Jumat, 26 Desember 2008

MPR Pandai “Berkelit”, DPR Pintar “Olah Vokal”, DPD Mahir “Berkelakar”



Oleh Warsito, SH., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-Mantan PNS MPR-RI 9 Tahun dan DPD-RI 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri


      Tidak berapa waktu lama lagi Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU. SUSDUK) akan segera disyahkan. Lembaga negara manakah sesungguhnya yang paling berdebar-debar menanti kedatangannya?. Lembaga negara yang sport jantung tersebut, tidak lain adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR. Sementara itu, di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, wacana pelikuidasian pimpinan MPR secara permanen disambut dengan “isak dan jerit tangis”. Benarkah UU SUSDUK ini menyangkut hidup “orang banyak” sehingga tarik ulur kepentingan?. Jika UU Susduk meniadakan pimpinan MPR secara permanen, konsekuensinya bukan hanya membubarkan pimpinan MPR saja, anggota DPR dan anggota DPD yang biasa berburu kekuasaan di pimpinan MPR juga akan terkena imbasnya. Hal lain, Sekretariat Jenderal MPR dengan sendirinya juga akan dibubarkan. Dengan demikian, Sekjen, Wakil Sekjen dan Kepala-Kepala Biro akan kehilangan jabatannya. Meskipun personil jajaran Setjen MPR disalurkan ke instansi lain, mereka belum tentu memperoleh jabatan seperti yang pernah disandangnya. Oleh karena itu, orang yang memiliki kepentingan tidak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen bukan hanya pimpinan MPR, anggota DPR dan DPD, bahkan Sekretariat Jenderal MPR pun sangat-sangat berkepentingan untuk hal itu. Hal-hal inilah yang sebenarnya tidak banyak diketahui oleh khalayak, mengapa Pansus UU SUSDUK menjadi sulit mewujudkan Sekretariat Parlemen .

DPR Pintar Olah Vokal
       Mencermati Editorial Media Indonesia, Sabtu, 6 Desember berjudul “UU Susduk Tanpa Perubahan Substansial”, nampaknya kita tidak dapat berharap banyak dari substansi UU SUSDUK mendatang, sebab pembahasannya melibatkan banyak faktor kepentingan. Penulis masih ingat betul, jauh sebelum pembahasan UU SUSDUK sebagian anggota DPR berteriak lantang, sangat vokal menyuarakan agar demi efisiensi keuangan negara sebaiknya Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD disatukan menjadi Sekretariat yang bernama Sekretariat Parlemen. Namun setelah pembahasan UU SUSDUK hampir rampung, dan tinggal tahap pengesahan, suara-suara itu, pelan tapi pasti mulai menghilang tak terdengar lagi. Anggota DPR ibarat kerupuk yang mudah melempem tersiram air dan mudah mengkeret terkena sedikit panas terik matahari. Singkatnya, Pansus UU SUSDUK tidak konsisten dengan apa yang pernah diucapkan. Apa sebenarnya yang menjadikan Pansus UU SUSDUK ini tidak bergairah menyatukan Sekretariat Jenderal menjadi Sekretariat Parlemen?. Masih dalam editorial tersebut menyatakan bahwa, dengan tetap dipermanenkannya pimpinan MPR, maka konsekuensinya ada anggaran tersendiri. Ini artinya, jika pimpinan MPR tetap dipermanenkan, untuk mengisi kevakuman selama lima tahun sekali, MPR dipastikan akan terus mencari kesibukan antara lain, gemar melakukan sosialisasi UUD 1945 di dalam dan di luar negeri. Padahal di dalam negeri sendiri sebagian besar rakyat, kalangan akademisi dan para pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah banyak yang belum memahami substansi UUD 1945, mengapa harus melakukan sosialisasi keluar negeri?. Sosialisasi UUD ke luar negeri tersebut dipastikan tidak akan membawa manfaat apa-apa, justru yang terjadi sebaliknya hanyalah menghambur-hamburkan uang rakyat. UU SUSDUK yang telah memberikan tugas kepada pimpinan MPR untuk melaksanakan dan memasyarakatkan putusan MPR berbentuk UUD 1945, itu bagian dari perintah undang-undang yang mengada-ada. Mempermanenkan MPR secara formil, bukan hanya menyalahi aturan ketatanegaraan yang baik, mengingat tugas MPR secara periodik selama lima tahun sekali hanyalah melantik presiden dan wakil presiden, dari aspek hukum materiil mempermanenkan MPR pun tidak memiliki makna apa-apa, hanya akan menghambur-hamburkan uang rakyat belaka. Dengan adanya pimpinan MPR tersebut, disana ada Ketua MPR, Wakil-Wakil Ketua MPR, Sekjen, Wakil Sekjen dan Kepala-Kepala Biro beserta stafnya, konsekuensinya akan membebani keuangan negara.

