Jumat, 26 Desember 2008

MPR Pandai “Berkelit”, DPR Pintar “Olah Vokal”, DPD Mahir “Berkelakar”



Oleh Warsito, SH., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-Mantan PNS MPR-RI 9 Tahun dan DPD-RI 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri


      Tidak berapa waktu lama lagi Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU. SUSDUK) akan segera disyahkan. Lembaga negara manakah sesungguhnya yang paling berdebar-debar menanti kedatangannya?. Lembaga negara yang sport jantung tersebut, tidak lain adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR. Sementara itu, di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, wacana pelikuidasian pimpinan MPR secara permanen disambut dengan “isak dan jerit tangis”. Benarkah UU SUSDUK ini menyangkut hidup “orang banyak” sehingga tarik ulur kepentingan?. Jika UU Susduk meniadakan pimpinan MPR secara permanen, konsekuensinya bukan hanya membubarkan pimpinan MPR saja, anggota DPR dan anggota DPD yang biasa berburu kekuasaan di pimpinan MPR juga akan terkena imbasnya. Hal lain, Sekretariat Jenderal MPR dengan sendirinya juga akan dibubarkan. Dengan demikian, Sekjen, Wakil Sekjen dan Kepala-Kepala Biro akan kehilangan jabatannya. Meskipun personil jajaran Setjen MPR disalurkan ke instansi lain, mereka belum tentu memperoleh jabatan seperti yang pernah disandangnya. Oleh karena itu, orang yang memiliki kepentingan tidak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen bukan hanya pimpinan MPR, anggota DPR dan DPD, bahkan Sekretariat Jenderal MPR pun sangat-sangat berkepentingan untuk hal itu. Hal-hal inilah yang sebenarnya tidak banyak diketahui oleh khalayak, mengapa Pansus UU SUSDUK menjadi sulit mewujudkan Sekretariat Parlemen .

DPR Pintar Olah Vokal
       Mencermati Editorial Media Indonesia, Sabtu, 6 Desember berjudul “UU Susduk Tanpa Perubahan Substansial”, nampaknya kita tidak dapat berharap banyak dari substansi UU SUSDUK mendatang, sebab pembahasannya melibatkan banyak faktor kepentingan. Penulis masih ingat betul, jauh sebelum pembahasan UU SUSDUK sebagian anggota DPR berteriak lantang, sangat vokal menyuarakan agar demi efisiensi keuangan negara sebaiknya Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD disatukan menjadi Sekretariat yang bernama Sekretariat Parlemen. Namun setelah pembahasan UU SUSDUK hampir rampung, dan tinggal tahap pengesahan, suara-suara itu, pelan tapi pasti mulai menghilang tak terdengar lagi. Anggota DPR ibarat kerupuk yang mudah melempem tersiram air dan mudah mengkeret terkena sedikit panas terik matahari. Singkatnya, Pansus UU SUSDUK tidak konsisten dengan apa yang pernah diucapkan. Apa sebenarnya yang menjadikan Pansus UU SUSDUK ini tidak bergairah menyatukan Sekretariat Jenderal menjadi Sekretariat Parlemen?. Masih dalam editorial tersebut menyatakan bahwa, dengan tetap dipermanenkannya pimpinan MPR, maka konsekuensinya ada anggaran tersendiri. Ini artinya, jika pimpinan MPR tetap dipermanenkan, untuk mengisi kevakuman selama lima tahun sekali, MPR dipastikan akan terus mencari kesibukan antara lain, gemar melakukan sosialisasi UUD 1945 di dalam dan di luar negeri. Padahal di dalam negeri sendiri sebagian besar rakyat, kalangan akademisi dan para pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah banyak yang belum memahami substansi UUD 1945, mengapa harus melakukan sosialisasi keluar negeri?. Sosialisasi UUD ke luar negeri tersebut dipastikan tidak akan membawa manfaat apa-apa, justru yang terjadi sebaliknya hanyalah menghambur-hamburkan uang rakyat. UU SUSDUK yang telah memberikan tugas kepada pimpinan MPR untuk melaksanakan dan memasyarakatkan putusan MPR berbentuk UUD 1945, itu bagian dari perintah undang-undang yang mengada-ada. Mempermanenkan MPR secara formil, bukan hanya menyalahi aturan ketatanegaraan yang baik, mengingat tugas MPR secara periodik selama lima tahun sekali hanyalah melantik presiden dan wakil presiden, dari aspek hukum materiil mempermanenkan MPR pun tidak memiliki makna apa-apa, hanya akan menghambur-hamburkan uang rakyat belaka. Dengan adanya pimpinan MPR tersebut, disana ada Ketua MPR, Wakil-Wakil Ketua MPR, Sekjen, Wakil Sekjen dan Kepala-Kepala Biro beserta stafnya, konsekuensinya akan membebani keuangan negara.

