Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Pengamat Konstitusi
Berita
heboh Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ditangkap KPK Oktober 2013
lalu, tak menyurutkan bagi penegak hukum lainnya untuk tidak berkorupsi. Alih-alih MK membenahi institusinya, justru
Rabu kemarin sore institusi sebagai penjaga gawang konstitusi itu kembali dipermalukan
untuk kali kedua dengan ulah hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh
komisi anti rasywah.
Jika
di jajaran eksekutif seperti kasus bupati Klaten yang tertangkap KPK dengan dugaan
memperdagangkan promosi jabatan, publik menyikapinya masih biasa-biasa saja.
Biasa-biasa karena selama ini publik mafhum untuk promosi jabatan di instansi
dan kelembagaan negara sudah umum diketahui ada yang menggunakan cara-cara yang
nista seperti menyuap atau melalui pendekatan nepotisme. Publik juga tak heran
ketika dari kalangan legislatif baik level anggota DPR RI-DPRD yang tertangkap
tangan KPK. Banyaknya hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan hakim MA
yang ditangkap KPK, publik juga masih tidak begitu kaget karena dari hal-hal
yang sepele saja seperti penebusan pelanggaran lalu lintas di pengadilan sudah dicegat
calo.
Tetapi
pandangan publik kali ini berbeda dan geleng-geleng kepala tatkala Hakim MK yang
ditangkap KPK, tentu akan menjadi berita heboh di seantero negeri ini, sebab hakim
MK adalah penjaga gawang konstitusi yang satu-satunya pejabat yang
dipersyaratkan harus memiliki jiwa negarawan. Negarawan adalah orang yang
menanggalkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan/atau partai politiknya
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat-negara-bangsa. Maka rekruitmen hakim
MK perlu ditinjau ulang jangan asal comot orang yang kredibiltas dan
kejujurannya masih diragukan.
Negarawan Tidak
Terukur
Selama
ini pencalonan hakim MK yang dipersyaratkan orang yang negarawan tidak terukur,
hakim MK yang berasal dari kader partai politik hampir mustahil bisa independen
putusannya, apalagi berharap bisa negarawan. Jumlah 9 hakim MK yang komposisinya
3 diajukan oleh Presiden, 3 oleh DPR dan 3 oleh Mahkamah Agung sangat tidak
tepat, sebab setelah menjadi hakim konstitusi akan tunduk kepada yang
mengajukan. Akibatnya, jika sewaktu-waktu Presiden di impeachment oleh DPR dengan
menggunakan hak menyatakan pendapat, dugaan DPR bahwa presiden telah melanggar
UUD 1945 jika dilakukan voting di MK, maka posisi presiden masih bisa aman 6:3
atau minimal 5:4 untuk menggagalkan impeachment.
Tamparan Keras Bagi
SBY
Patrialis
Akbar sebagai hakim konstitusi yang secara resmi mengucapkan sumpah jabatan
pada 13 Agustus 2013 adalah diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
kala itu. Sebagai presiden yang mengajukan setidak-tidaknya SBY memiliki beban
moral karena ternyata yang diajukan jauh dari negarawan, apalagi pengajuannnya
pada saat itu banyak mendapat kritikan dan terjadi pro kontra. Bahkan, yang
saya kutip dibawah ini dari (http://www.suratkabar.id/29488/politik/jadi-hakim-mk-atas-usulan-sby-patrialis-akbar-berakhir-sebagai-tahanan-kpk)
menyatakan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menilai
penunjukannya ini tidak transparan dan partisipatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.