Kamis, 02 Februari 2017

Kisah Mengharukan “Mahasiswi Kaki Bertongkat” Tapi Selebritis Kampus






Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

       Bersyukurlah bagi kita yang bisa mengenyam pendidikan dengan baik, karena dengan pendidikan akan dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih baik pula, minimal hidup ini tidak akan keblangsak. Namun, tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya dan ketiadaan kesempatan untuk meraihnya. Jangankan untuk biaya sekolah (kuliah), untuk bertahan hidup soal urusan perut saja banyak orang yang tak berdaya dibuatnya. Saya diantara orang yang mengalami nasib tidak beruntung itu, pada tahun 1983 setamat SMP, karena ketidakberdayaan orang tua untuk menyekolahkan SMA, terpaksa saya harus berkelana ke Jakarta untuk mencari peruntungan menenggak manisnya madu ibu kota negara. Kerja serabutan saya jalani, Motto saya yang penting halal, dari mulai pemungut bola lapangan tenis, kuli bangunan dan office boy yang penting bisa bertahan hidup di kehidupan Jakarta yang keras. Ditengah-tengah merasakan penderitaan  kejamnya ibukota, ketika dijalanan saya melihat anak-anak sekolah SMA sedang bercengkerama, batin saya menangis, saya rindu ingin kembali bisa bersekolah. Akhirnya, pada tahun 1984 keinginan itu terwujud di sekolah malam SMA TRI UTAMA, Duren Tiga, Jakarta Selatan yang ujian nasionalnya menggabung di SMA 55 Negeri, jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta-Selatan. Setamat SMA tahun 1987 saya mencolot sana-sini, berkelana bekerja serabutan mulai dari Jakarta-Medan-Palembang-Semarang-Pati sampai balik lagi ke Jakarta, akhirnya pada tahun 1997 saya “terdampar” menjadi PNS Sekretariat Jenderal MPR dengan bermodalkan ijasah SMA bergolongan ruang IIa. Dengan menjadi PNS, setelah terkumpul cukup uang, pada tahun 1998 saya nekat mendaftarkan kuliah di fakultas hukum Universitas Satyagama, Jakarta, dan lulus pada tahun 2002. Setamat S1 maksud hati kuliah tidak munafik jelas untuk memperbaiki taraf hidup, tapi penyesuaian ijasah yang saya harapkan tak kunjung datang, hal ini karena pejabat Sekretariat Jenderal MPR tak memahami (baca: tidak bersih hati), padahal sudah ada PP No 12 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Pangkat PNS, dimana dinyatakan dengan terang benderang, PNS yang menamatkan S1 tetapi masih bergolongan ruang IId kebawah dapat disesuaikan menjadi golongan ruang IIIa. Anehnya, kesarjanaan saya belum juga disesuaikan, tetapi ketika ada pembahasan Tata Naskah Dinas DPD-RI saya diikutsertakan sebagai Tim Perumus, saya adalah salah satu TIM PERUMUS TATA NASKAH DINAS DPD-RI TAHUN 2007,  padahal sebenarnya ini adalah tugas pemikir (sarjana), sedangkan gaji saya kalau dikepolisian itu masih “dibintarakan” (golongan IIc terakhir). ANEH TAPI NYATA!. Lama menunggu ijasah S1 tidak segera disesuaikan, setelah terkumpul uang cukup pada tahun 2004 saya kembali melanjutkan kuliah S2 di fakultas hukum Magister Kenotariatan Universitas Indonesia dengan lulus tepat waktu pada tahun 2006.