MPR Pandai “Berkelit”, DPD “Mahir Berkelakar”
      Hal lain, jika pimpinan MPR tetap dipermanenkan, justru memberikan peluang kepada DPR dan DPD untuk terus cakar-cakaran berebut kekuasaan. Indikator itu terlihat pada gelagat DPD yang tidak mau diberikan satu utusan duduk di pimpinan MPR. Biar gagah DPD meminta perimbangan, pimpinan MPR dua unsur dari DPR dan dua unsur dari DPD (Komposisi tetap seperti UU Susduk lama). Benarkah untuk tujuan proporsional?. Masih ingatkah, apakah yang dapat diperbuat oleh DPD ketika dua anggotanya duduk sebagai pimpinan MPR?. Kesimpulannya, DPD meminta jatah dua anggotanya duduk di pimpinan MPR, bukan untuk proporsional memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada tujuan meminta jatah kekuasaan belaka. Masih ingatkah kasus usulan amendemen UUD 1945 yang pernah diajukan DPD sudah mencapai klimaksnya 238 anggota?. Mestinya DPD ketika itu sudah bisa mendesak pimpinan MPR untuk menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Tetapi ketika Pimpinan MPR pandai “berkelit” menetapkan tenggat waktu 7 Agustus 2007 untuk menarik atau memberikan dukungan amendemen UUD 1945, DPD justru manut saja dengan keputusan pimpinan MPR yang merugikan DPD itu. Benarkah pihak DPD dirugikan?. DPD rugi karena tenggat waktu sebagaimana ditetapkan oleh pimpinan MPR dukungan amendemen menggembos tinggal 204 anggota majelis, akhirnya pimpinan MPR menyatakan bahwa usulan perubahan konstitusi yang diajukan oleh DPD tidak memenuhi syarat. Artinya usulan amendemen UUD 1945 itu tidak dapat diteruskan alias terhenti ditengah jalan. Sebenarnya, memang gagalnya amendemen inilah yang dikehendaki oleh MPR, sebab konsekuensi dari amendemen kelima UUD 1945, jelas akan menempatkan kesejajaran DPD dengan DPR, hal lain pimpinan MPR secara permanen akan dibubarkan. Dengan gagalnya amendemen itu, menjadi sia-sia belaka usaha DPD untuk mewujudkan amendemen UUD 1945 selama ini. Terkait dengan tulisan ini (baca: artikel saya di Media Indonesia tanggal 29 Mei dan 11 September 2007 dengan judul: “MPR Perlu Belajar Hukum Perjanjian”, Dan: “Refleksi 3 Tahun Kelahiran DPD”). Bukankah pimpinan MPR terdiri dari dua unsur DPD dan dua unsur DPR?. Mengapa DPD diam seribu bahasa manut dengan keputusan pimpinan MPR yang merugikan itu?. Bukankah dalam rangka persiapan menghadapi amendemen UUD 1945 anggota DPD telah kenyang diberi pembekalan oleh para pakar di hotel Novotel Bandung?. Mengapa DPD masih keblinger?. Oleh karena itu, untuk usulan amendemen berikutnya, DPD tidak boleh hanya mahir “berkelakar”, hal penting yang perlu dilakukan DPD yaitu, giat belajar agar tidak dikebiri oleh MPR (unsur DPR).
Sambil menunggu disahkannya UU Susduk, untuk pimpinan MPR dan jajaran Sekretariat Jenderal MPR hanya bisa memanjatkan do’a. Berdo’alah, agar pimpinan MPR secara permanen tetap dipertahankan alias tidak dibubarkan.

