Selasa, 02 November 2021

Tinjauan Refleksi Komisi Konstitusi Untuk Amandemen Kelima UUD 1945 Secara Komprehensif dan Terintegrasi

 Oleh WARSITO

Juara I Analis Undang-Undang DPR-RI Tahun 2016

 

Seriuskah MPR berkehendak merubah amandemen kelima UUD 1945?. Selama ini MPR hanya terdengar bising berwacana hendak melakukan perubahan UUD 1945 antara lain terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 3 (tiga) periode, tapi masih bagus MPR sekarang menyadari negara ini tidak memiliki panduan bernegara (GBHN) kemudian ingin memasukkan kembali GBHN didalam konstitusi. Perubahan UUD 1945 harus dilakukan secara komprehensif, holistis dan terintegrasi tidak boleh dilakukan secara parsial. Muatan UUD 1945 itu berbeda dengan muatan UU yang sewaktu-waktu dapat dilakukan perubahan. Konstitusi harus dibuat dan memiliki visi jauh ke masa depan bangsa agar tidak mudah lapuk dimakan zaman (verourded). Dalam batas penalaran logis wacana masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama 3 (tiga) periode sangat tidak masuk akal dan menjungkirbalikkan logika hukum. Hasil reformasi konstitusi mengapa pasal 7 UUD 1945 yang asli tentang masa jabatan presiden dirubah?. Karena rumusan tsb terjadi multitafsir yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Kata "dapat" multitafsir dapat dipilih seterusnya bisa juga dimaknai dapat dipilih sekali lagi. Oleh karena itu biar jelas dan gamblang pasal 7 UUD 1945 telah dirubah sbb: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal tsb sudah terang benderang sehebat apa pun presiden dan wakil presiden sudah di lampu merah oleh konstitusi maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Anehnya MPR, kini tidak ada angin dan tidak ada hujan tiba-tiba mewacanakan merubah konstitusi terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden 3 (tiga) periode. Kenapa tuan-tuan MPR tidak kreatif mengembalikan rumusan asli pasal 7 UUD 1945 tsb?. Kenapa perlu mengembalikan ke rumusan asli pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali?. Dalam Kondisi saat ini rumusan pasal 7 UUD 1945 yang asli justru benar dan tepat karena sekarang Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Mengapa cuma mewacanakan 3 periode masa jabatan?. Biarkan saja rakyat yang akan menentukan presidennya sepanjang dapat mensejahterakan rakyat. 
        Bukalah Pembentukan Komisi Konstitusi melalui TAP MPR, sehingga MPR tidak perlu repot-repot lagi untuk membentuk dan membahas telaahan kajian konstitusi untuk amandemen UUD 1945 karena sudah diadakan oleh MPR periode sebelumnya. MPR adalah Lembaga negara yang pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Pertanyaannya, di kemanakan kajian komisi konstitusi selama ini?. Keputusan MPR untuk membentuk tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah atau DPD di MPR, Jakarta, Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). 
 

 

MPR Jangan buang-buang waktu, tenaga dan pikiran

      MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini diberi tugas bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.

      Dukungan pembentukan Komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.

     Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.

      DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk Komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” memakai jas MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh presiden apakah hal itu justru tidak menjerumuskan presiden?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.

       Mengapa DPD berharap kepada presiden yang berinisiatif membentuk Komisi pengkaji konstitusi?. Hal ini boleh jadi, setelah DPD melihat gelagat MPR lembaga yang sesungguhnya memiliki kewenangan untuk membentuk tim penelaah konstitusi, justru enggan untuk membentuk. Apa yang sebenarnya menjadikan MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Jawabannya adalah, didalam MPR terdapat kepentingan 575 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak pimpinan MPR, jika terjadi joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD), pimpinan MPR akan dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD, konsekuensinya Pimpinan MPR secara permanen tentu akan dibubarkan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan kewenangan lainnya MPR, seperti merubah UUD 1945 dan memberhentikan presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.

      Bagaimana jika 136 anggota DPD “menjelma” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Akan sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amendemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti akan mudah dikandaskan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Marilah menyimak dengan saksama rumusan pasal 37 UUD 1945.

(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Berarti syarat minimal usulan perubahan UUD 1945 itu 1/3x711= 237 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Apakah jumlah anggota DPD yang hanya 136 itu dapat memenuhi syarat usul perubahan konstitusi?.

