Kamis, 10 September 2015

DPD diperkuat Atau Dibubarkan?



DPD diperkuat Atau Dibubarkan?
Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

Para pakar ketatanegaraan, peneliti, dan akademisi, nampaknya sudah mulai redup, atau bahkan sudah bosan menyuarakan agar keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ditinjau ulang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pasalnya, selama ini, kedudukan DPD sebagai lembaga Negara “antara ada dan tiada” dalam batas penalaran logis untuk apa dilahirkan, jika produknya tidak memiliki arti (meaningless).
DPD adalah lembaga negara yang dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali, dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain . MPR yang jumlah anggotanya 692 (560 dari anggota DPR) merasa kapan pun bisa membubarkan DPD. Pelemahan DPD juga dapat disimak dengan saksama mengenai jumlah anggota DPD yang tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi adalah 1/3 jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132. Darimana DPD dapat menggenapi syarat 1/3 dari 692 anggota MPR jika sewaktu-waktu ingin mengusulkan perubahan UUD 1945?. Tentu DPD harus berjuang keras dan "Merayu DPR" untuk memberikan dukungan usulan amandemen yang digagas oleh DPD. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini akan membuat pontang-panting DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, hasil amandemen UUD 1945 MPR melahirkan lembaga Negara bernama DPD yang secara substansial fungsinya sama saja dengan DPA sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan atau pendapat itu tidak ditindaklanjuti.
Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Melalui UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), TAP MPR kembali sebagai hierarki peraturan perundang-undangan. Pasca amandemen UUD 1945, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Pada 1 Oktober 2015 usia DPD genap menginjak sebelas tahun. Mari berkontemplatif sejenak tentang keberadaan DPD. Apakah sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga Negara ini untuk rakyat, dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya?. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab isu-isu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD hanya menjalankan tugas konstitusionalnya tetapi tidak melakukan terobosan-terobosan baru yang progresif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan selama ini?.
Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini DPD akan dikenal luas oleh masyarakat.
Menurut Sri Soemantri, salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasr 1945 ialah dibentuknya badan baru yang bernama DPD. Dalam ketentuan lama (sebelum diubah), tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam undang-undang yang kemudian ditetapkan yang dimaksud dengan utusan-utusan dari daerah-daerah ialah wakil dari provinsi-provinsi yang jumlahnya antara 4 (empat) sampai dengan 8 (delapan) orang, tergantung dari jumlah penduduk warga Negara di masing-masing provinsi. Hal ini dituangkan dalam undang-undang.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan prinsip yang mendasari bangunan parlemen Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 berkembang dari anutan prinsip supremasi parlemen dan pembagian kekuasaan (distribution of power) ke prinsip pemisahan kekuasaan (sparation of power) dan “check and balances”. Sejak perubahan pertama UUD 1945 MPR tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi Negara yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga lainnya. Di bidang legislatif terdapat tiga institusi, yaitu MPR, DPR, dan DPD, ditambah dengan BPK yang juga berfungsi sebagai instrumen kontrol di bidang keuangan Negara. Di bidang yudikatif, terdapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung disertai Komisi Yudisial yang berfungsi dalam rangka rekruitmen hakim dan kontrol atas integritas dan kehormatan para hakim dengan kemungkinan mengusulkan pemberhentian mereka. Sedangkan dibidang eksekutif, terdapat jabatan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Lembaga-lembaga yang menyandang ketiga cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif tersebut diatas, diletakkan diatas basis pengaturan yang sederajat satu sama lain, dan mempunyai hubungan yang saling mengandalkan satu sama lain dalam rangka menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan demokrasi.
Masih menurut Jimly, MPR sebelumnya dianggap merupakan penjelamaan seluruh rakyat, dan karena itu sistem rekruitmen anggotanya ditentukan berlapis-lapis dengan mengendalikan tiga pilar perwakilan, yaitu melalui prosedur perwakilan politik (Political representation), utusan daerah (perwakilan daerah= regional representation), dan utusan golongan (perwakilan fungsional=functional representation). Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena itu, (1) hakekat perwakilan daerah pada DPD dan hakekat perwakilan rakyat pada DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakekat perwakilan daerah dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur rekruitmenya. Calon DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan oleh partai politik. (3) Karena hakekat DPD terkait erat dengan kepentingan daerah, maka fungsi-fungsi yang dimilikinya seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi pertimbangan dikaitkan secara khusus dengan kepentingan daerah atau berkenaan dengan hal-hal yang mempunyai sangkut paut langsung dengan kepentingan daerah.
Saat ini DPD menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama parlemen di konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amandemen UUD 1945 menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya.
Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memilik arti (meaningless), itulah kajian penulis tentang keberadaan DPD yang anaomali dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan layaknya lembaga-lembaga Negara lain. .
Penulis pernah mengemukakan dalam artikel di Harian Media Indonesia (11/5-2007), bahwa usulan perubahan kelima UUD 1945 pada tahun 2007 sebenarnya inisiator dari DPD, namun dalam perjalanannya dihambat oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya. Tujuan penghambatan tersebut dapat terbaca dengan jelas, DPR tentu tidak ingin DPD menjadi lembaga Negara kuat dan sejajar kelembagaannya, yang akan menjadi rivalnya dalam pertarungan legislasi. Padahal usulan perubahan UUD 1945 ketika itu telah mencapai 238 anggota MPR, dari jumlah anggota MPR 678. Dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR 678. Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga kesempatan bagi MPR unsur DPR untuk menyatakan usulan amandemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan keluar, apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amandemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi disalahgunakan oleh pimpinan MPR memberikan keputusan untuk menarik atau memberikan dukungan amandamen?.
Sebenarnya jika anggota MPR unsur DPR patuh hukum, meski perjanjian usulan amandemen sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR. Setelah DPD gagal mengamandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya di dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD tidak kurang akal, sejurus kemudian berpendapat dan mendesak agar calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 lalu tanpa harus melalui perubahan UUD 1945, menurutnya aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. Usulan dari Dewan Perwakilan Daerah agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan diperbolehkan untuk berkompetisi jelas mudah dimentahkan. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/9-2007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undang-undang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang juga tidak dianjurkan, dengan demikian DPD mengambil kesimpulan bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut dilontarkan dengan pedas oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD “Tolong UUD 1945 dibaca secara komprehensif, jangan dipotong-potong, kalau kami katakan DPD enggak mengerti UUD kami kan tidak enak”. (Kompas, 7/9-2007).

