Jumat, 24 Juni 2016

Dapatkah SBY Menjadi Wapres?


                                                                             Oleh WARSITO, SH., M.Kn.                                 Dosen: Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta                                                                  Kandidat Doktoral Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta


Tahun 2014 adalah tahun gaduh perpolitikan nasional. Ketika mendengar ocehan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, agar presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya bersedia menjadi Cawapres, bathin saya tertawa cekikikan. Banyak orang mafhum akan mudah membaca arah usulan ini (baca: "setengah meledek") dari orang yang pernah sakit hati dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat.  Tidak ada gunanya menyikapi usulan ini karena tidak berdasar sekali baik secara etika kenegaraan maupun konstitusional. Belum ada sejarah di Republik ini  seorang  Presiden yang mau turun pangkat menjadi wapres. Sehaus-hausnya orang gila jabatan, mana ada orang setelah menjabat  presiden mau turun tahta menjadi  wakil presiden (Wapres), tentu gengsi dan malu untuk menerimanya, meski konstitusi tidak secara tegas melarang presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan untuk mencalonkan menjadi wakil presiden.
Usulan mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu bukanlah gagasan yang baik untuk membangun proses demokratisasi di Indonesia,  SBY sebaiknya, tidak perlu merespon ocehan Anas tersebut, jika SBY terpancing emosi untuk mengomentari, maka sesungguhnya SBY sudah terperangkap  dalam jebakan maut manuvernya Anas. Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dibatasi maksimal dua kali masa jabatan sebagaimana ditentukan pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya  untuk satu kali masa jabatan”. Presiden yang pernah menjabat selama dua kali masa jabatan secara normatif, tidak dimungkinkan untuk menjadi Cawapres, meski ia belum pernah menjabat sebagai wakil presiden. Publik  mengharap SBY tidak sebaiknya memberikan tanggapan atas ocehan Anas itu,  ternyata akhirnya SBY terpancing juga mengomentari dirinya di Cawapreskan, padahal, baik dari sisi etika dan konstitusional tidak elok dibicarakan.
SBY memberikan komentar, jika saja konstitusi tidak membatasi dirinya memangku jabatan maksimal dua kali masa jabatan, ia pun tidak akan mencalonkan lagi, apalagi menjadi Cawapres,  karena menurutnya semakin lama memimpin akan semakin menyalahgunakan kekuasaannya. Benarkah ucapan SBY tersebut?. Panggung sejarah sudah membuktikan, jika kekuasaan itu tidak dibatasi akan menimbulkan otoriterisme dan totaliterisme, berkaca dari pengalaman sejarah itulah, maka konstitusi Indonesia harus membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sejarah Indonesia juga telah mencatat, tidak ada presiden satu pun di Indonesia yang sepenuhnya memiliki jiwa kenegarawanan bersedia tidak mencalonkan kembali sebagai presiden, jika saja konstitusi tidak membatasinya. Presiden RI pertama, Soekarno dengan TAP MPR NO: III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Sedangkan presiden RI kedua pak Harto, meski tidak pernah menyatakan secara terang-terangan  ingin menjadi presiden seumur hidup, tetapi dengan doktrin orde baru yang akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, ini artinya, orde baru ingin mempertahankan masa jabatan presiden di konstitusi yang multitafsir dengan kalimat “dapat dipilih kembali”. Marilah kita menyimak dengan saksama rumusan pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, akibat ketentuan yang bersayap ini, Soeharto dapat terpilih  kembali menjadi Presiden Republik Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama tujuh kali berturut-turut. Reformasi yang telah diperjuangkan dengan tetesan darah oleh mahasiswa pada tahun 1998, dan klimaksnya dipaksanya Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB, merupakan perjuangan monumental dan heroik, yang ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan tinta emas untuk menuju masyarakat yang demokratis. Tuntutan reformasi pada waktu itu, yakni antara lain, reformasi konstitusi untuk  membatasi jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan.
Pernyataan SBY yang dimuat di (news.detik.com) pada tanggal 25 April 2014, dengan judul: “ Ada yang mengolok-olok saya  meminta menjadi Cawapres saja”, ternyata SBY sudah menyadari ocehan Anas itu yang hanya diniatkan untuk melukai dan melecehkan saja. Pertanyaannya, untuk apa SBY menjawab ocehan yang tidak bermutu ini?. Apakah presiden yang masa bhaktinya tinggal menjelang detik-detik akhir kemarin  kurang pekerjaan?. Masih  membaca judul diatas kita dibuatnya geli, konon ada pihak lain yang serius mendorong SBY menjadi cawapres, tujuannya dengan pengalaman SBY yang luar biasa maka bisa membantu presiden RI berikutnya memajukan bangsa. Jika ada usulan selain ocehan Anas, substansinya sebenarnya sama saja, yaitu untuk menjerumuskan dan melecehkan SBY ke jurang nestapa sekaligus  sebagai sindiran keras, publik menilai selama ini SBY lamban dalam mengambil keputusan terkait kebijakan publik, maka SBY disindir, lebih baik menjadi Cawapres saja yang tidak memutuskan kebijakan yang bersifat strategis. SBY lagi-lagi terpancing dengan menanggapi usulan itu dengan menyatakan  sama sekali tidak tertarik. Satu sisi, SBY mengaku sadar, bahwa pemimpin yang terlalu lama memimpin biasanya menjadi tidak baik. Sisi lain, SBY tidak menyadari bahwa jika SBY benar menjadi Cawapres, sesungguhnya SBY sudah “dilampumerahkan” konstitusi. SBY ada benarnya menyatakan, bahwa pemimpin yang lebih dari 20 tahun berkuasa, cenderung diktator dan menyalahgunakan kewenangan. Pertanyaannya, tuluskah ucapan SBY  tidak mencalonkan lagi jika konstitusi tidak membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan ?. Wallahu ‘alam.
Untuk menjalankan pemerintahan yang baik, dari aspek historis ada dua pendekatan,  personal dan sistem. Pada masa Plato pendekatan secara personal telah dipraktekkan. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahan yang berkuasa idealnya dipraktekkan dengan cara  paternalistik, maksudnya, para penguasa yang bijaksana dapat menempatkan diri selaku ayah yang arif  dan bijaksana dalam setiap tindakannya terhadap anak-anaknya memberikan kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Namun masalahnya, tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, dicarikan pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya merubah gagasannya dari semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum  yang baik.   