 

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

(3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

Berarti kourum kehadiran membutuhkan 2/3x711= 474 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Jangankan memenuhi kourum kehadiran, mengusulkan perubahan konstitusi saja tidak memenuhi syarat.

(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Berarti putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dibutuhkan 711:2+1=357  anggota MPR. Lagi-lagi jumlah anggota DPD tidak memenuhi syarat. Mekanisme perubahan konstitusi pasal 37 UUD 1945 hanya menempatkan DPD sebagai lembaga Negara komplementer alias tidak memiliki makna (meaningless) dalam sistem ketatanegaraan.

 

        Itulah, mengapa DPD perlu meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena posisi DPD lemah lunglai tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden, hanya bersifat dukungan politis untuk DPD. Secara juridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden tidak memiliki makna apa-apa, mengingat keberadaan Komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga Negara yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.

       MPR  membentuk Komisi Konstitusi karena dilatari desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dimanfaatkan oleh MPR. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah. Dengan demikian, MPR hanya sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tersebut. Hal ini boleh jadi akibat pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi itikad baik untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II. Apapun namanya telaahan konstitusi tersebut, lebih baik dibatalkan saja, untuk apa membentuk komisi lagi jika pada akhirnya MPR tidak mau melaksanakan rekomendasi dari pembentukan komisi konstitusi tsb. Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, sama saja MPR STM (sibuk tidak menentu) hanya mubadzir, besar kemungkinan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi Konstitusi sebelumnya.

      Sepanjang MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistem ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.

      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

 

Untuk Apa DPD?

    Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua patut kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini “dihadirkan” jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.

     Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

 

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD saat ini sudah menginjak usia 17 tahun, mari merefleksi sejenak keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai sebuah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

      Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Hal terpenting untuk diketahui oleh MPR, bahwa jika niat pembentukan Komisi  tetap diteruskan, dipastikan tidak akan terkejar untuk amendemen kelima UUD 1945, mengingat MPR periode 2019-2024 akan segera berakhir. Bukankah tuan-tuan anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD akan berkonsentrasi menuju pemilu 2024 untuk merayu konstituen?. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur, indikatornya, setiap pergantian periode MPR, sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004 ini, tetapi MPR periode 2004-2009 dan berikutnya tidak menindaklanjutinya. Padahal MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kekurangan dan ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara. 

 

 

Hierarki atau Penjenjangan Tata Urut-Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Lembaga Negara Manakah Yang Akan Menguji TAP MPR?.

 


 

Hierarki atau Penjenjangan Tata Urut-Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Sebagai Hukum Positif sudah diatur melalui UU. No. 12 Tahun 2011 Tentang P3 (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 15 Tahun 2019. Didalam pasal 7 UU tsb penjenjangan urut-urutan peraturan perundang-undangan sbb:

1. UUD 1945;

2. TAP MPR;

 3. UU/Peppu;

4. PP;

5. Perpres;

6. Perda.

Didalam UU tsb kedudukan TAP MPR bagian dari peraturan perundang-undangan kedudukanya dibawah UUD 1945 dimana sebelumnya melalui UU. No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan TAP MPR tidak termasuk dari peraturan perundang-undangan. Mengapa TAP MPR saat ini bagian dari Peraturan Perundang-undangan?. Berdasarkan aturan Tambahan Pasal I UUD 1945 MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dari tahun 1960 s/d 2002 untuk diambil putusan dalam Sidang MPR tahun 2003. Atas dasar itulah Ketetapan MPR sekarang menjadi bagian dari tata urutan peraturan perundangan di Indonesia. MPR didalam menyisir peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tsb dapat mengelompokkan menjadi antara lain, ada yang masih berlaku seperti TAP MPR No. XXV/MPR/1966 tentang larangan PKI di Indonesia beserta ajarannya tetapi dengan catatan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, hukum dan demokrasi. Ada TAP MPR yang statusnya einmalig artinya sekali pakai meski TAP MPR tsb tidak dilakukan pencabutan dengan sendirinya sudah tidak berlaku lagi, seperti contoh pengangkatan Wapres Megawati menjadi Presiden RI. TAP MPR ada juga yang dikelompokkan masih berlaku sambil menunggu terbentuknya UU yang baru, begitu juga ada Ketetapan MPR yang berlaku sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu 2004. 

