Senin, 05 Juli 2021

Selamat Jalan Pak Harmoko, Kini SI GANTENG TELAH TIADA: INNA LILLAHI WAINNA ILAIHI ROJI’UN Semoga Husnul Khatimah


 


 

 

Selamat jalan bpk H. Harmoko, Inna Lillahi Wainna Ilaihi Roji’un semoga almarhum Husnul Khatimah. Menteri Penerangan di era orde baru yang juga pernah menjabat Ketua MPR/DPR RI periode 1997-1999 telah  meninggal dunia di rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) pada hari Minggu sekira pukul 20.22 WIB dalam usia 82 Tahun. Banyak kenangan indah saya bersama bapak H. Harmoko sejak tahun 1997-1999 persis di saat-saat gema reformasi, ketika itu saya menjadi PNS MPR. Sebutan si Ganteng kepada Harmoko saya saksikan sendiri disematkan oleh ibu-ibu di sekitaran masjid Wisma Graha Sabha Kopo DPR RI Cisarua, Bogor ketika rombongan pak Harmoko mau menunaikan Shalat Jum’at, ibu-ibu itu berbaris memanggil pak Harmoko dengan sebutan SI GANTENG. Setahu saya secara personal Pak Harmoko itu orangnya cerdas dan baik hati dan banyak shadaqohnya di sekitaran masjid Wisma Graha Sabha Kopo DPR RI tersebut. Kesukaan pak Harmoko Sate Kambing Pak Kadir selesai bermain tenis lapangan, kami menyantap makan siang bersama-sama sambil mendengar wejangan pak Harmoko soal filsafat kehidupan dan seputaran politik yang sedang hangat pada waktu reformasi. Beliau ketika saya menikah tanggal 27 Januari 2000 di Solo tidak bisa hadir karena ada sesuatu hal yang tidak bisa ditinggalkan dengan mengirimkan karangan bunga dan ucapan selamat kebetulan kartu ucapan selamat masih saya simpan dan saya posting diatas.

Tidak banyak orang yang beruntung bisa sedekat dengan   penguasa ketika itu, apalagi dengan seorang Ketua MPR/DPR yang merupakan lembaga tertinggi Negara yang memiliki wewenang purbawisesa, mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saya mengenal  Ketua MPR/DPR, Harmoko, sejak tahun 1998-sekarang, bukan lantaran memiliki jabatan eselon I, apalagi menjadi Sekjen di Sekretariat Jenderal MPR tempat saya bekerja tempo dulu,  bukan pula karena  staf ahlinya, atau staf Sekretariat Pimpinan MPR. Tetapi, saya adalah seorang pegawai biasa yang diperkenalkan dengan Harmoko atas berkah dan RahmatAllah  Yang Maha Kuasa, lantaran bisa sedikit bermain tenis lapangan. Sebagai  pegawai biasa, tentu saya siap melaksanakan tugas, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR menugaskan saya untuk melayani Harmoko bermain tenis dengan sebaik-baiknya. Pesan politis pimpinan Setjen MPR, yang sesungguhnya untuk kepentingan dirinya saya paham betul, sebab, untuk menjadi Sekjen dan Wakil Sekjen MPR harus diusulkan oleh Ketua MPR/DPR kepada Presiden. Maka, sudah seharusnya pimpinan MPR/DPR harus dilayani dengan baik dan disenangkan hatinya. Ketika Harmoko menjabat Ketua MPR/DPR, setiap hari Minggu, pagi-pagi rutin  bermain tenis di lapangan Tenis Sekretariat Jenderal MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Luar biasa, pagi-pagi orang sudah berkerumun ikut-ikutan bermain tenis bersama Harmoko, dari mulai anggota DPR, pengusaha yang mendekat dengan tujuan  project, dan masih banyak lagi orang-orang dengan modus kepentingan lainnya. Harmoko ketika itu benar-benar bak gula yang sedang dikerubuti semut. Setiap hari Minggu, sehabis sholat subuh, saya harus menyiapkan kebersihan lapangan tenis,termasuk menyiapkan ball boy (pemungut bola) untuk melayani Harmoko bermain tenis lapangan. Harmoko, selain bermain Tenis di lapangan tenis Setjen MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, terkadang, dua atau tiga minggu sekali juga bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR-RI, Cisarua, Bogor. Yang membuat sedih bathin saya, tatkala Harmoko lengser dari jabatan Ketua MPR/DPR, orang-orang yang berjubel, menyemut dan berduyun-duyun tadi, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Itulah sifat kebanyakan manusia Indonesia, ketika sedang menjabat dikerubuti, begitu Purnabakti langsung dijauhi. Tahun 2008 ketika pak Harmoko mendirikan PARTAI KERAKYATAN NASIONAL (PKN) saya dipanggil kerumahnya di Jln Patra Kuningan XII Jakarta Selatan untuk bergabung, tetapi saya menolak halus saya belum siap. Pada tahun 2012 saya juga dipanggil untuk menghadap beliau di Kantor Pos Kota Jln Gajah Mada 100 ditawari untuk menulis artikel di Pos Kota, terakhir beliau pernah menelpon ke rumah saya, tetapi saya lupa tahunnya saya langsung yang menerima rasanya kaget dan tidak percaya kala itu yang menelpon pak Harmoko langsung.

