Senin, 22 Desember 2008

DPD, Rame-Rame Ajang


Oleh Warsito, SH M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Alumni Magister Kenotariatan UI
- PNS DPD Berhenti Atas Permintaan Sendiri




     Dewan Perwakilan Daerah atau DPD adalah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi dalam sistim ketatanegaraan Indonesia. Lembaga Negara ini produknya tidak memiliki arti (meaningless).Lembaga ini hanya memberikan  pertimbangan, saran dan pendapat, kepada DPR aspirasi rakyat yang disampaikan kepada DPD belum ditindaklanjuti, kunjungan kerja ke daerah berikutnya, aspirasi serupa muncul kembali. Itulah kondisi riil DPD. Lebih tragis aspirasi masyarakat yang disampaikan ke DPD itu nasibnya bergantung kepada tetangga sebelah (DPR). Pertanyaannya, mengapa masyarakat tidak langsung saja menyampaikan aspirasinya ke DPR?. Mengapa harus melalui lembaga DPD yang tidak memiliki kewenangan apa-apa?.
DPD adalah lembaga negara menjadi buah simalakama konstitusi, jika MPR memperkuat DPD sejajar dengan DPR dampaknya akan terjadi kekacauan konstitusi (pasal 3 UUD 1945) mengenai kewenangan MPR yang bukan sebagai lembaga negara pembentuk undang-undang (regelling). Ketika sidang joint session/sidang majelis (bertemunya antara DPR dan DPD) membentuk cluster MPR, maka MPR memiliki kewenangan antara lain, mengubah dan menetapkan UUD 1945 bukan membentuk undang-undang.
     Keberadaan lembaga DPD mirip dengan lembaga DPA yang telah dibubarkan MPR. Kedua lembaga ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi, tetapi tidak mendatangkan manfaat sama sekali. Pertimbangan DPD kepada DPR dan pertimbangan DPA kepada presiden, tidak memiliki implikasi juridis jika DPR maupun presiden tidak menindaklanjutinya.
MPR telah membubarkan lembaga DPA, sisi lain, MPR menukargantikan lembaga negara yang bernama DPD yang sama-sama tidak memiliki kewenangan.
     DPD akan kembali mengusung perubahan UUD 1945, gagasan perubahan itu dibawa dalam Rapat Paripurna DPD pada hari Kamis (6/3-2008), materinya, antara lain menyangkut masalah calon presiden (Media Indonesia 8/3-2008). Sebelumnya usulan amendemen UUD 1945 itu kandas ditengah jalan akibat keteledoran DPD menyikapi keputusan pimpinan MPR yang memberikan batas waktu penarikan dan dukungan amendemen berakhir 7/8-2007. Batas waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR itu, dukungan amendemen menggembos tinggal 204 dari 238 anggota MPR yang telah memberikan dukungan. Penggembosan itu, akibat sebagian anggota MPR menarik dukungannya kembali. Jumlah yang masih bertahan memberikan dukungan amendemen sampai saat ini sebanyak 204 anggota MPR. Menurut ‘versi’ pimpinan MPR sisa jumlah yang masih mendukung amendemen itu, tidak memenuhi syarat 1/3 dari jumlah anggota MPR mengajukan usul perubahan konstitusi. Padahal konstitusi dan peraturan Tata Tertib MPR tidak mengatur mengenai batas waktu penarikan atau dukungan amendemen tersebut. Kesimpulannya, sejak dukungan usulan amendemen UUD 1945 telah mencapai 238 anggota MPR, ketika itu MPR sudah dapat menggelar sidang dengan agenda perubahan UUD 1945, karena telah memenuhi syarat minimal 1/3 usul perubahan konstitusi. Anggota MPR yang berjumlah 678 dibutuhkan minimal 1/3x678= 226 anggota MPR untuk mengajukan usul perubahan. Sejak ditandatangani dukungan usulan amendemen itu berarti telah terjadi asas kesepakatan(konsensualitas), oleh karenanya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak, baik MPR unsur DPR maupun MPR unsur DPD.
      Hal lain yang perlu diperhatikan oleh DPD apakah kedudukan 204 anggota MPR yang masih bertahan memberikan dukungan itu masih berlaku hingga 2009?. Bergantung kepiawaian DPD membuat kontrak (perjanjian), apakah didalam esensialia perjanjian dicantumkan batas waktu atau tidak?. Kalau tidak dicantumkan di dalam perjanjian lagi-lagi DPD itu teledor.
Namun demikian, DPD tidak boleh bernafsu besar mengusulkan perubahan UUD 1945, sebab tenaga DPD itu  (minim). DPD perlu berhitung cermat, agar usulan amendemen UUD 1945 tidak menjadi kandas ditengah jalan lagi. Jika bertarung di forum MPR, unsur DPD itu tidak berimbang dibandingkan dengan anggota MPR unsur DPR. Hal lain, DPD perlu membaca telatah (gerak-gerik) DPR bagaimana sikapnya terhadap perubahan UUD 1945 apakah akan menyetujui, atau sebaliknya tetap mementahkan. Perlu diwaspadi, jumlah anggota MPR unsur DPD itu hanya 128 anggota, sedangkan jumlah anggota MPR unsur DPR jauh lebih besar 550 anggota. Kekuatan yang jelas tidak berimbang jika DPD akan ‘bertarung’ di forum Majelis. Maka, besar kemungkinan usulan amendemen UUD 1945 yang digagas DPD itu, akan mudah dikandaskan oleh DPR meskipun usulan amendemen itu telah disusun secara komprehensif dan apik secara akademis. DPD perlu mewaspadai serangan balik DPR, sebab jika 550 anggota DPR sudah memasuki ruang sidang paripurna Majelis, pasti sudah dapat ‘menyudahi DPD’(baca: DPD dibubarkan). Logikanya sederhana, mengapa DPR itu tidak mau memperkuat posisi DPD, memperkuat DPD berarti bagi-bagi kekuasaan kepada DPD, hal ini yang tidak dimaui oleh DPR. Hal lain, dengan diperkuat peran dan fungsi DPD, produk undang-undang tertentu harus mendapatkan persetujuan bersama antara presiden, DPR dan DPD. DPR sudah tentu tidak mau diveto oleh DPD.
Oleh karena itu, putusan untuk merubah UUD 1945 itu ditentukan sikap kenegarawanan anggota DPR. DPR-lah yang sesungguhnya mempunyai purbawisesa (kekuatan penuh) untuk bisa merubah atau tidaknya UUD 1945, meskipun secara normatif MPR-lah yang memiliki kewenangan untuk itu.

