Selasa, 20 Oktober 2015

MENGGAGAS AMANDEMEN KELIMA DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA





Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
ABSTRAK
Kegaduhan wacana amandemen kelima konstitusi memantik perhatian publik. Usulan amandemen konstitusi selalu gencar diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bersebab, lembaga negara ini dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh UUD 1945. Ketiga fungsi yang dimiliki DPD, baik fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan apabila tidak ditindaklanjuti oleh DPR tidak memiliki implikasi yuridis. Dalam batas penalaran logis, untuk apa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melahirkan lembaga negara DPD, tetapi produknya tidak memiliki arti (meaningless). MPR telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002, hasil amandemen antara lain, membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sisi lain, MPR menukargantikan DPD yang secara substantif sama dengan DPA. Bedanya, jika pertimbangan DPA diberikan kepada presiden, tetapi, pertimbangan DPD diberikan kepada DPR. Persamaannya, keduanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Wajar, dari periode ke periode DPD yang gaduh dan gencar mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya agar kuat dan sejajar dengan DPR (strong bicameralisme). Selama ini, DPD praktis sebagai lembaga negara asessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali mengemuka setelah tahun 2007 gagal dilaksanakan. Perubahan konstitusi diharapkan tidak secara parsial terkait penguatan kelembagaan DPD, tetapi perubahan yang bersifat komprehensif termasuk menata ulang organ-organ kelembagaan negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (cheks and balances). Dengan demikian, konstitusi yang dihasilkan dapat menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, tidak mudah lapuk dan usang dimakan zaman (verourded).
Kata Kunci: Amandemen UUD 1945, DPD meaningless, cheks and balances.













1.1. Pendahuluan

Sebagai buah reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Sayangnya , ketika melakukan perubahan UUD 1945 yang terpikirkan bagaimana membatasi kewenangan presiden. Keinginan ini dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan UUD 1945 yang memposisikan presiden sebagai pusat penyelenggaraan negara (concentration of power and responsibility upon the president). Sebagai pengganti, pengubah UUD 1945 memindahkan pendulum kekuatan itu ke DPR.
Gerakan reformasi pada tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru.
Dalam Panduan Memasyarakatkan UUD 1945 , era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan mempunyai akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, bertujuan antara lain:
a. amandemen UUD 1945;
b. penghapusan dwi fungsi ABRI;
c. penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e. mewujudkan kebebasan pers;
f. mewujudkan kehidupan demokrasi.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut:
“DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR menjadi permasalahan karena usulan dari DPD tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang. Banyak pakar hukum tata negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD “terbatas”. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika disimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD, baik: fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan kepada DPR, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak mengikat untuk diterima DPR. Kelahiran DPD selain dipersepsikan publik “antara ada dan tiada” produknya juga tidak memiliki arti menjadikan problematika isi konstitusi.
Hasil reformasi konstitusi menghasilkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD 1945). Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan Indonesia sebagai pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 dirubah terakhir UU. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kelemahan hasil amandemen UUD 1945 selain melahirkan DPD tidak bermanfaat, juga dapat mengacaukan konstitusi, antara lain rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tentang mekanisme Pilkada yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam pelaksanaannya menjadi masalah. Usulan amandemen konstitusi yang diajukan oleh DPD selain untuk memperkuat kelembagaannya, juga ingin memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden agar dapat bertarung dalam arena Pilpres seperti halnya, pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang membolehkan calon perseorangan ikut berlaga di Pilkada.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan DPD selama ini kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR untuk mengamandemen konstitusi? .
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya undang-undang yang terkait dengan kepentingan daerah sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
3. Langkah-langkah apakah yang harus ditempuh, jika MPR unsur DPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi?.

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan DPD selama ini kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR untuk mengamandemen konstitusi.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya undang-undang yang terkait dengan kepentingan daerah, juga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara.
3. Langkah-langkah yang ditempuh, jika MPR unsur DPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi.

Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Konstitusi
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda menyatakan , secara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Menurutnya, dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Peradilan yang bebas dan mandiri;
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Ke empat prinsip atau ajaran diatas merupakan “maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip diatas, namun tidak di implementasikan dalam praktek penyelenggaraan negara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional. Sedangkan Wirjono Projodikoro (1989:10) masih di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:7) istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sementara itu, Sri Soemantri (1987:1), di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:9) dalam mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet (Undang-Undang Dasar), diatas, L.J. Van Apeldoorn membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.