 

Penyebab runtuhnya Presiden Soeharto pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 sudah banyak diketahui publik, mulai dari krisis ekonomi di penghujung tahun 1997, hingga pertengahan 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional. Krisis ekonomi tersebut berkembang liar menjadi krisis hukum, politik, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyebab lainnya, juga sudah diketahui publik, ihwal adanya tanda-tanda alam, tatkala Ketua MPR/DPR, Harmoko,  mengetukkan palu  saat  melantik  pak Harto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya pada Maret 1998, tetapi, palunya mencelat, copot dan patah kepalanya. Lantas, rahasia apalagi yang sesungguhnya sampai sekarang belum terkuak oleh publik?. Simak dengan saksama artikel ini, yang akan saya beberkan agar publik mengetahui secara komprehensif, sisi lain, sebab musabab tumbangnya pak Harto dari  Presiden Republik Indonesia yang langsung saya dengar dari pak Harmoko ketika istirahat bermain tenis. .

 
 Sering Diajak Bareng Satu Mobil

Hati saya bergetar ketika pertama kali diajak bareng satu mobil dengan Harmoko duduk berdampingan untuk  bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor. Jika bermain tenis ke puncak, Harmoko selalu  mengendarai mobil kesayangannya, Toyota Fortuner, warna hijau. Sepanjang perjalanan saya membisu, kalau tidak diajak bicara, saya tidak akan nyerocos, saya tahu diri, sedang berhadapan dengan Ketua MPR/DPR yang memiliki jabatan super power dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden kala itu. Saking senang dan bahagianya berjejer dengan Harmoko, saya terlena tidak menyadari, bahwa sesungguhnya diri saya sedang terancam marabahaya, sebab era reformasi, Harmoko dikejar-kejar oleh mahasiswa, jika hal buruk sampai menimpa Harmoko, tentu saja, saya juga terkena imbasnya. Setiap selesai bermain tenis dilanjut makan siang, kesukaan Harmoko selalu makan gulai dan sate kambing dari pak Kadir yang selalu disuguhkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI. Kami berkumpul mendengarkan wejangan Harmoko tentang kehidupan, dan cerita politik yang sedang aktual. Kalau Harmoko pasif tidak ngobrol politik, maka, kamilah yang memancing, agar Harmoko bercerita sejujurnya mengenai isu-isu politik seputaran gelombang reformasi.

Pak Harto Minta Menjadi Presiden Lagi

Setelah rehat selesai bermain tenis, dilanjut makan siang, kebiasaan Harmoko selalu bercerita ngalor ngidul, terkadang cerita lelucon yang membuat ger-geran kami semua, adakalanya cerita diselingi seputaran tentang makna hakekat kehidupan. Akhirnya, tibalah saat yang kami tunggu-tunggu, Harmoko berbicara jujur tentang gerakan reformasi yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden, kata Harmoko: “Gimana, Wong pak Harto waktu itu masih pengen jadi Presiden lagi” (Gimana, orang Pak Harto pada waktu itu masih ingin menjadi Presiden lagi”). Masih kata Harmoko, tidak seperti biasanya, pak Harto sebelum dilantik menjadi Presiden sudah menghubungi calon pembantunya terlebih dahulu.  Namun kali itu, pak Harto bersikap lain, sebelum terpilih dan pelantikan Presiden untuk ketujuh kalinya, jauh-jauh hari sudah menghubungi para pembantunya, agar bersedia memperkuat pemerintahannya. Inilah yang dikatakan bung Harmoko kepada saya, bahwa pak Harto itu sudah ndisikki kerso (mendahului kehendak Tuhan), jadinya keweleh. Hal-hal inilah, yang selama ini belum terkuak oleh publik mengenai pencalonan pak Harto untuk ketujuh kalinya.

Dalam batas penalaran logis pengakuan Harmoko, masuk akal, siapakah orangnya yang tidak ingin menjadi Presiden seumur hidup?. Karena  sistemnya yang memungkinkan untuk itu, akibat tafsir bersayap Pasal 7 UUD 1945 redaksi lama: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pertanyaannya, dimana letak kesalahan pak Harto jika masih mau menjadi Presiden ketujuh kalinya?. Jawabannya, secara normatif tidak ada yang salah, hanya saja Pak Harto lihai mengemas agar pencalonannya kembali menjadi Presiden ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat, dan Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR yang mewakili aspirasi rakyat  sudah melaporkan bahwa rakyat masih menghendaki pak Harto menjadi Presiden kembali. Oleh karena itu, sudah tepat, melalui amendemen UUD 1945 Pasal 7 dikoreksi menjadi sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Harmoko Dianggap Brutus

