Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama, Jakarta
Mahasiswa Program
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta
Bertambahnya sederetan lembaga-lembaga negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya kehadiran Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), tidak mendapat sambutan positip oleh masyarakat. Pasalnya
DPD, tidak memiliki kewenangan sama
sekali alias produknya meaningless (tidak
memiliki arti). Berbeda lembaga Negara
yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK), eksistensi lembaga negara kekuasaan kehakiman ini, di
elu-elukan masyarakat luas, putusan yang dihasilkan sering menggebrak kebekuan hukum yang selama ini konvensional bersifat konservatif. Contoh putusan MK
yang progressif adalah membatalkan calon
terpilih anggota legislatif melalui nomor urut, mengganti dengan suara
terbanyak. Contoh lain, putusan MK membolehkan warga negara mencoblos pemilu
dengan menggunakan identitas (KTP/SIM) dan sebagainya. Pertanyaannya, apa yang
dihasilkan oleh DPD?. Selama ini yang dihasilkan DPD hnaya tumpukan-tumpukan kertas menggunung berupa pertimbangan kepada DPR yang tidak
memiliki implikasi yuridis.
Polemik amendemen konstitusi kembali menghangat. Pro
kontra amendemen kelima konstitusi yang digagas
oleh DPD merupakan keniscayaan, sebab, lembaga negaranya berjalan
ditempat, akibat konstitusi
tidak memberinya kewenangan sedikitpun. Sebagian tokoh-tokoh
bangsa, yang kontra amandemen antara lain, Mantan Wakil Presiden
Try Sutrisno, menilai justru perubahan UUD dapat merusak bangsa (Kompas, 31/1).
Pernyataan tersebut disampaikan Mantan Wapres dalam pekan konstitusi yang
bertemakan: “UUD 1945, Amendemen dan Masa Depan Bangsa”, Senin (30/1) di
Jakarta, yang diadakan oleh DPD bersama International
Conference of Islamic Sholars (ICIS). Kebalikannya, pernyataan yang pro
disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa “DPD harus diberi
kewenangan untuk memutuskan suatu persoalan agar kehadiran lembaga tersebut
mempunyai dampak dalam kehidupan berbangsa” (Media Indonesia, 31/1) dalam acara
yang sama dalam pekan konstitusi tersebut.
Dalam konteks amendemen konstitusi, penulis hendak mengatakan dengan bahasa gamblang kepada Majelis
Permusyawaratann Rakyat (MPR). Ada dua cara mendesign
DPD agar menjadi lembaga negara yang kuat, bukan hanya sekedar assessories belaka, dan biarkan lembaga negara bernama DPD menjadi mati muda, jika memang keberadaannya tiada berguna. Pertama, keniscayaan
MPR
melakukan amandemen konstitusi untuk memperkuat kelembagaan DPD. konsekuensinya, akan dihadang
tembok raksasa DPR. Pangkal masalahnya, jumlah anggota DPD itu cuma 132,
sedangkan anggota DPR berjumlah 560. Untuk mengusulkan amandemen konstitusi sendiri, sekurang-kurangnya dibutuhkan 1/3 dari jumlah anggota MPR 692
sebanyak 230. Untuk itulah sebabnya,
meskipun DPD berulangkali giat mengusulkan amandemen konstitusi
untuk memperkuat kelembagaannya, DPR, sedikit pun tidak merasa terganggu apalagi jengkel. Sikap DPR, hampir pasti
mengatup, tidak akan meluluskan niat DPD itu. Alih-alih mengusulkan amandemen konstitusi, yang
didapati DPD justru hidangan melankolis dari DPR: “DPD, bersabarlah!, jangan
meminta amandemen sekarang, belum
waktunya, tunggu pemilu berikutnya”. DPR paham betul, Keberadaan DPD itu berada dalam kuasanya.
Cara kedua, jika DPR bergeming tidak merespon usulan amandemen konstitusi memperkuat DPD, presiden, atas nama
panduan konstitusi, dapat membubarkan DPD. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden
tidak dapat membekukan dan/membubarkan DPR”. Dari panduan konstitusi tersebut jelas tidak ada
larangan presiden untuk membubarkan DPD.
