Rabu, 06 Juli 2016

DPR yang Dicaci Sekaligus Dirindukan

               
Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Pemerhati Ketatanegaraan dan Kajian Konstitusi


Berita miring kelakuan DPR, selalu menghiasi halaman media (cetak/elektronik). Bukan DPR jika tidak selalu membikin ulah yang kemudian direaksi negatif oleh rakyat. Dari yang mulai keserakahan niat membangun gedung baru dengan nilai biaya wah Rp. 1.8 triliun yang berhasil dipaksa batal oleh rakyat. Disusul biaya finger print absensi anggota dewan tidak wajar yang menelan biaya Rp. 4 Milyar kemudian dirurunkan 3.7 Milyar. Terakhir ulah DPR akan merenovasi ruangan Badan Anggaran senilai Rp. 20.7 Milyar yang juga mendapat reaksi dan hujatan keras dari masyarakat.

Hasil gambar untuk Gambar Gedung MIRINg DPR


Untuk ulah terakhir DPR kali ini, Pimpinan DPR rame-rame menyalahkan Sekretaris Jenderal, Nining Indra Saleh ( yang ketika itu menjabat Sekjen DPR-RI), mereka mengaku terkejut karena tidak diberitahu atas pengadaan proyek renovasi tersebut. Padahal, menurut keterangan Sekjen DPR, Nining Indra Saleh, biaya renovasi ruangan Badan Anggaran tersebut telah mendapat restu dari BURT. Pengakuan Sekjen DPR itu dalam batas penalaran logis masuk akal. Bukankah Ketua DPR sekaligus menjabat ketua BURT?. Apa mungkin ia tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?. Hal lain, anggota BURT sudah merepresentasikan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Jadi justru tidak logis jika pimpinan DPR mengaku terkejut dan tidak tahu menahu soal renovasi ruangan Badan Anggaran tersebut. Menurut hemat saya, sepanjang bekerja di Sekretariat Jenderal MPR-DPD 1997-2008 yang kini berhenti atas permintaan sendiri dengan hormat, semua proyek-proyek besar yang digarap oleh Sekretariat Jenderal tentu sudah mendapatkan restu dari BURT/Pimpinan Dewan. Sekali lagi, omong kosong jika Pimpinan Dewan itu tidak mengetahuinya.
Politik Pimpinan Dewan
Politik Pimpinan Dewan yang sering menyalahkan Sekjen dalam pelaksanaan proyek-proyek di DPR itu sudah menjadi lagu lama. Secara psikologis saja tidak masuk akal. Jabatan Sekjen itu kan yang  mengusulkan Pimpinan Dewan kemudian presiden yang mengangkatnya. Jangankah urusan proyek yang super mahal, hal-hal teknis soal sepele Kesekretariatan saja, Sekjen berdiskusi dengan Pimpinan dewan. Kemarahan dan keterkejutan Pimpinan DPR ini sekali lagi hanyalah politis saja, biar seolah-olah Pimpinan Dewan membela kepentingan rakyat. Boleh jadi Sekjen DPR, Nining Indra Saleh meski dimarahin dan digertak justru dia tidak sakit hati, karena sebenarnya dia sudah tahu ini sandiwara belaka. Gertak sambal yang akan memecat Sekjen DPR ketika itu saya analisis benar tidak bakalan terjadi karena mekanisme pemberhentian jabatan Sekjen itu agak rumit, apalagi jika presiden tidak mau memberhentikannya.
Meski DPR sebagai perwakilan politik (political representatives), seringkali dihujat dan dicacimaki habis-habisan, ironinya, lembaga negara ini dalam situasi genting tertentu, rakyat masih sering meirindubutuhkan. Fungsi pengawasan (control) yang dimiliki oleh DPR masih bisa dijalankan, meski seringkali pelaksanaannya terlihat  jalan ditempat, akibat diwarnai berbagai kepentingan politik. Hal lain, DPR masih memiliki kewenangan nyata memutuskan undang-undang bersama presiden. Berbeda dari DPR, eksistensi DPD sebagai perwakilan territorial yang menghasilkan wakil-wakil daerah (regional representatives atau territorial representatives), bukan saja terjadi kerancuan, tetapi kelucuan dalam sistem ketatanegaraan. Bersebab, lembaga negara ini hanya dijadikan accessoires dalam sistem  ketatanegaraan, ketiadaan produk nyata dihasilkan DPD, bersumber dari  pemasungan oleh konstitusi.
