Senin, 08 Februari 2016

Kemana Kajian Komisi Konstitusi?

.

Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007

Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

                Frasa:  “Komisi Konstitusi” (KK), dengan “Mahkamah Konstitusi” (MK), sering terdengar di samar-artikan oleh khalayak umum. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi diberi tugas untuk melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang merupakan peradilan progresif di abad mutakhir  ini. Kewenangan MK diberikan langsung oleh UUD 1945 Pasal 24C, juncto UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang MK, yaitu: menguji UU terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga Negara; membubarkan Partai Politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar  UUD 1945.
            Jika MPR dilambangkan dengan  gedung bulat nan megah beserta air mancurnya di Senayan, maka, MK dilambangkan dengan gedungnya 9 jangkar pilar nan kokoh, di depan Monumen Nasional (monas) bermakna 9 hakim berjubah merah nan gagah berani siap mengawal gawang konstitusi (guardian constitution).
Komisi Konstitusi telah terbentuk dengan susah payah, tetapi, MPR sengaja “menghilangkan” dengan mengusulkan kembali membentuk sebuah tim penelaah  secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Pertanyaannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama ini?. Sayang, TAP MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi tersebut berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002 pada Pasal 6 dikelompokkan menjadi: “TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak berlaku lagi dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan”. Padahal, amanat TAP MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi tersebut belum pernah dilaksanakan. Keputusan MPR untuk membentuk tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  di MPR  pada hari Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). Hal ini, dapat dibaca dengan terang, bahwa MPR tidak mempercayai kerja keras MPR periode sebelumnya dalam pembentukan KK.  Namun, keseriusan MPR untuk membentuk sebuah Komisi Konstitusi jilid II patut diuji dan dipertanyakan. Pasalnya, hingga saat ini mekanisme pembentukan komisi tersebut belum juga dilaksanakan, khabar pembentukan komisi ini pun perlahan-lahan  menghilang bak ditelan bumi.
MPR Lupa
            Berangkat dari gagasan pembentukan komisi penelaah konstitusi, ada satu hal penting yang tidak boleh dilupakan, MPR pernah menerbitkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004 dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Dukungan pembentukan komisi untuk amandemen kelima UUD 1945 secara komprehensif ketika itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR (Kompas, 30/8/2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan komisi pengkaji konstitusi disampaikan Presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu. Sebenarnya lembaga negara manakah yang menangguk keuntungan jika pembentukan Komisi Konstitusi dilaksanakan?. DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden ataukah DPD?. Hampir pasti adalah Dewan Perwakilan Daerah. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, sudah sepantasnya jika DPD gigih mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi. Harapan DPD kajian Komisi Konstitusi  tentunya dapat menguatkan  kelembagaannya sejajar dengan DPR untuk melakukan kegiatan fungsi  saling mengontrol (check and balances). Kehadiran komisi tersebut sudah pasti disambut gegap gempita sekaligus sebagai obat penawar DPD, ditengah keputusasaan gagal melakukan amandemen kelima UUD 1945.
            DPD meminjam tangan agar Presiden yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata ketua DPD periode 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9/2008). Mengapa DPD berharap Presiden yang berinisiatif membentuk Komisi Konstitusi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” menjadi anggota  MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh Presiden kala itu, justru dapat menjerumuskan Presiden sendiri. Jebakan maut akan mengintai tuan Presiden jika nekat mengusulkan pembentukan KK. Pertanyaannya, bolehkah Presiden berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Bukankah Presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya? (Pasal 9 UUD 1945). SBY dalam kapasitasnya  sebagai Presiden kala itu tidak boleh mempersoalkan substansi UUD 1945 meski ia tahu terdapat coreng moreng dan ketidaksinkronan antar muatan konstitusi. Berhati-hatilah kepada siapa pun tuan Presiden, untuk tidak sembarangan  mengusulkan pembentukan komisi pengkaji konstitusi, boleh jadi jebakan maut Presiden ke tubir jurang  untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk komisi pengkaji konstitusi di ranah MPR, bukan kepada Presiden bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
            Mengapa DPD menaruh harapan penuh kepada Presiden yang berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Selain DPD tahu diri, boleh jadi, DPD melihat gelagat tidak baik dari MPR sebagai lembaga Negara yang sesungguhnya memiliki kewenangan, tetapi enggan untuk membentuk tim penelaah konstitusi. Apakah maksud dibalik sesungguhnya MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Sebab, didalam MPR terdapat kepentingan 560 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Dalam batas penalaran logis, jika DPD kuat menjadikan DPR dimadu bersama DPD dalam bidang legislasi. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya Pimpinan MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak MPR yang terdiri dari mayoritas anggota DPR, jika terjadi joint session/sidang majelis (cluster bertemunya DPR dengan DPD), Pimpinan MPR bakalan dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Konsekuensi logisnya, Pimpinan MPR secara permanen akan dihapuskan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan kewenangan MPR, merubah UUD 1945 dan memberhentikan Presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
            Bagaimanakah jika 132  anggota DPD “menjelma” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Percuma!. Akan sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti mudah dijungkalkan melalui Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945.
            Nyata sudah, dengan bahasa sederhana bisa dipahami, mengapa DPD perlu meminjam tangan Presiden untuk membentuk Komisi Konstitusi, karena posisi DPD lemah tak berdaya. Meski secara yuridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden tidak memiliki makna apa-apa, namun, pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden, yang bersifat dukungan politis dampaknya dahsyat sekali dapat memengaruhi anak buah Presiden di parlemen guna memuluskan penguatan DPD. Masalahnya, apabila Presiden nekat membentuk Komisi Konstitusi, maka inkonstitusional.
Sebelum MPR membentuk Komisi Konstitusi terdapat desakan kuat dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya, MPR mengakui bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Kekurangcermatan MPR melakukan perubahan UUD 1945 itu tersirat diakui pada konsideran pembentukan TAP MPR tentang  Komisi Konstitusi yang menyatakan, bahwa perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar sudah cukup untuk mengatur pelaksanaan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara, tetapi masih diperlukan pengkajian secara komprehensif dan transparan dengan melibatkan masyarakat luas. Ironinya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak terpakai oleh MPR periode 2004-2009 maupun periode 2009-2014. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah, MPR hanya sekadar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR.
Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II apapun nama telaahan konstitusi. Untuk apa membentuk komisi tandingan, jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan UUD 1945? Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, nampak sekali MPR sistem bekerjanya STM (sibuk tidak menentu) hanya mencari-cari kerjaan belaka.
            MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sisi lain, MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara yuridis memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh). MPR masih memiliki wewenang yang kuat, yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
            Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga Negara ini tidak diberi wewenang sedikit pun oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling), maupun bersifat penetapan (beschikking). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan
            Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah sebelas  tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga Negara  ini, apakah bermanfaat untuk rakyat atau tidak? Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerjanya memakai kaca mata kuda hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU  MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga Negara hiburan (konsolasi), maka lebih baik dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945.
            Kesimpulannya, MPR tidak perlu sibuk mencari-cari kerjaan baru membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kitab kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi.  Jangan setiap pergantian periode, selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004 jangan dihilangkan, MPR periode 2004-2009 justru ingin membentuk Komisi tandingan. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara, namun, MPR tidak boleh obral menerbitkan Ketetapan MPR jika sekadar untuk hiburan kepada masyarakat. Sebab, selain akan menguras uang rakyat, MPR bekerjanya hanya STM (sibuk tidak menentu), dan hasilnya dipastikan akan sia-sia belaka, karena nasibnya akan sama dengan pembentukan komisi sebelumnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19