.
Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum,
Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu
Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata
Naskah DPD-RI Tahun 2007
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang
DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi
menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam
tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini
sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’,
dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga
(kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya.
DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan
perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi
maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan
daerah”.
Frasa: “Komisi Konstitusi” (KK), dengan “Mahkamah
Konstitusi” (MK), sering terdengar di samar-artikan oleh khalayak umum. Berdasarkan
TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi diberi tugas untuk melakukan
pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Sedangkan, Mahkamah
Konstitusi adalah kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang merupakan
peradilan progresif di abad mutakhir ini. Kewenangan MK diberikan langsung oleh UUD
1945 Pasal 24C, juncto UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011
diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan
terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang MK, yaitu: menguji UU terhadap UUD 1945; memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara; membubarkan Partai Politik; memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum; kewajiban MK memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar UUD 1945.
Jika
MPR dilambangkan dengan gedung bulat nan
megah beserta air mancurnya di Senayan, maka, MK dilambangkan dengan gedungnya 9
jangkar pilar nan kokoh, di depan Monumen Nasional (monas) bermakna 9 hakim berjubah
merah nan gagah berani siap mengawal gawang konstitusi (guardian constitution).
Komisi Konstitusi telah
terbentuk dengan susah payah, tetapi, MPR sengaja “menghilangkan” dengan mengusulkan
kembali membentuk sebuah tim penelaah
secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Pertanyaannya, kemanakah
hasil kajian Komisi Konstitusi selama ini?. Sayang, TAP MPR tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi tersebut berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003, tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960
s/d 2002 pada Pasal 6 dikelompokkan menjadi: “TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan
tidak berlaku lagi dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat
final (einmalig), telah dicabut,
maupun telah selesai dilaksanakan”. Padahal, amanat TAP MPR tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi tersebut belum pernah dilaksanakan. Keputusan MPR untuk
membentuk tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945
diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi dan Kelompok
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR pada hari Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). Hal
ini, dapat dibaca dengan terang, bahwa MPR tidak mempercayai kerja keras MPR periode
sebelumnya dalam pembentukan KK. Namun, keseriusan
MPR untuk membentuk sebuah Komisi Konstitusi jilid II patut diuji dan dipertanyakan.
Pasalnya, hingga saat ini mekanisme pembentukan komisi tersebut belum juga
dilaksanakan, khabar pembentukan komisi ini pun perlahan-lahan menghilang bak ditelan bumi.
MPR Lupa
Berangkat
dari gagasan pembentukan komisi penelaah konstitusi, ada satu hal penting yang tidak
boleh dilupakan, MPR pernah menerbitkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara
komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan
sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945
yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan
Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004 dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Dukungan
pembentukan komisi untuk amandemen kelima UUD 1945 secara komprehensif ketika
itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun
ke-63 MPR, di gedung MPR (Kompas, 30/8/2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan
komisi pengkaji konstitusi disampaikan Presiden pada saat pidato kenegaraan
dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu. Sebenarnya lembaga negara
manakah yang menangguk keuntungan jika pembentukan Komisi Konstitusi dilaksanakan?.
DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden ataukah DPD?. Hampir pasti adalah Dewan
Perwakilan Daerah. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan
diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, sudah sepantasnya
jika DPD gigih mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi. Harapan DPD kajian Komisi
Konstitusi tentunya dapat menguatkan kelembagaannya sejajar dengan DPR untuk melakukan
kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balances). Kehadiran komisi
tersebut sudah pasti disambut gegap gempita sekaligus sebagai obat penawar DPD,
ditengah keputusasaan gagal melakukan amandemen kelima UUD 1945.
DPD
meminjam tangan agar Presiden yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata
ketua DPD periode 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9/2008). Mengapa
DPD berharap Presiden yang berinisiatif membentuk Komisi Konstitusi?. Bukankah
DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” menjadi anggota MPR?. Jika benar pembentukan Komisi
Konstitusi dilakukan oleh Presiden kala itu, justru dapat menjerumuskan Presiden
sendiri. Jebakan maut akan mengintai tuan Presiden jika nekat mengusulkan
pembentukan KK. Pertanyaannya, bolehkah Presiden berinisiatif membentuk komisi pengkaji
konstitusi?. Bukankah Presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan
menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya?
(Pasal 9 UUD 1945). SBY dalam kapasitasnya sebagai Presiden kala itu tidak boleh mempersoalkan
substansi UUD 1945 meski ia tahu terdapat coreng moreng dan ketidaksinkronan antar
muatan konstitusi. Berhati-hatilah kepada siapa pun tuan Presiden, untuk tidak
sembarangan mengusulkan pembentukan komisi
pengkaji konstitusi, boleh jadi jebakan maut Presiden ke tubir jurang untuk di
impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk komisi pengkaji
konstitusi di ranah MPR, bukan kepada Presiden bukan pula kepada
lembaga-lembaga negara lain.
