Selasa, 29 Juli 2008

Menyoal Penggunaan Lambang Negara dan Logo MPR, DPR dan DPD



Oleh:
Warsito, S.H., M.Kn.
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah Dinas DPD
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat


Siapakah orang yang belum pernah melihat lambang anggota MPR, DPR dan DPD?. Sengaja atau tidak, tentu kita sudah pernah melihatnya. Yaitu, logo bergambar burung garuda dilingkari padi dan kapas yang berseliweran dijalanan pada nomor plat mobil. Logo legislatif ini semestinya hanya diperuntukkan bagi anggota MPR, DPR dan DPD, namun dalam prakteknya, ada sebagian masyarakat yang bukan anggota legislatif latah mempergunakannya, tujuannya antara lain, agar selamat dari urusan kepolisian jika sewaktu-waktu terjadi pelanggaran lalu lintas.
Lambang anggota MPR, DPR dan DPD dengan menggunakan burung garuda di lingkari padi dan kapas selama ini salah kaprah digunakan di lingkungan legislatif. Penggunaannya bertentangan dengan PP. 43 tahun 1958 tentang penggunaan lambang negara. Pada penggunaan lambang negara dilarang menulis huruf atau gambar-gambar lainnya.
Burung garuda adalah lambang negara, sebagai simbol, kebanggaan, kebesaran, dan keagungan bangsa Indonesia. Agar selaras, maka penggunaannya sudah diatur di dalam PP. 43 Tahun 1958 Tentang Penggunaan Lambang Negara. Sejauh ini penggunaannya masih belum dipahami sepenuhnya oleh instansi dan kelembagaan negara. Belum dipahaminya penggunaan lambang negara oleh institusi dan kelembagaan negara berakibat penggunaannya melampaui batas kewenangannya (ultra vires). Tidak selaras dengan kedudukannya.
Marilah kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh ketentuan Pasal 7 PP. 43 Tahun 1958 Tentang Penggunaan Lambang Negara.
(1) Cap jabatan dengan Lambang Negara didalamnya hanya dibolehkan untuk cap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Konstituante, Ketua Dewan Nasional, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Dewan Pengawas Keuangan, Kepala Daerah dari tingkat Bupati dan Notaris.
(2) Cap Dinas dengan Lambang Negara didalamnya dibolehkan untuk kantor-kantor pusat dari pejabat-pejabat tersebut dalam ayat 1.
(3) Lambang Negara dapat digunakan pada surat jabatan Presiden, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Konstituante, Ketua Dewan Nasional, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Ketua Dewan Pengawas Keuangan, Gubernur Kepala Daerah dan Kepala Daerah yang setingkat, Direktur Kabinet Presiden dan Notaris.
Dengan memerhatikan secara saksama penggunaan lambang negara tersebut, pertanyaan substansial dapat diajukan, apakah anggota MPR, DPR, dan DPD itu dibolehkan menggunakan cap jabatan dan surat jabatan dengan lambang negara?. Berdasarkan PP. 43 tahun 1958 tentang penggunaan lambang negara, anggota MPR yang terdiri dari unsur DPR dan DPD secara perorangan tidak diperkenankan menggunakan lambang negara. Yang diberi wewenang menggunakan surat jabatan dengan lambang negara di lingkungan legislatif hanyalah ketua-ketua kelembagaannya saja. Dalam hal ketua kelembagaan berhalangan, maka penerima pendelegasian, boleh menggunakan surat jabatan dengan lambang negara dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama ketua kelembagaan.
Sudah 50 Tahun PP tentang penggunaan lambang negara ini belum ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR-RI bersama Presiden dalam bentuk undang-undang. Pembuatan undang-undang tentang penggunaan lambang negara merupakan perintah konstitusi yang bersifat imperatif (memaksa). Sebagaimana diamanatkan Pasal 36C Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
“Ketentuan Lebih lanjut mengenai bendera, bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu kebangsaan itu diatur dengan undang-undang”.
