DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan, sebab jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  ada dugaan kuat memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki  peran strategis.
             Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).
             Sebagai buah reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil amandemen yang sangat signifikan dirasakan antara lain dapat: mengembalikan kuasa daulat rakyat melalui pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat {1} UUD 1945)  sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan mendistorsi kuasa daulat rakyat; dapat membatasi dengan tegas kekuasaan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945); melahirkan lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang memiliki reputasi sangat baik sebagai peradilan progresif di abad mutakhir ini sebagai penjaga gawang konstitusi (guardian constitution).
           Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
Kegaduhan gagasan amandemen kelima UUD 1945 sudah dimulai sejak 2007 tatkala DPD mengusulkan agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR, sayangnya gagasan amandemen tersebut gagal total di pertengahan jalan. Berikutnya, pada tahun 2011 DPD  kembali ribut mengusulkan amandemen kelima UUD 1945,  tetapi kali ini belum sampai pada tahap diajukan oleh DPD pelan-pelan menghilang bak ditelan bumi. Selanjutnya pada tahun 2014 MPR telah secara resmi mengajukan amandemen kelima UUD 1945 untuk mengubah sejumlah substansi dalam konstitusi, hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Tim Ad Hoc II MPR, Jafar Hafsah dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014, nasional.kompas.com), sayangnya usulan tersebut sampai sekarang juga tidak jelas juntrungnya. Jika penulis perhatikan, dari periode ke periode masa jabatan anggota MPR selalu gaduh mewacanakan perubahan kelima UUD 1945, sayangnya antara periode sebelumnya dengan periode sekarang maupun di masa yang akan datang tidak dijadikan sebuah keputusan melembaga dan sistemik, sehingga terkesan dari periode ke periode  masa bhakti anggota MPR masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri cuma membikin gaduh suasana perpolitikan nasional. Di tahun 2016 kemarin MPR gencar kembali mengusung perubahan kelima UUD 1945, bedanya usulan amandemen konstitusi kali ini bukan inisiatif DPD, tetapi murni buah pikir MPR membaca gerak nadi masyarakat yang menginginkan kembali GBHN dimasukkan ke dalam konstitusi dimana selama ini kita telah kehilangan arah panduan untuk bernegara. Jika amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2017, besar kemungkinan akan bernasib sama dengan gagasan amandemen sebelumnya yang hanya bising membuat kegaduhan perpolitikan nasional alias GAGAL TOTAL. Mengharap MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 2018, HAMPIR MUSTAHIL, sebab anggota MPR didalamnya anggota DPR dan anggota DPD akan mencari selamat sendiri-sendiri merebut hati rakyat terjun ke kantong-kantong konstituen guna menghadapi pertarungan pemilu legislatif pada tahun 2019.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945 yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001 kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi “napas buatan” oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Jika di Inggris  memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords  dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral parliament, yaitu, The House of Representatives dan The Senate yang secara bersama-sama disebut The Congress The United States of America. The House of Representatives mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum setempat (Pengantar llmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Kelatahan sistem parlemen kita yang mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap implementasinya justru menjadi lelucon belaka. Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan setelah dihempas badai (gagalnya) amandemen konstitusi tahun 2007 lalu. Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu DPR. Analogi lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola, 132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang melawan tim DPR yang berkekuatan penuh 560 anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini pertahanan lapangan (usulan 1/3 perubahan konstitusi) tidak akan mampu.
Dengan hitungan rasional matematik diatas hampir mustahil usulan amandemen yang diusung secara parsial oleh DPD untuk memperkuat kelembagaannya dapat menembus jantung pertahanan DPR, sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945 yang mensyaratkan 1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu anggota MPR untuk pengambilan putusan.
Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, sudah 110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amandemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan anggota DPR 550 anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut dan mengingkari tanpa rasa malu, ibarat sudah meludah ditelan kembali. Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit kepada DPD dianjurkan mengusulkan amandemen hasil pemilu 2009 saja. DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 ini nampaknya anggota MPR mulai setengah serius untuk melakukan amandemen UUD 1945 khususnya isue sentral mengenai perlunya GBHN kembali dimasukkan di dalam UUD 1945.
Usulan perubahan kelima konstitusi pada tahun 2007 lalu yang digagas oleh DPD  sudah mendapat dukungan 238 anggota MPR (110 anggota DPR dan 128 anggota DPD) tetapi kandas dipertigaan jalan, padahal sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Untuk kali kedua di akhir tahun 2011 DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen) ketika itu DPD telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12/2011).Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal  204 anggota. Secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. Perilaku yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu yang terkesan dibuat-buat ini, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), dugaan kuat memiliki kepentingan politik dibalik penjegalan amandemen itu. Batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amandemen konstitusi ditentukan kenegarawanan jumlah 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).
 Gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang mengemuka di tahun 2016 dan 2017 ini, DPD lah yang akan menenggak keuntungan karena dapat mendompleng mengusulkan kembali agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR. Dalam hal ihwal amandemen konstitusi, penulis pernah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen Jilid II ketika itu yang diusulkan DPD tidak terlihat perubahan yang signifikan, cuma sedikit semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi biar mendapat simpati rakyat, ide ini pun bakalan sulit direalisasikan mengingat DPR akan mudah membacanya. Dibanding 2007, usulan amandemen yang digagas DPD 2011 lalu, memang cukup cemerlang dan realistis bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki agenda yang utama, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat dan sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi.                       
 Hanya ada dua opsi bagi MPR, mempertahankan DPD dengan memberi kewenangan, ataukah membubarkan. Indikasi kuat DPD “tidak diurus” dipertontonkan dengan terang benderang oleh DPR dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Amandemen Konstitusi Berhasil Jika DPR Negarawan
Dampak jika DPD dapat  menembus amandemen kelima konstitusi, lembaga ini akan memiliki kewenangan ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama, jika DPD diperkuat, berdampak mengacaukan konstitusi, jika hanya dijadikan assessoris dalam sistem ketatanegaraa lembaga negara ini selain mubadzir juga nihilnya estetika konstitusi. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak memiliki arti (meaningless).
Sesungguhnya bagi MPR mudah jika berkehendak membubarkan DPD cukup menggunakan tangan kanan MPR (anggota DPR) yang jumlahnya 560 beramai-ramai “memasuki ruang sidang majelis”, sudah dapat membubarkan DPD, sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD (tangan kiri MPR) yang juga merangkap anggota MPR.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19