Oleh
Warsito, SH., M.Kn.
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Satyagama
Alumni Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia Spesialis Hukum Perdata
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah selayaknya untuk direvisi. Pasalnya undang-undang ini ada muatan diskriminatif memosisikan perempuan lemah tidak berdaya terhadap pria. Sebagai pria, meski saya merasa sedikit diuntungkan dalam peraturan ini, tetapi saya memandang UU ini tidak memenuhi aspek keadilan oleh karenanya harus dilakukan perubahan.
Marilah kita menyimak dengan saksama rumusan UU yang tidak adil itu: Pasal 4
ayat (2) undang-undang perkawinan menyebutkan: “Pengadilan memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.
Istri
mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Seharusnya jika suami cacat badan/ atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan istri juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk bercerai. Maaf istri tidak dapat polyandri karena akan bertentangan dengan hukum positif dan hukum islam, yang bisa dituntut istri seharusnya dapat mengajukan perceraian. Apabila suami tidak dapat
menjalankan kewajibannya (impoten) atau
suami cacat badan dan mempunyai
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka dalam undang-undang ini harus
secara tegas dinyatakan bahwa istri pun dapat menggugat perceraian kepada suami
apabila hal itu dikehendaki oleh si
istri. Persyaratan suami dapat melakukan
perkawinan lebih dari satu sebagaimana syarat-syarat pasal 4 ayat (2) adalah
kontradiktif intermenis dengan pasal 33 Undang-undang perkawinan itu sendiri
yang menyebut: “suami istri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan, lahir batin yang satu kepada yang lain. Suami itu
adalah pelindung istri, sebagaimana tujuan dari perkawinan itu adalah bukan
semata-mata mengejar kebutuhan biologis, akan tetapi lebih daripada itu mempunyai tujuan yang luhur sebagaimana
disebut dalam undang-undang perkawinan pasal 1 yang menegaskan: “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 26, yang memandang perkawinan itu hanya dalam
hubungan-hubungan keperdataan saja tidak beraspek religius. Sebenarnya sudah sejak 17 tahun lalu undang-undang
perkawinan ini menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi untuk segera
dilakukan revisi, utamanya revisi yang
menyangkut hubungan suami istri
(kekuasaan marital) dalam berumah tangga. Sehingga revisi tersebut diharapkan
dapat menempatkan wanita sejajar dengan pria dalam hubungan suami istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.