Dalam Praktek, sering diketemukan penyimpangan, adanya instansi pemerintah dari eselon III sampai dengan eselon I menggunakan surat jabatan dengan Lambang Negara. Melihat serampangan penggunaan lambang negara oleh instansi dan kelembagaan negara ini sudah saatnya DPR bersama pemerintah membentuk undang-undang tentang penggunaan lambang negara. Dengan demikian, penggunaan lambang negara di instansi pemerintah maupun di kelembagaan negara lebih tertib, sehingga selaras dengan kedudukannya.
Pasal 229 jo Pasal 230 Tata Tertib DPR RI, menyatakan bahwa DPR memiliki lambang dan tanda anggota.
Lambang sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut terdiri atas garuda ditengah-tengah, padi dan kapas yang melingkari garuda, serta pita dengan huruf DPR-RI, yang berbentuk bulat dengan batasan:
a. sebelah kanan: kapas sejumlah 17 (tujuh belas) buah;
b. sebelah kiri: padi sejumlah 45 (empat puluh lima) buah; dan
c. sebelah bawah: tangkai padi dan kapas yang diikat dengan pita dan diatasnya ada pita lain yang bertuliskan DPR-RI.
DPR mungkin saja tidak sadar dalam membuat tata tertib yang mengatur lambang anggota DPR-RI bergambar burung garuda dengan lingkaran padi dan kapas. Peraturan tata tertib itu melanggar PP. 43 Tahun 1958 pasal 12 angka 2 sebagai berikut: Pada Lambang Negara dilarang menaruh huruf, kalimat, angka, gambar atau tanda-tanda lain”.
Logo perkumpulan yang memiliki kemiripan dengan penggunaan lambang negara itu dilarang oleh pasal 13 PP. 43 Tahun 1958: “Lambang untuk perseorangan, Perkumpulan, organisasi partikelir atau perusahaan tidak boleh sama atau pada pokoknya menyerupai Lambang Negara”.
Penulis menelusuri sejarah penggunaan lambang anggota DPR dan MPR guna melakukan penelitian materi tentang penggunaan lambang negara oleh: Presiden; wakil presiden; ketua-ketua lembaga negara; menteri; gubernur; bupati; walikota dan notaris. Penulis mendapatkan informasi dari sumber, hal ihwal lambang negara dilingkari padi dan kapas digunakan sebagai logo anggota MPR dan DPR. Konon MPR dan DPR pernah mengadakan sayembara logo untuk anggota MPR dan DPR, salah seorang pegawai Sekretariat Jenderal MPR memenangi sayembara tersebut. Peserta dengan hasil karya bergambar burung garuda dilingkari padi dan kapas diputuskan sebagai pemenang untuk lambang anggota MPR dan DPR. Bukankah gambar padi dan kapas itu sudah ada di tubuh burung garuda?. Mengapa burung garuda harus dikurung lagi dengan padi dan kapas?. Ironisnya, anggota DPR dan MPR menerima begitu saja bentuk lambang tersebut tanpa mengkaji dari aspek legalitasnya.
DPD Ikut Terjerumus
Lebih celakanya lagi, penggunaan lambang anggota MPR dan DPR yang salah kaprah dan melanggar aturan itu, dijiplak mentah-mentah oleh Dewan Perwakilan Daerah atau DPD diturunkan menjadi Tata Tertib. Sehingga lambang anggota MPR, DPR dan DPD tidak ada perbedaan. Perbedaan sedikit terletak hanya pada tangkainya, yaitu, pada tulisan DPR-RI untuk lambang anggota DPR-RI, dan tulisan MPR-RI untuk anggota MPR-RI, diganti oleh DPD-RI menjadi lambang anggota DPD-RI (Tata Tertib DPD-RI Pasal 184 jo Pasal 185). Jika DPR dengan MPR memiliki kemiripan lambang, hal itu masih bisa dimaklumi, mengingat kedudukan MPR pada waktu itu sebagai lembaga tertinggi negara sedangkan DPR sebagai lembaga tinggi Negara yang ketua kelembagaannya dijabat oleh satu orang (kini MPR dan DPR berkedudukan sebagai lembaga negara). Masing-masing memiliki ketua kelembagaan.
Bagaimana dengan posisi anggota DPD yang mempergunakan lambang burung garuda dilingkari padi dan kapas?. Sudah tepatkah?. Tidak!. Lambang itu tidak selaras dengan kelembagaan DPD. Mengapa?. Sebab DPD adalah lembaga negara wakil-wakil ikatan daerah yang berorientasi kedaerahan (regional base). Keberadaan DPD haruslah mencerminkan lambang yang berbeda dengan lembaga-lembaga negara lain, punya ciri khas dan warna tersendiri.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan hukum, maka perlu diatur penggunaan lambang negara bersifat unifikasi (satu kesatuan) berlaku di lingkungan instansi pemerintah dan kelembagaan Negara. Dengan demikian, penggunaan lambang negara dapat lebih tertib dan selaras dengan kedudukannya.