 

Baca Juga Hierarki Atau Penjenjangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

 

Mahasiswa Fakultas Hukum Wajib Tahu UU P3

Adik-adikku yang sedang belajar ilmu hukum wajib mengetahui tentang urut-urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia jika tidak mengetahuinya maka dapat dipertanyakan keilmuan tentang ilmu hukumnya.

 

Lembaga Negara Manakah Yang Menguji TAP MPR Jika Bertentangan Dengan UUD 1945?.

Yang menjadi permasalahan saat ini status TAP MPR menjadi bagian peraturan perundang-undangan bagaimana jika isi TAP MPR tsb bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (baca: UUD 1945)?. Sampai saat ini tidak ada kejelasan lembaga negara mana yang akan memutuskan untuk melakukan pengujian TAP MPR jika isinya bertentangan dengan UUD 1945 inilah salah satu kelemahan TAP MPR dimasukkan kedalam penjenjangan atau urut-urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jika UU bertentangan dengan UUD 1945 maka bisa dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tetapi jika peraturan perundang-undangan dibawah UU bertentangan dengan UU maka yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung. Pertanyaannya lembaga negara manakah yang berwenang melakukan pengujian jika substansi TAP MPR bertentangan dengan UUD 1945?. Disinilah telah terjadi kekosongan hukum oleh karena itu harus diatasi dengan cara memberikan jalan keluar lembaga negara mana yang diberikan kewenangan untuk menguji TAP MPR tersebut. Kewenangan MPR pasca amandemen UUD 1945 sebenarnya tidak layak untuk dipermanenkan, MPR itu baru ada tatkala ada sidang untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Bukankan MPR sedikit-dikitnya bersidang sekali dalam 5 tahun di Ibukota negara?. Ini artinya konstitusi sudah menjelaskan bahwa setelah amandemen UUD 1945 kewenangan MPR sudah dipangkas secara signifikan tidak memilih dan mengangkat presiden lagi dan tidak menetapkan GBHN jadi tugas MPR rutin hanya lima tahunan sekali melantik Presiden dan Wakil Presiden soal kewenangan menetapkan dan merubah UUD 1945 serta menetapkan GBHN itu bersifat insidentil dalam waktu 15 tahun belum tentu ada perubahan konstitusi lalu kenapa MPR dipermanenkan beserta Sekretariat Jenderalnya?. Jelas ini akan menghambur-hamburkan uang rakyat belaka. MPR baru ada setelah gabungan atau joint session sidang antara DPR dengan DPD yang membentuk cluster MPR. Begitulah membangun ketatanegaraan Indonesia yang baik jangan sampai mempermanenkan MPR beserta Sekretariat Jenderalnya hanya untuk kepentingan politis. Sekali lagi MPR pasca amandemen UUD 1945 kewenangannya sudah dipangkas secara signifikan tidak memilih dan mengangkat presiden lagi karena pemilihan presiden dan wakil presiden sudah diserahkan kepada rakyat secara langsung jadi untuk apa Sekretariat Jenderal MPR dipermanenkan?.

 

Senin, 01 November 2021

PERPUSTAKAAN DPR-RI YANG REFERENSINYA LENGKAP SAYANG JIKA ANGGOTA DPR DAN PEGAWAINYA TIDAK RAJIN MEMBACA

 

 

SEKRETARIAT JENDERAL DPR MENJADI KENANGAN PNS MPR SAYA LEPAS

 

PERPUSTAKAAN DPR-RI YANG LUMAYAN LENGKAP SAYANG JIKA ANGGOTA DPR DAN PEGAWAINYA TIDAK BERKUNJUNG MEMBACA. Berkunjung ke Perpustakaan DPR sangat menyenangkan sekali mengingatkan saya reformasi tahun 1998 ketika gedung MPR/DPR diduduki oleh mahasiswa untuk menggelorakan reformasi yang titik kulminasinya dapat menurunkan pak Harto dari Jabatan Presiden RI. Kesan dan Pesan saya mendatangi perpustakaan DPR RI  mengingatkan saya ketika masih menjadi pegawai Sekretariat Jenderal MPR pada tahun 1997-2008, saya berhenti pada tahun 2008 karena suasana kerja sudah tidak kondusif saya putuskan lebih baik resign dari Setjen MPR untuk menjadi dosen menurut saya lebih bermanfaat untuk orang banyak. Bangunan gedung perpustakaan DPR tsb sesuai ukuran instansi sudah sangat megah sayang jika anggota Dewan dan Pegawai Sekretariat Jenderalnya tidak rajin membaca di perpustakaan. Design perpustakaan DPR ini perlu ditiru institusi-institusi lain agar mempercantik ruang perpustakaannya karena buku adalah jendela dunia. 

