Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,
Jakarta;
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Islam Syekh Yusuf, Tangerang;
Dosen
Fakultas Universitas Jayabaya, Jakarta.
Enam
tahun lalu, tepatnya pada tahun 2010 publik dihebohkan pemberitaan kontroversi
mengenai legal tidaknya nikah siri dapat dipidanakan. Bagi kalangan perempuan
terutama yang duduk di parlemen tentu geram melihat sepak terjang banyaknya
laki-laki yang menikah lagi dengan alasan sunah nabi, padahal syarat-syarat
untuk menikah kedua, ketiga dan seterusnya tidak terpenuhi, seperti tidak
mendapatkan persetujuan dari istrinya. Besar kemungkinan anggota parlemen dari
kalangan Srikandi akan memuluskan menyetujui draft RUU Nikah siri menjadi
undang-undang untuk memidanakan suami-suami menikah siri. Sisi lain, anggota
Parlemen dari kalangan Pria, kuat dugaan akan menolak habis-habisan RUU
tersebut, karena menganggap membatasi hak asasinya. Kedudukan hukum nikah siri
memang sangat menarik untuk diteliti, dikaji, dianalisa dengan saksama, secara
terintegrasi dan komprehensif berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini (ius constitutum), maupun secara hukum
Islam (dalil naqli) bagi warga Negara Indonesia yang tunduk dan taat pada hukum
Islam. Yang menarik, pemidanaan nikah siri ini diobsesikan akan mendapatkan
dukungan penuh dari kalangan anggota parlemen perempuan, srikandi-srikandi
senayan tentu tidak mau menjadi korban suaminya menikah lagi. Ironisnya, sisi
lain, wanita non parlemen yang dinikahi siri, justru merasa berbahagia, nikah
siri baginya dianggap berkah. Kemauan nikah siri bagi kaum wanita pada umumnya
banyak faktor kepentingannya, misalnya, menyukai pria yang berjabatan dan harta
yang berlimpah tetapi tidak peduli, soal rupa, usia senja, apalagi yang namanya
cinta. Tetapi bagi kaum laki-laki nikah siri dianggap suatu kebutuhan dan
kepuasan, apalagi jika ekonominya sudah mulai mapan, maka bisikan nikah siri
terngiang kuat ditelinga kaum laki-laki pada umumnya untuk melaksanakan hasrat
“sunah nabi” itu. Umumnya laki-laki merasa kurang puas hanya memiliki seorang
istri. Pendapat tersebut pada umumnya, artinya nikah siri bagi kaum wanita
tidak mutlak selalu dilandasi oleh faktor-faktor negatif semata, tentu ada
pengecualian bagi kaum wanita yang memiliki jiwa shalehah, baginya melaksanakan
nikah dibawah tangan (siri), tetap tidak mengurangi rasa cinta dan hormat
kepada sang suaminya. Sebagaimana kita ketahui hukum yang berlaku di Indonesia
dewasa ini ada tiga yaitu, hukum positip, hukum Islam dan hukum adat. Semuanya
hukum tersebut menjadi living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah
masyarakat, keberadaannya perlu diakui, dijunjung tinggi dan dihormati, tidak
boleh hukum antar tata hukum saling berbenturan satu sama lain, sehingga
mengakibatkan perpecahan antar umat. Pasal 143 RUU Nikah Siri yang hanya
diperuntukkan bagi pemeluk Islam menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja
melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana
dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan
denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga
menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menyebut, setiap orang
yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan
perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur
(antar dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan,
calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada
calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta. RUU yang mengatur sanksi
bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan untuk
melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus nikah siri.
Tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus. Sebab selama ini anak-anak maupun istri-istri
hasil nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum. Namun pemberlakuan pemidanaan
nikah siri ini jelas tidak tepat selain melanggar Alqur’an juga melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nikah siri ini hanya soal tidak
tertib administrasi saja sehingga dampaknya anak-anak dan suami atau istri
tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Nikah siri dipahami sebagai
pernikahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Pernikahan sudah
dilakukan dengan memenuhi syarat nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan.
Namun pernikahan ini belum dicatat, sehingga tidak memiliki akta perkawinan.