Selasa, 23 Desember 2008

Secara Hukum Dapatkah Presiden Membubarkan DPD



Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat




      Masih segar ingatan kita, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR menggelar sidang perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Hasil perubahan itu, antara lain yakni membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Ironisnya, MPR membubarkan DPA, sisi lain membarter menukargantikan dengan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pertanyaannya, apa beda DPA dengan DPD?. Jika melihat dari teks redaksionalnya, sepintas kelihatan berbeda. Tetapi jika kita kaji lebih lanjut dari aspek normatifnya, kedua lembaga Negara ini pada hakekatnya mempunyai fungsi dan peran sama saja dalam sistim ketatanegaraan. Persamaannya, baik DPA maupun DPD adalah lembaga yang tidak diberi kewenangan oleh konstitusi, keberadaannya hanya diposisikan memberikan pertimbangan dan pendapat yang tidak berimplikasi yuridis jika pertimbangan dan pendapat itu tidak ditindaklanjuti oleh yang menerima pertimbangan.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Untuk Apa DPD?

      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini ‘dihidangkan’ jika keberadaannya tidak bermanfaat?. Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asal kegiatan itu tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan ini.

Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.

      Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Itikad tidak baik kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan konsensus atau lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amendemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya.
      Kegagalan amendemen UUD 1945, tidak menjadikan DPD kapok (patah semangat). DPD kini berjuang kembali mengusung perubahan UUD 1945 yang tidak terbatas hanya kepada penguatan kelembagaannya, tetapi perubahan yang akan disajikan secara komprehensif. Kegagalan amendemen UUD 1945 waktu itu, disebabkan DPD bertepuk sebelah tangan, alias amendemen gagal karena tidak didukung mayoritas anggota MPR unsur DPR. Argumentasi DPR klasik, yaitu, usulan perubahan UUD 1945 yang disusun oleh DPD tidak diajukan secara komprehensif terbatas hanya kepada penguatan lembaga DPD.

Antara Dibubarkan Atau Dipertahankan

      1 Oktober 2004 sejak anggota DPD dilantik, sudah hampir lima tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah-setengah atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa tuan-tuan mudah membuat UUD ketinggalan zaman dan cepat usang (verouderd)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuan-tuan melahirkan lembaga Negara DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?.

Mencari Kajian Komisi Konstitusi Yang Raib



Oleh Warsito, SH M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta



      Jika kita mengamati pola bekerjanya Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR dengan saksama, sudah barang tentu kita akan menggeleng-gelengkan kepala. Pasalnya, pola berpikir MPR tidak terstruktur dan tidak masuk akal (no reasonable). Lembaga negara yang pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945, kini ia kembali mengeluarkan jurus mautnya untuk membentuk sebuah tim penelaah tandingan secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Kemanakah raibnya kajian komisi konstitusi itu?. Keputusan MPR untuk membentuk tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah atau DPD di MPR, Jakarta, Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). Namun keseriusan MPR untuk membentuk sebuah Komisi tersebut patut dipertanyakan, pasalnya hingga saat ini mekanisme pembentukan komisi tersebut belum juga dilaksanakan, dan ironisnya khabar pembentukan komisi itu kini pelan-pelan menghilang tak terdengar lagi.

MPR Lupa Ingatan?.

      Berangkat dari gagasan pembentukan Komisi penelaah konstitusi, satu hal penting yang perlu dicatat, bukankah MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945?. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?. Apakah MPR sedang lupa ingatan?.

      Dukungan pembentukan Komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.
     Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.
DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk Komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” memakai jas MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh presiden apakah hal itu justru tidak menjerumuskan presiden?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
Mengapa DPD berharap kepada presiden yang berinisiatif membentuk Komisi pengkaji konstitusi?. Hal ini boleh jadi, setelah DPD melihat gelagat MPR lembaga yang sesungguhnya memiliki kewenangan untuk membentuk tim penelaah konstitusi, justru enggan untuk membentuk. Apa yang sebenarnya menjadikan MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Jawabannya adalah, didalam MPR terdapat kepentingan 550 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak pimpinan MPR, jika terjadi joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD), pimpinan MPR akan dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD, konsekuensinya Pimpinan MPR secara permanen tentu akan dibubarkan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan kewenangan lainnya MPR, seperti merubah UUD 1945 dan memberhentikan presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
      Bagaimana jika 128 anggota DPD “menyaru” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amendemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti akan mudah dikandaskan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Marilah menyimak dengan saksama rumusan pasal 37 UUD 1945.
(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti syarat minimal usulan perubahan UUD 1945 itu 1/3x678= 226 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Apakah jumlah anggota DPD yang hanya 128 itu dapat memenuhi syarat usul perubahan konstitusi?.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti kourum kehadiran membutuhkan 2/3x678= 452 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Jangankan memenuhi kourum kehadiran, mengusulkan perubahan konstitusi saja tidak memenuhi syarat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Berarti putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dibutuhkan 678:2+1=340 anggota MPR. Lagi-lagi jumlah anggota DPD itu berapa?. Mekanisme perubahan konstitusi sesuai pasal 37 UUD 1945 hanya menempatkan DPD sebagai lembaga Negara rame-rame dalam sistem ketatanegaraan.

