Oleh
WARSITO, SH., M.Kn
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Bersyukurlah bagi kita yang bisa mengenyam pendidikan dengan baik, karena
dengan pendidikan akan dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih baik
pula, minimal hidup ini tidak akan keblangsak. Namun, tidak semua orang dapat
mengenyam pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya dan ketiadaan kesempatan
untuk meraihnya. Jangankan untuk biaya sekolah (kuliah), untuk bertahan hidup
soal urusan perut saja banyak orang yang tak berdaya dibuatnya. Saya diantara
orang yang mengalami nasib tidak beruntung itu, pada tahun 1983 setamat SMP,
karena ketidakberdayaan orang tua untuk menyekolahkan SMA, terpaksa saya harus
berkelana ke Jakarta untuk mencari peruntungan menenggak manisnya madu ibu kota
negara. Kerja serabutan saya jalani, Motto saya yang penting halal, dari mulai
pemungut bola lapangan tenis, kuli bangunan dan office boy yang penting bisa
bertahan hidup di kehidupan Jakarta yang keras. Ditengah-tengah merasakan
penderitaan kejamnya ibukota, ketika dijalanan saya melihat anak-anak
sekolah SMA sedang bercengkerama, batin saya menangis, saya rindu ingin kembali
bisa bersekolah. Akhirnya, pada tahun 1984 keinginan itu terwujud di sekolah
malam SMA TRI UTAMA, Duren Tiga, Jakarta Selatan yang ujian nasionalnya
menggabung di SMA 55 Negeri, jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta-Selatan. Setamat
SMA tahun 1987 saya mencolot sana-sini, berkelana bekerja serabutan mulai dari
Jakarta-Medan-Palembang-Semarang-Pati sampai balik lagi ke Jakarta, akhirnya
pada tahun 1997 saya “terdampar” menjadi PNS Sekretariat Jenderal MPR dengan
bermodalkan ijasah SMA bergolongan ruang IIa. Dengan menjadi PNS, setelah
terkumpul cukup uang, pada tahun 1998 saya nekat mendaftarkan kuliah di
fakultas hukum Universitas Satyagama, Jakarta, dan lulus pada tahun 2002.
Setamat S1 maksud hati kuliah tidak munafik jelas untuk memperbaiki taraf
hidup, tapi penyesuaian ijasah yang saya harapkan tak kunjung datang, hal ini
karena pejabat Sekretariat Jenderal MPR tak memahami (baca: tidak bersih hati),
padahal sudah ada PP No 12 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Pangkat PNS, dimana
dinyatakan dengan terang benderang, PNS yang menamatkan S1 tetapi masih bergolongan
ruang IId kebawah dapat disesuaikan menjadi golongan ruang IIIa. Anehnya,
kesarjanaan saya belum juga disesuaikan, tetapi ketika ada pembahasan Tata
Naskah Dinas DPD-RI saya diikutsertakan sebagai Tim Perumus, saya adalah salah
satu TIM PERUMUS TATA NASKAH DINAS DPD-RI TAHUN 2007, padahal sebenarnya
ini adalah tugas pemikir (sarjana), sedangkan gaji saya kalau dikepolisian itu
masih “dibintarakan” (golongan IIc terakhir). ANEH TAPI NYATA!. Lama menunggu
ijasah S1 tidak segera disesuaikan, setelah terkumpul uang cukup pada tahun
2004 saya kembali melanjutkan kuliah S2 di fakultas hukum Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia dengan lulus tepat waktu pada tahun 2006.