Kuliah di UI Bagaikan Kawah Candradimuka
       Mahasiswa kakinya cacat tetapi karena cerdas menjadi selebritis kampus. Perjalanan kuliah di UI dari tahun 2004-2006 sangat berat saya rasakan. Kaki cuma dua, tetapi harus berpijak kesana-kemari sudah di masyarakat mendapat beban berat sebagai Ketua RT, belum menjadi kepala keluarga, ditambah pekerjaan menumpuk di bagian Persidangan MPR, mau berangkat kuliah meninggalkan ruangan saja susahnya bukan main, benar-benar dibuat pusing tujuh keliling belum tugas seabrek-abrek yang dibebankan dosen, baik tugas individual maupun tugas secara kolegial. Masih diperparah lagi dengan kelompok belajar yang krangkring-krangkring ribut mengajak belajar kelompok. Untuk mendapatkan nilai C saja susahnya minta ampun dan bersyukur karena tidak akan mengulang lagi yang akan dapat menguras pikiran, tenaga dan konsekuensinya akan menambah biaya, sungguh berat rasanya perjuangan mahasiswa untuk memperoleh nilai yang kampusnya terkenal MASUK SUSAH KELUAR SUSAH ini. Disini tidak ada istilah dosen memberikan belas kasih nilai kepada mahasiswanya, dosen umumnya angker, tinggal mahasiswa bisa atau tidak. Bahkan ada dosen yang sadis, sehabis UTS atau UAS rumahnya ditulisi “TIDAK MENERIMA TAMU MAHASISWA”, mahasiswa yang membawa bingkisan ke rumahnya, oleh-oleh itu disuruh membawa pulang. Yang lebih tidak bisa diterima dalam batas penalaran logis, ketika dosen sedang mengajar ada mahasiswa yang membelikan juice, tetapi dosen tersebut tidak mau, dengan alasan tidak terbiasa minum juice, tersiar khabar luas pemberian juice ini dikhawatirkan berdampak memengaruhi penilaian mahasiswa. Bagaimana jika selama ini saya menjadi dosen di kelas disuguhi air mineral oleh mahasiswa?. Jujur saja, saya menerima dan saya minum, pemberian mahasiswa itu masih dalam batas-batas yang dibenarkan sesuai kaidah akademis. Dibalik mayoritas keangkeran dosen, ada satu-satunya dosen yang terlalu baik hati, selain tidak pelit nilai juga setiap UTS atau UAS dari 175 mahasiswa selalu memberikan suguhan kue kotak, dosen ini selalu dielu-elukan mahasiswa dan senantiasa didoakan oleh mahasiswa semoga sehat dan panjang umur serta murah rezeki.

