Jumat, 01 Juli 2016

HUKUM WARIS MANAKAH YANG BERLAKU?


                             

Oleh  Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,
         Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
                          Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata
                          JABATAN FUNGSIONAL: LEKTOR 



Pluralisme hukum kewarisan di Indonesia ada 3 (tiga) macam hukum yang berlaku di negara kita, yang pertama, hukum kewarisan islam, hukum  kewarisan adat dan hukum kewarisan perdata. Masing-masing  orang tunduk pada hukumnya masing-masing. 
Bagi umat muslim wajib menundukkan diri dengan kewarisan islam sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 11, 12 dan 176. Sejak terbitnya UU. No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama juga mewajibkan bagi umat muslim menundukkan diri  dengan hukum kewarisan islam.
Sementara hukum kewarisan perdata berlaku bagi golongan Tionghoa dan eropa (keturunan), namun mengacu ayat-ayat Al-Qur’an  dan hukum positip yang mewasiatkan umat muslim tunduk pada kewarisn islam, maka sekali pun bagi golongan tionghoa dan keturunan eropa jika beragama muslim wajib taat pada hukum kewarisan islam. Berbeda dengan hukum adat, masing-nasing di setiap daerah berlaku secara partikulatif, misalnya di daerah sumatera-utara mewaris berdasarkan patrilineal (dari garis ayah), sementara di Minangkabau mewaris dari garis matrilineal (garis ibu).
Ada sedikit perbedaan antara hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata, jika kewarisan perdata bagian suami/istri dan anak-anak sama besar tidak memperdulikan apakah dilahirkan dari lain-lain perkawinan (pasal 852 KUHPerdata), pun tidak memperdulikan apakah anak laki-laki atau anak perempuan bagiannya sama, satu berbanding satu. Sementara hukum kewarisan islam anak laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan anak perempuan (QS: 4: 11a), meminjam istilah mewaris di jawa sepikul  segendongan, sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Perbedaan hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam juga terletak pada keterangan mewaris yang dikeluarkan, jika golongan tionghoa keterangan mewaris dikeluarkan oleh Notaris, sementara bagi penduduk pribumi (seharusnya terbitnya UU kewarganegaraan mengakhiri istilah pribumi dan non pribumi), keterangan waris dikeluarkan oleh kelurahan diketahui oleh camat. Satu lagi perbedaan antara hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam, jika konflik kewarisan perdata maka domisili hukumnya di pengadilan negeri, sementara konflik kewarisan islam domisili hukumnya diselesaikan di pengadilan agama. Persamaan antara hukum kewarisan perdata dengan hukum kewarisan islam keduanya sama-sama menganut sistem bilateral dapat mewaris dari bapak maupun dari ibunya.
ANOMALI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA
Meski negara Indonesia  mayoritas penduduknya muslim tetapi terjadi penyimpangan dalam hal pembagian kewarisan. Al-Qur'an sudah mewajibkan bagi umat muslim untuk melaksanakan wasiat kewarisan islam, namun kebanyakan muslim lebih memilih pembagian kewarisan secara perdata yang dianggapnya lebih adil samarata bagiannya dibandingkan  hukum kewarisan islam anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Secara filosofi hukum kewarisan perdata buatan manusia tidaklah akan lengkap apalagi mencapai ke tingkat kesempurnaan jika dibandingkan dalil naqli buatan Allah SWT tentunya hukum yang mengatur kewarisan islam jauh lebih unggul dan sempurna karena yang menciptakan adalah dzat yang maha kuasa yang mengetahui segala-galanya. Secara filosofi dan dalam batas penalaran logis, siapa yang memiliki tanggungjawab lebih besar, maka konsekuensi logisnya dialah yang akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki jelas memikul tanggungjawab lebih besar daripada anak  perempuan, dimana wajib memberikan nafkah lahir dan bathin kepada keluarga sementara anak perempuan tidak. Contoh terang benderang, bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan, APRIELA PETERPANIK 60 juta, sedangkan bagiannya TJIUT MENARI 30 Juta. Karena mau kawin APRIELA PETERPANIK harus memberikan mahar dan nafkah kepada istri maka uang 60 jutanya semakin berkurang bahkan bisa habis, sementara TJIUT MENARI akan mendapatkan tambahan terus dari suaminya. Disinilah letaknya, justru kewarisan islam itu mengangkat derajat bagi seorang wanita, tetapi kebanyakan dari masyarakat belum memahami bagian perempuan separoh dari laki-laki dianggapnya sebagai pembagian yang tidak adil, padahal secara filosofi tidak demikian.
Bagaimana jika hukum Kewarisan saling berbenturan?
Para ahli waris dapat bersepakat mengadakan perdamaian dalam pembagian warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI/Kompilasi Hukum Islam). Setelah ditempuh dengan jalan musyawarah tidak mencapai kata sepakat, masing-masing dapat melakukan gugatan kewarisan di pengadilan, bagi muslim di pengadilan agama, sedangkan bagi yang menundukkan diri hukum kewarisan perdata penyelesaiannya di pengadilan negeri.

