Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
JABATAN
FUNGSIONAL DOSEN: LEKTOR
Anggota
DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
secara resmi
sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang
dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. DPD itu maju tidak, mundur juga tidak alias bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi
rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan
daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun,
lagi-lagi harapan besar rakyat kepada DPD,
bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika
terguyur air hujan. Ada dugaan kuat DPD sengaja di design tidak
diberikan kewenangan sedikit
pun oleh konstitusi, dalam batas penalaran logis DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan, sebab jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR
menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR ada dugaan kuat memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang
yang belum kebagian posisi di DPR untuk
duduk di Pimpinan MPR
yang memiliki peran strategis.
Saya
insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang
kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui
betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang
Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam
rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu,
saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya,
yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan
antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement.
Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada
gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar
BPUPKI tangga 15 Juli 1945).
Sebagai buah reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama
empat kali sejak 1999-2002, hasil amandemen yang sangat signifikan dirasakan
antara lain dapat: mengembalikan kuasa daulat rakyat melalui pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat {1} UUD 1945) sebelumnya pemilihan presiden dan wakil
presiden dipilih oleh MPR dengan mendistorsi kuasa daulat rakyat; dapat
membatasi dengan tegas kekuasaan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali
masa jabatan (pasal 7 UUD 1945); melahirkan lembaga negara bernama Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang memiliki
reputasi sangat baik sebagai peradilan progresif di abad mutakhir ini sebagai
penjaga gawang konstitusi (guardian constitution).
Menurut
Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka
restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak
memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi
restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang
dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah
anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan
dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam
pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial
representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan
sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
Kegaduhan
gagasan amandemen kelima UUD 1945 sudah dimulai sejak 2007 tatkala DPD
mengusulkan agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR, sayangnya gagasan
amandemen tersebut gagal total di pertengahan jalan. Berikutnya, pada tahun
2011 DPD kembali ribut mengusulkan
amandemen kelima UUD 1945, tetapi kali ini belum sampai pada tahap
diajukan oleh DPD pelan-pelan menghilang bak ditelan bumi. Selanjutnya pada
tahun 2014 MPR telah secara resmi mengajukan amandemen kelima UUD 1945 untuk
mengubah sejumlah substansi dalam konstitusi, hal tersebut diungkapkan oleh
Ketua Tim Ad Hoc II MPR, Jafar Hafsah dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014,
nasional.kompas.com), sayangnya usulan tersebut sampai sekarang juga tidak
jelas juntrungnya. Jika penulis perhatikan, dari periode ke periode masa
jabatan anggota MPR selalu gaduh mewacanakan perubahan kelima UUD 1945,
sayangnya antara periode sebelumnya dengan periode sekarang maupun di masa yang
akan datang tidak dijadikan sebuah keputusan melembaga dan sistemik, sehingga
terkesan dari periode ke periode masa bhakti anggota MPR masing-masing
terkesan berjalan sendiri-sendiri cuma membikin gaduh suasana perpolitikan nasional.
Di tahun 2016 kemarin MPR gencar kembali mengusung perubahan kelima UUD 1945, bedanya
usulan amandemen konstitusi kali ini bukan inisiatif DPD, tetapi murni buah
pikir MPR membaca gerak nadi masyarakat yang menginginkan kembali GBHN
dimasukkan ke dalam konstitusi dimana selama ini kita telah kehilangan arah
panduan untuk bernegara. Jika amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan
pada tahun 2017, besar kemungkinan akan bernasib sama dengan gagasan amandemen
sebelumnya yang hanya bising membuat kegaduhan perpolitikan nasional alias
GAGAL TOTAL. Mengharap MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 2018, HAMPIR
MUSTAHIL, sebab anggota MPR didalamnya anggota DPR dan anggota DPD akan mencari
selamat sendiri-sendiri merebut hati rakyat terjun ke kantong-kantong
konstituen guna menghadapi pertarungan pemilu legislatif pada tahun 2019.
Sejak DPD dilembagakan secara
konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C jo. Pasal 22D UUD 1945 yang
diputuskan dalam rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada
tanggal 9 Nopember 2001 kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya
dipasangi “napas buatan” oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh
konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Jika di Inggris memiliki parlemen dua
kamar, yaitu, House of Lords dan House of Commons. The House of Lords
beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional
(mirip Utusan Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The
House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik,
yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari
model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan
fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat
memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral parliament, yaitu, The
House of Representatives dan The Senate yang secara bersama-sama
disebut The Congress The United States of America. The House of
Representatives mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu
sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi
berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat
beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui
pemilihan umum setempat (Pengantar llmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Kelatahan sistem parlemen kita yang mencoba
meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap
implementasinya justru menjadi lelucon belaka. Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa
kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan setelah
dihempas badai (gagalnya) amandemen konstitusi tahun
2007 lalu. Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang
melawan regu DPR. Analogi lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan
sepakbola, 132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang melawan tim DPR yang berkekuatan
penuh 560
anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini
pertahanan lapangan (usulan 1/3 perubahan
konstitusi) tidak
akan mampu.
