Kamis, 29 Januari 2009

MPR dan Politik Pertanahan



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Master Kenotariatan UI
- Konsultan Pertanahan
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



        Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah menerbitkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sayang TAP MPR tersebut tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan TAP MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003. Tap MPR tersebut tidak perlu dicabut, dengan sendirinya sudah tidak berlaku karena ia bukan hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan.
       Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hal lain negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

        Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam artian kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Politik Pertanahan

       Politik Pertanahan diatur didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Politik Pertanahan juga diatur di dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Negara adalah sebagai organisasi pemegang tertinggi kekuasaan negara dibidang pertanahan, oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Nasionalisme
      Salah satu prinsip utama dari UUPA adalah mengenai nasionalisme dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan alam Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UUPA berbunyi: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia." Demikian pula Pasal 1 ayat (2): "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional."
Ini artinya bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh para pendahulu kita sebagai keseluruhan, dan menjadi hak dari bangsa Indonesia. Jadi tanah tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. Menurut Prof. Boedi Harsono tanah berfungsi sebagai komunalistis reigius. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan, tetapi menjadi tanah hak Bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan hubungan yang bersifat pribadi.
Adapun antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
       Pada masa Orde Baru-reformasi permasalahan agraria ditandai semakin banyaknya aksi-aksi protes oleh korban ke kantor pertanahan, DPR dan Komnas HAM. Permaslahan agraria itu tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah pertanahan.
Sebagai contoh ketidakpastian hukum dibidang pertanahan, kasus sengketa PT Portanigra dengan Warga Meruya Selatan yang diperoleh dari H. Djuhri. Seseorang yang sudah memiliki sertipikat yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang (BPN) selama bertahun- tahun telah menguasai secara fisik digugat, dan anehnya dapat dikalahkan di pengadilan, karena dapat dibuktikan sebaliknya.
Kelemahan Publikasi Pertanahan
        Di negara manapun ada dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat digugat, dalam hal ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena sertipikat tertulis atas nama pembeli terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura.
Kedua, publikasi negatif, artinya negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak yang bersengketa mengadakan research sendiri. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Masuk Publikasi Pertanahan yang Mana?.
        Sistem hukum Indonesia selalu soft, alias tidak jelas. Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif. Lantas apa publikasi pertanahan Indonesia?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Ini artinya negara bersifat ambivalensi. Sebab, disisi lain negara memberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak kepemilikannya, sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi konflik di Pengadilan. Publikasi Pertanahan Indonesia yang ambivalen ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 PP. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan juridis pemerintah agar kasus pertanahan yang selama ini terjadi tidak semakin merebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19