Kuliah
di UI Bagaikan Kawah Candradimuka
Mahasiswa kakinya cacat tetapi karena cerdas menjadi selebritis kampus. Perjalanan kuliah di UI dari tahun 2004-2006 sangat berat saya rasakan. Kaki
cuma dua, tetapi harus berpijak kesana-kemari sudah di masyarakat mendapat beban
berat sebagai Ketua RT, belum menjadi kepala keluarga, ditambah pekerjaan
menumpuk di bagian Persidangan MPR, mau berangkat kuliah meninggalkan ruangan
saja susahnya bukan main, benar-benar dibuat pusing tujuh keliling belum tugas
seabrek-abrek yang dibebankan dosen, baik tugas individual maupun tugas secara
kolegial. Masih diperparah lagi dengan kelompok belajar yang
krangkring-krangkring ribut mengajak belajar kelompok. Untuk mendapatkan nilai
C saja susahnya minta ampun dan bersyukur karena tidak akan mengulang lagi yang
akan dapat menguras pikiran, tenaga dan konsekuensinya akan menambah biaya,
sungguh berat rasanya perjuangan mahasiswa untuk memperoleh nilai yang
kampusnya terkenal “MASUK SUSAH KELUAR SUSAH ini”. Disini tidak ada istilah
dosen memberikan belas kasih nilai kepada mahasiswanya, dosen umumnya angker,
tinggal mahasiswa bisa atau tidak. Bahkan ada dosen yang sadis, sehabis UTS
atau UAS rumahnya ditulisi “TIDAK MENERIMA TAMU MAHASISWA”, mahasiswa yang
membawa bingkisan ke rumahnya, oleh-oleh itu disuruh membawa pulang. Yang lebih
tidak bisa diterima dalam batas penalaran logis, ketika dosen sedang
mengajar ada mahasiswa yang membelikan juice, tetapi dosen tersebut tidak mau,
dengan alasan tidak terbiasa minum juice, tersiar khabar luas pemberian juice ini
dikhawatirkan berdampak memengaruhi penilaian mahasiswa. Bagaimana jika selama ini saya
menjadi dosen di kelas disuguhi air mineral oleh mahasiswa?. Jujur saja, saya
menerima dan saya minum, pemberian mahasiswa itu masih dalam batas-batas yang
dibenarkan sesuai kaidah akademis. Dibalik mayoritas keangkeran dosen, ada
satu-satunya dosen yang terlalu baik hati, selain tidak pelit nilai juga setiap
UTS atau UAS dari 175 mahasiswa selalu memberikan suguhan kue kotak, dosen ini selalu dielu-elukan mahasiswa dan senantiasa didoakan oleh mahasiswa semoga
sehat dan panjang umur serta murah rezeki.
Selebritis Kampus
Awal-awal masuk kuliah pada semester pertama saya dibuat shock, dari 8 mata
kuliah yang saya ambil saya cuma lulus 2 mata kuliah, tetapi ada yang lebih
tragis lagi nasibnya ketimbang saya, salahsatu teman saya cuma lulus 1 mata kuliah,
padahal selain kuliah dia juga pegawai UI di bagian Fakultas Kesehatan
masyarakat, tinggal melangkahkan kaki ketika kuliah. Ketika di kelas dosen
sedang menerangkan saya plonga-plongo, saya merasa asing sekali hitung-hitungan waris
perdata dan waris islam yang disampaikan oleh dosen ditambah istilah-istilah
waris yang jelimet, sementara pada umumnya mahasiswa lancar untuk mengikutinya.
Dosen sering mengacak mahasiswa untuk maju ke depan mengerjakan hitungan waris,
jika mahasiswa tidak bisa mengerjakan, sekali pun mahasiswa S2 kami
dibego’-bego’in. Alhamdulillah, saya termasuk orang yang beruntung tidak pernah
ditunjuk secara acak maju ke depan. Menghadapi mata kuliah yang keramat ini saya
introspeksi diri, seingat saya ketika kuliah S1 tidak mendapati hitungan-hitungan
seperti ini, tapi kenapa sebagian teman saya dari berbagai universitas pada
paham, pikiran yang sempat mampir di benak saya pada waktu itu, tapi
saya tidak mau mencari kambing hitam apalagi menyalahkan orang lain, saya
kontemplatif lagi, barangkali saya saja yang tidak bisa, maka saya bertekad akan
meningkatkan belajar. Karuan saja saya dan teman yang nilainya jeblok tadi menjadi selebritis di kampus (selebritis dalam arti negatif), sedangkan sahabat
saya yang nilai ujiannya bagus ditambah rajin setiap kuliah membawa tape
recorder juga membuat notulen kuliah menjadi selebritis yang sesungguhnya di kampus (selebritis
positif), padahal kakinya pincang sebelah memakai tongkat. Ada kejadian menarik
ketika kuliah, disini mahasiswa yang menjadi
selebritis bukannya mahasiswa/mahasiswi yang bergonta-ganti mobil mewah, bukan yang berparas ganteng bukan pula yang cantik, tetapi
mahasiswa yang rajin dan pandai, pasti dia akan menjadi bintang dan dikejar-kejar
temannya di kelas meski ia cacat fisik. Itu semua karena yang mengejar-ngejar jelas ada maunya
ingin resume catatan hariannya. Mahasiswa jika ada bahan kuliah foto kopian
pasti berebut, lebih lucunya lagi foto kopian yang materinya sama hanya beda judulnya saja
mereka masih tetap berebutan untuk foto kopi, terkadang ada mahasiswa yang
memiliki tabiat seperti anak kecil punya bahan kuliah tetapi disembunyikan,
hanya diberikan kepada kelompoknya (ada kelompok eksklusif). Lebih riuh
rendahnya lagi ketika pengumuman hasil ujian, di Sekretariat TU Fakultas Hukum
gaduhnya bukan main ketika mahasiswa berebut melihat hasil ujian, tentu ada yang senang
dan berbahagia karena nilai ujiannya dapat A, B atau C , tetapi tak jarang yang tertunduk
lesu merenungi nasib karena hasil nilainya dinyatakan C- atau D alias tidak
lulus, masih beruntung yang dapat nilai i (incomplete) mahasiswa tersebut masih
bisa mengikuti ujian susulan.
