Minggu, 25 Juni 2023

Mahkamah Konstitusi (MK) Antara Mahkamah Konsisten atau in-Konsisten?

 

 

                                               Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

  

            Untung Mahkamah Konstitusi memutuskan sistem pemilu dengan sistem proporsional terbuka andai saja Mahkamah Konstitusi memutuskan sistem pemilu tertutup maka hanya akan menjadi bulan-bulanan publik, karena putusannya tidak konsisten dengan putusan hakim-hakim sebelumnya. Jagat dunia perhukuman tidak pernah akan sepi dengan pemberitaan hukum ketatanegaraan dan kajian konstitusi serta hiruk pikuk politik menjelang pemilu 2024. Akhir-akhir ini publik digemparkan  dengan informasi terkait apakah MK akan memutuskan sistem penyelenggaran pemilihan umum secara tertutup atau terbuka. Aneh bin Ajaib padahal MK sebelumnya tahun 2008 telah memutuskan penyelenggaraan pemilu secara proporsional terbuka mengapa ada uji materi lagi tentang sistem pemilu, bukankah materi yang sama tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan (nebis in idem)?. Sistem penyelenggaraan Pemilu terbuka Ini artinya pemilu legislatif akan memilih orang yang dikehendaki untuk duduk di parlemen DPR Senayan bukan memilih gambar yang nantinya nomor urut 1 yang berpeluang besar terpilih oleh Dewan Pimpinan Pusat kepartaiannya. Dengan pemilihan secara terbuka ini Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 telah mampu mengembalikan kuasa Daulat rakyat yang sebelumnya ditentukan DPP pusat dengan memilih nomor 1 atau 2 yang jadi kepada calon yang dikehendaki. Dengan sistem pemilihan tertutup hampir dipastikan bahwa nomor urut 1 akan lebih mudah melenggang ke Senayan dengan Bahasa sederhana tinggal merem saja akan terpilih menjadi anggota DPR di Senayan. Dalam batas penalaran logis lebih masuk akal sistem pemilihan secara terbuka karena lebih adil meletakkan kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat.

            Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA sampai wanti-wanti mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai satu-satunya Lembaga Negara yang membawa sebutan “Konstitusi” dan keanggotaannya dipersyaratkan kenegarawanan, agar konsisten dengan putusan sebelumnya, dan menjadi teladan dalam konsistensi menegakkan Konstitusi, dan karenanya tidak mencederai kedaulatan yang oleh UUD diberikan kepada Rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan memutus mengubah sistem pemilu dari Terbuka menjadi Tertutup. MK hendaknya tetap konsisten dengan keputusannya sendiri yang diputuskan pada tahun 2008 yang justru mengubah sistem pemilu dari tertutup menjadi proporsional terbuka. (https://www.mpr.go.id/berita/Jelang-Putusan-MK,-HNW-Ingatkan-Lebih-Baik-MK-Jadi-Teladan-Konsistensi-Berkonstitusi-dengan-Tetap-Berlakukan-Sistem-Pemilu-Terbuka).

Hal itu pernah disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid ketika menerima kunjungan aspirasi dari beberapa Ustadzah pimpinan dari Forum Silaturahim Majelis Taklim (Forsitma) Pesanggrahan Jakarta Selatan, mereka menyampaikan aspirasi antara lain tetap mengendaki sistem pemilu tetap diselenggarakan secara terbuka. Pertemuan antara Pimpinan MPR dengan beberapa ustadzah tersebut diselenggarakan di Gedung MPR RI, Jakarta, Selasa (13/7). Mahkamah Konstitusi rencananya menjadwalkan putusan uji materi UU Pemilu yang materinya berkaitan dengan sistem pemilu pada Kamis, 15 Juni 2023.

            Hidayat Nurwahid mengingatkan pentingnya Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai pedoman dalam menentukan Pemilu dengan sistem terbuka sebagaimana pernah dijadikan dasar hukum MK pada 2008 lalu saat memutuskan pemilu secara terbuka. Ketika itu, MK ‘mengarahkan’ perubahan dari sistem tertutup ke sistem proporsional terbuka atas nama kedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. “Jadi, akan menjadi sangat tidak rasional dan tidak konsisten, apabila dalam perkara yang sekarang MK justru memutus sebaliknya, tanpa adanya pelanggaran Konstitusi yang terjadi akibat diberlakukannya sistem terbuka,” ujarnya di Jakarta, Selasa (13/7).

            Apa yang disampaikan oleh Hidayat Nurwahid tsb tepat sebab putusan MK adalah final dan mengikat tidak ada upaya hukum lain, dan satu-satunya pejabat negara yang dipersyaratkan negarawan adalah hanya hakim Mahkamah Konstitusi. Seharusnya materi yang sama pernah diputuskan oleh MK tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan berikut, sebab jika terjadi perbedaan putusan antara hakim-hakim sebelumnya maka akan terjadi kekacauan konstitusi.

Kedaulatan Berada di Tangan Rakyat

Kedaulatan berada ditangan rakyat sebagaimana ditentukan oleh Pasal Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah konkordan dengan sistem pemilu terbuka bukan dengan sistem tertutup. Hal lain marilah kita simak dengan saksama Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, ‘Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.’ Jadi yang dipilih oleh Rakyat secara langsung sebagai pemilik kedaulatan adalah kandidat atau calon Anggota DPR, DPRD, bukan mencoblos tanda gambar partai  sebagaimana pernah  diberlakukan pada masa Orde baru.

Bahkan, puluhan tokoh nasional juga telah mengirimkan pendapat sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) ke MK, agar MK konsisten dalam keputusannya yang Konstitusional bahwa pemilu tetap dengan sistem proporsional terbuka. Ini juga harus dipertimbangkan oleh MK dalam putusannya nanti,” tukasnya.

Untung MK Memutuskan Pemilu Dengan Sistem Proporsional Terbuka

            Untung saja MK memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka kalau tidak maka akan menjadi heboh putusan Mahkamah Konstitusi tsb. Oleh karena itu, lanjutnya, putusan MK harusnya konsisten dengan ketentuan Konstitusi sehingga sesuai dengan sikap mayoritas Rakyat Pemilih, Parpol peserta Pemilu di DPR, serta prinsip musyawarah mufakat sebagaimana ketentuan sila ke 4 dari Pancasila, sebagai keteladanan berkonstitusi yang menguatkan pengamalan sila ke 4 dari Pancasila. Dengan putusan MK yang baik diharapkan Rakyat makin percaya dengan Demokrasi dan Konstitusi, hasilnya Pemilu (Pileg dan Pilpres) benar-benar legitimate dan diterima Rakyat karena ada keteladanan konsistensi menjalankan Konstitusi.

Sistem proporsional terbuka memang ada kelemahan dan kelebihan, tapi koreksinya bukan dengan mengembalikan ke era Orba, tetapi tetap memegang teguh prinsip kedaulatan Rakyat yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Dengan sistem proporsional terbuka memang pemilih bertambah ribet karena banyak gambar calon-calon yang harus dipilih berbeda dengan sistem tertutup yang simple untuk mencoblos tanda gambar saja.

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. (https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19133&menu=2)

Untung Akhirnya MK menolak sistem pemilu tertutup yang diajukan oleh pemohon. (https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/06/15/pemilu-2024-tetap-gunakan-sistem-proporsional-terbuka0.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19