Satire DPD sebagai lembaga negara “antara ada dan tiada”, sungguh tidak mengenakkan telinga dan menyesakkan
hati seluruh anggotanya. Lembaga negara hasil amendemen konstitusi ini, seksi, tetapi
tidak berkontur. Seksi, sebab, gaji dan uang tunjangan yang diterima sangat menggiurkan,
sehingga, bikin orang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi anggota DPD, soal nihil kewenangan, peduli
amat, yang penting kantong tebal. Lembaga negara ini tidak berkontur, keberadaannya
praktis sebagai accessories dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Relasi yang dibangun antar lembaga negara, utamanya
kepada DPR inharmonis, kesetaraan lembaga
negara yang didambakan check and balances
luruh ditangan kepurbawisesaan DPR. Dalam praktek ketatanegaraan pun, acap kali
DPD dipandang sebelah mata (sepele), dianggap sebagai anak bawang yang lahir prematur
dari konstitusi. Jargon sebagai lembaga negara komplementer, sudah tentu membuat
DPD masygul. Faktanya, lembaga negara ini memang hanya sebagai penghibur yang
tidak memiliki kewenangan apa pun. Kecuali, memberikan pertimbangan dan
pendapat kepada DPR yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika tidak ditindaklanjutinya. Organ konstruksi DPD, bekerjanya
pun tidak beritme, bagaikan kendaraan matic
yang berjalan nggelonjor ketika direm, tak berakselerasi ketika menuntut percepatan
tinggi dan berinovasi ketika menghadapi
lika liku perjalanan yang cukup curam, menikung dan down the street.
Dari
sudut pandang filosofis, sosiologis, politis dan yuridis, secara
teoritis UUD dapat diubah. MPR perlu terus didorong
agar mengupayakan perubahan
konstitusi yang lebih baik, demi kepentingan negara-bangsa. Kesalahan besar (blunder) MPR ketika
melakukan perubahan UUD 1945, satu sisi, MPR tepat membubarkan lembaga tinggi negara
(sebutan) untuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ironinya, sisi lain, MPR, menukargantikan (melahirkan) lembaga negara bernama
DPD, padahal kedua-duanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah
pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas
dasar ketentuan Pasal 22C jo. Pasal 22D
UUD 1945, yang diputuskan dalam
rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001, kini, para anggotanya baru sadar, kelembagaannya
hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan,
tetapi hanya dipasangi napas buatan oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit
pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal
22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Anggota DPD secara resmi dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan
DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. Alias, DPD bekerjanya jalan di
tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk
memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional
representation) sekaligus menjadi penyeimbang
DPR yang memiliki
kekuatan purbawisesa di parlemen.
Namun, lagi-lagi harapan besar
rakyat kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik
matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Penyebabnya, DPD tidak diberikan kewenangan sedikit
pun oleh konstitusi. DPR sudah barang tentu tidak menginginkan DPD kuat secara
kelembagaan. Sebab, jika DPD diberikan kewenangan
ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi
di DPR memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di
DPR, dengan
menempatkan di Pimpinan MPR yang dianggap memiliki peran strategis.
DPD saat ini, sedang gencar menggalang
dukungan usulan perubahan kelima konstitusi. Menurut anggota DPD dari Maluku John Pieris, bahwa usulan
amendemen UUD 1945 secara substansi
telah disetujui oleh mayoritas fraksi (Media Indonesia, 26/12). Lebih
lanjut John Pieris mengklaim bahwa fraksi-fraksi besar di MPR seperti Demokrat,
Golkar dan PDIP secara personal sudah setuju dari isi amandemen yang diajukan
DPD. Klaim DPD bahwa telah mendapat persetujuan usulan
amandemen dari mayoritas fraksi-fraksi di MPR patut disangsikan. Pasalnya, persetujuan itu bukan tidak
mungkin sekedar basabasi politik, rasa tidak enak kepada DPD, yang kerap mengundang DPR diberbagai pertemuan.
Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, anggota DPR sudah 110, dari 550 memberikan dukungan usulan amendemen
konstitusi dalam bentuk tertulis, tetapi, sayangnya, sebagian mencabut secara sepihak, mengingkari perjanjian tanpa rasa
malu. Usulan perubahan konstitusi
ketika itu telah mendapat dukungan 238 Anggota MPR, tetapi terjungkal dibantai DPR dipertigaan simpang jalan. Padahal, sudah memenuhi persyaratan 1/3
usulan perubahan konstitusi.
Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit,
DPD dianjurkan mengusulkan amandemen konstitusi hasil pemilu 2009 saja. Kini, DPR hasil pemilu 2009 berkelit lagi, nanti saja
hasil pemilu 2014 dan seterusnya. Hasil pemilu 2014
pun tidak tertutup kemungkinan, anggota DPR bakalan memiliki watak sama dengan
pendahulunya memainkan DPD terus. DPR merasa besar kepala, karena paham sejarah kelahiran DPD berkat
kebaikan hatinya, dan DPR pula yang akan bisa “menghabisi DPD” kapan pun jika ia mau.