Jika di Inggris  memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords  dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral parliament, yaitu, The House of Representatives dan The Senate yang secara bersama-sama disebut The Congress The United States of America. The House of Representatives mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum setempat (Pengantar lmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Kelatahan sistem parlemen kita, yang mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap implementasinya justru menjadi lelucon belaka. Hadirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimajaspersonifikasikan serpihan-serpihan bangunan gedung yang sudah ambruk. Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan itu setelah dihempas badai (gagalnya) amendemen konstitusi di 2007 lalu. Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu DPR. Pasang surut usulan amendemen konstitusi yang digagas DPD, dapat dianalogikan demikian. Amsal lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola, 132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang, melawan tim DPR berkekuatan 560 anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini pertahanan lapangan saja tidak bakalan mampu.
Soal urusan gagas menggagas usulan amendemen konstitusi, DPD giat dan jagonya pintar. Sayangnya, DPD cuma pintar, tetapi tidak meng-arti membaca gerak langkah DPR, yang cuma menghibur dengan persetujuan lipstik dibibirnya. Ibarat bertempur, DPD ini bernafsu besar, tetapi tenaga kurang. DPD tidak menyadari lemahnya kekuatan pertahanan anggotanya yang cuma 132, dibanding DPR yang memiliki kekuatan penuh berjumlah 560 anggota. Hampir mustahil, usulan amendemen dapat menembus jantung pertahanan DPR, sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945, yang mengharuskan 1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu anggota MPR untuk pengambilan putusan. Menurut anggota DPD dari Maluku John Pieris, bahwa usulan amendemen UUD 1945 secara substansi  telah disetujui oleh mayoritas fraksi (Media Indonesia, 26/12). Lebih lanjut John Pieris mengklaim bahwa fraksi-fraksi besar di MPR seperti Demokrat, Golkar dan PDIP secara personal sudah setuju dari isi amendemen yang diajukan DPD. Benarkah demikian?.
Persetujuan dalam bentuk lisan usulan amendemen oleh mayoritas fraksi-fraksi di MPR perlu diwaspadai dan disangsikan. Pasalnya, hal itu sudah menjadi lagu lama DPR sekedar berbasabasi politik merasa tidak enak kepada DPD, yang kerap kali mengundang pertemuan DPR. Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, sudah 110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amendemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan 550 anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut dan mengingkari tanpa rasa malu, ibarat sudah meludah ditelan kembali. Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit, DPD dianjurkan mengusulkan amendemen hasil pemilu 2009 saja. Kini, DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Pada akhirnya, hasil pemilu 2014, anggota DPR terpilih akan memiliki watak yang sama dengan pendahulunya selalu ngepingpong DPD. Hal ini dilakukan, karena DPRlah yang merasa menghadirkan DPD dimuka bumi ini”, dan bisa “menghabisinya” kapan pun jika DPR mau. DPR justru tidak rela, DPD sekarang tidak tahu diri dan semakin  ngelunjak.
Dari sudut pandang filosofis, sosiologis, politis maupun yuridis secara teoritis UUD dapat diubah. Oleh karena itu, kita perlu terus mendorong MPR mengupayakan perubahan konstitusi yang lebih baik, demi kepentingan negara-bangsa. Kesalahan besar (blunder) MPR ketika melakukan perubahan UUD 1945, satu sisi, MPR sudah tepat membubarkan lembaga tinggi negara (sebutan waktu itu) Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, ironinya MPR menukargantikan (melahirkan) lembaga negara bernama DPD, padahal kedua-duanya lembaga negara tersebut tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.
DPD kini sedang gencar-gencarnya menggalang dukungan usulan perubahan kelima konstitusi, meski 2007 lalu, usulan dukungan sudah mencapai 238 Anggota MPR terjungkal dibantai DPR dipertigaan simpang jalan. Padahal sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, untuk kali kedua di akhir tahun 2011 ini, DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amendemen). Saat ini DPD telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12).
Dalam hal ihwal amendemen konstitusi, penulis pernah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media ini pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan secara saksama draft naskah usulan amendemen konstitusi sebelumnya, poin usulan amendemen Jilid II kali ini, tidak ada terlihat perubahan yang signifikan, cuma sedikit saja semiran seolah terlihat mengkilap memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi, biar mendapat simpati rakyat, meski ide ini bakalan sulit direalisasikan. Dibanding 2007 lalu, usulan amendemen yang digagas DPD kali ini, memang cukup cemerlang dan realistis. Bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amendemen konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki kepentingan yang utama, yaitu isinya, agar kelembagaan DPD kuat sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi. Sebab, selama ini kedudukan DPD sekedar boneka legislatif.                       
