Minggu, 17 Juli 2016

Jangan Biarkan DPD Selamanya Menelan “Pil KB”




Oleh WARSITO, S.H., M.Kn.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta

Jabatan Fungsional: LEKTOR

 


           Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipersepsikan publik  “antara ada dan tiada”, tetapi kenyataannya mandul untuk memutuskan undang-undang, itu sama saja MPR melalui produk konstitusinya merestui menyuruh DPD selamanya menelan “PIL KB”. DPD adalah lembaga negara hasil perubahan undang-undang dasar 1945, sebelum melakukan perubahan UUD 1945  MPR terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum pada sidang istimewa tahun 1998, Ketetapan MPR tersebut dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Fungsi referendum tersebut justru mempermudah tata alir perubahan konstitusi itu sendiri, sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi dari masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang  sepenuhnya diserahkan kepada MPR tidak sepenuhnya tepat, 2007 lalu dipertontonkan para anggota majelis yang telah memberikan usulan dukungan amandemen, kemudian  secara sepihak menarik kembali. Sayang Ketetapan MPR tentang referendum tersebut, telah dicabut oleh MPR berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
           Dengan dicabutnya TAP MPR tentang referendum tersebut,kuasa  rakyat sudah tidak dapat lagi mengontrol tindakan majelis apabila UUD 1945 hendak dilakukan perubahan. Sebaiknya Ketetapan MPR tentang referendum itu, tidak perlu dicabut, mengingat fungsi  referendum itu  dapat sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu sendiri. Referendum tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Berbeda, jika referendum belum dicabut ternyata rakyat menyetujui usulan DPD untuk memperkuat kelembagaannya, maka MPR wajib melakukan perubahan konstitusi. Kuasa  rakyat harus diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan esensi dari makna sebuah konstitusi sebagai staatfundamentalnorm ( norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, artinya Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, (baca: TAP MPR), tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (baca: UUD 1945).
      Kini anggota DPD sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories di dalam ketatanegaraan, konstitusi membiarkan sengaja‘selamanya DPD dipaksa menelan  “pil KB” sehingga tidak dapat melahirkan produk yang bersifat mengatur (regelling) kepada rakyat. DPD tidak diberikan kewenangan yang memadai turut dalam pengambilan keputusan bidang legislasi, pengekangan fungsi DPD ini  tercermin di dalam pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Si bapaknya DPD ( baca: DPR) tidak bakalan marah terhadap sikap anaknya (baca: DPD), DPR punya kartu truf dialah  yang membidani kelahirannya, bapaknya menasehati kepada DPD ‘anakku sayang,: “sabar dulu jangan meminta amandemen sekarang tunggu saatnya 2009’ (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali), selesai 2009 tunggu 2014 dan seterusnya. Sebenarnya ayahnya sadar (baca: DPR) bahwa amandemen yang melahirkan DPD teramputasi tersebut adalah "penganiayaan kelembagaan DPD". Bisakah DPR bersikap ksatria mengakui kesalahan dengan memberikan dukungan amandemen kelima UUD 1945?.
          Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seseorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant, atau sebaliknya politik yang determinant. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan  dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung ataupun tidak langsung, konstitusi itu pasti akan mudah bergejolak, karena tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
      DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan di dunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa kini anak tersebut sadar, dan menanyakan kepada orang tuanya untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini, kalau kelahiranku cacat fisik dan dibuat tidak berdaya, kira-kira begitu gerutuan DPD.
      Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dibuat terbatas seperti itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota agar dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: pasal 37 UUD 1945), hal demikian perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, adalah sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pelemahan DPD di konstitusi tersebut sudah terstruktur dan menyebar ke dalam pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 anggota dan jumlah anggota DPR 560, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini bisa dianggap adil dan benar?. Sebagai contoh lagi pelemahan DPD di konstitusi yang bersifat terselubung adalah rumusan pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat” apakah muatan konstitusi tersebut disengaja atau tidak? Muatan konstitusi ini adalah sangat berbahaya sekali, bagi masa depan konstitusi, karena membuka peluang adanya interpretasi hukum yang bersayap, seharusnya rumusan yang tepat adalah ‘presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan/atau DPD’. MPR hanya menggunakan kaca mata kuda, karena sekedar memindahkan bunyi penjelasan UUD  yang bersifat normatif di masukkan kedalam pasal-pasal tanpa melihat terlebih dahulu bahwa telah ada lembaga legislatif yang bernama DPD. Kesimpulannya adalah, bahwa muatan konstitusi seperti itu memang  sengaja dibuat untuk  DPD,  agar tidak berdaya.
      Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amandemen kelima UUD, semua pihak wajib mendukung amandemen tersebut demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik untuk pembelajaran anak bangsa baik untuk sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, tahun 2007 ada pihak-pihak yang mempermainkan dengan menarik dukungannya kembali, seperti yang dilakukan oleh partai demokrat kemudian disusul oleh partai golkar, lagi-lagi DPD hanya pasrah dan dibuat tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas tentang pencabutan dukungan amandemen tersebut, baik di dalam peraturan perundang-undangan maupun di Tatib MPR sendiri. Dengan demikian terdapat rechtvacuum (kekosongan hukum), dan tidak ada kepastian hukum. Lebih celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan dukungan amandemen, dalam bentuk pengumpulan tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat layaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) sebagai peraturan mengikat yang wajib ditaati, dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu Perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan dan tata krama yang berlaku di ketatanegaraan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah kini, hanyalah dapat berdoa agar penguatan kelembagaannya bisa terwujud. Saatnya Dewan Perwakilan Daerah kini dapat meyakinkan kepada rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD ini bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ‘kantong’ DPD, tetapi lebih dari pada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah, dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19