Selasa, 23 Desember 2008

Secara Hukum Dapatkah Presiden Membubarkan DPD



Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat




      Masih segar ingatan kita, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR menggelar sidang perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Hasil perubahan itu, antara lain yakni membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Ironisnya, MPR membubarkan DPA, sisi lain membarter menukargantikan dengan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pertanyaannya, apa beda DPA dengan DPD?. Jika melihat dari teks redaksionalnya, sepintas kelihatan berbeda. Tetapi jika kita kaji lebih lanjut dari aspek normatifnya, kedua lembaga Negara ini pada hakekatnya mempunyai fungsi dan peran sama saja dalam sistim ketatanegaraan. Persamaannya, baik DPA maupun DPD adalah lembaga yang tidak diberi kewenangan oleh konstitusi, keberadaannya hanya diposisikan memberikan pertimbangan dan pendapat yang tidak berimplikasi yuridis jika pertimbangan dan pendapat itu tidak ditindaklanjuti oleh yang menerima pertimbangan.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Untuk Apa DPD?

      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini ‘dihidangkan’ jika keberadaannya tidak bermanfaat?. Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asal kegiatan itu tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan ini.

Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.

      Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Itikad tidak baik kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan konsensus atau lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amendemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya.
      Kegagalan amendemen UUD 1945, tidak menjadikan DPD kapok (patah semangat). DPD kini berjuang kembali mengusung perubahan UUD 1945 yang tidak terbatas hanya kepada penguatan kelembagaannya, tetapi perubahan yang akan disajikan secara komprehensif. Kegagalan amendemen UUD 1945 waktu itu, disebabkan DPD bertepuk sebelah tangan, alias amendemen gagal karena tidak didukung mayoritas anggota MPR unsur DPR. Argumentasi DPR klasik, yaitu, usulan perubahan UUD 1945 yang disusun oleh DPD tidak diajukan secara komprehensif terbatas hanya kepada penguatan lembaga DPD.

Antara Dibubarkan Atau Dipertahankan

      1 Oktober 2004 sejak anggota DPD dilantik, sudah hampir lima tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah-setengah atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa tuan-tuan mudah membuat UUD ketinggalan zaman dan cepat usang (verouderd)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuan-tuan melahirkan lembaga Negara DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19