Budayakan Membaca Anggota Dewan dan Pegawai Setjen DPR

Meminjam buku-buku di perpustakaan DPR sangat bermanfaat sekali untuk referensi membuat karya tulis ilmiah baik jurnal, skripsi, tesis maupun disertasi. Buku-buku tsb sudah lumayan lengkap untuk ukuran perpustakaan sekelas institusi. Kembali ke perpustakaan DPR yang nyaman dan buku-bukunya lengkap saya merekomendasikan kepada teman-teman yang membutuhkan bahan referensi untuk mendatangi perpustakaan DPR.

 

DPR Yang Banyak Merekrut Peneliti Harus Rajin Membaca

Pengalaman berkunjung ke perpustakaan DPR RI selain menyenangkan dapat melihat-lihat air mancur di depan gedung MPR/DPR/DPD. DPR Yang Banyak Merekrut Peneliti melalui Badan Keahlian Dewan untuk mendukung tugas dan kelancaran anggota DPR dalam melaksanakan tugas dan jabatannya haruslah memiliki peniliti dan kajian undang-undang yang handal. Berkunjung ke Perpustakaan DPR RI mengenang tahun 1998 kolam Air Mancur menjadi saksi bisu kemenangan perjuangan reformasi para mahasiswa meluapkan kegembiraannya dengan menceburkan diri ke kolam air mancur dengan meneriakkan takbir Allahu Akbar ketika mendengar  pak Harto mundur dari jabatan presiden RI yang dipangku + 32 tahun. Gema reformasi 1998 Indonesia menjadi berita dunia apa hasil reformasi itu?. Antara lain sekarang Indonesia menjadi negara terbesar ketiga didunia di bidang demokrasi setelah India dan Amerika. Jika kita ada kesempatan berkunjung ke perpustakaan DPR sekaligus dapat melihat suasana persidangan DPR secara dekat apakah anggota DPR ini benar-benar bersidang untuk kepentingan rakyat atau tidak. Sebaiknya jika berkunjung ke perpustakaan DPR hari Jumat saja sekalian bisa jumatan di Masjid Baiturrahman DPR RI, selesai jum’atan jika kita pulang bisa agak akhir akan mendapatkan jatah nasi box Alhamdulillah lumayan buat ganjel perut. Begitulah suasana perpustakaan DPR yang saya ketahui dan lingkungan sekelilingnya sekaligus lingkungan yang mengingatkan saya tatkala menjadi PNS Setjen MPR 12 tahun yang lalu. Kenapa pegawai MPR saya tinggalkan karena suasana kerja yang sudah tidak kondusif dan tidak ada kejelasan tugas dari setiap pegawai masing-masing. Yang saya rasakan ketika saya menjadi staff Setjen MPR seolah diri kita itu menjadi milik atasan kita yang bisa disuruh dan diperintah seenaknya sendiri saya sempat berfikir apakah saya ini mengabdi kepada manusia atau mengabdi kepada negara?.  Maka itulah saya putuskan untuk berhenti. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menginspirasi kita semua.

 

Bagaimana Cara Mengetahui dan Mengamalkan Hak Asasi Manusia Dengan Baik dan Benar?.

 

 

Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada fitrah setiap diri manusia yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan baik. Tetapi sayangnya, banyak orang yang belum memahami sepenuhnya arti dan hakekat hak asasi manusia sehingga sering salah melaksanakan yang berakhir dengan konflik. Hak asasi manusia yang bersifat universal misalnya hak untuk bebas memeluk agamanya masing-masing, hak untuk tidak boleh dibeda-bedakan antar ras, suku dan golongan inilah hak asasi manusia yang bersifat universal yang diakui oleh seluruh umat manusia didunia ini. Saya berikan simpul membahas hak asasi manusia yang paling sederhana saja misalnya hak asasi untuk merokok, merokok boleh asalkan tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain karena asapnya itu bisa membahayakan orang lain bagi yang tidak meroko bisa menjadi bertambah pusing kepalanya, apalagi jika asap rokok kepulannya dihisap oleh ibu-ibu yang sedang hamil pasti tambah pusing kepalanya. Jadi boleh merokok sebagai hak asasi manusia tetapi harus di tempat khusus ruangan merokok istilahnya smooking room agar tidak mengganggu orang lain. Begitu juga hak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasi di depan umum dijamin oleh undang-undang sebagai hak asasi manusia bebas mengeluarkan pikiran dengan lisan atau lisan dan sebagainya yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam menjalankan hak asasi dalam bentuk demonstrasi tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban umum seperti menutup jalan dan membakar ban-ban di jalanan sehingga bagi yang akan melewai jalan mengalami kesulitan bayangkan jika ada orang yang hendak melahirkan memerlukan jalan cepat sementara jalannya ditutup. Selain itu dalam menjalankan aksi demonstrasi tsb tidak boleh agitatif menghasut atau melempar benda-benda tajam kepada siapa pun termasuk kepada aparat yang sedang menjalankan tugas, hal-hal inilah yang dilarang karena melanggar hukum jadi menyuarakan aspirasi dilindungi oleh undang-undang tetapi yang tidak boleh adalah melakukan kekerasan dan melakukan perusakan terhadap fasilitas-fasilitas umum.