Selasa, 22 Juli 2008

DPD Antara Dibubarkan atau Diberikan Kewenangan


Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Dosen Universitas Satyagama Jakarta

- Alumni Pasca Sarjana Magister Kenotariatan UI

- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat


     Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, adalah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi. Keterdamparan DPD ini diakibatkan konstitusi tidak memberinya wewenang ikut memutuskan undang-undang. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR selama empat kali sejak 1999-2002, telah melahirkan sekaligus menjadikan lembaga DPD ‘tidak jelas juntrungnya.’
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang jelas yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Sebaliknya, lembaga DPD praktis hanya bekerja memenuhi ketentuan konstitusi tanpa produk berupa putusan UU. DPD hanya diberikan fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan ke DPR jika DPR tidak mau maka saran DPD tsb hanya masuk tong sampah. Oleh karena itu, jangan biarkan lembaga DPD ini mengalum (merana).
 
Dibubarkan Atau Dipertahankan
     Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir 17  tahun keberadaan lembaga DPD kini terbentuk sejak saya revisi blog hukum ini pada tahun 2021. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Kemudian jawablah pertanyaan ini dengan sejujurnya. Adakah manfaat keberadaan DPD selama ini untuk rakyat?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi menjadikan produknya tidak bernilai. Apabila keberadaan DPD tetap dijadikan model lembaga Konsolasi (suguhan hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Jika sebaliknya, pilihan ditetapkan ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen Pasal 22D UUD 1945.
 
Jika ada Amandemen UUD 1945
Jika ada amandemen UUD 1945 selain menghidupkan kembali GBHN juga harus meninjau ulang keberadaan DPD apakah dibubarkan atau diperkuat melalui amandemen UUD 1945. Pembubaran DPA sudah tepat tapi anehnya melahirkan lembaga negara DPD yang sama-sama hanya memiliki tugas pertimbangan bedanya pertimbangan DPA disampaikan ke Presiden tetapi pertimbangan DPD disampaikan ke DPR yang sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.

Kamis, 03 Juli 2008

Bubarkan DPD Atau Diperkuat Diberi Kewenangan


Oleh Warsito, SH M.Kn.
Dosen Universitas Satyagama Jakarta
Alumni Program Pasca Sarjana
Magister Kenotariatan UI




       Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan tidak diberi kewenangan sama sekali oleh konstitusi. Jelasnya lembaga ini kewenangannya Dikurung oleh konstitusi. Sedangkan kegiatan anggota Dewan dan Sekretariat Jenderalnya menghabiskan ratusan milyar uang rakyat, produknya tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan untuk manfaat kepentingan rakyat.
Untuk apa melahirkan lembaga Negara hanya diberi tugas untuk memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR, praktis tidak memiliki kewenangan apapun. Usulan amendemen UUD 1945 pernah digagas oleh DPD untuk memperkuat posisi kelembagaannya tetapi digagalkan oleh DPR yang juga merangkap anggota MPR. Untuk kepentingan DPD di 2009, kini DPD mengajukan uji materi (judicial review) terkait point undang-undang pemilu yang membolehkan partai politik menjadi calon anggota DPD.

