Selasa, 26 Januari 2016

Mengapa MK Membolehkan Politik Kekerabatan?


Oleh WARSITO
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta             Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Pada hari, Rabu, tanggal 8 Juli 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah mencabut haramnya dinasti politik keluarga petahana mengikuti Pilkada. Putusan MK tersebut dipuji sekaligus dicaci. Dipuji, oleh orang-orang yang hak asasinya dipasung tidak diperbolehkan mengikuti Pilkada. Dicaci, oleh orang-orang yang menghendaki  politik kekerabatan (nepotisme) segera diakhiri. Berangkat dari Pro kontra putusan MK, masing-masing memiliki argumentasi, baik dari perspektif politik maupun kajian hukum ketatanegaraan. Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menganulir larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada sudah tepat dan perlu diapresiasi, karena yang diputuskan menyangkut norma konstitusionalitas hak dasar sebagai warga Negara. Larangan keluarga petahana ikut serta Pilkada, dianggap memiliki konflik kepentingan, kelihatannya aturan yang baik untuk menghindari nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power), kita tidak menutup mata memang adanya pelanggaran seperti itu. Akan tetapi, pemasungan hak asasi oleh orang lain akan mengacaukan konstitusi dan hukum ketatanegaraan Indonesia, dan dipastikan bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal-Pasal UUD 1945 berikut ini dilanggar MK, jika larut mengikuti opini publik memutuskan larangan keluarga Petahana ikut Pilkada.
Pertama, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kedua, Pasal 28D Ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Ketiga, Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: “Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Ke empat Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015, perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang  yang ingin membatasi calon Pilkada bagi keluarga Petahana tidak ada dasar hukum yang membenarkan, maka harus ditolak. Oleh karena itu, meski aturan larangan keluarga Petahana mencalonkan Pilkada sudah lolos melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada,  MK yang memilki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 harus menganulir isi Undang-Undang yang secara filsafati dibuat tidak memenuhi kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Lolosnya larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada  diatur didalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada, akibat kecerobohan pembuat Undang-Undang  tidak memenuhi kaidah-kaidah yang telah ditentukan oleh UU P3 (UU No 12 Tahun 2011, Tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Amanat pasal 6 Undang-Undang tersebut menyatakan, bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Batas Penalaran Logis
Jika MK mengabulkan larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada, justru menciptakan ketidakpastian hukum. Dalam batas penalaran logis, jika orang tuanya sebagai bupati/walikota atau gubernur melakukan korupsi, apakah anak-anaknya yang tidak berdosa harus ikut dihukum gantung? Adilkah Pasal-Pasal yang mengatur demikian?. Jika dicari sampai kepala botak pun tidak akan pernah menemukan aturan hukum yang keblinger itu.
 HAM Universal dan Partikulatif
Pasal 28J Ayat (2)berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perlindungan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditutup pada Pasal tersebut adalah perluasan hakekat Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh ditafsirkan sembarangan. Memahami Hak Asasi Manusia tidak sekadar membaca teks redaksional UU maupun UUD 1945, tetapi harus terintegrasi, holistik dan komprehensif agar menemukan makna filosofi yang terkandung hakekat dari isi Hak Asasi Manusia itu sendiri.
 Sebagai contoh sederhana, merokok adalah hak asasi setiap orang, tetapi jika dilakukan disembarangan tempat bukan di area khusus merokok, tentu tidak boleh dilakukan. Apalagi ketika merokok disampingnya ada ibu-ibu sedang hamil, maka hak asasi ibu tersebut terlanggar. Berarti hak asasi setiap orang itu dibatasi. Analogi lain, demonstrasi besar-besaran mahasiswa, adalah hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang, tetapi dalam menjalankan hak asasi harus menghormati hak asasi orang lain, tidak boleh menutup jalanan, karena akan menimbulkan gangguan lalu lintas. Apalagi dalam unjuk rasa tersebut melakukan tindakan anarkis, dengan membakar ban-ban mengakibatkan polusi asapnya akan membahayakan kesehatan jiwa, lebih kriminal lagi jika dibarengi dengan membakar mobil, selain melanggar hak asasi orang lain, juga mengganggu keamanan dan ketertiban umum di masyarakat. Bisa dibayangkan, jika mahasiswa yang sedang unjuk rasa menutup jalanan, sedangkan ada mobil ambulan yang ingin lewat membawa orang sakit, atau orang yang sedang hamil tua, maka akan terhalang jalanannya. Contoh-contoh diatas, adalah HAM yang sifatnya dapat diterapkan secara universal.
