Oleh WARSITO
Kandidat
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama, Jakarta
Pada
hari, Rabu, tanggal 8 Juli 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK), melalui
Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah mencabut haramnya dinasti politik keluarga
petahana mengikuti Pilkada. Putusan MK tersebut dipuji sekaligus dicaci.
Dipuji, oleh orang-orang yang hak asasinya dipasung tidak diperbolehkan
mengikuti Pilkada. Dicaci, oleh orang-orang yang menghendaki politik kekerabatan (nepotisme) segera
diakhiri. Berangkat dari Pro kontra putusan MK, masing-masing memiliki
argumentasi, baik dari perspektif politik maupun kajian hukum ketatanegaraan. Putusan
Mahkamah Konstitusi untuk menganulir larangan keluarga petahana mengikuti
Pilkada sudah tepat dan perlu diapresiasi, karena yang diputuskan menyangkut
norma konstitusionalitas hak dasar sebagai warga Negara. Larangan keluarga petahana
ikut serta Pilkada, dianggap memiliki konflik kepentingan, kelihatannya aturan
yang baik untuk menghindari nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power), kita tidak menutup
mata memang adanya pelanggaran seperti itu. Akan tetapi, pemasungan hak asasi oleh
orang lain akan mengacaukan konstitusi dan hukum ketatanegaraan Indonesia, dan
dipastikan bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal-Pasal UUD 1945 berikut ini
dilanggar MK, jika larut mengikuti opini publik memutuskan larangan keluarga
Petahana ikut Pilkada.
Pertama,
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kedua,
Pasal 28D Ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”.
Ketiga,
Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: “Setiap Warga Negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Ke
empat Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: “setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pasal
7 huruf r UU No 8 Tahun 2015,
perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang ingin membatasi calon Pilkada bagi
keluarga Petahana tidak ada dasar hukum yang membenarkan, maka harus ditolak.
Oleh karena itu, meski aturan larangan keluarga Petahana mencalonkan Pilkada sudah
lolos melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, MK yang memilki kewenangan menguji UU
terhadap UUD 1945 harus menganulir isi Undang-Undang yang secara filsafati dibuat tidak memenuhi kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lolosnya larangan keluarga petahana
mengikuti Pilkada diatur didalam Pasal 7
huruf r Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada, akibat kecerobohan pembuat
Undang-Undang tidak memenuhi
kaidah-kaidah yang telah ditentukan oleh UU P3 (UU No 12 Tahun 2011, Tentang
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Amanat pasal 6 Undang-Undang
tersebut menyatakan, bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e.
kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Batas
Penalaran Logis
Jika
MK mengabulkan larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada, justru menciptakan
ketidakpastian hukum. Dalam batas penalaran logis, jika orang tuanya sebagai
bupati/walikota atau gubernur melakukan korupsi, apakah anak-anaknya yang tidak
berdosa harus ikut dihukum gantung? Adilkah Pasal-Pasal yang mengatur
demikian?. Jika dicari sampai kepala botak pun tidak akan pernah menemukan aturan
hukum yang keblinger itu.
HAM Universal dan Partikulatif
Pasal
28J Ayat (2)berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
perlindungan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis”. Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditutup pada Pasal
tersebut adalah perluasan hakekat Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh
ditafsirkan sembarangan. Memahami Hak Asasi Manusia tidak sekadar membaca teks
redaksional UU maupun UUD 1945, tetapi harus terintegrasi, holistik dan
komprehensif agar menemukan makna filosofi yang terkandung hakekat dari isi Hak
Asasi Manusia itu sendiri.
Sebagai contoh sederhana, merokok adalah hak
asasi setiap orang, tetapi jika dilakukan disembarangan tempat bukan di area
khusus merokok, tentu tidak boleh dilakukan. Apalagi ketika merokok disampingnya
ada ibu-ibu sedang hamil, maka hak asasi ibu tersebut terlanggar. Berarti hak
asasi setiap orang itu dibatasi. Analogi lain, demonstrasi besar-besaran mahasiswa,
adalah hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang, tetapi dalam menjalankan hak
asasi harus menghormati hak asasi orang lain, tidak boleh menutup jalanan, karena
akan menimbulkan gangguan lalu lintas. Apalagi dalam unjuk rasa tersebut
melakukan tindakan anarkis, dengan membakar ban-ban mengakibatkan polusi
asapnya akan membahayakan kesehatan jiwa, lebih kriminal lagi jika dibarengi dengan
membakar mobil, selain melanggar hak asasi orang lain, juga mengganggu keamanan
dan ketertiban umum di masyarakat. Bisa dibayangkan, jika mahasiswa yang sedang
unjuk rasa menutup jalanan, sedangkan ada mobil ambulan yang ingin lewat
membawa orang sakit, atau orang yang sedang hamil tua, maka akan terhalang
jalanannya. Contoh-contoh diatas, adalah HAM yang sifatnya dapat diterapkan
secara universal.