Itulah, mengapa DPD perlu meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena posisi DPD lemah lunglai tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden, hanya bersifat dukungan politis untuk DPD. Secara juridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden tidak memiliki makna apa-apa, mengingat keberadaan Komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga Negara yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.

      MPR sebelumnya, membentuk Komisi Konstitusi karena terpaksa akibat desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dimanfaatkan oleh MPR. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah. Dengan demikian, MPR hanya sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tersebut. Hal ini boleh jadi akibat pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi dengan itikad baik untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II. Apapun namanya telaahan konstitusi tersebut, lebih baik dibatalkan saja, untuk apa membentuk komisi lagi jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan konstitusi. Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, sama saja MPR bersikap STM (sibuk tidak menentu) hanya mencari-cari pekerjaan belaka, besar kemungkinan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi Konstitusi sebelumnya.
Sepanjang MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridik memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh)ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.


Untuk Apa DPD?

      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua patut kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini “dihadirkan” jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.


Dibubarkan Atau Dipertahankan

      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai sebuah lembaga hiburan (Konsolasi) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.
      Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Hal terpenting untuk diketahui oleh MPR, bahwa jika niat pembentukan Komisi tersebut tetap dipaksakan, dipastikan tidak akan terkejar untuk amendemen kelima UUD 1945, mengingat mepetnya MPR periode 2004-2009. Bukankah tuan-tuan anggota MPR akan berkonsentrasi menuju pemilu 2009?. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur dan tidak profesional, indikatornya, setiap pergantian periode MPR, selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode 2004-2009 malah ingin membentuk Komisi tandingan. Meskipun MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara, namun demikian, MPR tidak boleh rajin menerbitkan Ketetapan MPR jika niat membuatnya sekedar untuk hiburan kepada masyarakat, selain akan menguras uang rakyat, dipastikan MPR hanya akan bekerja STM (Sibuk Tidak Menentu) yang hasilnya akan sia-sia belaka.


Senin, 22 Desember 2008

DPD, Rame-Rame Ajang


Oleh Warsito, SH M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Alumni Magister Kenotariatan UI
- PNS DPD Berhenti Atas Permintaan Sendiri




