Senin, 07 September 2015

Polemik Amendemen Konstitusi



                 
Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta

Bertambahnya sederetan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan  Indonesia, khususnya kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tidak mendapat sambutan positip oleh masyarakat. Pasalnya DPD, tidak memiliki kewenangan  sama sekali alias produknya meaningless (tidak memiliki arti). Berbeda lembaga Negara yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK), eksistensi lembaga negara kekuasaan kehakiman ini, di elu-elukan masyarakat luas, putusan yang dihasilkan sering menggebrak kebekuan hukum yang selama ini konvensional bersifat konservatif. Contoh putusan MK yang progressif  adalah membatalkan calon terpilih anggota legislatif melalui nomor urut, mengganti dengan suara terbanyak. Contoh lain, putusan MK membolehkan warga negara mencoblos pemilu dengan menggunakan identitas (KTP/SIM) dan sebagainya. Pertanyaannya, apa yang dihasilkan oleh DPD?. Selama ini yang dihasilkan DPD hnaya tumpukan-tumpukan kertas menggunung berupa pertimbangan kepada DPR yang tidak memiliki implikasi yuridis.
Polemik amendemen konstitusi kembali menghangat. Pro kontra amendemen kelima konstitusi yang digagas oleh DPD merupakan  keniscayaan, sebab, lembaga negaranya berjalan ditempat, akibat  konstitusi tidak memberinya kewenangan sedikitpun. Sebagian tokoh-tokoh bangsa, yang kontra amandemen antara lain, Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno,  menilai justru perubahan UUD dapat merusak bangsa (Kompas, 31/1). Pernyataan tersebut disampaikan Mantan Wapres dalam pekan konstitusi yang bertemakan: “UUD 1945, Amendemen dan Masa Depan Bangsa”, Senin (30/1) di Jakarta, yang diadakan oleh DPD bersama International Conference of Islamic Sholars (ICIS). Kebalikannya, pernyataan yang pro disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa “DPD harus diberi kewenangan untuk memutuskan suatu persoalan agar kehadiran lembaga tersebut mempunyai dampak dalam kehidupan berbangsa” (Media Indonesia, 31/1) dalam acara yang sama dalam pekan konstitusi tersebut.
Dalam konteks amendemen konstitusi, penulis hendak mengatakan dengan bahasa gamblang kepada Majelis Permusyawaratann Rakyat (MPR). Ada dua cara mendesign DPD agar menjadi lembaga negara yang kuat, bukan hanya sekedar assessories belaka, dan biarkan lembaga negara bernama DPD menjadi  mati muda, jika memang keberadaannya tiada berguna. Pertama, keniscayaan MPR melakukan amandemen konstitusi untuk memperkuat kelembagaan DPD. konsekuensinya, akan dihadang tembok raksasa DPR. Pangkal masalahnya, jumlah anggota DPD itu cuma 132, sedangkan anggota DPR berjumlah 560. Untuk mengusulkan amandemen konstitusi sendiri, sekurang-kurangnya dibutuhkan 1/3 dari jumlah anggota MPR 692 sebanyak 230. Untuk itulah sebabnya, meskipun DPD berulangkali giat mengusulkan amandemen konstitusi untuk memperkuat kelembagaannya, DPR, sedikit pun tidak merasa terganggu apalagi jengkel. Sikap DPR, hampir pasti mengatup, tidak akan meluluskan niat DPD itu. Alih-alih mengusulkan amandemen konstitusi, yang didapati DPD justru hidangan melankolis dari DPR: “DPD, bersabarlah!, jangan meminta amandemen sekarang, belum waktunya, tunggu pemilu berikutnya”. DPR paham betul, Keberadaan DPD itu berada dalam kuasanya.
Cara kedua, jika DPR bergeming tidak merespon usulan amandemen konstitusi memperkuat DPD, presiden, atas nama panduan konstitusi, dapat membubarkan DPD. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/membubarkan DPR”. Dari  panduan konstitusi tersebut jelas tidak ada larangan presiden untuk membubarkan DPD.