Politik Prior Ethos



Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta;
                        Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sementara ini, hanya mampu berkomunikasi politik kepura-puraan (Komunikasi Prior Ethos). Fiksi, karena sebagai lembaga Negara berdasarkan UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPD adalah salahsatu rumpun legislatif.,  tetapi anehnya DPD yang dirumpunkan legislatif itu, tidak ikut memutuskan UU bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Pemasungan DPD oleh konstitusi sudah sedemikian sistemik diperparah dengan sikap para anggotanya yang masa bodoh tidak  berinovasi membuat gebrakan-gebrakan politik yang ditunjukkan untuk kepentingan rakyat-negara-bangsa. Selama ini, DPD terpaku hanya menjalankan tugas rutinitas sebagaimana teks redaksional  semantik konstitusi. Produk DPD, hanyalah tumpukan-tumpukan kertas belaka, sifat pertimbangan tidak memiiki implikasi yuridis jika pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.



Image result for gambar gedung MPR

Sesungguhnya, DPD adalah lembaga Negara yang ditempatkan bagian terkecil (genre) dari kajian ketatanegaraan trikameral (genus) yaitu, MPR dan DPR. JIka DPR diberikan kewenangan oleh konstitusi bersama presiden memutuskan UU. Maka  MPR diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Lalu kewenangan apa yang dimiliki DPD. Apa bedanya DPA yang telah dibubarkan dengan DPD?.
Ironis sekali lembaga negara yang satu ini, ada fisik 132 jumlah anggotanya, Pimpinan DPD, Eselon 1 Sekjen dan Wakil Sekjennya,  ratusan pegawainya, gedungnya yang megah, ada perwakilan kantor di daerah, tunjangan dan gaji besar yang diterimanya dari uang rakyat, tetapi lembaga negara ini “antara tiada dan tiada”, bukan “antara ada atau tiada”. Keberadaannya, tidak menggenapkan juga tidak mengganjilkan, sebagaimana pernah dinyatakan Media Indonesia dalam sikap  editorialnya beberapa waktu lalu.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), telah melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 selama empat kali  sejak 1999 s/d 2002. Salah satu amendemen penting dapat diselenggarakannya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat (Pasal  6A UUD 1945) yang sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dianggap tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Selain itu, hasil amendemen UUD 1945, juga berhasil membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945), yang sebelumnya kata “dapat” pasal 7 UUD 1945 dianggap multitafsir, ada yang berpendapat bisa dipilih secara terus menerus, sebagian lagi  mengatakan, hanya boleh dipilih sekali lagi. Itulah catatan penting, buah prestasi besar  MPR di dalam melakukan perubahan UUD 1945 sebagai amanat reformasi.
Namun, prestasi besar MPR itu,  ada juga kelemahan MPR selama melakukan perubahan UUD 1945. Secara filosofis konstitusi sebagai buatan manusia, tidaklah pernah akan lengkap, apalagi mencapai tingkat kesempurnaan. Oleh karena itu, kita perlu terus menerus mendorong MPR, mengupayakan  kearah perubahan yang lebih baik, demi kepentingan bangsa dan negara. Kesalahan besar (blunder) MPR ketika melakukan perubahan UUD 1945 yaitu, satu sisi MPR sudah tepat membubarkan lembaga tinggi negara (sebutan waktu itu) untuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sisi lain, MPR menukargantikan (melahirkan) lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), padahal kedua-duanya lembaga negara tersebut tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.
 Duabelas tahun sudah anggota DPD dilantik, para anggotanya kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories di dalam sistem ketatanegaraan, dilahirkan, tetapi hanya dipasangi napas buatan oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi melahirkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD ini, dapat diteliti secara saksama di dalam pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Benteng Keperkasaan DPR