     Dewan Perwakilan Daerah atau DPD adalah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi dalam sistim ketatanegaraan Indonesia. Lembaga Negara ini produknya tidak memiliki arti (meaningless).Lembaga ini hanya memberikan  pertimbangan, saran dan pendapat, kepada DPR aspirasi rakyat yang disampaikan kepada DPD belum ditindaklanjuti, kunjungan kerja ke daerah berikutnya, aspirasi serupa muncul kembali. Itulah kondisi riil DPD. Lebih tragis aspirasi masyarakat yang disampaikan ke DPD itu nasibnya bergantung kepada tetangga sebelah (DPR). Pertanyaannya, mengapa masyarakat tidak langsung saja menyampaikan aspirasinya ke DPR?. Mengapa harus melalui lembaga DPD yang tidak memiliki kewenangan apa-apa?.
DPD adalah lembaga negara menjadi buah simalakama konstitusi, jika MPR memperkuat DPD sejajar dengan DPR dampaknya akan terjadi kekacauan konstitusi (pasal 3 UUD 1945) mengenai kewenangan MPR yang bukan sebagai lembaga negara pembentuk undang-undang (regelling). Ketika sidang joint session/sidang majelis (bertemunya antara DPR dan DPD) membentuk cluster MPR, maka MPR memiliki kewenangan antara lain, mengubah dan menetapkan UUD 1945 bukan membentuk undang-undang.
     Keberadaan lembaga DPD mirip dengan lembaga DPA yang telah dibubarkan MPR. Kedua lembaga ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi, tetapi tidak mendatangkan manfaat sama sekali. Pertimbangan DPD kepada DPR dan pertimbangan DPA kepada presiden, tidak memiliki implikasi juridis jika DPR maupun presiden tidak menindaklanjutinya.
MPR telah membubarkan lembaga DPA, sisi lain, MPR menukargantikan lembaga negara yang bernama DPD yang sama-sama tidak memiliki kewenangan.
     DPD akan kembali mengusung perubahan UUD 1945, gagasan perubahan itu dibawa dalam Rapat Paripurna DPD pada hari Kamis (6/3-2008), materinya, antara lain menyangkut masalah calon presiden (Media Indonesia 8/3-2008). Sebelumnya usulan amendemen UUD 1945 itu kandas ditengah jalan akibat keteledoran DPD menyikapi keputusan pimpinan MPR yang memberikan batas waktu penarikan dan dukungan amendemen berakhir 7/8-2007. Batas waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR itu, dukungan amendemen menggembos tinggal 204 dari 238 anggota MPR yang telah memberikan dukungan. Penggembosan itu, akibat sebagian anggota MPR menarik dukungannya kembali. Jumlah yang masih bertahan memberikan dukungan amendemen sampai saat ini sebanyak 204 anggota MPR. Menurut ‘versi’ pimpinan MPR sisa jumlah yang masih mendukung amendemen itu, tidak memenuhi syarat 1/3 dari jumlah anggota MPR mengajukan usul perubahan konstitusi. Padahal konstitusi dan peraturan Tata Tertib MPR tidak mengatur mengenai batas waktu penarikan atau dukungan amendemen tersebut. Kesimpulannya, sejak dukungan usulan amendemen UUD 1945 telah mencapai 238 anggota MPR, ketika itu MPR sudah dapat menggelar sidang dengan agenda perubahan UUD 1945, karena telah memenuhi syarat minimal 1/3 usul perubahan konstitusi. Anggota MPR yang berjumlah 678 dibutuhkan minimal 1/3x678= 226 anggota MPR untuk mengajukan usul perubahan. Sejak ditandatangani dukungan usulan amendemen itu berarti telah terjadi asas kesepakatan(konsensualitas), oleh karenanya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak, baik MPR unsur DPR maupun MPR unsur DPD.
      Hal lain yang perlu diperhatikan oleh DPD apakah kedudukan 204 anggota MPR yang masih bertahan memberikan dukungan itu masih berlaku hingga 2009?. Bergantung kepiawaian DPD membuat kontrak (perjanjian), apakah didalam esensialia perjanjian dicantumkan batas waktu atau tidak?. Kalau tidak dicantumkan di dalam perjanjian lagi-lagi DPD itu teledor.
Namun demikian, DPD tidak boleh bernafsu besar mengusulkan perubahan UUD 1945, sebab tenaga DPD itu  (minim). DPD perlu berhitung cermat, agar usulan amendemen UUD 1945 tidak menjadi kandas ditengah jalan lagi. Jika bertarung di forum MPR, unsur DPD itu tidak berimbang dibandingkan dengan anggota MPR unsur DPR. Hal lain, DPD perlu membaca telatah (gerak-gerik) DPR bagaimana sikapnya terhadap perubahan UUD 1945 apakah akan menyetujui, atau sebaliknya tetap mementahkan. Perlu diwaspadi, jumlah anggota MPR unsur DPD itu hanya 128 anggota, sedangkan jumlah anggota MPR unsur DPR jauh lebih besar 550 anggota. Kekuatan yang jelas tidak berimbang jika DPD akan ‘bertarung’ di forum Majelis. Maka, besar kemungkinan usulan amendemen UUD 1945 yang digagas DPD itu, akan mudah dikandaskan oleh DPR meskipun usulan amendemen itu telah disusun secara komprehensif dan apik secara akademis. DPD perlu mewaspadai serangan balik DPR, sebab jika 550 anggota DPR sudah memasuki ruang sidang paripurna Majelis, pasti sudah dapat ‘menyudahi DPD’(baca: DPD dibubarkan). Logikanya sederhana, mengapa DPR itu tidak mau memperkuat posisi DPD, memperkuat DPD berarti bagi-bagi kekuasaan kepada DPD, hal ini yang tidak dimaui oleh DPR. Hal lain, dengan diperkuat peran dan fungsi DPD, produk undang-undang tertentu harus mendapatkan persetujuan bersama antara presiden, DPR dan DPD. DPR sudah tentu tidak mau diveto oleh DPD.
Oleh karena itu, putusan untuk merubah UUD 1945 itu ditentukan sikap kenegarawanan anggota DPR. DPR-lah yang sesungguhnya mempunyai purbawisesa (kekuatan penuh) untuk bisa merubah atau tidaknya UUD 1945, meskipun secara normatif MPR-lah yang memiliki kewenangan untuk itu.