Bahwa Pasal 28J ayat (2) menurut Ikrar Nusa Bhakti dapat digunakan membatasi peserta Pilkada dari keluarga Petahana, itu tidak tepat, dan beda kontek, jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Mengkaji pengertian Hak Asasi Manusia, harus dalam perspektif universal dan sisi partikulatifnya. Penting untuk disimak dengan saksama, bahwa Pasal HAM, selalu diawali dengan kalimat  “setiap orang” (individu), bukan setiap keluarga (yang memiliki hubungan darah) atau tali perkawinan. Yang dimaksud  setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang adalah meski seseorang berhak hidup bebas kemana dia suka, tetapi ketika dia diputus pengadilan bersalah secara hukum dan masuk penjara, maka, kebebasannya dibatasi oleh Undang-Undang, ia tidak bisa menghirup udara bebas, harus mengikuti aturan umum yang berlaku di penjara. Meski calon kepesertaan Pilkada dari keluarga Petahana dibatasi/dilarang oleh Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada yang menyatakan calon peserta Pilkada tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana, tetapi secara hirarki, ada keputusan yang lebih tinggi, yaitu, Putusan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang membolehkan keluarga Petahana ikut bertarung Pilkada, putusan MK itu final dan mengikat.
Dalam kaitan ini, Profesor Ikrar Nusa Bhakti juga gelisah dan mempertanyakan, mengapa tidak ada alur pikir yang linier antara keputusan hukum dan politik. Perlu diketahui, bahwa hukum itu adalah produk politik, ketika sudah diputuskan, maka semua orang termasuk anggota DPR dan Presiden yang membuat Undang-Undang bersama, dan MPR yang menetapkan UUD 1945 harus tunduk, menghormati dan melaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Keputusan hukum dan kemauan politik tidak harus linier, sebab, politik punya kepentingannya, sedangkan hukum punya tugasnya, untuk aspek penegakan hukum. Fiat Justia et Pereat Mundus (Sekalipun langit akan runtuh hukum harus ditegakkan). Meski opini publik dan kemauan politik begitu gencar mengharamkan keluarga Petahana ikut bertarung Pilkada, tetapi, Hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh terpengaruh, apalagi gentar, MK harus  tetap tegar demi tegaknya cita Negara hukum.
Terakhir, Ikrar Nusa Bhakti mengutip Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Mengaitkan sistem Negara Kesatuan jika  keluarga Petahana dibolehkan maju Pilkada, akan  menghidupkan Dinasti, dan berpotensi menuju Negara berbentuk kerajaan, sama sekali tidak ada hubungannya. Negara Kesatuan yang berbentuk Republik begitu Agung, luhur dan mulianya, tidak dapat disandingkan dengan pertarungan Pilkada. Karena begitu luhurnya NKRI, amanat konstitusi, khusus mengenai bentuk NKRI, satu-satunya materi yang tidak dapat dilakukan amandemen (Pasal 37 Ayat (5) UUD 1945). Sedangkan Makna Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, justru memberikan kesempatan yang sama kepada keluarga petahana ikut bertarung Pilkada, rakyat berdaulat lah yang akan menentukan pilihannya dibilik suara, terlepas dari keluarga petahana atau bukan. Negara Indonesia, kedaulatan berada ditangan rakyat, bukan hukum yang berdaulat, apalagi politik. Politik itu seni, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya lah kepentingan. Sedangkan tugas hukum, menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum, sekalipun langit akan runtuh. Jadi, keputusan politik dan keputusan hukum tidak harus selalu linier.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19