Semenjak MPR melakukan perubahan UUD
1945 selama empat kali sejak 1999-2002, untuk kali kedua, DPD kembali menggugat konstitusi (baca
mengusulkan amandemen). DPD mengaku telah merampungkan naskah
usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75
perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media
Indonesia, 24/12-2011).
Ihwal amandemen
konstitusi, sebelumnya, penulis telah memaparkan secara rinci
penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11
September 2007. Jika kita menyimak secara
saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen konstitusi jilid II kali ini, tidak nampak
terlihat draft baru, hanya sedikit semiran seolah memperjuangkan
aspirasi rakyat dengan mengusulkan
calon presiden perseorangan di dalam konstitusi. Meskipun, gagasan ini dianggap cemerlang oleh DPD, besar kemungkinan bakalan
tetap dirontokkan DPR tetap menghendaki presiden diusung hanya oleh partai politik. Dibanding 2007 lalu, usulan amandemen DPD
kali ini, memang cukup
cemerlang dan realistis, dapat
membaca urat nadi masyarakat, yang menginginkan calon presiden tidak
hanya dimonopoli oleh partai-partai
politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi, sejatinya DPD
memiliki nafsu dan hasrat besar,
yaitu, agar kelembagaan DPD kuat sejajar dengan DPR.
Selama ini,
DPD terlalu asyik berpolitik kepura-puraan (komunikasi prior ethos). Sebagai lembaga negara
berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 sebagaimana telah
diubah dengan UU. No. 17 Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPD adalah salahsatu rumpun legislatif. Tetapi anehnya, DPD yang dirumpunkan legislatif itu, tidak
ikut memutuskan UU bersama DPR dan pemerintah. Keterpasungan DPD oleh
konstitusi, diperparah lagi dengan sikap para anggotanya yang masa bodoh tidak berakselerasi gebrakan-gebrakan politik untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa. Selama ini, DPD terpaku hanya menjalankan tugas rutinitas sebagaimana
teks redaksional semantik
konstitusi. Keringat DPD yang
dikucurkan deras, dipastikan tidak memiliki makna apa-apa (meaningless).
Produk DPD, hanyalah tumpukan-tumpukan kertas
menggunung. Ia hanyalah lembaga negara penghias, jika pertimbangan
itu tidak ditindaklanjuti, tidaklah memiliki implikasi yuridis. Sesungguhnya, DPD adalah lembaga negara yang
ditempatkan bagian terkecil
(genre)
dari bagian ketatanegaraan trikameral (genus), yaitu MPR dan DPR. Jika
DPR diberikan kewenangan bersama pemerintah
memutuskan UU, maka MPR diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Pertanyaannya, apakah kewenangan DPD?. Cuma
pertimbangan?. Apa beda DPA dengan DPD?.
Momentum Amandemen Konstitusi Tidak
Tepat
Masa bhakti DPR periode
2009-2014, sudah berakhir. Sisa waktu yang relatif pendek
masa jabatan DPR periode 2014-2019, DPR akan fokus menghadapi pemilu 2014 dengan rajin mengunjungi konstituennya
di daerah, agar terpilih kembali ketimbang, merespon usulan amandemen konstitusi
yang diajukan DPD. Hal lain, keengganan DPR merespon usulan amandemen
konstitusi, justru dianggap mengancam kewenangan DPR yang akan dimadu
bersama DPD. Tidak berlebihan, jika penulis mengatakan, usulan amandemen kali ini
tidak pada momentum yang tepat. Sangat mudah diprediksi, kalaupun dipaksakan, usulan
amandemen ini hampir pasti mustahil,
dan lagi-lagi hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Masalah muncul, jika amandemen konstitusi
dikabulkan, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan: “DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan
DPD, berpotensi mengacaukan
sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika
DPD bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster
bernama MPR sebagai sidang joint session
(gabungan DPR dengan DPD).
Padahal kewenangan MPR itu bukan
membentuk UU (Teliti Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya,
jika MPR tetap membonsai peran DPD, lembaga negara ini
selamanya tetap menjadi duri dalam daging
konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD diperkuat, berdampak di konstitusi, kebalikannya, jika hanya dijadikan keassessorisan,
lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan yang paling tepat dilakukan
oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD
selama ini tidak berguna sama sekali. Sesungguhnya, anggota DPR berjumlah 560 jika reinkarnasi
MPR,
“memasuki ruang sidang majelis”, sudah bisa membubarkan DPD, sekalipun tanpa kehadiran
seluruh anggota DPD.