Untuk Apa DPD?
     Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua untuk kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?. Keberadaan lembaga DPD praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi, tetapi manfaatnya tidak ada sama sekali. Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi. Selain itu, lembaga ini tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (mengatur) dan beschikking (penetapan) serta beleid (kebijakan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi tidak memberikan sanksi kepada DPR jika tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (editorial Media Indonesia 29/12-2007).
     Ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang itu, jangan dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan inovasi amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi.
DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan) oleh konstitusi, oleh karenanya harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan ini.

Pembubaran DPD
     Pemasungan DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan, konstitusi malah memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari memerhatikan pasal 7C UUD 1945: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Menurut interpretasi redaksional, rumusan UUD itu bermakna presiden dapat membubarkan DPD. Inilah salah satu rumusan konstitusi yang membahayakan eksistensi DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”. Penambahan kata “dan DPD” tersebut guna memberikan ketegasan agar presiden selain dilarang membubarkan DPR juga pelarangan untuk membubarkan DPD. Hal lain, penambahan kata dan DPD tersebut, agar konkordan (sejalan) dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amendemen UUD 1945. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.” Di dalam penjelasan UUD 1945 pra amendemen menyatakan antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat)”, pasca amendemen, penjelasan itu, telah ditransformasikan kedalam pasal 1 ayat (3)UUD 1945. Hal lain, di dalam penjelasan UUD 1945 pra amendemen, menyatakan presiden dilarang membubarkan DPR, semestinya sebagai rumpun legislatif, DPD juga tidak boleh dibubarkan. Kini pasca amendemen, UUD 1945 tidak memiliki lagi penjelasan, oleh karena seperti disebutkan diatas, hal-hal yang bersifat normatif telah dimasukkan kedalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh anggota MPR unsur DPD. DPD tidak boleh terpaku mengusulkan perubahan UUD 1945 secara parsial terkait penguatan kelembagaannya. Penting bagi DPD memerhatikan pasal 7C UUD 1945 agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan.

Antara Dibubarkan Atau Dipertahankan

     Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir lima tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari bertanya, apakah sesungguhnya lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Lembaga DPD ini praktis hanya bekerja memenuhi ketentuan: konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya meaningless (tidak memiliki arti). Jika DPD tetap dijadikan lembaga negara konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik lembaga ini dibubarkan saja.

Jumat, 19 Desember 2008

Agar MPR Tidak STM


Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah
DPD-RI
- Master Kenotariatan UI
- PNS MPR-RI dan DPD-RI Yang
Berhenti Atas Permintaan Sendiri



      Ketika terdesak, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR akhirnya kembali mengeluarkan jurus mautnya bersedia membentuk sebuah tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah atau DPD di MPR, Jakarta, Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). Namun keseriusan MPR untuk membentuk sebuah Komisi itu patut dipertanyakan, pasalnya hingga saat ini mekanisme pembentukan komisi tersebut belum juga ditindaklanjuti, bahkan khabar pembentukan komisi tersebut nyaris hilang ditelan bumi.

MPR Mulai Lupa Ingatan

      Berangkat dari gagasan pembentukan komisi penelaah konstitusi, ada satu hal penting yang perlu dicatat, kita pantas mengucapkan MPR kini benar-benar sudah mulai lupa ingatan. Bukankah MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945?. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.

