Selasa, 03 Februari 2009

Pendekar "Parlemen Bermata Satu"

Pendekar "Parlemen Bermata Satu"

Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri


          Model apakah sesungguhnya sistem ketatanegaraan yang diterapkan parlemen ala Indonesia ini?. Orang yang memahami sistem ketatanegaraan dengan baik, tentu tidak akan bisa menjawab model ketatanegaraan Indonesia yang confuse ini. Pasalnya, jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD disebut pengimbang DPR kenyataannya keberadaan DPD lemah lunglai tidak berdaya jika sewaktu-waktu berhadapan dengan DPR. Sebab amendemen UUD 1945 tidak menjadikan lembaga DPD strong bicameralisme setara dengan DPR. DPD hanya soft bicameralisme. Jika ada yang menyebut sistem parlemen kita unikameral, hal ini keliru besar, karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD menjadikan parlemen tetap bermata satu alias menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan penuh di MPR. Peran DPD mandul di MPR.
         DPD adalah lembaga negara hasil perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2001. Ironis keberadaan DPD, dilahirkan tetapi hanya dipasangi nafas buatan oleh MPR melalui konstitusi. Pernafasan buatan itu sengaja dipasang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui rumusan konstitusi. MPR (baca: 550 anggota DPR di MPR) merasa kapan pun bisa mencabut pernafasan buatan itu. Pemasangan nafas buatan itu berupa tidak memberikan kewenangan yang memadai kepada DPD layaknya lembaga-lembaga negara yang lain. Nafas buatan itu juga dapat diterjemahkan jumlah anggota DPD tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi itu adalah 1/3 jumlah anggota MPR.Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128. Darimana DPD menggenapi syarat 1/3 (226 anggota) MPR?. Tentu DPD harus "Merayu DPR" agar bersedia memberikan dukungannya. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini jelas akan membuat susahpayah DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amendemen UUD 1945.
         Pada 1 Oktober 2009 mendatang masa bhakti keanggotaan DPD-RI periode 2004-2009 akan tamat sudah. Berkontemplatiflah sejenak tentang keberadaan DPD ini. Apa sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga ini?. Dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab issu-issu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Hal itu, jika DPD masih ingin memperoleh simpati pemilihnya di pemilu 2009. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD menjalankan tugas konstitusionalnya hanya memakai "kaca mata kuda", sehingga tidak dapat membuat terobosan-terobosan baru yang bersifat progressif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaan yang wajib dijawab oleh DPD, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan?.

Gebrakan positif DPD.

         Disamping kelemahan DPD sebagaimana diutarakan diatas, secara proporsional, kita juga harus memberikan apresiasi kepada DPD. Apresiasi itu kita berikan kepada DPD karena saat ini telah melakukan terobosan baru melahirkan konvensi dalam sistem ketatanegaraan. Dimana setiap tanggal 23 Agustus DPD mengadakan sidang paripurna khusus dengan mengundang Presiden, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Walikota, dan DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia untuk menghadiri pidato presiden tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Sidang Paripurna khusus tersebut pada akhirnya tidak bermanfaat, penyebabnya adalah tidak ada tindaklanjut dari DPD mengumpulkan pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif tersebut. Namun demikian, sidang paripurna khusus tersebut sedikit dapat mengangkat harkat dan martabat Dewan Perwakilan Daerah yang selama ini dianggap publik "antara ada dan tiada". Setidaknya sidang paripurna khusus itu dapat mengenalkan DPD kepada publik. Sebagaimana konsepsi publik sekarang lebih mengenal DPD itu sebagai Dewan Pimpinan Daerah ketimbang Dewan Perwakilan Daerah. Kalau kepanjangan MPR dan DPR tidak perlu dipertanyakan. Dari mulai anak SD, SLTP, SMU dan Perguruan tinggi bahkan sampai kakek dan nenek dikampung-kampung sudah mengenalnya.

Sosialisasi DPD

        Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Sosialisasi DPD yang dilakukan setiap Jum’at melalui radio SMART FM selama ini kurang menggema. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini DPD sedikit akan dikenal oleh masyarakat.

     Menginjak dewasa, DPD saat ini menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amendemen UUD 1945 protes menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya. Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memiliki arti (meaningless).
        Usulan perubahan UUD 1945 yang pernah digagas DPD digembosi oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya, padahal usulan perubahan UUD 1945 itu telah mencapai 238 anggota MPR, dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 (226 anggota MPR) dari keseluruhan jumlah 678 anggota MPR. Kegagalan amendemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang manut dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amendemen. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan menggembos tinggal 204 anggota,sehingga kesempatan bagi MPR untuk menyatakan usulan amendemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amendemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi dipelintir oleh pimpinan MPR untuk menarik atau memberikan dukungan amendemen?..
      Hal lain kegagalan amendemen UUD 1945 juga disebabkan karena pada saat anggota membuat perjanjian memberikan dukungan amendemen UUD 1945 tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah notaris. Usulan amendemen dalam bentuk perjanjian tersebut hanya dibuat dibawah tangan yang di legalisir oleh notaris (notaris melakukan pengesahan kecocokan foto copy sesuai dengan surat aslinya). Agar supaya anggota DPR yang telah memberikan dukungan amendemen tidak mudah untuk menarik, setidak-tidaknya usulan perjanjian amendemen itu di legalisasi (notaris mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus). Jika saja DPD membuat perjanjian usulan amendemen kepada anggota majelis (baca: kepada anggota DPR) dihadapan langsung notaris, maka akta itu berkekuatan otentik. Syarat-syarat akta otentik harus memenuhi unsur-unsur berikut: a. bentuknya ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang; c. dan ditempat dimana akta tersebut dibuat. Apabila unsur-unsur itu telah terpenuhi, maka akta otentik tersebut memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat di dalamnya. Akta otentik memiliki tiga pembuktian kekuatan yaitu: a. aspek formal, artinya, bentuknya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang; b. aspek materiil, yaitu orang tidak dapat memungkiri akta yang sifatnya otentik kecuali dapat membuktikan sebaliknya; c. aspek lahiriah, artinya, apabila sewaktu-waktu terjadi sengketa di pengadilan, maka, akta tersebut akan dapat membuktikan kebenaran dirinya sendiri. Meskipun perjanjian itu sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19