Selebritis Kampus
        Awal-awal masuk kuliah pada semester pertama saya dibuat shock, dari 8 mata kuliah yang saya ambil saya cuma lulus 2 mata kuliah, tetapi ada yang lebih tragis lagi nasibnya ketimbang saya, salahsatu teman saya cuma lulus 1 mata kuliah, padahal selain kuliah dia juga pegawai UI di bagian Fakultas Kesehatan masyarakat, tinggal melangkahkan kaki ketika kuliah. Ketika di kelas dosen sedang menerangkan saya plonga-plongo, saya merasa asing sekali hitung-hitungan waris perdata dan waris islam yang disampaikan oleh dosen ditambah istilah-istilah waris yang jelimet, sementara pada umumnya mahasiswa lancar untuk mengikutinya. Dosen sering mengacak mahasiswa untuk maju ke depan mengerjakan hitungan waris, jika mahasiswa tidak bisa mengerjakan, sekali pun mahasiswa S2 kami dibego’-bego’in. Alhamdulillah, saya termasuk orang yang beruntung tidak pernah ditunjuk secara acak maju ke depan. Menghadapi mata kuliah yang keramat ini saya introspeksi diri, seingat saya ketika kuliah S1 tidak mendapati hitungan-hitungan seperti ini, tapi kenapa sebagian teman saya dari berbagai universitas pada paham, pikiran  yang sempat mampir di benak saya pada waktu itu, tapi saya tidak mau mencari kambing hitam apalagi menyalahkan orang lain, saya kontemplatif lagi, barangkali saya saja  yang tidak bisa, maka saya bertekad akan meningkatkan belajar. Karuan saja saya dan teman yang nilainya jeblok  tadi menjadi selebritis di kampus (selebritis dalam arti negatif), sedangkan sahabat saya yang nilai ujiannya bagus ditambah rajin setiap kuliah membawa tape recorder juga membuat notulen kuliah menjadi selebritis yang sesungguhnya di kampus (selebritis positif), padahal kakinya pincang sebelah memakai tongkat. Ada kejadian menarik ketika kuliah, disini mahasiswa yang menjadi selebritis bukannya mahasiswa/mahasiswi yang bergonta-ganti mobil mewah, bukan yang berparas ganteng bukan pula yang cantik, tetapi mahasiswa yang rajin dan pandai, pasti dia akan menjadi bintang dan dikejar-kejar temannya di kelas meski ia cacat fisik. Itu semua karena yang mengejar-ngejar jelas ada maunya ingin resume catatan hariannya. Mahasiswa jika ada bahan kuliah foto kopian pasti berebut, lebih lucunya lagi foto kopian yang materinya sama hanya beda judulnya saja mereka masih tetap berebutan untuk foto kopi, terkadang ada mahasiswa yang memiliki tabiat seperti anak kecil punya bahan kuliah tetapi disembunyikan, hanya diberikan kepada kelompoknya (ada kelompok eksklusif). Lebih riuh rendahnya lagi ketika pengumuman hasil ujian, di Sekretariat TU Fakultas Hukum gaduhnya bukan main ketika mahasiswa berebut melihat hasil ujian, tentu ada yang senang dan berbahagia karena nilai ujiannya dapat A, B atau C , tetapi tak jarang yang tertunduk lesu merenungi nasib karena hasil nilainya dinyatakan C- atau D alias tidak lulus, masih beruntung yang dapat nilai i (incomplete) mahasiswa tersebut masih bisa mengikuti ujian susulan.
      Mahasiswa selalu berebut ingin duduk di depan untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh materi yang disampaikan oleh dosen, saya pun ikut-ikutan ingin duduk di depan apalagi kalau Prof Jimly Assiddiqie (ketika itu ketua MK) dan Prof Harun Al Rasid Pakar Hukum Tata Negara Indonesia juga Prof. Hikmahanto Juwana.
       Menghadapi kuliah yang berat ini, malam hari menjelang tidur ketika semester II saya menyampaikan niat kepada keluarga untuk berhenti kuliah, saya sudah merasa nggak kuat lagi, sebab, selain sibuk bekerja di persidangan MPR, untuk lulus setiap mata kuliah juga susah. Istri menolak keras seraya bilang: Lanjutkan!, soalnya biaya sudah habis banyak!. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan keluarga akhirnya saya bertekad bulat untuk tetap meneruskan kuliah dengan syarat harus merubah pola belajar. Di Pikiran saya hanya ada dua pilihan: “Berhenti kuliah, atau lanjut dengan syarat giat belajar”!. Tidak ada pilihan lain!. Setelah saya putuskan lanjut kuliah, dimana-mana saya membawa buku untuk belajar, di kendaraan pun saya taruh buku-buku, ketika sedang di lampu merah sambil menunggu lampu hijau saya sempatkan untuk membaca buku, terkadang saking keasyikan membaca buku sampai lampu lalu lintas sudah hijau saya masih belum juga jalan, tak ayal dari belakang banyak kendaraan yang berisik bersaut-sautan mengebel. Nyaris hanya di kamar mandi saja saya tidak membawa buku, bahkan diruangan dinding kamar tidur, saya tempelin ringkasan pelajaran yang sudah saya photo kopi dan perbesar, filosofinya meski saya tidak niat belajar ketika saya di kamar tidur pasti memandangi tulisan di dinding yang saya tempel itu. Begitu materi kuliah itu sudah lulus, ringkasan yang saya tempel di dinding kamar tidur tsb langsung saya klotok. Selamat tinggal, Wassalam!, begitu seterusnya. Setiap hari Sabtu, saya juga mengikuti tentir dari kakak kelas yang sudah jago hitung-hitungan waris, saya patungan 300ribuan untuk sewa tempat, honor bimbel dan untuk makan siang. Mengapa banyak mahasiswa yang mengikuti bimbingan waris perdata dan waris islam?. Karena kedua mata kuliah ini menjadi momok bagi mahasiswa, dosen sampai tutup mata pun tidak bakalan mau merubah nilai jika memang mahasiswanya tidak bisa mengerjakan, makanya banyak mahasiswa yang di DO karena dua mata kuliah yang angker ini.  Saking “dimana-mana saya gila membawa buku-buku untuk belajar”, hampir saja saya menyesal, nyaris anak saya ke cemplung kolam renang karena saya keasyikan membaca buku di kursi kolam renang, bersyukur sebelum masuk tubir jurang kolam renang, anak saya sudah ada yang menolong.
     Dari belajar tekun dan sungguh-sungguh, dari jumlah mahasiswa 175 yang diparalel beberapa kelas, HASILNYA: SUNGGUH MENAKJUBKAN!, saya termasuk diantara 75 mahasiswa yang lulus tepat waktu. Melihat kenyataan ini teman-teman saya pada heboh, tidak percaya bagaimana mungkin semula saya terseok-seok di semester I-III banyak mata kuliah yang tidak lulus, semester IV bisa mengejar dan lulus semua bahkan bisa lulus tepat waktu?. Sementara banyak teman yang nilainya bagus di semester I-III menginjak semester IV “kesleo” alias nilainya jeblok tidak bisa lulus tepat waktu. Dibalik kebahagiaan itu, saya merasa berduka karena sahabat saya yang baik hati yang menjadi selebritis kampus dalam arti negatif tersebut benar-benar di DO karena sudah diberikan perpanjangan waktu 2 semester masih nggak lulus-lulus juga. Sahabat saya yang di DO ini meski  “agak lambat pentiumnya”, tetapi orangnya baik dan tulus hati, dari dialah saya banyak mendapatkan bahan-bahan perkuliahan, dia juga yang menjadi “BEMPER” ketika saya nggak masuk kuliah minta tolong nitip absen, tapi kena apes ketangkap karena dosen memanggil mahasiswa satu-persatu, akhirnya kami berdua diminta menghadap dosen tsb  untuk membuat pernyataan tidak akan mengulangi lagi, sekali lagi diulang tidak bakalan lulus mata kuliah hukum agraria. Beliau yang memanggil dan menasehati keculasan kami adalah pakar hukum pertanahan nasional, Prof Boedi Harsono, pengampu mata kuliah Hukum Agraria yang bukunya menjadi rujukan fakultas hukum di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dengan judul: “Sejarah Agraria dan Himpunan Pertanahan”. Satu lagi pengalaman yang tak terlupakan ketika sedang menghadapi UAS, sahabat saya yang di DO tersebut dengan setianya menemani saya menginap tidur di kampus masjid dengan badan berbalut autan anti nyamuk. Hal ini terpaksa saya lakukan, karena sedang menemui apes jam 19.00 WIB ketika saya hendak pulang ke Tangerang, kendaraan saya tiba-tiba mogok tidak bisa di stater, padahal besok paginya masih ada UAS mata kuliah Hukum Agraria yang soalnya beranak-pianak, karuan saja saya menginap di Masjid kampus samping fakultas hukum dekat auditorium Joko Soetono. Semalaman saya bilang sama teman yang ikut menginap, bahwa mata kuliah hukum agraria ini juga momok berat, maka malam ini kita sebaiknya harus begadang untuk belajar, malam ini menentukan lulus atau tidaknya kuliah kita ke depan. Kira-kira jam 2 malam saya melihat teman saya sudah tidur mendengkur dan ngorok, sementara saya menginap di masjid ini benar-benar begadang tidak tidur sama sekali untuk belajar. Alhamdulillah, hasilnya hukum agraria saya dinyatakan lulus dapat nilai B+.