Mengapa
DPD menaruh harapan penuh kepada Presiden yang berinisiatif membentuk komisi
pengkaji konstitusi?. Selain DPD tahu diri, boleh jadi, DPD melihat gelagat tidak
baik dari MPR sebagai lembaga Negara yang sesungguhnya memiliki kewenangan, tetapi
enggan untuk membentuk tim penelaah konstitusi. Apakah maksud dibalik sesungguhnya
MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Sebab, didalam MPR terdapat
kepentingan 560 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar
dengan DPR. Dalam batas penalaran logis, jika DPD kuat menjadikan DPR dimadu bersama
DPD dalam bidang legislasi. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya Pimpinan
MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak MPR yang terdiri dari mayoritas
anggota DPR, jika terjadi joint session/sidang
majelis (cluster bertemunya DPR dengan DPD), Pimpinan MPR bakalan dijabat
secara bergantian oleh pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Konsekuensi logisnya, Pimpinan
MPR secara permanen akan dihapuskan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara
periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik
Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan kewenangan MPR, merubah UUD 1945 dan
memberhentikan Presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
Bagaimanakah
jika 132 anggota DPD “menjelma” menjadi
anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Percuma!. Akan sia-sia belaka,
mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amandemen
kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti mudah dijungkalkan melalui Pasal 37
UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945.
Nyata
sudah, dengan bahasa sederhana bisa dipahami, mengapa DPD perlu meminjam tangan
Presiden untuk membentuk Komisi Konstitusi, karena posisi DPD lemah tak berdaya.
Meski secara yuridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden tidak memiliki
makna apa-apa, namun, pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden, yang
bersifat dukungan politis dampaknya dahsyat sekali dapat memengaruhi anak buah
Presiden di parlemen guna memuluskan penguatan DPD. Masalahnya, apabila
Presiden nekat membentuk Komisi Konstitusi, maka inkonstitusional.
Sebelum MPR
membentuk Komisi Konstitusi terdapat desakan kuat dari berbagai pihak yang
tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan
Komisi Konstitusi itu, artinya, MPR mengakui bahwa perubahan UUD 1945 selama
empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Kekurangcermatan
MPR melakukan perubahan UUD 1945 itu tersirat diakui pada konsideran
pembentukan TAP MPR tentang Komisi Konstitusi
yang menyatakan, bahwa perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar sudah cukup
untuk mengatur pelaksanaan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara,
tetapi masih diperlukan pengkajian secara komprehensif dan transparan dengan
melibatkan masyarakat luas. Ironinya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan
MPR itu, tidak terpakai oleh MPR periode 2004-2009 maupun periode 2009-2014.
Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun
dengan susah payah, MPR hanya sekadar memberikan hiburan kepada masyarakat
dengan menerbitkan Ketetapan MPR.
Oleh karena itu, sebaiknya
urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II apapun nama telaahan
konstitusi. Untuk apa membentuk komisi tandingan, jika pada akhirnya MPR tidak
memiliki itikad baik untuk menyempurnakan UUD 1945? Jika MPR memaksakan kembali
membentuk Komisi Konstitusi, nampak sekali MPR sistem bekerjanya STM (sibuk
tidak menentu) hanya mencari-cari kerjaan belaka.
MPR
telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya
antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sisi lain, MPR
menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara yuridis
memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sekalipun wewenang MPR telah
direduksi, antara lain tidak berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden,
ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh). MPR masih memiliki wewenang yang kuat,
yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan
yang bersifat penetapan (beschikking),
dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi
kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan
Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga Negara ini tidak diberi wewenang sedikit pun oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling), maupun bersifat penetapan (beschikking). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga Negara ini tidak diberi wewenang sedikit pun oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling), maupun bersifat penetapan (beschikking). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak
1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah sebelas tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga
Negara ini, apakah bermanfaat untuk
rakyat atau tidak? Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerjanya memakai kaca mata
kuda hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan
Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap
diposisikan sebagai lembaga Negara hiburan (konsolasi),
maka lebih baik dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan
keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui
amandemen Pasal 22D UUD 1945.
Kesimpulannya,
MPR tidak perlu sibuk mencari-cari kerjaan baru membentuk komisi pengkaji
perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kitab kajian Komisi
Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi untuk menata ulang kelembagaan
Negara menjadi lebih baik lagi. Jangan setiap
pergantian periode, selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR
periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Pembentukan Komisi Konstitusi karya
MPR periode 1999-2004 jangan dihilangkan, MPR periode 2004-2009 justru ingin
membentuk Komisi tandingan. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat
kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara, namun, MPR
tidak boleh obral menerbitkan Ketetapan MPR jika sekadar untuk hiburan kepada
masyarakat. Sebab, selain akan menguras uang rakyat, MPR bekerjanya hanya STM
(sibuk tidak menentu), dan hasilnya dipastikan akan sia-sia belaka, karena nasibnya
akan sama dengan pembentukan komisi sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.