Satire DPD sebagai lembaga negara “antara ada dan tiada”, sungguh tidak mengenakkan telinga dan menyesakkan hati seluruh anggotanya. Lembaga negara hasil amendemen konstitusi ini, seksi, tetapi tidak berkontur. Seksi, sebab, gaji dan uang tunjangan yang diterima sangat menggiurkan, sehingga, bikin orang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi  anggota DPD, soal nihil kewenangan, peduli amat, yang penting kantong tebal. Lembaga negara ini tidak berkontur, keberadaannya praktis sebagai accessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Relasi yang dibangun antar lembaga negara, utamanya kepada DPR inharmonis, kesetaraan lembaga negara yang didambakan check and balances luruh ditangan kepurbawisesaan DPR. Dalam praktek ketatanegaraan pun, acap kali DPD dipandang sebelah mata (sepele), dianggap sebagai anak bawang yang lahir prematur dari konstitusi. Jargon sebagai lembaga negara komplementer, sudah tentu membuat DPD masygul. Faktanya, lembaga negara ini memang hanya sebagai penghibur yang tidak memiliki kewenangan apa pun. Kecuali, memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika tidak  ditindaklanjutinya. Organ konstruksi DPD, bekerjanya pun tidak beritme, bagaikan kendaraan matic yang berjalan nggelonjor ketika direm, tak berakselerasi ketika menuntut percepatan tinggi  dan berinovasi ketika menghadapi lika liku perjalanan yang cukup curam, menikung dan down the street.
Dari sudut pandang filosofis, sosiologis, politis dan yuridis, secara teoritis UUD dapat diubah. MPR perlu terus didorong agar mengupayakan perubahan konstitusi yang lebih baik, demi kepentingan negara-bangsa. Kesalahan besar (blunder) MPR ketika melakukan perubahan UUD 1945, satu sisi, MPR tepat membubarkan lembaga tinggi negara (sebutan) untuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ironinya, sisi lain, MPR, menukargantikan (melahirkan) lembaga negara bernama DPD, padahal kedua-duanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945, yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001, kini, para anggotanya baru sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi napas buatan oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Anggota DPD secara resmi dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. Alias, DPD bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Penyebabnya, DPD tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi. DPR sudah barang tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan. Sebab, jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR, dengan menempatkan di Pimpinan MPR yang dianggap memiliki  peran strategis.
DPD saat ini, sedang gencar menggalang dukungan usulan perubahan kelima konstitusi. Menurut anggota DPD dari Maluku John Pieris, bahwa usulan amendemen UUD 1945 secara substansi  telah disetujui oleh mayoritas fraksi (Media Indonesia, 26/12). Lebih lanjut John Pieris mengklaim bahwa fraksi-fraksi besar di MPR seperti Demokrat, Golkar dan PDIP secara personal sudah setuju dari isi amandemen yang diajukan DPD. Klaim DPD bahwa telah mendapat persetujuan usulan amandemen dari mayoritas fraksi-fraksi di MPR patut disangsikan. Pasalnya, persetujuan itu bukan tidak mungkin sekedar basabasi politik, rasa tidak enak kepada DPD, yang kerap mengundang DPR diberbagai pertemuan.
 Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, anggota DPR sudah 110, dari 550 memberikan dukungan usulan  amendemen konstitusi dalam bentuk tertulis, tetapi, sayangnya, sebagian mencabut secara sepihak, mengingkari perjanjian tanpa rasa malu. Usulan perubahan konstitusi ketika itu telah mendapat dukungan 238 Anggota MPR, tetapi terjungkal dibantai DPR dipertigaan simpang jalan. Padahal, sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi.
  Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit, DPD dianjurkan mengusulkan amandemen konstitusi hasil pemilu 2009 saja. Kini, DPR hasil pemilu 2009 berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014 dan seterusnya. Hasil pemilu 2014 pun tidak tertutup kemungkinan, anggota DPR bakalan memiliki watak sama dengan pendahulunya memainkan DPD terus. DPR merasa besar kepala, karena paham sejarah kelahiran DPD berkat  kebaikan hatinya, dan DPR pula yang  akan bisa “menghabisi DPD” kapan pun jika ia mau.
 Semenjak MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, untuk kali kedua, DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen). DPD mengaku telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12-2011).
Ihwal amandemen konstitusi, sebelumnya, penulis telah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita menyimak secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen konstitusi jilid II kali ini, tidak nampak terlihat draft baru, hanya sedikit semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat dengan mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi. Meskipun, gagasan ini  dianggap cemerlang oleh DPD, besar kemungkinan bakalan tetap dirontokkan DPR tetap menghendaki presiden diusung hanya  oleh  partai politik. Dibanding 2007 lalu, usulan amandemen DPD kali ini, memang cukup cemerlang dan realistis, dapat membaca urat nadi masyarakat, yang menginginkan calon presiden tidak hanya dimonopoli oleh partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi, sejatinya DPD memiliki nafsu dan hasrat besar, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat sejajar dengan DPR.                        