Bahwa
Pasal 28J ayat (2) menurut Ikrar Nusa Bhakti dapat digunakan membatasi peserta
Pilkada dari keluarga Petahana, itu tidak tepat, dan beda kontek, jika dikaitkan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Mengkaji pengertian Hak Asasi Manusia, harus
dalam perspektif universal dan sisi partikulatifnya. Penting untuk disimak
dengan saksama, bahwa Pasal HAM, selalu diawali dengan kalimat “setiap orang” (individu), bukan setiap
keluarga (yang memiliki hubungan darah) atau tali perkawinan. Yang
dimaksud setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang adalah meski seseorang berhak
hidup bebas kemana dia suka, tetapi ketika dia diputus pengadilan bersalah
secara hukum dan masuk penjara, maka, kebebasannya dibatasi oleh Undang-Undang,
ia tidak bisa menghirup udara bebas, harus mengikuti aturan umum yang berlaku di
penjara. Meski calon kepesertaan Pilkada dari keluarga Petahana
dibatasi/dilarang oleh Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Pilkada yang menyatakan calon peserta Pilkada tidak memiliki konflik
kepentingan dengan Petahana, tetapi secara hirarki, ada keputusan yang lebih
tinggi, yaitu, Putusan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945 yang membolehkan keluarga Petahana ikut bertarung Pilkada,
putusan MK itu final dan mengikat.
Dalam kaitan ini, Profesor
Ikrar Nusa Bhakti juga gelisah dan mempertanyakan, mengapa tidak ada alur pikir
yang linier antara keputusan hukum dan politik. Perlu diketahui, bahwa hukum
itu adalah produk politik, ketika sudah diputuskan, maka semua orang termasuk
anggota DPR dan Presiden yang membuat Undang-Undang bersama, dan MPR yang
menetapkan UUD 1945 harus tunduk, menghormati dan melaksanakan dengan penuh
rasa tanggung jawab. Keputusan hukum dan kemauan politik tidak harus linier,
sebab, politik punya kepentingannya, sedangkan hukum punya tugasnya, untuk
aspek penegakan hukum. Fiat Justia et Pereat
Mundus (Sekalipun langit akan runtuh hukum harus ditegakkan). Meski opini
publik dan kemauan politik begitu gencar mengharamkan keluarga Petahana ikut bertarung
Pilkada, tetapi, Hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh terpengaruh, apalagi
gentar, MK harus tetap tegar demi
tegaknya cita Negara hukum.
Terakhir,
Ikrar Nusa Bhakti mengutip Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Mengaitkan sistem
Negara Kesatuan jika keluarga Petahana dibolehkan
maju Pilkada, akan menghidupkan Dinasti,
dan berpotensi menuju Negara berbentuk kerajaan, sama sekali tidak ada
hubungannya. Negara Kesatuan yang berbentuk Republik begitu Agung, luhur dan mulianya,
tidak dapat disandingkan dengan pertarungan Pilkada. Karena begitu luhurnya
NKRI, amanat konstitusi, khusus mengenai bentuk NKRI, satu-satunya materi yang
tidak dapat dilakukan amandemen (Pasal 37 Ayat (5) UUD 1945). Sedangkan Makna
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, justru memberikan kesempatan
yang sama kepada keluarga petahana ikut bertarung Pilkada, rakyat berdaulat lah
yang akan menentukan pilihannya dibilik suara, terlepas dari keluarga petahana
atau bukan. Negara Indonesia, kedaulatan berada ditangan rakyat, bukan hukum
yang berdaulat, apalagi politik. Politik itu seni, tidak ada kawan dan lawan
yang abadi, yang ada hanya lah kepentingan. Sedangkan tugas hukum, menegakkan kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan hukum, sekalipun langit akan runtuh. Jadi, keputusan
politik dan keputusan hukum tidak harus selalu linier.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.