.
Oleh
WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,
Alumni S2 Magister Kenotariatan UI
Jabatan Fungsional: LEKTOR
Alumni S2 Magister Kenotariatan UI
Jabatan Fungsional: LEKTOR
Ajaib Mahkamah
Konstitusi (MK) berani memutus Pilpres
satu putaran, menjadikan saya penasaran membuka-buka
kembali buku Risalah Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002 terbitan
Sekretariat Jenderal MPR (Cetakan: tahun 2008). Risalah amandemen ini
menggunung satu paket yang terdiri dari sebelas buku, dicetak Sekretariat
Jenderal MPR dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Mata saya terbelalak, tatkala membaca tujuan pemberlakuan pasangan calon
presiden dan wakil presiden menang satu putaran jika mendapatkan suara lebih dari limapuluh persen
dan sedikitnya dua puluh persen di lebih setengah propinsi, karena sebaran penduduk
Indonesia yang tidak merata dimaksudkan agar Capres dan Cawapres tidak berkampanye
hanya berpusat didaerah padat penduduk di kota-kota maju. Pertanyaannya, mengapa
MK nekat merubah isi konstitusi yang bukan merupakan kewenangannya?.
Pilpres 9 Juli lalu
sudah berakhir. Pandangan kita ketika itu tertuju pada sosok bangunan yang
bernama MK sebagai gravitasi atau pusat pusaran organ-organ kelembagaan negara
lainnya. MK bermagnet karena memiliki kewenangan yang paling spektakuler yaitu,
menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang bersifat
final dan mengikat. Salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi yang di lembagakan secara konstitusional atas
dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003
dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
MK dibentuk secara resmi pada tanggal 13 Agustus 2003, sejak dibentuknya
lembaga tersebut sosialisasi gencar dilaksanakan.
Sekelumit
Sejarah (Prelude) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Laica
Marzuki (2006), dalam bukunya berjalan-jalan di ranah hukum, sesungguhnya, dalam
rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945, telah muncul
gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh.
Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (Balai Agung) menjadi pula badan yang
membanding, yakni, “..apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia atau hukum adat
yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.” Anggota
Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang
mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (guna
check and balances antar ketiga cabang kekuasaan). “Menurut pendapat saya,
tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai
sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa
kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.”
(RM.A.B. Kusuma, 2004:229).
Sehubungan
hal tersebut, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak
mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan
peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya Constitutioneelhof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di
Zaman Weimar.”Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus
menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda
dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya,” kata Soepomo lebih jauh.
Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin,
Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja. Suardi Tasrif
menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara
inkonklusif (1971:197). “Neither Fish,
nor fowl (bukan ikan, bukan daging),” kata Tasrif.
Dengan
memerhatikan dan mencermati dengan saksama risalah BPUPKI mengenai perbedaan
pendapat yang disampaikan oleh Soepomo dengan Moh. Yamin tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa, peradilan Mahkamah Konstitusi (peradilan spesial/khusus)
pada hakekatnya sudah didambakan oleh para perumus UUD 1945. Namun, mengingat
kondisi negara ketika itu dalam keadaan darurat perang, kegiatan mempersiapkan
kemerdekaan dan mengesahkan UUD 1945 lebih diprioritaskan, sehingga badan dimaksud (Mahkamah Konstitusi) untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak dilakukan pembahasan
lebih lanjut. Kita dapat membaca pemikiran
para perumus UUD 1945 mengapa ketika itu tidak melanjutkan pembahasan
mengenai pembentukan badan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Perumus UUD 1945 optimis dan
menaruh harapan besar, kiranya setelah
Indonesia merdeka dalam kondisi negara yang damai dan tentram, akan ada
anak-anak bangsa melakukan pengkajian konstitusi membentuk lembaga kekuasaan
kehakiman dimaksud. Kini, 56 tahun yang lalu dambaan itu menjadi kenyataan
dengan terwujudnya keberadaan Mahkamah Konstitusi
yang dilembagakan secara konstitusional melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun
2001.
Sayangnya,
MPR yang telah melahirkan MK, kini justru sering mengambil alih kemudi MPR.
Padahal untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 itu kewenangannya ada di lembaga negara yang bernama MPR (Pasal
3 dan 37 UUD 1945), bukan domain MK. Tetapi dalam teori, ternyata
MK menambahi kewenangannya sendiri menjadi purbawisesa dapat merubah
konstitusi.
MK yang nekat memutuskan Pilpres satu
putaran, membikin geger dan mengacaukan sistem ketatanegaraan. MPR sebaiknya ksatria
mengakui bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden tidak diantisipasi terjadinya
dua pasangan calon. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi membuat tafsir sekaligus
putusannya yang justru melanggar UUD 1945 itu sendiri. Ini berarti secara teori
Mahkamah sudah merubah UUD 1945 yang sesungguhnya kewenangan MPR.
Marilah
kita menyimak dan memperhatikan dengan saksama Pasal 6A UUD 1945
Ayat (3): Pasangan calon presiden
dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari
jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di
setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di
Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Ayat (4): Dalam hal tidak ada
pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh
rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak
dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Konstitusi yang ditulis
didalam bahasa Indonesia itu sudah gamblang sekali, tidak ada penafsiran lain
dalam hal pelaksanaan Pilpres. Sekalipun pelaksanaan Pilpres hanya diikuti dua
pasang calon, harus melewati ayat (3) terlebih dahulu, agar terpilih satu
putaran (first round) mendapatkan suara lebih dari 50%, sedikitnya
20% suara di setiap propinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah propinsi.
Jika ayat (3) tersebut tidak terpenuhi, berikutnya dilaksanakan pemilihan ulang
sesuai ayat (4), dimana calon yang mendapatkan suara terbanyak dilantik menjadi
presiden dan wakil presiden.
Mengenai pasal 159 UU.
No. 42 tahun 2008 yang diuji materikan ke MK itu, isinya persis turunan dari
konstitusi kalau nggak mau dibilang nyontek, bedanya, cuma sedikit tambahan antisipasi, jika
sewaktu-waktu terjadi pasangan calon memperoleh
suara sama banyak akan dilakukan pemilihan ulang. Sedangkan di konstitusi jika tidak
tercapai ayat (3) diwajibkan dua putaran
(scond round). Putusan MK justru
melanggar UUD 1945, karena MK telah memutus melebihi kewenangannya. MK yang diberi
kewenangan antara lain menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MPR ,
justru secara substantif merubah
konstitusi sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.