Marilah kita menyimak dengan saksama kutipan Ir. Soekarno berikut ini:
Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga1 15 Juli 1945).
Kutipan Ir.Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan karena hanya buatan manusia biasa, sehingga di dalam Pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law). Jadi masih ada ruang untuk amandemen UUD 1945, apakah DPD dibubarkan atau dipertahankan dengan diberi wewenang.
Dewan Perwakilan Daerah yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika sendiri di dalam konstitusi. Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balances) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah analoginya anak lahir kondisi sudah “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas konstitusionalnya secara maksimal.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.
Sikap Kenegarawanan
MPR tidak perlu ragu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. Hasil amandemen, UUD 1945 juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi disisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang secara substansi mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembaga-lembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD menjadi tidak bernilai (meaningless).
Selain melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang benar adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan pasal 7C UUD 1945 itu sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah membekukan MPR/DPR 21 juli 2001 sehingga dia diturunkan MPR melalui sidang istimewa pada 23 Juli 2001. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur didalam penjelasan.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lemah ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?.
Editorial Media Indonesia 29/12/2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asalkan kegiatan itu tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD kembali agar sesuai dengan paham demokrasi.

Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?
Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Pemasungan kewenangan kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan konsensus atau lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amendemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir limabelas tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU. MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah hati atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa tuan-tuan mudah membuat UUD ketinggalan zaman dan cepat usang (verourded)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuan-tuan melahirkan lembaga Negara DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?.
Pasca amandemen UUD 1945, dipastikan tidak ada satupun anak bangsa yang hafal konstitusi. Hal ini disebabkan, disamping amandemen UUD 1945 hampir menambahkan 300% ayat, hal lain ketidakhafalan pelajar dan mahasiswa diakibatkan oleh kandungan konstitusi yang sudah tercerabut akarnya dari nilai-nilai estetika, sehingga kebanyakan orang segan untuk membacanya apalagi menghafalnya. Berapa jumlah ayat UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan?. Jawabnya 71 ayat. Setelah dilakukan perubahan menjadi 199 ayat, dengan demikian penambahannya 128 ayat.
Dewan Perwakilan Daerah kini mulai sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga Negara lain. Singkatnya DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi, karena yang memutuskan undang-undang adalah DPR bersama presiden..
Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (baca: bukan kewenangan) di dalam Pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Tugas DPD tersebut jika kita mengkaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat bermuara ditangan DPR. Mengapa tidak menyampaikan aspirasi langsung ke DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari ameandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar sejajar dengan DPR memiliki tugas fungsi saling mengontrol.
Adapun Mekanisme Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah diatur secara jelas dan tegas didalam konstitusi.

Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah 692 anggota MPR (DPR 560, DPD 132). Jadi 1/3 nya 692 anggota MPR adalah 230 sebagai syarat usulan perubahan konstitusi untuk diagendakan dalam sidang MPR.
Ayat (2) untuk mengubah Pasal-Pasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (692x2/3)= 461 anggota MPR. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan. Disni pentingnya kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota majelis agar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (692:2+1) dibutuhkan jumlah 347 anggota MPR untuk amandemen konstitusi..
Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amendemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada Pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amandemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak sadar telah membentuk cluster bernama MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MPR itu antara lain adalah menetapkan dan merubah UUD 1945. Seperti itulah gambarannya jika MPR memperkuat kelembagaan DPD akan berdampak kepada konstitusi yang mengatur kewenangan MPR.
Sebenarnya MPR ketika 2007 lalu sudah harus menindaklanjuti dengan saksama
usulan perubahan UUD 1945 yang digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Usulan dukungan amandemen tersebut ternyata fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan,sehingga dukungan amandemen tersebut menjadi berkurang, namun demikian masih dalam batas ambang memenuhi persyaratan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan malah menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnysa MPR melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian tersebut mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya dukungan amendemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini juga agar DPD dapat berkonsentrasi untuk tahap berikutnya mencapai kourum 2/3 kehadiran jumlah anggota MPR. Dan tahap berikutnya mencapai lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis, putusan untuk merubah UUD 1945 agar kelembagaan DPD dapat kuat sejajar dengan lembaga DPR.
Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (baca: pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Lex superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR. DPD perlu memahami bahwa yurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden. Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD. Asas kehati-hatian ini penting dimiliki DPD, agar tidak terperosok ke dalam lubang untuk kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD itu hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari seluruh jumlah 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya adalah persyaratan kourum kehadiran rapat 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Kegagalan amandemen UUD 1945 dan kegagalan menggagas Capres dari unsur perseorangan untuk diwadahi dalam undang-undang, bukan duka terakhir untuk DPD. Usulan DPR agar judul undang-undang pemilu memberi pemisahan antara lembaga legislatif dan DPD, menambah lengkap duka DPD. Usulan DPR itu mendapat reaksi keras dari pimpinan dan anggota DPD (Media Indonesia 21/9-2007). Pemisahan lembaga DPD dengan legislatif, membuat berang sebagian anggota DPD yang merasa kelembagaannya itu dilecehkan. Tanggapan itu dilontarkan oleh Ketua DPD 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita, “kalau DPD dianggap bukan bagian dari legislatif, lantas lembaga apa?. Eksekutif pasti bukan, yudikatif? Apalagi pasti bukan. Audit jelas juga bukan itu tugas BPK. Pertimbangan?. Tentu bukan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden. Penasehat seperti DPA? Jelas bukan karena penasehat tidak dipilih oleh rakyat. Menurut Ginanjar penasehat itu diangkat oleh yang dinasehati” tanya Ginandjar (Media Indonesia 21/9-2007). Senada dengan itu anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yang juga Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud kala itu mempertanyakan motivasi dibalik usulan tersebut, Aksa Mahmud meminta “kalau bukan legislatif bubarkan saja”. Masak DPD lembaga eksekutif. Ini ada apa?. Tegasnya di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta ( Media Indonesia 2/9-2007). Tanpa upaya pendelegitimasian DPD, pada hakekatnya peran dan fungsi DPD itu sudah dipasung oleh konstitusi, DPR tidak perlu menambahi pelengkap derita DPD dengan mengusulkan pemisahan DPD dari lembaga legislatif.
Keteledoran melahirkan lembaga DPD dampaknya luar biasa dahsyat, yaitu, uang rakyat akan terkuras untuk kegiatan operasional dewan dan Sekretariat Jenderalnya sedangkan produknya tidak bernilai (meaningless).
MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan MPR tidak cermat ketika merubah UUD 1945, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dewan Perwakilan Daerah kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai kekuatan penuh di parlemen. Tugas dan fungsi DPD dirumuskan dalam Pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaannya hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Yang menjadi permasalahan sekarang, beranikah DPR dengan sikap kesatria memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan ataukah sebaliknya politik yang dikedepankan. Apabila jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis. Begitulah idealnya jika MPR ingin merubah UUD 1945.

Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 37 UUD 1945). Ini perlu dipahami seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Mari kita simak Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang keras untuk melakukan amandemen kelima UUD tetapi belum berhasil. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, apakah DPD dipertahankan diberi kewenangan ataukah dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Bangga Anak Saya Diterima di IPB Jurusan Kimia

  Siapa orang tua yang tidak bangga dan terharu anaknya dapat diterima di PTN ternama. Hari yang membanggakan pada tahun 2016 itu akhirnya t...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19