 Anggota DPD secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. Alias, DPD bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Penyebabnya, DPD tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, justru DPD sendiri merengek-rengek bagaikan anak kecil menangis siang dan malam hari, menghiba kepada DPR mendukung memperkuat kelembagaannya. DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan. Sebab, jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  berkepentingan sekali menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR, untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki  peran strategis.
Hanya ada dua opsi untuk MPR, mempertahankan DPD  memberi kewenangan, ataukah menghapuskan. Tidak boleh ada opsi samar-samar mengkonstruksikan DPD, memandulkan peran dan fungsinya. MPR unsur DPR, diharamkan membiarkan DPD berkelana dan terpasung di konstitusi. Indikasi kuat, memeranakan DPD dipertontonkan dengan telanjang oleh DPR, dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amendemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. DPR perlu belajar politik santun (fatsun) dan sikap kenegarawanan sebagaimana dicontohkan para pendahulu kita (the founding fathers). Keberadaan DPD yang dilahirkan sudah cacat bawaan, mestinya MPR segera sadar merekonstruksi dan merevitalisasi lembaga negara berboneka tersebut. Eksistensi DPD jangan terus ditelantarkan (diambangkan), sekedar untuk mainan politik, yang mengakibatkan organ kelembagaan ini bekerjanya menjadi  liar. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Jika DPD dibubarkan, sesungguhnya DPR ataukah DPD yang murung?. Bisa kedua-duanya. Pasalnya, DPR sendiri menginginkan DPD tetap survive, meski DPD nihil kewenangan. Udang dibalik batunya, jika sewaktu-waktu anggota DPR sudah tidak laku di partai politik, dapat loncat ke DPD. Pihak yang paling kelojotan dengan bubarnya DPD, sesungguhnya adalah  anggota DPD itu sendiri, bagaimana pun, DPD tidak mau lembaga negaranya dibubarkan  secara dramatis, meski senyatanya tidak memiliki kewenangan apa pun. Bagi anggota DPD, tentu tak mau kehilangan sawah subur yang dipaneninya setiap bulan. Fenomena itu sekedar menggambarkan permainan kepentingan elite politik, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Dibalik kemubadziran DPD, pada hakekatnya yang sengsara adalah  rakyat. Bersebab, pajak dari uang rakyat yang disetor ke kas negara, sebagian dipergunakan untuk membiayai mahal kegiatan DPD, tetapi tidak memiliki arti sama sekali (meaningless).
 Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945, yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001, kini, para anggotanya baru sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi napas buatan oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Selama ini, DPD terlalu asyik berpolitik kepura-puraan (komunikasi prior ethos). Sebagai lembaga negara berdasarkan UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPD adalah salahsatu rumpun legislatif. Tetapi anehnya, DPD yang dirumpunkan legislatif itu, tidak ikut memutuskan UU bersama DPR dan pemerintah. Keterpasungan DPD oleh konstitusi, diperparah lagi dengan sikap para anggotanya yang masa bodoh tidak berakselerasi gebrakan-gebrakan politik untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa. Selama ini, DPD terpaku hanya menjalankan tugas rutinitas sebagaimana teks redaksional semantik konstitusi. Keringat DPD yang dikucurkan deras, dipastikan tidak memiliki makna apa-apa (meaningless). Produk DPD, hanyalah tumpukan-tumpukan kertas menggunung.  Ia hanyalah lembaga negara penghias, jika pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti, tidaklah memiliki implikasi yuridis. Sesungguhnya, DPD adalah lembaga negara yang ditempatkan bagian terkecil (genre) dari bagian ketatanegaraan trikameral (genus), yaitu MPR dan DPR. Jika DPR diberikan kewenangan bersama pemerintah memutuskan UU, maka MPR diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Pertanyaannya, apakah kewenangan DPD?. Cuma pertimbangan?. Lantas, apa beda DPA dengan DPD?.
Amendemen Konstitusi Berhasil Jika DPR Ikhlas
Andai DPD dapat  menembus amendemen konstitusi, lembaga ini memiliki kewenangan nyata ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD, berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Namun, kebalikannya, jika MPR tetap menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD diperkuat, berdampak di konstitusi, kebalikannya, jika hanya dijadikan keassessorisan, lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak berguna sama sekali. Sesungguhnya, jikalau mau, anggota DPR berjumlah 560 menjelma MPR, “memasuki ruang sidang majelis”, sudah bisa membuat DPD “terkapar” (bubar), sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD yang juga anggota MPR.
