Selasa, 20 Januari 2009

Belajar dari Laos

Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri


        Tidak ada kejadian dimuka bumi ini, kecuali didalamnya membawa peringatan dan mengandung hikmah bagi orang-orang yang mau berfikir. Begitu pula kejadian di Laos, ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).
      Hikmah yang dapat dipetik dari kejadian tersebut adalah, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR tidak boleh terus menerus tutup mata, MPR dapat segera menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Sudah saatnya MPR mengkaji ulang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pasalnya akhir-akhir ini lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi ini, sering ribut dan berantem melulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. MPR sangat cerdas, jika dapat menggunakan momentum sisa waktu masa bhakti keanggotaan MPR periode 2004-2009 yang tinggal menunggu detik-detik akhir ini, menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Dasar hukumnya jelas, yaitu, aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) keberadaan DPD. Materi amendemen UUD 1945 antara lain, mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan, ataukah sebaliknya, membubarkan DPD karena hanya sebagai lembaga negara tiada guna. Jika hasil amendemen UUD 1945 ternyata memutuskan membubarkan DPD, ratusan milyar uang rakyat dapat diselamatkan atau dihemat. Implikasi amendemen UUD 1945, dengan bubarnya DPD, maka DPD tidak akan diikutsertakan pada pemilu 2009, dengan demikian, keuangan negara tidak terbebani untuk membiayai Pemilu anggota DPD yang tiada guna itu. Hal lain, implikasi hasil amendemen UUD 1945, negara tidak akan memberikan fasilitas kepada dewan berupa, gaji, tunjangan dan kegiatan operasional lainnya. Inilah yang dalam artikel ini, saya menyatakan MPR memiliki kecerdasan jika dapat mengkaji ulang keberadaan DPD. Penyelenggaraan sidang majelis dengan agenda pembubaran DPD tersebut dapat jalan terus meskipun tanpa kehadiran seluruh anggota MPR unsur DPD. Sebab jumlah anggota MPR unsur DPR yang 550 itu, sudah dapat ”menyudahi” DPD (baca: membubarkan DPD). Sebaliknya jumlah anggota MPR unsur DPD yang hanya 128 itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada DPR. Syarat usulan perubahan konstitusi saja tidak dapat memenuhi, karena jumlah anggota DPD itu kurang sepertiga dari jumlah anggota MPR. Oleh karena itu, ketika DPD dongkol dan geregeten kepada DPR yang terus meledek, DPD hanya bisa berkerut-kerut gigi belaka.
      Katakan dengan jujur, apakah keberadaan lembaga DPD saat ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jika selama ini keberadaan DPD bermanfaat untuk rakyat, silakan diteruskan, tetapi berilah ia kewenangan seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain. Jangan ia dibuat mengambang dan terus dipasung. Sebaliknya, jika selama hampir lima tahun ini, ternyata keberadaan DPD itu tidak bermanfaat, ia sekedar hanya penggembira dalam sistim ketatanegaraan belaka, lebih baik DPD bubarkan sekarang juga.
      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR, maka, selamanya pula, DPD akan menjadi bahan ejekan DPR terus. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk).

Marilah merenung sejenak dengan kutipan pidato Ir. Soekarno berikut ini:

      Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

      Kutipan Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam kehidupan ketatanegaraan kita saat ini. Soekarno mengingatkan kepada kita semua, bahwa UUD 1945 yang telah dibuatnya adalah karya manusia biasa, dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan, oleh karena itu, di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan landasan juridis untuk dapat diubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat hukum senantiasa hidup di masyarakat (living law).
DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, menjadi problematika di dalam konstitusi. Indikatornya terlihat dari upaya Dewan Perwakilan Daerah yang tidak puas kehadirannya hanya diberikan kewenangan setengah hati, sehingga DPD mengusulkan perubahan kembali UUD 1945 agar sistem ketatanegaraan dapat melakukan fungsi kegiatan saling mengontrol (check and balance).

Perlu Sikap Kenegarawanan

      MPR tidak perlu gengsi untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. MPR perlu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap pelaksanaan perubahan UUD 1945. Alangkah arifnya jika MPR memiliki sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Soekarno ketika merumuskan UUD 1945. Contoh kenegarawanan Soekarno perlu ditiru, ia mengatakan bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan mengingat yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Sepanjang perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002, telah tercatat ada kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Sebaliknya juga terdapat banyak kekurangan didalamnya.
      Salah satu gebrakan MPR adalah dapat menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power, yang sebelumnya ditafsirkan dapat dipilih secara terus menerus. Dengan kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945 itu, maka konstitusi hasil amandemen itu jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan.
Namun demikian, MPR perlu menyadari, bahwa hasil perubahan UUD 1945 tersebut banyak kekurangan didalamnya. Salah satu kelemahan MPR adalah membubarkan DPA, sisi lain MPR menukargantikan dengan lembaga DPD yang sama-sama tidak memberikan kewenangan. Sifat pertimbangan dari kedua lembaga negara itu tidak memiliki implikasi juridis, artinya jika pertimbangan itu tidak dilaksanakan, konsekuensi juridis dampak yang ditimbulkan tidak ada.
Belajar dari Laos
      Agar kasus Laos tidak terulang dikemudian hari, tidak ada pilihan lain bagi MPR kecuali menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 membubarkan, atau mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan agar keberadaannya samakuat dengan DPR (strong bicameralisme). Sebab muara kericuhan DPD dengan DPR tidak lain dipicu adanya kelahiran DPD yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi. Merasa DPD dianggap lemah, DPR terus menerus mengejek. Jika MPR terus menerus menutup mata membiarkan DPD dinistakan, terbaca dengan sikap tidak segera menggelar sidang majelis, berarti MPR memang sengaja melahirkan DPD untuk menjadi bulan-bulanan DPR.
      Apabila DPD ingin eksistensinya tetap dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Sebaliknya, jika DPD tetap diambangkan, hanya dibuat sebagai lembaga negara pajangan, lebih baik dibubarkan saja. Asas kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) seharusnya dikedepankan tatkala merumuskan perubahan UUD 1945, agar keberadaan konstitusi benar-benar dapat menjangkau jauh kemasa depan sehingga keberadaannya dapat mengikuti perkembangan zaman, lebih dari itu, ia dapat bermanfaat untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19