Untuk Apa DPD?
     Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua untuk kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?. Keberadaan lembaga DPD praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi, tetapi manfaatnya tidak ada sama sekali. Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi. Selain itu, lembaga ini tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (mengatur) dan beschikking (penetapan) serta beleid (kebijakan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi tidak memberikan sanksi kepada DPR jika tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (editorial Media Indonesia 29/12-2007).
     Ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang itu, jangan dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan inovasi amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi.
DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan) oleh konstitusi, oleh karenanya harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan ini.

Pembubaran DPD
     Pemasungan DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan, konstitusi malah memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari memerhatikan pasal 7C UUD 1945: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Menurut interpretasi redaksional, rumusan UUD itu bermakna presiden dapat membubarkan DPD. Inilah salah satu rumusan konstitusi yang membahayakan eksistensi DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”. Penambahan kata “dan DPD” tersebut guna memberikan ketegasan agar presiden selain dilarang membubarkan DPR juga pelarangan untuk membubarkan DPD. Hal lain, penambahan kata dan DPD tersebut, agar konkordan (sejalan) dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amendemen UUD 1945. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.” Di dalam penjelasan UUD 1945 pra amendemen menyatakan antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat)”, pasca amendemen, penjelasan itu, telah ditransformasikan kedalam pasal 1 ayat (3)UUD 1945. Hal lain, di dalam penjelasan UUD 1945 pra amendemen, menyatakan presiden dilarang membubarkan DPR, semestinya sebagai rumpun legislatif, DPD juga tidak boleh dibubarkan. Kini pasca amendemen, UUD 1945 tidak memiliki lagi penjelasan, oleh karena seperti disebutkan diatas, hal-hal yang bersifat normatif telah dimasukkan kedalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh anggota MPR unsur DPD. DPD tidak boleh terpaku mengusulkan perubahan UUD 1945 secara parsial terkait penguatan kelembagaannya. Penting bagi DPD memerhatikan pasal 7C UUD 1945 agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan.

Antara Dibubarkan Atau Dipertahankan

     Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir lima tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari bertanya, apakah sesungguhnya lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Lembaga DPD ini praktis hanya bekerja memenuhi ketentuan: konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya meaningless (tidak memiliki arti). Jika DPD tetap dijadikan lembaga negara konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik lembaga ini dibubarkan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19