 

Kunci Dalam Melaksanakan Hak Asasi Manusia

Jika setiap warga negara mengetahui hakekat hak asasi manusia dan batasan-batasannya maka mereka akan senantiasa dapat menjalankan hak asasinya dengan baik dan benar yang tidak akan melanggar hukum. Dalam memeluk agama UUD 1945 telah memberikan kebebasan kepada setiap warga negaranya begitu juga Allah SWT telah memberikan kebebasan kepada HambaNya untuk memeluk agamanya masing-masing didalam islam tidak ada paksaan untuk memeluk agama bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jika kita semua sebagai warga negara dapat melaksanakan hak asasi manusia dengan baik dan benar tentu tidak ada konflik dan gontok-gontokan diantara kita, selama ini terjadi konflik diakibatkan karena kurangnya kesadaran, selain rendahnya ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang tidak dapat dipraktekkan dengan baik sehingga satu sama lain mudah untuk digosok-gosok. Kunci dalam menjalankan hak asasi manusia dinyatakan dengan tegas didalam Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak asasi setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia lain, menjaga ketertiban umum, etika di masyarakat, agama dan undang-undang. Jika kita semua sebagai anak bangsa sudah memahami makna hak asasi manusia yang sesungguhnya niscaya kita akan menjadi orang yang baik dan benar, baik dimata hukum negara maupun baik dalam konteks pengamalan beragama. Pancasila selain sebagai dasar negara juga sebagai falsafah bangsa bahkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dimana setiap peraturan perundang-undangan didalamnya harus ada nilai-nilai Pancasila sebagaimana dijabarkan dalam lima sila tsb. Isi dari lima Sila itu sendiri sebenarnya didalamnya adalah ajaran agama. Dimana ajaran agama Islam sesuai yang saya anut bahwa Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, tentang ke esaan Tuhan, berikutnya Sila Kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, Sila Ketiga Persatuan Indonesia, Sila ke empat Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, berikutnya sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima Sila tsb mengandung ajaran islam dengan kata lain Dasar Negara Pancasila itu tidak bertentangan dengan Ajaran Islam justru saling mendukung. Kembali kepada esensi tentang hak asasi manusia bahwa setiap orang dalam menjalankan hak asasinya wajib memperhatikan dan menghormati hak asasi orang lain, wajib menjaga ketertiban umum, wajib menjaga etika, norma agama dan tidak boleh melanggar undang-undang yang berlaku. Begitulah selayang pandang hakekat hak asasi manusia itu, tetapi hak asasi juga bersifat partikulatif diantara negara tidak sama, misalnya hak asasi yang boleh berbeda, saat ini sudah ada beberapa negara yang melegalkan perkawinan sejenis beberapa tahun lalu di DPR RI pun didemo agar kiranya dapat mengundangkan perkawinan sejenis dengan alasan hak asasi manusia. Bisakah perkawinan sejenis diundangkan di Indonesia?, jawabannya perkawinan sejenis tidak dapat diundangkan di Indonesia mustahil bisa diundangkan karena jika dipaksa dilegalkan maka akan bertentangan dengan hukum poisitif, norma agama, etika dan kepatutan di masyarakat. Begitulah pemahaman tentang Hak asasi manusia yang setiap negara boleh berbeda satu sama lain tidak harus sama kecuali hak asasi manusia yang saya sebutkan diatas yang berlaku secara universal.

 

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Proses Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Berbagai Permasalahannya

  Proses Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Berbagai Permasalahannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19