Gerakan reformasi Mei 1998 yang diinisiasi oleh mahasiswa untuk menumbangkan Soeharto sudah tidak dapat dibendung lagi. Posisi Harmoko ketika itu dilematis, sudah terjepit-pit. Satu sisi, sebagai Ketua MPR/DPR harus menyuarakan aspirasi rakyat menyikapi permintaan berhentinya pak Harto dari jabatan Presiden, sisi lain, tentu, Harmoko bingung tujuh keliling, apakah setega itu memundurkan pak Harto, orang yang telah  berjasa membesarkan dan melambungkan dirinya. Namun, pilihan apa pun harus diambil Harmoko, meski konflik batin dan pahit dampaknya. Akhirnya, Harmoko atas nama Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR memberikan pernyataan pers dengan lantang, tegas dan berani menyatakan bahwa: “Demi kepentingan bangsa dan negara, dan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, agar Soeharto dengan arif dan bijaksana mengundurkan diri dari jabatan Presiden”. Genderang pernyataan Harmoko tentu saja membuat istana marah besar, berbeda-beda publik menyikapi pernyataan Harmoko. Ada yang memuji  keberanian Harmoko, tidak sedikit pula yang menilai Harmoko itu Brutus (pengkhianat). Nama Harmoko yang diplesetkan (Hari-Hari Omong Kosong) menjadi bulan-bulanan publik. Masyarakat awam tidak habis pikir, sebagai Ketua MPR/DPR Harmoko lah yang mengangkat Presiden, dan Harmoko pula yang meminta Soeharto berhenti dari jabatan Presiden. Dari perspektif politis dan hukum, baik pak Harto maupun bung Harmoko tidak dapat dikatakan salah, yang keliru adalah sistem ketatanegaraannya yang harus diperbaiki. Sebagai Ketua MPR/DPR, Harmoko berkewajiban menyuarakan aspirasi rakyat yang menghendaki turunnya pak Harto dari jabatan Presiden, meski berhadapan dengan orang yang pernah menyayanginya.

SI GANTENG TELAH TIADA

Kini, Harmoko sudah TIADA, mari kita doakan semoga beliau HUSNUL KHATIMAH bagaimana pun beliau adalah orang yang memiliki kelebihan saat menjabat Menteri Penerangan. Meski ia hanya tamatan SLTA, setahu penulis, pemikiran dan ingatannya sangat cemerlang. Ketika kami Jum’atan di Masjid komplek Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor, Harmoko selalu mendapat sapaan dan simpati dari masyarakat, terutama ibu-ibu berbaris dengan sebutan “si Ganteng”. Ingatan kita masih segar tatkala program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa/Siaran Pedesaan RRI) yang digagas oleh Harmoko mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Berbicara kekurangan orde baru secara filosofis tentu banyak, antara lain, tidak berkembangnya pers, jika ada pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, sudah menjadi rahasia umum akan terkena pembredelan. Jika ditilik dari sistem pemerintahan orde baru, lagi-lagi ini bukan semata-mata kesalahan Harmoko, sistem bangunan demokrasi lah yang perlu dibenahi. Begitu juga pak Harto, menurut penulis adalah seorang Presiden yang luar biasa, kinerjanya nyata dirasakan oleh rakyat, keamanan yang terkendali  dan harga-harga di pasaran yang murah, hal ini yang selalu diingat oleh rakyat. Sebagai manusia biasa, Pak Harto tentu ada kekurangannya, salah satunya adalah mempraktekkan pemerintahan otoriter.

 Ketika tahun 2008, Harmoko mendirikan PKN (Partai Kerakyatan Nasional), sayangnya, tidak lolos ferivikasi faktual, beliau memanggil saya kerumahnya, jalan Patra Kuningan XII, Jakarta. Sesampainya dirumah, sembari ngobrol seputaran Partai yang didirikannya, Harmoko bertanya: “Warsito Kamu tahu artinya SARS nggak?. Saya jawab: “tahu pak!, kata Harmoko, apa itu?: “saya jawab: “Severe Acute Respiratory Syndrome atau gangguan pernapasan”, yaitu batuk, napas pendek dan kesulitan bernafas. Kata Harmoko:, salah!. Yang  benar: “Saya Amat Rindu Soeharto”. Saya tertawa terpingkal-pingkal mendengar plesetan arti SARS dari Harmoko itu, dalam hati saya, ada-ada saja Harmoko ini orangnya, meski memang saya sering mendengar kerinduan masyarakat akan hadirnya kembali sistem pemerintahan pak Harto.

  Begitulah warna warni pemimpin yang pernah kita miliki, dari zaman ke zaman masing-masing memiliki corak, kehebatan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Kita tidak pernah akan menemukan kesejatian pemimpin yang sempurna. Falsafah jawa mengatakan mikul dhuwur mendem jero, cocok sekali diterapkan dan diamalkan kepada semua pemimpin kita yang telah mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk pengabdian kepada ibu pertiwi, agar kita menjadi kesejatian bangsa yang berbudaya dan berkeadaban tinggi.

Selamat jalan pak Harmoko semoga HUSNUL KHATIMAH.

 

 

 

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19