            Berdasarkan pasal 37 ayat (1) UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR 692, berarti dibutuhkan 231 anggota (Komposisi DPR= 560, DPD= 132).  Ayat (3), untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR 692, berarti membutuhkan 461 anggota. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka, sidang majelis dapat diteruskan, dan dapat mengambil keputusan untuk mengubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya, jika kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, apalagi mengambil keputusan. Ayat (4), apabila kourum kehadiran telah terpenuhi, untuk mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR 692, berarti membutuhkan 347  anggota.  Jumlah 231, 461 dan 347 inilah  angka-angka berat yang mesti diperjuangkan oleh  anggota MPR unsur DPD agar  amendemen UUD 1945 terkait penguatan kelembagaan DPD terwujud, dimana  selama ini, perjuangan DPD sulit menembus benteng keperkasaan DPR. Permasalahannya, bagaimana mungkin DPD dapat berhasil menembus angka-angka tersebut mengingat prajuritnya (baca: anggota DPD) hanya 132?.
Dilema Sebuah Lembaga Negara Bernama DPD
Jika, ternyata dalam sidang majelis tersebut, ada keajaiban 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan amendemen UUD 1945, maka perjuangan DPD berhasil  menembus benteng keperkasaan DPR, sekaligus DPD menjadi lembaga negara strong bicameral sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan bidang legislasi. Tetapi, penguatan DPD tersebut, berdampak kepada pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD, dampaknya, akan memunculkan permasalahan baru dalam sistem ketatanegaraan, dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat undang-undang, sejatinya, dalam sidang tersebut telah terbentuk cluster bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD), yang kewenangannya  bukan membentuk undang-undang (Pasal 3 UUD 1945). Namun, sebaliknya, jika MPR tetap melakukan pembiaran terus-menerus kepada DPD, dengan cara tetap menolak amendemen UUD 1945, maka, DPD selamanya akan tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama. Diubah salah, tidak diperkuat DPD juga salah, baru tepat,  jika perubahan dilakukan untuk membubarkan DPD, karena keberadaan DPD dipastikan  tidak berguna sama sekali untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara.
Dibutuhkan Kenegarawanan MPR
Usulan perubahan UUD 1945 yang pernah digagas oleh DPD  semula telah mendapat dukungan 238 anggota MPR, usulan amendemen UUD tersebut, telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Usulan dukungan amendemen tersebut fluktuatif, karena  ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amendemen tersebut menjadi berkurang tinggal 204 anggota, akhirnya, MPR menghentikan langkah usulan perubahan UUD 1945 yang diusung oleh DPD tersebut. Ini bukti, bahwa MPR tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007 yang tidak populer, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amendemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB sebagai batas waktu penentuan jadi/tidaknya sidang majelis digelar.  Tenggat waktu akal-akalan itu, sebenarnya DPD-lah yang dirugikan, disini ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu, tujuannya  tidak lain mementahkan usulan perubahan  UUD 1945 terkait penguatan kelembagaan DPD yang diajukan secara parsial. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat mengagendakan sidang majelis, karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu nanti urusan selanjutnya. Yang perlu diperhatikan MPR unsur DPR, bahwa setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Kedudukan anggota Majelis di dalam melakukan perubahan UUD itu, bersifat personalia yang dijamin oleh undang-undang, maupun Undang-Undang Dasar 1945 (teliti Pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).
Mengapa DPR Takut DPD Kuat?.
DPR jelas takut jika DPD kuat. Sebab, jika DPD benar-benar  diberikan kewenangan ikut memutuskan undang-undang, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain yang paling ditakuti DPR keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan, padahal, fraksi-fraksi berkepentingan untuk menaruh orang-orangnya di Pimpinan MPR, yang belum dapat kebagian jatah di DPR.
Pasang surut usulan perubahan kelima UUD 1945 satu hal penting yang mesti diperhatikan, DPD tidak boleh secara parsial mengusulkan perubahan terkait kelembagaannya agar DPR tidak ada lagi alasan untuk mementahkan usulan amendemen tersebut. Keniscayaan perubahan konstitusi diusulkan secara komprehensif, agar hasilnya, dapat menjangkau jauh kemasa depan bangsa, dan tidak cepat usang (verouderd).

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19