      Masalahnya sederhana, DPD menganggap DPR menyerobot kavling DPD. Bukankah yang membuat undang-undang itu adalah DPR dan presiden?. Wajar jika DPR membuat aturan yang menguntungkan diri sendiri menuju 2009. Pada pemilihan umum tahun 2004, anggota DPR yang ingin mencalonkan anggota DPD diberikan jeda waktu tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon (Pasal 63 UU. No. 12/2003). Selain itu, calon anggota DPD harus memenuhi syarat: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan. Pada undang-undang pemilu 2009 bagi anggota DPR yang ingin mencalonkan menjadi anggota DPD cukup mengajukan berhenti dari kepengurusan partai politik, dan dihilangkannya syarat domisili calon anggota DPD. Ketentuan undang-undang pemilu itu, dipandang memberikan kelonggaran anggota DPR mencalonkan anggota DPD. Meradanglah DPD. Benarkah hak konstitusional DPD itu dirugikan UU pemilu?. Memalukan!. Sebab konflik itu, ternyata hanya untuk kepentingan anggota DPD dan DPR. Substansi yang diributkan sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Untuk apa sesungguhnya lembaga DPD ini?. Inikah makna reformasi?. Oleh karena itu wajar, jika masyarakat acuh kepada DPD yang sekarang sedang mengajukan judicial review UU pemilu terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.


Legal Standing
      Kemungkinan besar judicial review undang-undang pemilu yang diajukan DPD akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi meskipun berjejer seribu pengacara membela DPD. Apabila kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, tidak ada hak konstitusional DPD yang dirugikan terkait pencalonan anggota DPD dari unsur partai politik.  Hal lain, yang perlu diperhatikan oleh DPD, apakah uji materi ini legal standingnya terpenuhi atau tidak. Sekali lagi, tidak ada hak konstitusional DPD yang dirugikan.


Perhitungan Politis DPD akan Keok

      Sembilan hakim konstitusi terdiri dari tiga unsur legislatif, tiga unsur judikatif dan tiga unsur pemerintah. Materi yang akan di judicial reviewkan dalam bentuk undang-undang, sedangkan yang membuat undang-undang itu adalah DPR bersama presiden yang memiliki ‘utusan’ di Mahkamah Konstitusi. Kalkulasi secara politik hukum, judicial review ini akan dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mempertimbangkan politik hukum tersebut. Bagaimanapun juga hubungan psikologis antara Hakim Mahkamah Konstitusi dengan DPR itu ada. Ingatlah mekanisme tentang rekruitmen hakim Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya Mahkamah Konstitusi tidak memiliki hubungan psikologis dengan DPD. Dengan mempertanyakan legal standing, dan berhitung seberapa besar politik hukum yang mempengaruhinya, maka, besar kemungkinan DPD akan menelan pil pahit, judicial reviewnya ditolak Mahkamah Konstitusi.
Bubarkan DPD
     Lebih baik lembaga DPD yang tidak bermanfaat ini dibubarkan saja. Semakin cepat membubarkan DPD semakin baik. Hal lain, anggaran negara menjadi efisien. Berapa ratus milyar uang rakyat yang dihabiskan untuk operasional DPD dan Sekretariat Jenderalnya, sedangkan produk DPD tidak berarti (meaningless). Untuk apa kita berlama-lama memelihara lembaga yang mubadzir ini. jika ingin disebut juga lembaga legislatif tetapi tidak ikut membuat undang-undang (regelling).

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Penggalian Got Di RT 06 RW 017 Sari Bumi Indah Kabupaten Tangerang Benarkah Bertujuan Air Lancar?

                                                             Gambar Got Rumah di Bongkar     Penggalian Got Di RT 06 RW 017 Sari Bumi In...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19