Senin, 15 September 2008

Selamat Datang Dualisme Komisi Konstitusi



Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Master Kenotariatan UI
- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat


      Akhirnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR kembali merencanakan membentuk sebuah tim untuk menelaah secara komprehensif perubahan UUD 1945. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah atau DPD di MPR, Jakarta, Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008).

MPR sudah Lupa Ingatan.
      Berangkat dari gagasan pembentukan Komisi tersebut, ada satu hal penting untuk dicatat dan dicermati, yaitu, apakah MPR sudah lupa ingatan?. Bukankah MPR pernah membentuk Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian perubahan UUD 1945 secara komprehensif?. Ditumpuk kemana hasil kerja Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?. MPR pernah menerbitkan TAP.No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak tanggal 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Dukungan pembentukan komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.
      Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi bakal terwujud?. Apakah lembaga DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi karena tugasnya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR. Pembentukan Komisi pengkaji konstitusi diharapkan oleh DPD, karena hasil telaah Komisi tersebut memosisikan DPD sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi, hal itu sama dengan kajian Komisi Konstitusi sebelumnya. Hal lain, kehadiran Komisi tersebut pasti akan disambut gembira ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.
      DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Yang mengherankan mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan ‘menyamar’ menjadi anggota MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan presiden apakah tidak menjerumuskan?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan Pembentukan Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan lembaga-lembaga negara lain.
      DPD berharap presiden berinisiatif membentuk Komisi pengkaji konstitusi karena MPR yang sesungguhnya memiliki kewenangan justru enggan membentuk. Mengapa MPR bersikap enggan?. Karena didalam MPR ada kepentingan 550 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD dapat berdampak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen. Ada wacana menguat, jika terjadi joint session (sidang MPR) atau bertemunya antara DPR dengan DPD, sebaiknya pimpinan MPR dijabat secara bergantian, yaitu, antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Hal ini masuk akal karena sidang MPR sifatnya insidentil, pimpinan MPR tidak perlu bersifat permanen. Tapi itulah politik, didalamnya banyak faktor kepentingannya untuk bagi-bagi kekuasaan, sehingga yang tidak perlu dibuat seolah-olah dibutuhkan untuk tujuan kekuasaan dan uang.
       Bagaimana jika terjadi 128 anggota DPD ‘menyamar’ menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Dipastikan akan sia-sia belaka, mengingat minoritas anggotanya. Selain itu, gagasan amendemen kelima UUD 1945 oleh DPD, akan mudah dipatahkan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Itulah sebabnya, mengapa DPD perlu meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena posisi DPD lemah tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden, sifatnya hanya untuk dukungan politis kepada DPD. Dipastikan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden secara juridis tidak memiliki makna apa-apa, mengingat keberadaan Komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.

      Pembentukan Komisi Konstitusi sebelumnya dilakukan MPR terpaksa, karena desakan dari berbagai pihak yang tidak puas menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, secara tidak langsung MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan selama empat kali banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, ditolak sendiri oleh MPR. Penolakan kajian Komisi Konstitusi tersebut, berarti MPR sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat. Singkatnya, pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi dengan itikad baik untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi. Apapun namanya batalkan saja, jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan konstitusi. Jika MPR mencari-cari kerjaan dan memaksakan kehendak membentuk Komisi Konstitusi lagi, dipastikan keberadaan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi sebelumnya.
MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Hasil perubahan itu, antara lain yakni, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Sisi lain, kelemahan konstitusi membarter melahirkan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridik memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang jelas yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini ‘dihidangkan’ jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik inovasi amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asal dilakukan tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (dibuat percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi kelembagaan ini kembali.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir empat tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Apabila keberadaan DPD tetap model lembaga Konsolasi (suguhan hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Jika sebaliknya, pilihan ditetapkan ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.
Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana amanat Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk dijadikan referensi menata ulang kelembagaan ini menjadi lebih baik lagi. Pembentukan Komisi tersebut tidak kekejar untuk melakukan amendemen UUD 1945 mengingat mepetnya periode MPR 2004-2009 yang akan berkonsentrasi menuju pemilu 2009. Hal lain pembentukan Komisi Konstitusi lagi justru akan membingungkan masyarakat, karena sebelumnya MPR pernah membentuk Komisi serupa. Sikap MPR sangat disayangkan, bekerjanya tidak terstruktur dan tidak profesional, sehingga setiap pergantian periode MPR selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh periode sesudahnya. Contohnya Pembentukan Komisi Konstitusi oleh MPR periode 1999-2004, yang tidak ditindaklanjuti MPR periode 2004-2009 justru ingin membentuk Komisi baru lagi. MPR perlu menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan negara. Contoh ketimpangan telah penulis kemukakan diatas. Namun demikian, MPR tidak boleh rajin menerbitkan Ketetapan MPR jika sekiranya hanya sekedar untuk hiburan kepada masyarakat.
Selamat datang Komisi Konstitusi jilid II, semoga hasil kajian Komisi Konstitusi tidak sekedar untuk menguras uang rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19