Kamis, 19 Januari 2017

Dibutuhkan Berapa Periode MPR Amandemen Konstitusi?


 
Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
               Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
           JABATAN FUNGSIONAL DOSEN: LEKTOR

Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. DPD itu maju tidak, mundur juga tidak alias bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Ada dugaan kuat DPD sengaja di design tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, dalam batas penalaran logis DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan, sebab jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  ada dugaan kuat memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki  peran strategis.
             Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).
             Sebagai buah reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil amandemen yang sangat signifikan dirasakan antara lain dapat: mengembalikan kuasa daulat rakyat melalui pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat {1} UUD 1945)  sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan mendistorsi kuasa daulat rakyat; dapat membatasi dengan tegas kekuasaan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945); melahirkan lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang memiliki reputasi sangat baik sebagai peradilan progresif di abad mutakhir ini sebagai penjaga gawang konstitusi (guardian constitution).
           Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
Kegaduhan gagasan amandemen kelima UUD 1945 sudah dimulai sejak 2007 tatkala DPD mengusulkan agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR, sayangnya gagasan amandemen tersebut gagal total di pertengahan jalan. Berikutnya, pada tahun 2011 DPD  kembali ribut mengusulkan amandemen kelima UUD 1945,  tetapi kali ini belum sampai pada tahap diajukan oleh DPD pelan-pelan menghilang bak ditelan bumi. Selanjutnya pada tahun 2014 MPR telah secara resmi mengajukan amandemen kelima UUD 1945 untuk mengubah sejumlah substansi dalam konstitusi, hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Tim Ad Hoc II MPR, Jafar Hafsah dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014, nasional.kompas.com), sayangnya usulan tersebut sampai sekarang juga tidak jelas juntrungnya. Jika penulis perhatikan, dari periode ke periode masa jabatan anggota MPR selalu gaduh mewacanakan perubahan kelima UUD 1945, sayangnya antara periode sebelumnya dengan periode sekarang maupun di masa yang akan datang tidak dijadikan sebuah keputusan melembaga dan sistemik, sehingga terkesan dari periode ke periode  masa bhakti anggota MPR masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri cuma membikin gaduh suasana perpolitikan nasional. Di tahun 2016 kemarin MPR gencar kembali mengusung perubahan kelima UUD 1945, bedanya usulan amandemen konstitusi kali ini bukan inisiatif DPD, tetapi murni buah pikir MPR membaca gerak nadi masyarakat yang menginginkan kembali GBHN dimasukkan ke dalam konstitusi dimana selama ini kita telah kehilangan arah panduan untuk bernegara. Jika amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2017, besar kemungkinan akan bernasib sama dengan gagasan amandemen sebelumnya yang hanya bising membuat kegaduhan perpolitikan nasional alias GAGAL TOTAL. Mengharap MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 2018, HAMPIR MUSTAHIL, sebab anggota MPR didalamnya anggota DPR dan anggota DPD akan mencari selamat sendiri-sendiri merebut hati rakyat terjun ke kantong-kantong konstituen guna menghadapi pertarungan pemilu legislatif pada tahun 2019.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945 yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001 kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi “napas buatan” oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Jika di Inggris  memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords  dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral parliament, yaitu, The House of Representatives dan The Senate yang secara bersama-sama disebut The Congress The United States of America. The House of Representatives mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum setempat (Pengantar llmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Kelatahan sistem parlemen kita yang mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap implementasinya justru menjadi lelucon belaka. Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan setelah dihempas badai (gagalnya) amandemen konstitusi tahun 2007 lalu. Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu DPR. Analogi lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola, 132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang melawan tim DPR yang berkekuatan penuh 560 anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini pertahanan lapangan (usulan 1/3 perubahan konstitusi) tidak akan mampu.
Dengan hitungan rasional matematik diatas hampir mustahil usulan amandemen yang diusung secara parsial oleh DPD untuk memperkuat kelembagaannya dapat menembus jantung pertahanan DPR, sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945 yang mensyaratkan 1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu anggota MPR untuk pengambilan putusan.
Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, sudah 110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amandemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan anggota DPR 550 anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut dan mengingkari tanpa rasa malu, ibarat sudah meludah ditelan kembali. Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit kepada DPD dianjurkan mengusulkan amandemen hasil pemilu 2009 saja. DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 ini nampaknya anggota MPR mulai setengah serius untuk melakukan amandemen UUD 1945 khususnya isue sentral mengenai perlunya GBHN kembali dimasukkan di dalam UUD 1945.
Usulan perubahan kelima konstitusi pada tahun 2007 lalu yang digagas oleh DPD  sudah mendapat dukungan 238 anggota MPR (110 anggota DPR dan 128 anggota DPD) tetapi kandas dipertigaan jalan, padahal sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Untuk kali kedua di akhir tahun 2011 DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen) ketika itu DPD telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12/2011).Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal  204 anggota. Secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. Perilaku yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu yang terkesan dibuat-buat ini, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), dugaan kuat memiliki kepentingan politik dibalik penjegalan amandemen itu. Batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amandemen konstitusi ditentukan kenegarawanan jumlah 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).
 Gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang mengemuka di tahun 2016 dan 2017 ini, DPD lah yang akan menenggak keuntungan karena dapat mendompleng mengusulkan kembali agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR. Dalam hal ihwal amandemen konstitusi, penulis pernah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen Jilid II ketika itu yang diusulkan DPD tidak terlihat perubahan yang signifikan, cuma sedikit semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi biar mendapat simpati rakyat, ide ini pun bakalan sulit direalisasikan mengingat DPR akan mudah membacanya. Dibanding 2007, usulan amandemen yang digagas DPD 2011 lalu, memang cukup cemerlang dan realistis bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki agenda yang utama, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat dan sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi.                       
 Hanya ada dua opsi bagi MPR, mempertahankan DPD dengan memberi kewenangan, ataukah membubarkan. Indikasi kuat DPD “tidak diurus” dipertontonkan dengan terang benderang oleh DPR dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Amandemen Konstitusi Berhasil Jika DPR Negarawan
Dampak jika DPD dapat  menembus amandemen kelima konstitusi, lembaga ini akan memiliki kewenangan ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama, jika DPD diperkuat, berdampak mengacaukan konstitusi, jika hanya dijadikan assessoris dalam sistem ketatanegaraa lembaga negara ini selain mubadzir juga nihilnya estetika konstitusi. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak memiliki arti (meaningless).
Sesungguhnya bagi MPR mudah jika berkehendak membubarkan DPD cukup menggunakan tangan kanan MPR (anggota DPR) yang jumlahnya 560 beramai-ramai “memasuki ruang sidang majelis”, sudah dapat membubarkan DPD, sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD (tangan kiri MPR) yang juga merangkap anggota MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALHAMDULILLAH ANAK SAYA LULUS SKD TEST ASN di KEMENTERIAN ESDM SUMBER DAYA MINERAL UJIAN BERTEMPAT DI PPK KEMAYORAN

    Foto Anak Saya Test ASN di Gedung PPK Kemayoran Pada hari Minggu, Tanggal 27 Oktober 2024   Pada hari Minggu, tanggal 27 Oktober 2024 sa...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19