Kuliah Mengelilingi 3 Propinsi
     Selain berat perjuangan untuk lulus setiap mata kuliah di UI, juga menyita waktu, pikiran dan tenaga. Saya bertempat tinggal di Sari Bumi Indah, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten, sementara saya bekerja di Sekretariat Jenderal MPR/DPR di Senayan Jakarta, dalam waktu yang bersamaan setiap hari jam 15.00 WIB saya harus berangkat kuliah ke Depok, Jawa-Barat perkuliahan dimulai pukul 16.30 WIB, nyaris setiap hari saya kuliah mengelilingi 3 propinsi yaitu, Banten-Jakarta-Jawa-Barat. Hasilnya, pada 2 September 2006 saya termasuk ribuan wisudawan di Balairung UI Depok. Selesai S1 tahun 2002 di Universitas Satyagama sampai lulus S2 tahun 2006 menunggu penyesuaian ijasah belum juga dilakukan, seangkatan saya jumlahnya 13 orang yang juga menunggu penyesuaian ijasah nasibnya digantung hanya karena pimpinan Sekretariat Jenderal MPR yang tidak punya hati dan tidak amanah, maka dengan mengucap: “Bismillahirrahmanirrahin” pada bulan Februari Tahun 2008 saya memutuskan untuk berhenti menjadi PNS dengan beralih profesi menjadi jasa hukum dan dosen. Saya berketetapan hati, bagi saya yang memberikan pensiun itu bukan negara, tetapi Allah SWT. Rezeki Allah SWT itu benar-benar maha luas, terbukti setelah saya mengambil keputusan nekat resign dari PNS, ternyata yang bisa makan itu  tidak cuma orang yang berpenghuni di gedung MPR/DPR saja.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALHAMDULILLAH ANAK SAYA LULUS SKD TEST ASN di KEMENTERIAN ESDM SUMBER DAYA MINERAL UJIAN BERTEMPAT DI PPK KEMAYORAN

    Foto Anak Saya Test ASN di Gedung PPK Kemayoran Pada hari Minggu, Tanggal 27 Oktober 2024   Pada hari Minggu, tanggal 27 Oktober 2024 sa...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19