Oleh WARSITO
Juara I Analis Undang-Undang DPR-RI Tahun 2016
MPR Jangan buang-buang waktu, tenaga dan pikiran
MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini diberi tugas bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.
Dukungan pembentukan Komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.
Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.
DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk Komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” memakai jas MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh presiden apakah hal itu justru tidak menjerumuskan presiden?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
Mengapa DPD berharap kepada presiden yang berinisiatif membentuk Komisi pengkaji konstitusi?. Hal ini boleh jadi, setelah DPD melihat gelagat MPR lembaga yang sesungguhnya memiliki kewenangan untuk membentuk tim penelaah konstitusi, justru enggan untuk membentuk. Apa yang sebenarnya menjadikan MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Jawabannya adalah, didalam MPR terdapat kepentingan 575 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak pimpinan MPR, jika terjadi joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD), pimpinan MPR akan dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD, konsekuensinya Pimpinan MPR secara permanen tentu akan dibubarkan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan kewenangan lainnya MPR, seperti merubah UUD 1945 dan memberhentikan presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
Bagaimana jika 136 anggota DPD “menjelma” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Akan sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amendemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti akan mudah dikandaskan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Marilah menyimak dengan saksama rumusan pasal 37 UUD 1945.
(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti syarat minimal usulan perubahan UUD 1945 itu 1/3x711= 237 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Apakah jumlah anggota DPD yang hanya 136 itu dapat memenuhi syarat usul perubahan konstitusi?.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti kourum kehadiran membutuhkan 2/3x711= 474 anggota MPR. Berapa jumlah anggota DPD?. Jangankan memenuhi kourum kehadiran, mengusulkan perubahan konstitusi saja tidak memenuhi syarat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Berarti putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dibutuhkan 711:2+1=357 anggota MPR. Lagi-lagi jumlah anggota DPD tidak memenuhi syarat. Mekanisme perubahan konstitusi pasal 37 UUD 1945 hanya menempatkan DPD sebagai lembaga Negara komplementer alias tidak memiliki makna (meaningless) dalam sistem ketatanegaraan.
Itulah, mengapa DPD perlu meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena posisi DPD lemah lunglai tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden, hanya bersifat dukungan politis untuk DPD. Secara juridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden tidak memiliki makna apa-apa, mengingat keberadaan Komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga Negara yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.
MPR membentuk Komisi Konstitusi karena dilatari desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dimanfaatkan oleh MPR. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah. Dengan demikian, MPR hanya sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tersebut. Hal ini boleh jadi akibat pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi itikad baik untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II. Apapun namanya telaahan konstitusi tersebut, lebih baik dibatalkan saja, untuk apa membentuk komisi lagi jika pada akhirnya MPR tidak mau melaksanakan rekomendasi dari pembentukan komisi konstitusi tsb. Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, sama saja MPR STM (sibuk tidak menentu) hanya mubadzir, besar kemungkinan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi Konstitusi sebelumnya.
Sepanjang MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistem ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua patut kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini “dihadirkan” jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD saat ini sudah menginjak usia 17 tahun, mari merefleksi sejenak keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai sebuah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.
Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Hal terpenting untuk diketahui oleh MPR, bahwa jika niat pembentukan Komisi tetap diteruskan, dipastikan tidak akan terkejar untuk amendemen kelima UUD 1945, mengingat MPR periode 2019-2024 akan segera berakhir. Bukankah tuan-tuan anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD akan berkonsentrasi menuju pemilu 2024 untuk merayu konstituen?. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur, indikatornya, setiap pergantian periode MPR, sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004 ini, tetapi MPR periode 2004-2009 dan berikutnya tidak menindaklanjutinya. Padahal MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kekurangan dan ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.