Metodologi
3.1. Pengertian Metodologi
Pengertian metodologi adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Pada bab ini adalah bagian dari epistemologi amandemen konstitusi yang menjadi fokus penelitian mengapa gagasan DPD untuk mengusung amandemen kelima UUD 1945 tidak mudah menembus benteng keperkasaan DPR. Dalam penelitian tentang amandemen konstitusi ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan maksud mendapatkan teori baru guna memberikan kontribusi bagi perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan di Indonesia. Untuk mengadakan pengkajian penelitian kualitatif, dapat merujuk definisi dari Bogdan dan Taylor (1975:5) di dalam Lexy J. Moleong mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan amandemen konstitusi yaitu: UUD 1945; Risalah Sidang BPUPKI; Risalah Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002.

Hasil Dan Pembahasan
4.1. Pembahasan
Usulan perubahan kelima UUD 1945 yang digagas DPD pada tahun 2007, telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Ketika itu anggota MPR berjumlah 678 (550 anggota DPR dan 128 anggota DPD), dengan demikian sudah memenuhi syarat 1/3 usulan perubahan konstitusi (Pasal 37 ayat {1} UUD 1945). Usulan dukungan amandemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen menjadi berkurang.
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga sidang majelis gagal mengagendakan perubahan UUD 1945. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnya melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya, dukungan amandemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 37 UUD 1945).
Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD saat ini hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus mengingat jumlah anggota DPD tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkan. Apabila hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hidup ditengah-tengah masyarakat (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka, cepat atau lambat, konstitusi akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3 nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang interpretasi hukum bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

4.2. Hasil
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD selama ini sudah sebelas tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga negara ini, apakah bermanfaat untuk rakyat atau tidak? Lembaga DPD selama ini bekerjanya hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan Tata Tertib DPD, sedangkan produknya tidak bernilai. Jangan biarkan DPD diposisikan hanya sebagai lembaga negara assessories dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik dibubarkan saja. Jika ingin mempertahankan DPD, konsekuensi logisnya harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Masih ada kesempatan bagi DPD untuk meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang akan diusung bukan semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi sebagai bentuk pengabdian dalam rangka mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Kesimpulan Dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulannya, MPR dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi Konstitusi MPR periode 1999-2004 perlu dibuka kembali untuk mengamandemen UUD 1945 agar kelembagaan negara menjadi lebih baik. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, lahirlah Ketetapan MPR untuk mengkaji secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 dimaksud.
5.2. Saran
1. Yang menyebabkan selama ini DPD kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR mengamandemen konstitusi, bersebab, jumlah anggota DPD hanya 132 orang, tidak ada 1/3 jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Keniscayaan mengamandemen UUD 1945 memposisikan jumlah anggota DPR dan DPD menjadi berimbang.
2. DPD tidak dapat membuat produk dalam bentuk undang-undang disebabkan tidak memiliki kewenangan ikut memutuskan undang-undang. Selama ini fungsi DPD terbatas hanya mengajukan rancangan undang-undang kepada dan muaranya ditangan DPR. Merupakan keniscayaan MPR memberikan kewenangan kepada DPD ikut memutuskan undang-undang jika lembaga negara ini ingin dipertahankan.
3. MPR selama ini tidak terkesan serius merubah UUD 1945 terkait penguatan kelembagaan DPD. Sebab, didalam MPR mayoritas anggota DPR ada dugaan kuat akan menghadang amandemen UUD 1945. Dampak amandemen konstitusi kewenangan DPR menjadi dimadu bersama DPD. Namun, jika MPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi, atas kuasa Pasal 7C UUD 1945, sesungguhnya presiden dapat membubarkan DPD. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 7C UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Presiden tidak dapat membekukan/membubarkan DPR.
4. Amandemen UUD 1945 agar dapat menyeimbangkan antara kekuasaan presiden dengan kekuatan DPR. Pasca amandemen UUD 1945 pendulum kekuatan dipindahkan ke DPR, sebelumnya kepada kuasa presiden. Pasca amandemen UUD 1945 kekuasaan presiden terbelenggu dalam memilih pejabat negara yang menjadi hak prerogratifnya justru memerlukan persetujuan DPR.







DAFTAR PUSTAKA



Jujun S. Suriasumantri. (2000). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

















Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. (2003). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.

(http://www.unand.ac.id/images/berita/download/Term_Of_Reference.pdf).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Peran Pancasila dalam Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

  Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila, secara eksplisit Pancasila tidak disebutkan didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19