Jumat, 20 Januari 2017

HUBUNGAN MARITAL (SUAMI ISTRI) DALAM PERKAWINAN




Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama
                                               Alumni Magister Kenotariatan Universitas Indonesia Spesialis Hukum Perdata 

     Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah selayaknya untuk direvisi. Pasalnya undang-undang ini ada muatan diskriminatif memosisikan perempuan lemah tidak berdaya terhadap pria. Sebagai pria, meski saya merasa sedikit diuntungkan dalam peraturan ini, tetapi saya memandang UU ini tidak memenuhi aspek keadilan oleh karenanya harus dilakukan perubahan. 
         Marilah kita menyimak dengan saksama rumusan UU yang tidak adil  itu: Pasal 4 ayat (2) undang-undang perkawinan menyebutkan: “Pengadilan memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a.          Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.         Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.          Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

     Seharusnya jika suami cacat badan/ atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan istri juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk bercerai. Maaf istri tidak dapat polyandri karena akan bertentangan dengan hukum positif dan hukum islam, yang bisa dituntut istri seharusnya dapat  mengajukan perceraian.  Apabila suami tidak dapat menjalankan kewajibannya (impoten) atau  suami  cacat badan dan mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka dalam undang-undang ini harus secara tegas dinyatakan bahwa istri pun dapat menggugat perceraian kepada suami apabila hal itu dikehendaki oleh  si istri.  Persyaratan suami dapat melakukan perkawinan lebih dari satu sebagaimana syarat-syarat  pasal 4 ayat (2) adalah kontradiktif intermenis dengan pasal 33 Undang-undang perkawinan itu sendiri yang menyebut: “suami istri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia dan memberi bantuan, lahir batin yang satu kepada yang lain. Suami itu adalah pelindung istri, sebagaimana tujuan dari perkawinan itu adalah bukan semata-mata mengejar kebutuhan biologis, akan tetapi lebih daripada  itu mempunyai tujuan yang luhur sebagaimana disebut dalam undang-undang perkawinan pasal 1 yang menegaskan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 26,  yang memandang perkawinan itu hanya dalam hubungan-hubungan keperdataan saja tidak beraspek religius.   Sebenarnya sudah sejak 17 tahun lalu undang-undang perkawinan ini menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi untuk segera dilakukan revisi, utamanya  revisi yang menyangkut hubungan  suami istri (kekuasaan marital) dalam berumah tangga. Sehingga revisi tersebut diharapkan dapat menempatkan wanita sejajar dengan pria dalam hubungan suami istri.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19