Usulan perubahan kelima konstitusi
jilid I, yang digagas DPD telah mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amandemen tersebut telah diserahkan
kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan,
sehingga dukungan amandemen kempes tinggal
204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. DPD akhirnya tak berdaya
mendapati serangan mematikan tiba-tiba ini. Halusinasi amandemen konstitusi
gagal total yang diusung DPD. Sikap yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal
ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan
tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus
2007 pukul 24.00 WIB.
Tenggat waktu akal-akalan itu, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan
MPR), bukan tidak mungkin memiliki kepentingan dibalik penjegalan amandemen itu. Sebab,
jika DPD benar-benar menjadi lembaga negara kuat, pimpinan MPR terancam
dihapuskan. Logika berpikir MPR menjadi terbalik, sebab, batas waktu
penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi tidak diatur di
konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan
dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis
dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3
usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya.
Jika DPD
dibubarkan, sesungguhnya DPR ataukah DPD yang masygul?. Bisa kedua-duanya.
Pasalnya, DPR sendiri menginginkan DPD tetap survive, meski DPD nihil
kewenangan. Ada udang dibalik batu, jika sewaktu-waktu anggota DPR
sudah tidak laku di partai politik, bisa loncat ke DPD. Pihak yang paling
kelojotan dengan bubarnya DPD saat ini, sesungguhnya anggota DPD itu sendiri. Bagaimana pun, DPD
tidak mau lembaga negaranya dibubarkan
secara dramatis, meski faktanya tidak memiliki kewenangan apa pun. Bagi
anggota DPD, sudah tentu tidak mau kehilangan sawah subur yang dipaneninya
setiap bulan. Sepakterjang kepentingan
elite politik itu, apabila dikaitkan dengan tugas dan tanggungjawabnya, sama
sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Dibalik kemubadziran
DPD, pada hakekatnya yang kasihan adalah
rakyat. Bersebab, pajak dari uang rakyat yang disetor ke kas negara,
sebagian dipergunakan untuk membiayai mahal kegiatan DPD, tetapi tidak memiliki
arti sama sekali (meaningless).
Kesimpulannya, usulan amandemen
konstitusi itu ditentukan keikhlasan hati dan sikap kenegarawanan 560 anggota DPR yang merangkap MPR. Pada
hakekatnya, setiap anggota DPR itu bukan mewakili,
atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu
takut mendukung amandemen konstitusi, meski berseberangan kepentingan dengan
partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan
UUD, bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo.
Pasal 1320 dan Pasal 37 UUD 1945).
Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.
Pasal 7C UUD 1945 menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan
dan/membubarkan DPR”. Rumusan pasal tersebut suatu kekhilafan, keteledoran,
ataukah kesengajaan?. Bunyi teks redaksional tafsir bersayap konstitusi ini sangat
membahayakan eksistensi DPD. Pertanyaannya, dapatkah secara hukum Presiden
membubarkan DPD?. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, bergantung lembaga negara
manakah yang menafsirkan dibalik kepentingan politik. Jika Pasal 7C UUD 1945 ditafsir oleh pihak DPD, sudah barang tentu,
disengajamaknai Presiden selain tak boleh membubarkan DPR, juga diharamkan
membubarkan DPD. Bukankah DPD tak mau bunuh diri?. Namun, jika rumusan tersebut
dikaji, ditelaah hati-hati, teliti, saksama dan sungguh-sungguh oleh peneliti
konstitusi dan ketatanegaraan, akan bertenu penafsiran teleologis yang
mendekatkan kepada tujuan dan maksud sesungguhnya perumus konstitusi, yakni tidak adanya pelarangan pembubaran DPD
oleh Presiden. Namun, masalahnya, jika Presiden bernyali membubarkan DPD, akan terjadi kontroversi dan polemik berkepanjangan
mengenai legal tidaknya aksi nekat Presiden tersebut. Selain itu, dipastikan
akan berdampak krisis konstitusi. Kebalikannya, jika rumusan tersebut
dimaknai Presiden tidak dapat
membubarkan DPD, jawaban itu terlalu naif, kita tidak
belajar dari kasus Presiden Abdurrahman Wahid yang gagah berani membubarkan
MPR/DPR pada tahun 2001. Pertimbangan Gusdur, aksi nekatnya membubarkan parlemen karena tidak ada
larangan dalam pasal-pasal, melainkan cuma di penjelasan
UUD 1945. Sempat terjadi perdebatan sengit, apakah penjelasan itu bagian dari
hukum, atau bukan. Meski secara sporadis, akhirnya Gusdur bernasib tragis
dipaksa turun dari jabatan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR, namun, kehebatan
dan keberanian Gusdur patut diacungi jempol, terlepas akrobatik hukum yang
dilakukannya. Konstitusi adalah staats
fundamental norm, berisi dokumen hukum dan politik
resmi dari suatu Negara, berisi kesepakatan-kesepakatan pokok tentang Negara,
mengatur mengenai organisasi Negara, kekuasaan lembaga Negara, hubungan antar
lembaga Negara. Pasca
amandemen, UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal, sedangkan penjelasan
yang memuat hal-hal yang bersifat normatif
telah dimasukkan ke dalam
pasal-pasal. Bahasa gamblangnya, sepanjang pasal-pasal tidak mengatur larangan
pembubaran DPD, maka Presiden dengan pemikiran progressif, jika berkehendak dapat
membubarkan DPD.