Kedudukan akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan
melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak memiliki bukti otentik inilah yang
menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki hubungan
perdata. Apakah legal memidanakan Nikah Siri?. Marilah menyimak dengan saksama
Firman Allah SWT dalam Alqur’an Surat An Nisaa: 3 yang artinya: “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku
adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berangkat dari Firman
Allah SWT Surat AN Nisaa sebagaimana tersebut diatas, jelas pemidanaan nikah
siri dalam konteks sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilaksanakan.
Selain dalil naqli yang kuat sebagaimana tersebut diatas pemidanaan nikah siri
juga tidak mendapatkan ruang didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana
UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai saat ini masih berlaku. UUP
(undang-Undang Perkawinan) Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Yang menjadi masalah besar karena perkawinan siri tidak dicatatkan maka secara
hukum perdata, baik suami/istri atau anak-anaknya tidak memiliki
hubungan-hubungan keperdataan. Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa, dengan pengakuan yang dilakukan oleh seorang anak luar kawin,
timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Bedakan Pasal
43 UUP yang menyatakan bahwa, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya pasal
tersebut menyatakan untuk anak luar nikah bagi ibunya tidak perlu mendapat
pengakuan, dengan sendirinya anak luar nikah memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Namun untuk bapak agar anak memiliki hubungan
perdata tetap harus mendapat pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah
Konstitusi adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga
peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara
tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Berdasarkan
ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d
UU. No. 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 8/2011, tentang
Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 1.
menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2. memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 3. memutus pembubaran partai
politik; 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974)
yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang
meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai
anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden
Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara
konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon
mengajukan uji materiil terhadap : UUD 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 “
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum “ Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian
permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab
perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar
perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh
yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas,
di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta
otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak
yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan
efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak
yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik,
karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan
pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam
pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat
dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan
putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih
efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal
43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang
laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan
tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak
dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal
prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat
perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. . Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat
oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan
bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian
waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan
adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian
waris. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan
anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian
waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin
yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat
keterangan waris. Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli
waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak
luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak
dapat dibuat. Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan
dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika
ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak
tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan
hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan
warisannya. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian
melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak
luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak
dari pewaris. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi
permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris. Dengan
putusan MK tersebut diatas jelas anak luar kawin selain memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya juga dengan bapak atau keluarga bapaknya.
Dengan demikian gugurlah pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal
43 UUP tersebut diatas. Dalam konteks Islam menikah untuk kedua, ketiga dan
keempat kalinya memang dimungkinkan sepanjang laki-laki itu dapat berlaku adil
pada istri-istrinya, dan tentu saja mendapat persetujuan istrinya. Akan tetapi
bagi yang tidak dapat berlaku adil maka lebih baik cukup satu saja. Perbedaan
Asas Perkawinan menurut Hukum Perdata dengan UU. No. 1 Tahun 1974 Sebagai
perbandingan asas Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
monogami mutlak sebagaimana dipersepsikan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sebagai berikut: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya
diperbolehkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan
hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Maksud pasal ini suami atau istri baru
dapat menikah untuk kedua kali dan seterusnya, jika salah satu pasangannya
terjadi cerai hidup atau cerai mati. Hukum perdata memandang soal perkawinan
hanya memiliki hubungan-hubungan perdata (Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Dilihat dari sudut pandang UUP (Undang-Undang Perkawinan) asas
perkawinan juga monogami, tetapi monogami pengecualian, dipersepsikan pasal 3
ayat (1) :”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
Pasal 3 ayat (2): “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Berbeda dari sudut pandang kitab undang-undang hukum perdata, tujuan perkawinan
menurut UUP pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan
bathin antara seorang suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan abadi berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa”. Jadi perkawinan menurut
UUP ada unsur religiusnya yang berorientasi nilai-nilai Ketuhanan, untuk
membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah dalam naungan dan ridho
Allah SWT. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dipandang
memiliki hubungan-hubungan bersifat keperdataan saja. Syarat Menikah untuk
kedua kali dan seterusnya Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri
lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi
izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak
dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan
keturunan. Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi
syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b.
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan dimaksud dalam ayat
(1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43
ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“ Kesimpulan Sistem hukum
yang berlaku di Indonesia yang partikulatif tidak memungkinkan pemidanaan bagi
pelaku nikah siri, selain melanggar Firman Allah SWT dalam Surat AN NISAA:3
sebagaimana tersebut diatas juga melanggar Undang-Undang Perkawinan itu sendiri
sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.