      Dukungan pembentukan komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu. Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, DPD berharap kepada KK (Komisi Konstitusi), agar kajiannya dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut pasti disambut gembira, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.
      DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk Komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” memakai jas MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh presiden apakah hal itu justru tidak menjerumuskan presiden?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
      Mengapa DPD mengharapkan presiden yang berinisiatif membentuk Komisi pengkaji konstitusi?. karena MPR yang sesungguhnya memiliki kewenangan justru enggan membentuk. Keengganan MPR membentuk sebuah komisi penelaah konstitusi dikarenakan didalamnya terdapat kepentingan 550 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD dapat berdampak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen. Kekhawatiran ini ada di pihak pimpinan MPR, sebab jika terjadi joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD), ada wacana menguat pimpinan MPR akan dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Konsekuensinya Pimpinan MPR secara permanent sudah tentu akan dibubarkan. Wacana tersebut masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik lima tahun sekali hanya menjalankan sidang melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan kewenangan lainnya MPR, seperti merubah UUD 1945 dan memberhentikan presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil, sehingga pimpinan MPR tidak perlu dipermanenkan. Tetapi karena hukum produk politik, didalamnya jelas banyak faktor kepentingannya untuk bagi-bagi kekuasaan demi jabatan dan uang belaka.
      Bisakah 128 anggota DPD berbaris “menyamar” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amendemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti akan mudah dipatahkan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Marilah menyimak dengan saksama rumusan pasal 37 UUD 1945.
(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti syarat minimal usulan perubahan UUD 1945 itu 1/3x678= 226 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Apakah jumlah anggota DPD yang hanya 128 itu dapat memenuhi syarat usul perubahan konstitusi?.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti kourum kehadiran membutuhkan 2/3x678= 452 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Jangankan dapat memenuhi kourum kehadiran, mengusulkan perubahan konstitusi saja tidak berdaya.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Berarti putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dibutuhkan 678:2+1=340 anggota MPR. Lagi-lagi jumlah anggota DPD itu berapa?. Mekanisme perubahan konstitusi sesuai pasal 37 UUD 1945 benar-benar menempatkan DPD sebagai lembaga Negara penggembira dalam sistem ketatanegaraan, bukan sebagai lembaga Negara pengambil keputusan.

       Itulah mengapa DPD meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena posisi DPD lemah tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden, hanya bersifat dukungan politis untuk DPD. Secara juridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden juga tidak memiliki makna apa-apa, mengingat keberadaan komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.

      MPR sebelumnya pernah mengeluarkan jurus mautnya membentuk Komisi Konstitusi karena terdesak, desakan itu datang dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dipergunakan oleh MPR sendiri untuk menyempurnakan konstitusi. Penolakan kajian Komisi Konstitusi tersebut, dapat dibaca bahwa MPR menerbitkan TAP MPR/I/2002 Tentang Pembentukan Komisi Konstitusi hanya sekedar untuk memberikan hiburan kepada masyarakat agar berhenti menghujat MPR. Singkatnya, pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi dengan itikad baik untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan.

Agar MPR Tidak STM

      Oleh karena itu, sebaiknya urungkan niat untuk membentuk Komisi Konstitusi jilid II. Apapun namanya, lebih baik dibatalkan saja, apa kegunaannya membentuk komisi kembali jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan konstitusi. Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, sama saja MPR itu STM (Sibuk Tidak Menentu), jika tetap nekat membentuk, besar kemungkinan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi Konstitusi sebelumnya. Sepanjang MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002 hasilnya antara lain telah membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA dan menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridik memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
       Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Untuk Apa DPD?

      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini “dihadirkan” jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?. Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi untuk membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD ada unsur kesengajaan dilahirkan untuk coba-coba (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap dijadikan lembaga negara hiburan (konsolasi), lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.
       Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi pengkaji konstitusi jilid II. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi, selain untuk referensi menata ulang kelembagaan negara menjadi lebih baik lagi, hal lain keuangan negara dapat dihemat. Satu lagi hal penting untuk diketahui MPR, bahwa niat pembentukan Komisi tersebut dipastikan tidak dapat mengejar amendemen kelima UUD 1945, mengingat MPR periode 2004-2009 hampir tamat sudah. Bukankah tuan-tuan anggota MPR akan berkonsentrasi menuju pemilu 2009?. Kesalahan MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, boleh jadi karena organ MPR tidak bekerja secara terstruktur dan professional. Kinerja MPR yang tidak terstruktur itu dapat terlihat pada setiap periode MPR yang selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, namun, periode MPR berikutnya tidak menindaklanjutinya, justru malah mengarang hal-hal baru. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode 2004-2009 malah ingin membentuk Komisi tandingan. Meskipun hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan negara. Namun demikian, MPR tidak boleh rajin menerbitkan Ketetapan MPR tentang penelaah konstitusi, jika niatnya sekedar hanya untuk hiburan kepada masyarakat..

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Penggalian Got Di RT 06 RW 017 Sari Bumi Indah Kabupaten Tangerang Benarkah Bertujuan Air Lancar?

                                                             Gambar Got Rumah di Bongkar     Penggalian Got Di RT 06 RW 017 Sari Bumi In...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19