Selama ini, DPD terlalu asyik berpolitik kepura-puraan (komunikasi prior ethos). Sebagai lembaga negara berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 17 Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPD adalah salahsatu rumpun legislatif. Tetapi anehnya, DPD yang dirumpunkan legislatif itu, tidak ikut memutuskan UU bersama DPR dan pemerintah. Keterpasungan DPD oleh konstitusi, diperparah lagi dengan sikap para anggotanya yang masa bodoh tidak berakselerasi gebrakan-gebrakan politik untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa. Selama ini, DPD terpaku hanya menjalankan tugas rutinitas sebagaimana teks redaksional semantik konstitusi. Keringat DPD yang dikucurkan deras, dipastikan tidak memiliki makna apa-apa (meaningless). Produk DPD, hanyalah tumpukan-tumpukan kertas menggunung.  Ia hanyalah lembaga negara penghias, jika pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti, tidaklah memiliki implikasi yuridis. Sesungguhnya, DPD adalah lembaga negara yang ditempatkan bagian terkecil (genre) dari bagian ketatanegaraan trikameral (genus), yaitu MPR dan DPR. Jika DPR diberikan kewenangan bersama pemerintah memutuskan UU, maka MPR diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Pertanyaannya, apakah kewenangan DPD?. Cuma pertimbangan?. Apa beda DPA dengan DPD?.
Momentum Amandemen Konstitusi Tidak Tepat
Masa bhakti DPR periode 2009-2014, sudah berakhir. Sisa waktu yang relatif   pendek masa jabatan DPR periode 2014-2019, DPR akan fokus menghadapi  pemilu 2014 dengan rajin mengunjungi konstituennya di daerah, agar terpilih kembali ketimbang, merespon usulan amandemen konstitusi yang diajukan DPD. Hal lain, keengganan DPR merespon usulan amandemen konstitusi, justru dianggap mengancam kewenangan DPR yang akan dimadu bersama DPD. Tidak berlebihan, jika penulis mengatakan, usulan amandemen kali ini tidak pada momentum yang tepat. Sangat mudah diprediksi, kalaupun dipaksakan, usulan amandemen ini hampir pasti  mustahil, dan lagi-lagi hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Masalah muncul, jika amandemen konstitusi dikabulkan, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD, berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Teliti Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap membonsai peran DPD, lembaga negara ini selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD diperkuat, berdampak di konstitusi, kebalikannya, jika hanya dijadikan keassessorisan, lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak berguna sama sekali. Sesungguhnya, anggota DPR berjumlah 560 jika reinkarnasi MPR, “memasuki ruang sidang majelis”, sudah bisa membubarkan  DPD, sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD.
Usulan perubahan kelima konstitusi jilid I, yang digagas DPD telah  mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal  204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. DPD akhirnya tak berdaya mendapati serangan mematikan tiba-tiba ini. Halusinasi amandemen konstitusi gagal total yang diusung DPD. Sikap yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu akal-akalan itu, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), bukan tidak mungkin memiliki kepentingan dibalik penjegalan amandemen itu. Sebab, jika DPD benar-benar menjadi lembaga negara kuat, pimpinan MPR terancam dihapuskan. Logika berpikir MPR menjadi terbalik, sebab, batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya.
Jika DPD dibubarkan, sesungguhnya DPR ataukah DPD yang masygul?. Bisa kedua-duanya. Pasalnya, DPR sendiri menginginkan DPD tetap survive, meski DPD nihil kewenangan. Ada udang dibalik batu, jika sewaktu-waktu anggota DPR sudah tidak laku di partai politik, bisa loncat ke DPD. Pihak yang paling kelojotan dengan bubarnya DPD saat ini, sesungguhnya  anggota DPD itu sendiri. Bagaimana pun, DPD tidak mau lembaga negaranya dibubarkan  secara dramatis, meski faktanya tidak memiliki kewenangan apa pun. Bagi anggota DPD, sudah tentu tidak mau kehilangan sawah subur yang dipaneninya setiap bulan. Sepakterjang  kepentingan elite politik itu, apabila dikaitkan dengan tugas dan tanggungjawabnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Dibalik kemubadziran DPD, pada hakekatnya yang kasihan adalah  rakyat. Bersebab, pajak dari uang rakyat yang disetor ke kas negara, sebagian dipergunakan untuk membiayai mahal kegiatan DPD, tetapi tidak memiliki arti sama sekali (meaningless).
 Kesimpulannya, usulan amandemen konstitusi itu ditentukan keikhlasan hati dan sikap kenegarawanan 560 anggota DPR yang merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi, meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD, bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).
            Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.
