Senin, 11 Juli 2016

Dapatkah MK Merubah Konstitusi?



.
Oleh  WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta, 
Alumni S2 Magister Kenotariatan UI
Jabatan Fungsional: LEKTOR



Ajaib Mahkamah Konstitusi (MK) berani memutus  Pilpres satu putaran, menjadikan  saya penasaran membuka-buka kembali buku Risalah Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002 terbitan Sekretariat Jenderal MPR (Cetakan: tahun 2008). Risalah amandemen ini menggunung satu paket yang terdiri dari sebelas buku, dicetak Sekretariat Jenderal MPR dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Mata saya terbelalak, tatkala  membaca tujuan pemberlakuan pasangan calon presiden dan wakil presiden menang satu putaran jika  mendapatkan suara lebih dari limapuluh persen dan sedikitnya dua puluh persen di lebih setengah propinsi, karena sebaran penduduk Indonesia yang tidak merata dimaksudkan agar Capres dan Cawapres tidak berkampanye hanya berpusat didaerah padat penduduk di kota-kota maju. Pertanyaannya, mengapa MK nekat merubah isi konstitusi yang bukan merupakan kewenangannya?.
Image result for gambar Gedung MK
Pilpres 9 Juli lalu sudah berakhir. Pandangan kita ketika itu tertuju pada sosok bangunan yang bernama MK sebagai gravitasi atau pusat pusaran organ-organ kelembagaan negara lainnya. MK bermagnet karena memiliki kewenangan yang paling spektakuler yaitu, menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum yang bersifat final dan mengikat. Salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi yang di lembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” MK dibentuk secara resmi pada tanggal 13 Agustus 2003, sejak dibentuknya lembaga tersebut sosialisasi gencar dilaksanakan.

Sekelumit Sejarah (Prelude) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Laica Marzuki (2006), dalam bukunya berjalan-jalan di ranah hukum, sesungguhnya, dalam rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945, telah muncul gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh. Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (Balai Agung) menjadi pula badan yang membanding, yakni, “..apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia atau hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.” Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (guna check and balances antar ketiga cabang kekuasaan). “Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.” (RM.A.B. Kusuma, 2004:229).
Sehubungan hal tersebut, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya Constitutioneelhof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di Zaman Weimar.”Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya,” kata Soepomo lebih jauh. Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin, Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja. Suardi Tasrif menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara inkonklusif (1971:197). “Neither Fish, nor fowl (bukan ikan, bukan daging),” kata Tasrif.
Dengan memerhatikan dan mencermati dengan saksama risalah BPUPKI mengenai perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Soepomo dengan Moh. Yamin tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa, peradilan Mahkamah Konstitusi (peradilan spesial/khusus) pada hakekatnya sudah didambakan oleh para perumus UUD 1945. Namun, mengingat kondisi negara ketika itu dalam keadaan darurat perang, kegiatan mempersiapkan kemerdekaan dan mengesahkan UUD 1945 lebih diprioritaskan, sehingga  badan dimaksud (Mahkamah Konstitusi) untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut. Kita dapat membaca pemikiran  para perumus UUD 1945 mengapa ketika itu tidak melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan badan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perumus UUD 1945  optimis dan menaruh harapan besar, kiranya  setelah Indonesia merdeka dalam kondisi negara yang damai dan tentram, akan ada anak-anak bangsa melakukan pengkajian konstitusi membentuk lembaga kekuasaan kehakiman dimaksud. Kini, 56 tahun yang lalu dambaan itu menjadi kenyataan dengan terwujudnya keberadaan  Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan secara konstitusional melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Sayangnya, MPR yang telah melahirkan MK, kini justru sering mengambil alih kemudi MPR. Padahal untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 itu kewenangannya  ada di lembaga negara yang bernama MPR (Pasal 3 dan  37 UUD 1945),  bukan domain MK. Tetapi dalam teori, ternyata MK menambahi kewenangannya sendiri menjadi purbawisesa dapat merubah konstitusi.
MK yang nekat memutuskan Pilpres satu putaran, membikin geger dan mengacaukan sistem ketatanegaraan. MPR sebaiknya ksatria mengakui bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden tidak diantisipasi terjadinya dua pasangan calon. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi membuat tafsir sekaligus putusannya yang justru melanggar UUD 1945 itu sendiri. Ini berarti secara teori Mahkamah sudah merubah UUD 1945 yang sesungguhnya kewenangan MPR.
Marilah kita menyimak dan memperhatikan dengan saksama Pasal 6A UUD 1945
Ayat (3): Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Ayat (4): Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Konstitusi yang ditulis didalam bahasa Indonesia itu sudah gamblang sekali, tidak ada penafsiran lain dalam hal pelaksanaan Pilpres. Sekalipun pelaksanaan Pilpres hanya diikuti dua pasang calon, harus melewati ayat (3) terlebih dahulu, agar terpilih satu putaran (first round)  mendapatkan suara lebih dari 50%, sedikitnya 20% suara di setiap propinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah propinsi. Jika ayat (3) tersebut tidak terpenuhi, berikutnya dilaksanakan pemilihan ulang sesuai ayat (4), dimana calon yang mendapatkan suara terbanyak dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Mengenai pasal 159 UU. No. 42 tahun 2008 yang diuji materikan ke MK itu, isinya persis turunan dari konstitusi kalau nggak mau dibilang nyontek, bedanya, cuma  sedikit tambahan antisipasi, jika sewaktu-waktu terjadi pasangan calon  memperoleh suara sama banyak akan dilakukan pemilihan ulang. Sedangkan di konstitusi jika tidak tercapai ayat (3) diwajibkan  dua putaran (scond round). Putusan MK justru melanggar UUD 1945, karena MK telah memutus melebihi kewenangannya. MK yang diberi kewenangan antara lain menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MPR , justru secara substantif  merubah konstitusi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19