               
Konstitusi Melarang SBY Menjadi Wapres
Mengapa SBY dilarang menjadi Wapres?. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 8 UUD 1945: “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya”.
Ini artinya, seorang wakil presiden akan tampil menjadi presiden kembali, jika presiden telah berhalangan tetap sebagaimana telah ditentukan oleh konstitusi pasal 8 tersebut. Meski SBY belum pernah menjabat sebagai wakil presiden, dan tiadanya larangan secara eksplisit di dalam UUD 1945 menjadi Wapres, namun secara konstitusional, Presiden SBY yang telah menjabat selama dua kali masa jabatan tidak diperkenankan menjadi wakil presiden. Dikhawatirkan, jika hal ini dipaksakan, maka sewaktu-waktu akan terjadi benturan dan kekacauan konstitusi jika seorang presiden benar-benar  berhalangan tetap.
Maaf pak SBY, urusan rakyat dan negara-bangsa menumpuk, jangan mengomentari ocehan orang  yang tidak bermutu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Kesan dan Pesan Pengalaman Pertama Kali Berkunjung ke Guci, Slawi, Tegal

  Pada hari Sabtu, tanggal 23 Juni 2024 hari yang cerah saya dan istri menghadiri acara resepsi pernikahan teman istri saya satu bagian di Y...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19