Oleh WARSITO,
S.H., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
Jabatan Fungsional: LEKTOR
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang dipersepsikan publik “antara
ada dan tiada”, tetapi kenyataannya mandul untuk memutuskan undang-undang, itu sama saja
MPR melalui produk konstitusinya merestui menyuruh DPD selamanya menelan “PIL KB”. DPD adalah
lembaga negara hasil perubahan undang-undang dasar 1945, sebelum melakukan
perubahan UUD 1945 MPR terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1983 tentang Referendum pada sidang istimewa tahun 1998, Ketetapan MPR
tersebut dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 yang
mengatur tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang
Referendum menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat
berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus
meminta pendapat rakyat melalui referendum. Fungsi referendum tersebut
justru mempermudah tata alir perubahan konstitusi itu sendiri, sekaligus sebagai
bentuk penyerapan aspirasi dari masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang
sepenuhnya diserahkan kepada MPR tidak sepenuhnya tepat, 2007 lalu dipertontonkan
para anggota majelis yang telah memberikan usulan dukungan amandemen,
kemudian secara sepihak menarik
kembali. Sayang Ketetapan MPR tentang referendum tersebut, telah dicabut
oleh MPR berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960
sampai dengan tahun 2002.
Dengan dicabutnya TAP MPR tentang
referendum tersebut,kuasa rakyat sudah
tidak dapat lagi mengontrol tindakan majelis apabila UUD 1945 hendak dilakukan
perubahan. Sebaiknya Ketetapan MPR tentang referendum itu, tidak perlu dicabut,
mengingat fungsi referendum itu dapat sebagai supporting atau ruh daripada
ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu sendiri. Referendum tersebut dapat dijadikan
sebagai tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli
terhadap konstitusinya sendiri. Berbeda, jika referendum belum dicabut ternyata
rakyat menyetujui usulan DPD untuk memperkuat kelembagaannya, maka MPR wajib melakukan
perubahan konstitusi. Kuasa rakyat harus
diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam
pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Referendum tidak akan menghalangi
atau menghilangkan esensi dari makna sebuah konstitusi sebagai staatfundamentalnorm
( norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, artinya
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, (baca: TAP MPR), tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (baca: UUD 1945).
Kini anggota DPD sadar, kelembagaannya hanya
dijadikan assessories di dalam ketatanegaraan, konstitusi membiarkan sengaja‘selamanya
DPD dipaksa menelan “pil KB” sehingga
tidak dapat melahirkan produk yang bersifat mengatur (regelling) kepada rakyat.
DPD tidak diberikan kewenangan yang memadai turut dalam pengambilan
keputusan bidang legislasi, pengekangan fungsi DPD ini tercermin di dalam pasal 22D UUD 1945, hanya
ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan
dan agama. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap)
dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen
kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Si
bapaknya DPD ( baca: DPR) tidak bakalan marah terhadap sikap anaknya (baca: DPD), DPR punya kartu truf dialah yang membidani
kelahirannya, bapaknya menasehati kepada DPD ‘anakku sayang,: “sabar dulu
jangan meminta amandemen sekarang tunggu saatnya 2009’ (baca: setelah bapakmu
tidak terpilih kembali), selesai 2009 tunggu 2014 dan seterusnya. Sebenarnya ayahnya sadar (baca: DPR) bahwa amandemen yang melahirkan DPD teramputasi tersebut adalah "penganiayaan kelembagaan DPD". Bisakah
DPR bersikap ksatria mengakui kesalahan dengan memberikan dukungan
amandemen kelima UUD 1945?.
Setiap anggota mejelis
dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat,
bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam
kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seseorang negarawan/tidaknya
tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk
konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang
determinant, atau sebaliknya politik yang determinant. Apabila
jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka konstitusi tersebut
dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan dapat mengikuti perkembangan zaman.
Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau
lambat langsung ataupun tidak langsung, konstitusi itu pasti akan mudah
bergejolak, karena tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman dan mudah lapuk (verourderd).
Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah
mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang
filosofis, sosiologis, historis dan politis.
DPD
adalah ibarat anak yang dilahirkan di dunia tetapi kedua kakinya telah
teramputasi, menginjak dewasa kini anak tersebut sadar, dan menanyakan
kepada orang tuanya untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia
ini, kalau kelahiranku cacat fisik dan dibuat tidak
berdaya, kira-kira begitu gerutuan DPD.
Dengan
realitas fungsi politik DPD yang sengaja dibuat terbatas seperti itu,
semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini
butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan
mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi
lebih kepada kemandirian anggota agar dapat menggunakan hak konstitusionalnya,
dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan
dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR,
bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan
atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia
sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan
konstitusi (baca: pasal 37 UUD 1945), hal demikian perlu dipahami
oleh seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D
UUD 1945 tersebut, adalah sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pelemahan DPD di konstitusi tersebut sudah terstruktur dan menyebar ke dalam
pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari
1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk
merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sedangkan jumlah anggota DPD
itu hanya 132 anggota dan jumlah anggota DPR 560, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah
muatan konstitusi seperti ini bisa dianggap adil dan benar?. Sebagai contoh
lagi pelemahan DPD di konstitusi yang bersifat terselubung adalah rumusan pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat” apakah muatan
konstitusi tersebut disengaja atau tidak? Muatan konstitusi ini adalah sangat
berbahaya sekali, bagi masa depan konstitusi, karena membuka peluang
adanya interpretasi hukum yang bersayap, seharusnya rumusan yang tepat
adalah ‘presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan/atau
DPD’. MPR hanya menggunakan kaca mata kuda, karena sekedar memindahkan
bunyi penjelasan UUD yang bersifat
normatif di masukkan kedalam pasal-pasal tanpa melihat terlebih dahulu bahwa
telah ada lembaga legislatif yang bernama DPD. Kesimpulannya
adalah, bahwa muatan konstitusi seperti itu memang sengaja dibuat untuk DPD,
agar tidak berdaya.
Kini
Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk
melakukan amandemen kelima UUD, semua pihak wajib mendukung amandemen tersebut
demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik untuk pembelajaran anak bangsa
baik untuk sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Penggalangan
dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, tahun
2007 ada pihak-pihak yang mempermainkan dengan menarik dukungannya kembali,
seperti yang dilakukan oleh partai demokrat kemudian disusul oleh partai
golkar, lagi-lagi DPD hanya pasrah dan dibuat tidak berdaya atas penarikan
dukungan ini, tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas
tentang pencabutan dukungan amandemen tersebut, baik di dalam peraturan
perundang-undangan maupun di Tatib MPR sendiri. Dengan demikian terdapat rechtvacuum (kekosongan hukum), dan
tidak ada kepastian hukum. Lebih celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan
dukungan amandemen, dalam bentuk pengumpulan tanda tangan anggota majelis,
perjanjian tidak dibuat layaknya sebuah perjanjian yang berisi asas
konsensualitas (asas kesepakatan) sebagai peraturan mengikat yang wajib
ditaati, dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu
Perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang,
tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan dan tata krama
yang berlaku di ketatanegaraan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan
Perwakilan Daerah kini, hanyalah dapat berdoa agar penguatan kelembagaannya
bisa terwujud. Saatnya Dewan Perwakilan Daerah kini dapat meyakinkan kepada
rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD ini bukan hanya
semata-mata untuk kepentingan ‘kantong’ DPD, tetapi lebih dari pada itu sebagai
pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah, dalam rangka mengutamakan
pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.