Hanya ada dua opsi untuk
menyelesaikan DPD. Dengan cara pertama diatas, jika mempertahankan DPD, MPR harus amandemen konstitusi memperkuat kelembagaannya. Cara kedua, mendorong presiden agar berani membubarkan DPD, jika DPD terus diambangkan seperti ini. Tidak boleh ada opsi samar-samar
mengkonstruksikan DPD, melahirkan, tetapi memandulkan peran dan fungsinya. MPR unsur DPR,
diharamkan membiarkan DPD berkelana dan terpasung di
konstitusi. Indikasi
kuat, memeranakan DPD dipertontonkan secara telanjang oleh DPR, dengan sikap pasifnya merespon isu-isu amandemen
UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. DPR perlu berpolitik santun (fatsoen) dan sikap kenegarawanan sejati,
sebagaimana dicontohkan para pendahulu kita (the founding fathers). Keberadaan DPD yang dilahirkan sudah cacat
bawaan, mestinya, MPR segera merekonstruksi lembaga negara
berboneka tersebut. Eksistensi DPD jangan terus ditelantarkan (diambangkan), sekedar untuk
mainan politik, yang mengakibatkan organ kelembagaan ini
bekerjanya menjadi liar dan
mengalum. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan
hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak
ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Periksa dan teliti ulang keberadaan
DPD dengan cermat. Agar keberadaan
DPD tidak menjadi beban anggaran
negara terus-menerus, karyanya
tidak dinistakan dan mubadzir, janganlah mengotori menuliskan tinta
keberadaan DPD di konstitusi. Sayangilah
konstitusi. Ukirlah cairan penamu di konstitusi yang indah untuk anak-anak
bangsa. Menjadi anggota MPR itu kesempatan untuk berbuat baik, kapan lagi, jika
bukan saatnya sekarang mendapat predikat negarawan sejati.
Dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang tidak
mencantumkan secara eksplisit larangan Presiden membubarkan DPD, demi untuk menyelamatkan
kepentingan negara-bangsa, dan dalam rangka menghemat anggaran negara, penulis
sarankan, Tuan Presiden tidak perlu takut untuk membubarkan DPD. Hanya Tuan
Presiden yang bisa diharap membubarkan DPD. Menunggu MPR membubarkan DPD tidak
mungkin dilakukan, meski kewenangan membubarkan DPD secara normatif ada pada
lembaga negara tersebut. Bersebab, di dalam tubuh MPR ada mayoritas anggota DPR
yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dibalik keberadaan DPD. Oleh
karena itu, tidak berlebihan penulis menyerukan: Jika sekiranya MPR tidak menata
ulang keberadaan DPD, lebih baik Tuan Presiden yang membubarkan DPD. Bagi DPD,
penting dipahami, saat ini, lebih baik fokus bekerja untuk memperjuangkan
aspirasi daerah. Jangan terlalu berharap
amandemen konstitusi, sebab, amandemen konstitusi hampir pasti mustahil.
Percayalah, DPD akan selalu mendapati jawaban dari DPR, sabar, sabar, dan sabar
terus. Oleh karena itu, lupakanlah harapan yang indah itu
untuk mengamendemen konstitusi. Energi
anggota DPD akan sia-sia memikirkan usulan amsndemen konstitusi, sebab, ujung dari semua itu, bakalan
luruh di kaki DPR. Lebih baik, DPD, berkaryalah!.