MPR Pandai “Berkelit”, DPD “Mahir Berkelakar”
      Hal lain, jika pimpinan MPR tetap dipermanenkan, justru memberikan peluang kepada DPR dan DPD untuk terus cakar-cakaran berebut kekuasaan. Indikator itu terlihat pada gelagat DPD yang tidak mau diberikan satu utusan duduk di pimpinan MPR. Biar gagah DPD meminta perimbangan, pimpinan MPR dua unsur dari DPR dan dua unsur dari DPD (Komposisi tetap seperti UU Susduk lama). Benarkah untuk tujuan proporsional?. Masih ingatkah, apakah yang dapat diperbuat oleh DPD ketika dua anggotanya duduk sebagai pimpinan MPR?. Kesimpulannya, DPD meminta jatah dua anggotanya duduk di pimpinan MPR, bukan untuk proporsional memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada tujuan meminta jatah kekuasaan belaka. Masih ingatkah kasus usulan amendemen UUD 1945 yang pernah diajukan DPD sudah mencapai klimaksnya 238 anggota?. Mestinya DPD ketika itu sudah bisa mendesak pimpinan MPR untuk menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Tetapi ketika Pimpinan MPR pandai “berkelit” menetapkan tenggat waktu 7 Agustus 2007 untuk menarik atau memberikan dukungan amendemen UUD 1945, DPD justru manut saja dengan keputusan pimpinan MPR yang merugikan DPD itu. Benarkah pihak DPD dirugikan?. DPD rugi karena tenggat waktu sebagaimana ditetapkan oleh pimpinan MPR dukungan amendemen menggembos tinggal 204 anggota majelis, akhirnya pimpinan MPR menyatakan bahwa usulan perubahan konstitusi yang diajukan oleh DPD tidak memenuhi syarat. Artinya usulan amendemen UUD 1945 itu tidak dapat diteruskan alias terhenti ditengah jalan. Sebenarnya, memang gagalnya amendemen inilah yang dikehendaki oleh MPR, sebab konsekuensi dari amendemen kelima UUD 1945, jelas akan menempatkan kesejajaran DPD dengan DPR, hal lain pimpinan MPR secara permanen akan dibubarkan. Dengan gagalnya amendemen itu, menjadi sia-sia belaka usaha DPD untuk mewujudkan amendemen UUD 1945 selama ini. Terkait dengan tulisan ini (baca: artikel saya di Media Indonesia tanggal 29 Mei dan 11 September 2007 dengan judul: “MPR Perlu Belajar Hukum Perjanjian”, Dan: “Refleksi 3 Tahun Kelahiran DPD”). Bukankah pimpinan MPR terdiri dari dua unsur DPD dan dua unsur DPR?. Mengapa DPD diam seribu bahasa manut dengan keputusan pimpinan MPR yang merugikan itu?. Bukankah dalam rangka persiapan menghadapi amendemen UUD 1945 anggota DPD telah kenyang diberi pembekalan oleh para pakar di hotel Novotel Bandung?. Mengapa DPD masih keblinger?. Oleh karena itu, untuk usulan amendemen berikutnya, DPD tidak boleh hanya mahir “berkelakar”, hal penting yang perlu dilakukan DPD yaitu, giat belajar agar tidak dikebiri oleh MPR (unsur DPR).
Sambil menunggu disahkannya UU Susduk, untuk pimpinan MPR dan jajaran Sekretariat Jenderal MPR hanya bisa memanjatkan do’a. Berdo’alah, agar pimpinan MPR secara permanen tetap dipertahankan alias tidak dibubarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19