Selasa, 13 Januari 2009

Saksikan Pertikaian DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri



      Jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD mengajukan pengujian materi (judicial review) Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk), yang substansinya tentang komposisi Pimpinan MPR atau untuk mengAdHockan Pimpinan MPR, apakah putusan Mahkamah Konstitusi akan menggunakan pendekatan aspek keadilan (gezetkheit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) ataukah aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit)?.

      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Atraksi menarik dari Senayan konon dari para wakil rakyat dapat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak meributkan soal-soal sepele yaitu meminta bagi-bagi jatah kekuasaan. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

       MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
       Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

       Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.
Norma Konstitusi.
      Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19