Usulan perubahan kelima konstitusi jilid I, yang digagas DPD telah  mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amendemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amendemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amendemen kempes tinggal  204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. DPD akhirnya tak berdaya mendapati serangan mematikan tiba-tiba ini. Halusinasi amendemen gagal total dan DPD gigit jari. Sikap yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR yang ngacau pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amendemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu akal-akalan itu, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), memiliki kepentingan politik dibalik penjegalan amendemen itu. Cara berpikir MPR ketika itu ngacau, sebab, batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amendemen konstitusi, ditentukan keikhlasan hati 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amendemen meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD, bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).
            Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.
Pasal 7C UUD 1945 menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/membubarkan DPR”. Rumusan pasal tersebut suatu kekhilafan, keteledoran, ataukah kesengajaan?. Bunyi teks redaksional tafsir bersayap konstitusi ini sangat membahayakan eksistensi DPD. Pertanyaannya, dapatkah secara hukum Presiden membubarkan DPD?. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, bergantung lembaga negara manakah yang menafsirkan dibalik kepentingan politik didalamnya. Jika Pasal 7C UUD 1945 tersebut  ditafsir oleh pihak DPD, sudah barang tentu, disengajamaknai Presiden selain tak boleh membubarkan DPR, juga diharamkan membubarkan DPD. Bukankah DPD tak mau bunuh diri?. Namun, jika rumusan tersebut dikaji, ditelaah hati-hati, teliti, saksama dan sungguh-sungguh oleh peneliti konstitusi dan ketatanegaraan, akan ketemu penafsiran teleologis, yang mendekatkan kepada tujuan dan maksud sesungguhnya perumus konstitusi,  yakni tidak adanya pelarangan pembubaran DPD oleh Presiden. Namun, jika Presiden bernyali membubarkan DPD, akan  terjadi kontroversi seru mengenai legal tidaknya aksi nekat Presiden tersebut. Selain itu, dipastikan akan berdampak krisis konstitusi. Kebalikannya, jika rumusan tersebut dimaknai  Presiden tidak dapat membubarkan DPD, jawaban itu terlalu naif, kita tidak belajar dari kasus Presiden Abdurrahman Wahid yang gagah berani membubarkan MPR/DPR pada tahun 2001. Pertimbangan Gusdur, aksi nekatnya  membubarkan parlemen karena tidak ada larangan dalam pasal-pasal, melainkan cuma di penjelasan UUD 1945. Sempat terjadi perdebatan sengit, apakah penjelasan itu bagian dari hukum, atau bukan. Meski secara sporadis, akhirnya Gusdur bernasib tragis dipaksa turun dari jabatan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR, namun, kehebatan dan keberanian Gusdur patut diacungi jempol, terlepas akrobatik hukum yang dilakukannya. Konstitusi adalah staats fundamental norm, berisi dokumen hukum dan politik resmi dari suatu Negara, berisi kesepakatan-kesepakatan pokok tentang Negara, mengatur mengenai organisasi Negara, kekuasaan lembaga Negara, hubungan antar lembaga Negara. Pasca amendemen, UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal, sedangkan penjelasan yang memuat hal-hal yang bersifat normatif  telah  dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Kesimpulannya, sepanjang pasal-pasal tidak mengatur larangan pembubaran DPD, maka Presiden dengan pemikiran progressif, jika berkehendak dapat membubarkan DPD.
Tuan-tuan anggota MPR yang terhormat. Cobalah Tuan-tuan berhati dan memahami hukum ketatanegaraan. Periksa dan teliti ulang keberadaan DPD dengan cermat. Agar keberadaan DPD tidak menjadi beban anggaran negara terus-menerus, karyanya tidak dinistakan dan dimubadzirkan, janganlah tuan-tuan mengotori menuliskan tinta keberadaan DPD di konstitusi. Sayangilah undang-undang dasar Tuan-tuan sendiri, ukirlah cairan penamu yang indah di konstitusi untuk anak-anak bangsa.
Untuk Tuan Presiden yang bermulia. Melihat DPD yang tiada berdaya dan tiada berguna ini, bagaimanakah hati dan perasaan Tuan?. Apakah Tuan Presiden hanya ingin menjadi penonton setia?. Dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang tidak mencantumkan secara eksplisit larangan Presiden membubarkan DPD, demi untuk menyelamatkan kepentingan negara-bangsa, serta dalam rangka menghemat anggaran negara, beranikah Tuan Presiden dengan pemikiran progressif membubarkan DPD?. Hanya Tuan Presiden yang bisa diharap membubarkan DPD. Menunggu MPR membubarkan DPD hampir mustahil dilakukan, meski kewenangan pembubaran DPD secara normatif ada pada lembaga negara tersebut. Tersebab, di dalam tubuh MPR ada mayoritas anggota DPR yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dibalik keberadaan DPD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19