Senin, 02 Februari 2009

Lembaga Rechtsverwerking



Oleh Warsito, SH., M.Kn
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Konsultan Pertanahan
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD-RI




      Jika Tap MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan, maka, sengketa Pertanahan Meruya Selatan dapat dicairkan melalui Ketetapan MPR tersebut. Pasalnya Tap MPR tersebut sebagai landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang derajatnya mengalahkan UU. No. 5 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA). Sementara itu di dalam Pasal 2 Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
      Sayangnya, Ketetapan MPR yang dibuat manis tersebut, kini bukan lagi bagian dari tata urutan peraturan perundang-undangan, karena berdasarkan UU. No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hierarki TAP MPR tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (dahulu status TAP MPR berdasarkan TAP III/MPR/2000 posisi ke-2 setelah UUD 1945). Sengketa Pertanahan Meruya Selatan antara H. Djuhri dengan PT. Portanigra yang dimenangkan PT Portanigra oleh Mahkamah Agung dengan reasoning girik yang dipegang oleh PT PORTANIGRA yang asli mengejutkan para ilmuwan hukum pertanahan dan sekaligus membuat resah warga Meruya Selatan yang telah memperoleh hak dengan itikad baik. Sebagaimana diketahui asas Hukum Tanah Nasional (HTN) kita, bersumber pada hukum adat. Jual beli tanah dalam hukum adat dikenal dengan istilah: Riil, tunai dan terang. Riil artinya warga Meruya Selatan tersebut nyata-nyata telah membeli tanah tersebut. Sedangkan tunai artinya jual beli tanah tersebut telah dibayar dengan tunai. Sementara yang dimaksud dengan terang adalah pembuatan akta jual beli tanah tersebut telah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sebagai tanda bukti haknya diberikan sertipakat yang diterbitkan oleh BPN sebagai organ Negara kepanjangan tangan dari pemerintah.
     Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 32 PP. 24/97 tentang Pendaftaran Tanah: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Publikasi Pertanahan

      Di negara manapun dikenal dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat diganggu gugat, dalam hal publikasi positif ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena diterbitkan sertipikat baru atas nama pembeli yang terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura. Kedua, publikasi negatif, dalam publikasi negatif ini negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak bersengketa yang akan mengadakan research untuk membuktikan kebenarannya. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Menganut Publikasi Pertanahan yang Mana?.

       Sistem hukum Indonesia soft, alias lemah. Kelemahan Hukum Indonesia tidak terbatas pada Hukum Tata Negara Indonesia yang antara lain melahirkan lembaga Negara Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetapi tidak memberikan kewenangan. Pelemahan hukum kita juga terjadi pada Hukum Tanah Nasional (HTN). Pendaftaran Tanah Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif murni. Lantas Indonesia menganut publikasi pertanahan apa?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Negara ambivalensi. Disisi lain negara memberikan sertipikat yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 2 UUPA), sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di Pengadilan. Pasal 19 UUPA mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan yuridis pemerintah agar kasus pertanahan tidak semakin merebak.

         Kelemahan Sistim publikasi negatif adalah, pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga aquisitieve verjaring atau adverse possession.

Lembaga Hukum Adat Rechtsverwerking

        Hukum Tanah Nasional kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga aquisitieve verjaring, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat ada lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu, lembaga Rechtsverwerking.
Rechtsverwerking artinya, dalam hukum adat jika seseorang sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka, hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sejalan dengan lembaga ini.
       Jika para hakim yang mengadili sengketa antara PT. PORTANIGRA dengan H. Djuhri dengan obyek pertanahan Meruya Selatan ini benar-benar memahami Lembaga hukum adat yang bernama Rechtsverwerking, maka, putusan Mahkamah Agung tidaklah memenangkan PT. PORTANIGRA sekalipun alas haknya berupa girik sebagai yang asli. PT. PORTANIGRA harus dianggap sekian tahun telah menelantarkan tanahnya, maka sesuai UUPA tanah tersebut musnah dan jatuh kepada Negara. Selain tidak sejalan dengan UUPA dan Lembaga hukum adat rechtsverwerking, putusan Mahkamah Agung juga bertentangan dengan hukum tanah nasional kita yang bersumber pada hukum adat yang menganut asas jual beli: Riil, tunai dan terang. Lebih dari itu, putusan Mahkamah Agung tidak progressif. Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan PT. PORTANIGRA benar-benar mengagetkan dunia hukum pertanahan, selain tidak menciptakan asas kemanfaatan hukum (zwechtsmassikheit) bagi masyarakat Meruya Selatan, hakim dianggap telah gagal menjalankan tugas sucinya yang putusannya memuat irah-irah yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19