Mahasiswa selalu berebut ingin duduk di depan untuk mendengarkan dengan
sungguh-sungguh materi yang disampaikan oleh dosen, saya pun ikut-ikutan ingin
duduk di depan apalagi kalau Prof Jimly Assiddiqie (ketika itu ketua MK) dan
Prof Harun Al Rasid Pakar Hukum Tata Negara Indonesia juga Prof. Hikmahanto
Juwana.
Menghadapi kuliah yang berat ini, malam hari menjelang tidur
ketika semester II saya menyampaikan niat kepada keluarga untuk berhenti
kuliah, saya sudah merasa nggak kuat lagi, sebab, selain sibuk bekerja di
persidangan MPR, untuk lulus setiap mata kuliah juga susah. Istri menolak keras
seraya bilang: Lanjutkan!, soalnya biaya sudah habis banyak!. Setelah
berdiskusi panjang lebar dengan keluarga akhirnya saya bertekad bulat untuk
tetap meneruskan kuliah dengan syarat harus merubah pola belajar. Di Pikiran
saya hanya ada dua pilihan: “Berhenti kuliah, atau lanjut dengan syarat giat
belajar”!. Tidak ada pilihan lain!. Setelah saya putuskan lanjut kuliah,
dimana-mana saya membawa buku untuk belajar, di kendaraan pun saya taruh buku-buku,
ketika sedang di lampu merah sambil menunggu lampu hijau saya sempatkan
untuk membaca buku, terkadang saking keasyikan membaca buku sampai lampu lalu
lintas sudah hijau saya masih belum juga jalan, tak ayal dari belakang banyak
kendaraan yang berisik bersaut-sautan mengebel. Nyaris hanya di kamar mandi
saja saya tidak membawa buku, bahkan diruangan dinding kamar tidur, saya
tempelin ringkasan pelajaran yang sudah saya photo kopi dan perbesar,
filosofinya meski saya tidak niat belajar ketika saya di kamar tidur pasti
memandangi tulisan di dinding yang saya tempel itu. Begitu materi kuliah itu
sudah lulus, ringkasan yang saya tempel di dinding kamar tidur tsb langsung
saya klotok. Selamat tinggal, Wassalam!, begitu seterusnya. Setiap hari Sabtu, saya juga
mengikuti tentir dari kakak kelas yang sudah jago hitung-hitungan waris, saya
patungan 300ribuan untuk sewa tempat, honor bimbel dan untuk makan siang.
Mengapa banyak mahasiswa yang mengikuti bimbingan waris perdata dan
waris islam?. Karena kedua mata kuliah ini menjadi momok bagi mahasiswa, dosen
sampai tutup mata pun tidak bakalan mau merubah nilai jika memang mahasiswanya
tidak bisa mengerjakan, makanya banyak mahasiswa yang di DO karena dua mata
kuliah yang angker ini. Saking “dimana-mana saya gila membawa buku-buku
untuk belajar”, hampir saja saya menyesal, nyaris anak saya ke cemplung kolam
renang karena saya keasyikan membaca buku di kursi kolam renang, bersyukur
sebelum masuk tubir jurang kolam renang, anak saya sudah ada yang menolong.