Pasal 7C UUD 1945 menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/membubarkan DPR”. Rumusan pasal tersebut suatu kekhilafan, keteledoran, ataukah kesengajaan?. Bunyi teks redaksional tafsir bersayap konstitusi ini sangat membahayakan eksistensi DPD. Pertanyaannya, dapatkah secara hukum Presiden membubarkan DPD?. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, bergantung lembaga negara manakah yang menafsirkan dibalik kepentingan politik. Jika Pasal 7C UUD 1945  ditafsir oleh pihak DPD, sudah barang tentu, disengajamaknai Presiden selain tak boleh membubarkan DPR, juga diharamkan membubarkan DPD. Bukankah DPD tak mau bunuh diri?. Namun, jika rumusan tersebut dikaji, ditelaah hati-hati, teliti, saksama dan sungguh-sungguh oleh peneliti konstitusi dan ketatanegaraan, akan bertenu  penafsiran teleologis yang mendekatkan kepada tujuan dan maksud sesungguhnya perumus konstitusi,  yakni tidak adanya pelarangan pembubaran DPD oleh Presiden. Namun, masalahnya, jika Presiden bernyali membubarkan DPD, akan  terjadi kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai legal tidaknya aksi nekat Presiden tersebut. Selain itu, dipastikan akan berdampak krisis konstitusi. Kebalikannya, jika rumusan tersebut dimaknai  Presiden tidak dapat membubarkan DPD, jawaban itu terlalu naif, kita tidak belajar dari kasus Presiden Abdurrahman Wahid yang gagah berani membubarkan MPR/DPR pada tahun 2001. Pertimbangan Gusdur, aksi nekatnya  membubarkan parlemen karena tidak ada larangan dalam pasal-pasal, melainkan cuma di penjelasan UUD 1945. Sempat terjadi perdebatan sengit, apakah penjelasan itu bagian dari hukum, atau bukan. Meski secara sporadis, akhirnya Gusdur bernasib tragis dipaksa turun dari jabatan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR, namun, kehebatan dan keberanian Gusdur patut diacungi jempol, terlepas akrobatik hukum yang dilakukannya. Konstitusi adalah staats fundamental norm, berisi dokumen hukum dan politik resmi dari suatu Negara, berisi kesepakatan-kesepakatan pokok tentang Negara, mengatur mengenai organisasi Negara, kekuasaan lembaga Negara, hubungan antar lembaga Negara. Pasca amandemen, UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal, sedangkan penjelasan yang memuat hal-hal yang bersifat normatif  telah  dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Bahasa gamblangnya, sepanjang pasal-pasal tidak mengatur larangan pembubaran DPD, maka Presiden dengan pemikiran progressif, jika berkehendak dapat membubarkan DPD.
Hanya ada dua opsi untuk menyelesaikan DPD. Dengan cara pertama diatas, jika  mempertahankan DPD,  MPR harus amandemen konstitusi memperkuat kelembagaannya. Cara kedua, mendorong presiden agar berani membubarkan DPD, jika DPD terus diambangkan seperti ini. Tidak boleh ada opsi samar-samar mengkonstruksikan DPD, melahirkan, tetapi memandulkan peran dan fungsinya. MPR unsur DPR, diharamkan membiarkan DPD berkelana dan terpasung di konstitusi. Indikasi kuat, memeranakan DPD dipertontonkan secara telanjang oleh DPR, dengan sikap pasifnya merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. DPR perlu berpolitik santun (fatsoen) dan sikap kenegarawanan sejati, sebagaimana dicontohkan para pendahulu kita (the founding fathers). Keberadaan DPD yang dilahirkan sudah cacat bawaan, mestinya, MPR segera merekonstruksi lembaga negara berboneka tersebut. Eksistensi DPD jangan terus ditelantarkan (diambangkan), sekedar untuk mainan politik, yang mengakibatkan organ kelembagaan ini bekerjanya menjadi  liar dan mengalum. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Periksa dan teliti ulang keberadaan DPD dengan cermat. Agar keberadaan DPD tidak menjadi beban anggaran negara terus-menerus, karyanya tidak dinistakan dan mubadzir, janganlah mengotori menuliskan tinta keberadaan DPD di konstitusi. Sayangilah konstitusi. Ukirlah cairan penamu di konstitusi yang indah untuk anak-anak bangsa. Menjadi anggota MPR itu kesempatan untuk berbuat baik, kapan lagi, jika bukan saatnya sekarang mendapat predikat negarawan sejati.
Dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang tidak mencantumkan secara eksplisit larangan Presiden membubarkan DPD, demi untuk menyelamatkan kepentingan negara-bangsa, dan dalam rangka menghemat anggaran negara, penulis sarankan, Tuan Presiden tidak perlu takut untuk membubarkan DPD. Hanya Tuan Presiden yang bisa diharap membubarkan DPD. Menunggu MPR membubarkan DPD tidak mungkin dilakukan, meski kewenangan membubarkan DPD secara normatif ada pada lembaga negara tersebut. Bersebab, di dalam tubuh MPR ada mayoritas anggota DPR yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dibalik keberadaan DPD. Oleh karena itu, tidak berlebihan penulis  menyerukan: Jika sekiranya MPR tidak menata ulang keberadaan DPD, lebih baik Tuan Presiden yang membubarkan DPD. Bagi DPD, penting dipahami, saat ini, lebih baik fokus bekerja untuk memperjuangkan aspirasi daerah. Jangan terlalu  berharap amandemen konstitusi, sebab, amandemen konstitusi hampir pasti mustahil. Percayalah, DPD akan selalu mendapati jawaban dari DPR, sabar, sabar, dan sabar terus. Oleh karena itu, lupakanlah harapan yang indah itu untuk mengamendemen konstitusi. Energi anggota DPD akan sia-sia memikirkan usulan amsndemen konstitusi, sebab, ujung dari semua itu, bakalan luruh di kaki DPR. Lebih baik, DPD, berkaryalah!.

Saldo Bertambah Bank Mandiri Syariah Malah Cuek




Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
 
Saya pemegang rekening nomor: 2650015547 atas nama Warsito, Bank Mandiri Syariah Cabang KCP Tangerang, Malabar. Ketika  saya mengambil uang lewat ATM, mata saya terbelalak. Pasalnya, saldo saya bertambah secara tiba-tiba sekitar sepuluh jutaan. Pikir saya, ini penambahan karena hadiah atau apresiasi dari Bank Mandiri Syariah.  Jujur saja, ada keinginan langsung untuk menarik saldo siluman, siapa yang tidak senang adanya rezeki nomplok tersebut?,  tetapi, ada konflik batin, sebab, ini bukan hak saya. Di Bank Mandiri Syariah TangCity, Tangerang, tempat  saya menarik  uang di ATM, saya meminta klarifikasi kepada Custumer Service perihal adanya penambahan saldo, tetapi, jawabannya menguatkan bahwa saldo tersebut memang milik saya. Tentu saja saya bertambah penasaran, sebab, saya ingat betul, bahwa saldo yang saya miliki  tidak sebesar itu. Untuk second opinion (konfirmasi pembanding), saya mendatangi tempat  membuka tabungan Mandiri Syariah, Cabang KCP Tangerang, Malabar.  Semula jawabannya sama, membenarkan bahwa saldo saya sebesar itu. Masih tidak percaya, saya meminta pegawai bank tersebut untuk melakukan pengecekan ulang saldo dengan cermat dan teliti. Akhirnya, didapati jawaban berbeda sebelumnya, membenarkan  bahwa  saldo  saya memang bertambah. Menurutnya, dalam beberapa hari akan  di debit secara otomatis oleh Bank Mandiri Syariah. Terbukti, memang sudah di debit sesuai saldo sebenar-benarnya yang saya miliki.  Penasaran akan kejadian ini, saya bertanya teman yang bekerja di Bank Mandiri  Syariah, membenarkan bahwa sering terjadi kasus seperti ini, utamanya setiap pergantian tahun baru, ada migrasi penambahan saldo secara siluman. Yang saya sesalkan, cuma ketika saya melaporkan penambahan saldo ini, tidak ada reaksi positip dari petugas Bank Mandiri  Syariah,  sikapnya begitu dingin, sedingin salju dan cuek, apalagi  mengucapkan terima kasih. Padahal, jika mau, uang bisa saya tarik lewat ATM, dan secara normatif saya tidak bisa dipersalahkan. Dalam kasus ini, ada beberapa teman saya yang mengatakan saya bodoh, kenapa tidak diambil “rezeki nomplok”  ini?. Saya menyadari, bahwa duit itu bukan hak saya, selain berdosa, kasihan tumbuh kembang anak-anak saya, jika uang tersebut saya pergunakan untuk kebutuhan dan keperluan mereka. Dalam hal ini, biarlah saya dianggap orang lain bodoh, daripada uang saya ambil, tetapi batin saya tidak tenang, untuk apa?


HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Penggalian Got Di RT 06 RW 017 Sari Bumi Indah Kabupaten Tangerang Benarkah Bertujuan Air Lancar?

                                                             Gambar Got Rumah di Bongkar     Penggalian Got Di RT 06 RW 017 Sari Bumi In...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19