Dengan
hitungan rasional matematik diatas hampir mustahil usulan amandemen yang diusung secara parsial oleh
DPD untuk memperkuat kelembagaannya dapat menembus jantung pertahanan DPR,
sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945 yang mensyaratkan
1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu
anggota MPR untuk pengambilan putusan.
Berkaca dari pengalaman
2007 lalu, sudah
110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amandemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan anggota DPR 550
anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut
dan mengingkari tanpa rasa malu,
ibarat sudah meludah ditelan kembali. Seperti halnya 2007,
ketika itu DPR berkelit kepada DPD dianjurkan mengusulkan amandemen hasil pemilu
2009 saja. DPR
hasil pemilu 2009 pun
berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 ini nampaknya anggota
MPR mulai setengah serius untuk melakukan amandemen UUD 1945
khususnya isue sentral mengenai perlunya GBHN kembali dimasukkan di dalam UUD
1945.
Usulan perubahan
kelima konstitusi pada tahun 2007 lalu yang digagas oleh DPD sudah mendapat dukungan 238 anggota MPR (110
anggota DPR dan 128 anggota DPD) tetapi kandas dipertigaan jalan, padahal sudah memenuhi
persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Untuk kali kedua di akhir tahun 2011 DPD kembali menggugat
konstitusi (baca mengusulkan amandemen) ketika itu DPD telah merampungkan
naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli
dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat
(Media Indonesia, 24/12/2011).Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR
pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal 204 anggota. Secara
sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah
usulan perubahan konstitusi
yang diusung DPD. Perilaku yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu
jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil
rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu
penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul
24.00 WIB. Tenggat waktu yang terkesan dibuat-buat ini, sebenarnya DPD lah
yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan
konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), dugaan kuat memiliki
kepentingan politik dibalik penjegalan amandemen itu. Batas waktu penarikan/penambahan dukungan
usulan perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme
Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang
dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR
ketika itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis
dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3
usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya.
Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amandemen konstitusi ditentukan
kenegarawanan jumlah 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR
itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau
partainya. Jadi,
anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi meski berseberangan kepentingan dengan
partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan
UUD bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320
dan Pasal 37 UUD 1945).
Gagasan
amandemen kelima UUD 1945 yang mengemuka di tahun 2016 dan 2017 ini, DPD lah
yang akan menenggak keuntungan karena dapat mendompleng mengusulkan kembali
agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR. Dalam hal ihwal amandemen
konstitusi, penulis pernah memaparkan
secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian
Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan
secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen Jilid II ketika itu
yang diusulkan DPD tidak terlihat
perubahan yang signifikan, cuma sedikit
semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan
di dalam konstitusi biar mendapat
simpati rakyat, ide ini pun bakalan sulit direalisasikan mengingat DPR akan
mudah membacanya. Dibanding 2007, usulan amandemen yang digagas DPD 2011 lalu, memang cukup cemerlang
dan realistis bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya
dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen
konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki agenda yang utama, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat dan sejajar
dengan DPR dalam bidang
legislasi.
Hanya ada dua opsi bagi MPR,
mempertahankan DPD dengan memberi kewenangan, ataukah membubarkan.
Indikasi kuat DPD “tidak diurus” dipertontonkan dengan terang benderang oleh
DPR dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu
amandemen UUD 1945
tentang penguatan kelembagaan DPD. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan
hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk
kepentingan rakyat,
negara-bangsa.
Amandemen
Konstitusi Berhasil Jika DPR Negarawan
Dampak
jika DPD dapat menembus
amandemen
kelima konstitusi,
lembaga ini akan memiliki kewenangan ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang
tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session
(gabungan DPR dengan DPD).
Padahal kewenangan MPR
itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut
selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama, jika DPD diperkuat, berdampak mengacaukan konstitusi, jika hanya dijadikan assessoris dalam sistem ketatanegaraa lembaga negara ini selain mubadzir juga nihilnya estetika konstitusi. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak memiliki
arti (meaningless).
Sesungguhnya bagi
MPR mudah jika berkehendak membubarkan DPD cukup menggunakan tangan kanan MPR
(anggota DPR) yang jumlahnya 560 beramai-ramai “memasuki ruang sidang majelis”, sudah dapat membubarkan DPD,
sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD (tangan
kiri MPR) yang
juga merangkap anggota
MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.