Dari belajar tekun dan sungguh-sungguh, dari jumlah mahasiswa 175 yang
diparalel beberapa kelas, HASILNYA: SUNGGUH MENAKJUBKAN!, saya termasuk diantara
75 mahasiswa yang lulus tepat waktu. Melihat kenyataan ini teman-teman saya
pada heboh, tidak percaya bagaimana mungkin semula saya terseok-seok di
semester I-III banyak mata kuliah yang tidak lulus, semester IV bisa mengejar
dan lulus semua bahkan bisa lulus tepat waktu?. Sementara banyak teman yang
nilainya bagus di semester I-III menginjak semester IV “kesleo” alias nilainya
jeblok tidak bisa lulus tepat waktu. Dibalik kebahagiaan itu, saya merasa
berduka karena sahabat saya yang baik hati yang menjadi selebritis kampus dalam
arti negatif tersebut benar-benar di DO karena sudah diberikan perpanjangan
waktu 2 semester masih nggak lulus-lulus juga. Sahabat saya yang di DO ini meski
“agak lambat pentiumnya”, tetapi orangnya baik dan tulus hati, dari dialah saya
banyak mendapatkan bahan-bahan perkuliahan, dia juga yang menjadi “BEMPER”
ketika saya nggak masuk kuliah minta tolong nitip absen, tapi kena apes ketangkap karena
dosen memanggil mahasiswa satu-persatu, akhirnya kami berdua diminta menghadap
dosen tsb untuk membuat pernyataan tidak akan mengulangi lagi, sekali lagi
diulang tidak bakalan lulus mata kuliah hukum agraria. Beliau yang memanggil dan
menasehati keculasan kami adalah pakar hukum pertanahan nasional, Prof Boedi Harsono, pengampu
mata kuliah Hukum Agraria yang bukunya menjadi rujukan fakultas hukum
di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dengan judul: “Sejarah Agraria dan Himpunan Pertanahan”. Satu lagi
pengalaman yang tak terlupakan ketika sedang menghadapi UAS, sahabat saya yang di DO
tersebut dengan setianya menemani saya menginap tidur di kampus masjid dengan
badan berbalut autan anti nyamuk. Hal ini terpaksa saya lakukan, karena sedang menemui apes jam 19.00 WIB ketika
saya hendak pulang ke Tangerang, kendaraan saya tiba-tiba mogok tidak bisa di stater, padahal besok
paginya masih ada UAS mata kuliah Hukum Agraria yang soalnya beranak-pianak, karuan saja saya menginap di Masjid kampus samping fakultas hukum dekat auditorium Joko Soetono. Semalaman saya bilang sama teman yang ikut menginap, bahwa mata kuliah hukum agraria ini juga momok berat, maka malam ini kita
sebaiknya harus begadang untuk belajar, malam ini menentukan lulus atau tidaknya kuliah kita ke depan. Kira-kira jam
2 malam saya melihat teman saya sudah tidur mendengkur dan ngorok, sementara saya menginap
di masjid ini benar-benar begadang tidak tidur sama sekali untuk belajar.
Alhamdulillah, hasilnya hukum agraria saya dinyatakan lulus dapat nilai B+.
Kuliah Mengelilingi 3
Propinsi
Selain berat perjuangan untuk lulus setiap mata kuliah di UI, juga menyita
waktu, pikiran dan tenaga. Saya bertempat tinggal di Sari Bumi Indah, Kabupaten
Tangerang, Propinsi Banten, sementara saya bekerja di Sekretariat Jenderal
MPR/DPR di Senayan Jakarta, dalam waktu yang bersamaan setiap hari jam 15.00 WIB
saya harus berangkat kuliah ke Depok, Jawa-Barat perkuliahan dimulai pukul
16.30 WIB, nyaris setiap hari saya kuliah mengelilingi 3 propinsi yaitu,
Banten-Jakarta-Jawa-Barat. Hasilnya, pada 2 September 2006 saya termasuk ribuan
wisudawan di Balairung UI Depok. Selesai S1 tahun 2002 di Universitas Satyagama
sampai lulus S2 tahun 2006 menunggu penyesuaian ijasah belum juga dilakukan,
seangkatan saya jumlahnya 13 orang yang juga menunggu penyesuaian ijasah
nasibnya digantung hanya karena pimpinan Sekretariat Jenderal MPR yang tidak
punya hati dan tidak amanah, maka dengan mengucap: “Bismillahirrahmanirrahin”
pada bulan Februari Tahun 2008 saya memutuskan untuk berhenti menjadi PNS dengan
beralih profesi menjadi jasa hukum dan dosen. Saya berketetapan hati, bagi saya
yang memberikan pensiun itu bukan negara, tetapi Allah SWT. Rezeki Allah SWT
itu benar-benar maha luas, terbukti setelah saya mengambil keputusan nekat
resign dari PNS, ternyata yang bisa makan itu tidak cuma orang yang
berpenghuni di gedung MPR/DPR saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.