Kamis, 15 Januari 2009

Saatnya Mengkaji Ulang Keberadaan DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI


      Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR sudah saatnya mengkaji ulang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pasalnya akhir-akhir ini lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi ini, sering berantem dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Jika MPR cerdas menggunakan sedikit sisa waktu masa bhakti keanggotaan MPR periode 2004-2009 yang tinggal menunggu detik-detik akhir ini, MPR bisa saja memaksa menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Dasar hukumnya jelas, yaitu, aspek kemanfaatan (zwechtmassikheit) dari kelembagaan DPD. Materi amendemen UUD 1945 antara lain, mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan, ataukah sebaliknya, membubarkan DPD karena selama ini ternyata hanya sebagai lembaga negara tiada guna. Jika hasil amendemen UUD 1945 ternyata memutuskan membubarkan DPD, hitunglah, berapa ratusan milyar uang rakyat yang bisa diselamatkan atau dihemat. Implikasi amendemen UUD 1945, pertama, DPD tidak akan diikutsertakan pada pemilu 2009, dengan demikian biaya Pemilu tidak menggelembung. Implikasi kedua, hasil amendemen UUD 1945, keuangan negara tidak akan terbebani untuk memberikan fasilitas kepada dewan berupa, gaji, tunjangan dan kegiatan operasional lainnya. Inilah yang dalam artikel ini, saya katakan MPR memiliki kecerdasan jika dapat mengkaji ulang keberadaan DPD. Penyelenggaraan sidang majelis dengan agenda pembubaran DPD tersebut dapat jalan terus meskipun tanpa kehadiran seluruh anggota MPR unsur DPD. Sebab jumlah anggota MPR unsur DPR yang 550 itu, sudah bisa berbuat ”segala-galanya” kepada DPD. Katakanlah dengan jujur, apakah keberadaan lembaga DPD ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jika selama ini keberadaannya bermanfaat untuk rakyat, silakan diteruskan saja, dan berilah kewenangan ia seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain, jangan malah dipasung. Sebaliknya, jika selama hampir lima tahun ini tidak ada manfaatnya, sekedar penggembira dalam sistim ketatanegaraan, lebih baik bubarkan saja sekarang juga.
Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara pemberi wejangan, maka selamanya pula, DPD akan menjadi bahan ledekan DPR. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Bahkan lebih dari itu, di forum Internasional DPR tega meledek DPD. Kejadian itu ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).

Marilah merenung sejenak dengan kutipan pidato Ir. Soekarno berikut ini:

      Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

      Kutipan Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam kehidupan ketatanegaraan kita saat ini. Soekarno mengingatkan kepada kita semua, bahwa UUD 1945 yang telah dibuatnya adalah karya manusia biasa, dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan, oleh karena itu, di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan landasan juridis untuk dapat diubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law).
DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, menjadi problematika di dalam konstitusi. Indikator problematika konstitusi ini terlihat dari upaya Dewan Perwakilan Daerah yang tidak puas atas kehadirannya yang tidak diberikan kewenangan oleh UUD 1945, sehingga DPD mengusulkan perubahan kembali UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balance), yaitu dengan cara memperkuat peran dan fungsi lembaga DPD.

Perlu Sikap Kenegarawanan

      MPR tidak perlu gengsi untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. MPR perlu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap pelaksanaan perubahan UUD 1945, alangkah arifnya jika MPR memiliki sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Soekarno sebagai salah satu perumus UUD 1945. Soekarno memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan mengingat yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Konstitusi yang pernah dilakukan perubahan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002, tercatat telah ada kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Sebaliknya juga banyak kekurangan-kekurangan didalamnya.
Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power.
Dengan kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945 itu, maka konstitusi hasil amandemen itu jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan.
Namun demikian, juga perlu disadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 tersebut banyak kekurangannya. Salah satu kelemahan itu adalah MPR membubarkan DPA, sisi lain MPR menukargantikan dengan lembaga DPD yang sama-sama tidak memiliki kewenangan. Sifat pertimbangan dari kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi juridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi juridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Apabila DPD ingin eksistensinya tetap dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Sebaliknya, jika DPD hanya dibuat sebagai lembaga negara pajangan, lebih baik dibubarkan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19