Jumat, 06 Maret 2009

Menakar Keberadaan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Master Kenotariatan UI


        Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang ditulis di tinta ”emas” konstitusi anggota DPD mengaku akan berjuang untuk kepentingan rakyat. Bagaimana mungkin dapat memperjuangkan rakyat sedangkan keberadaan lembaga DPD sendiri tidak berdaya?. DPD itu tidak memiliki kewenangan apapun. Solusi yang paling pas untuk DPD adalah dibubarkan saja, sebab selama ini hanya sebagai lembaga negara tidak memiliki arti (meaningless).

       Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA, sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang fungsinya sama saja dengan DPA.

         Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

           Kutipan Ir.Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau tetap memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan karena hanya buatan manusia biasa, sehingga di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law).
Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika di dalam konstitusi.Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balance) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah ibarat anak lahir dalam kondisi “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas konstitusionalnya secara maksimal.

         Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.
          Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balance secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amendemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
Selain itu, pasca amendemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Hal lain, status hukum TAP MPR tidak dikenal lagi di dalam UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU. P3). Pasca amendemen UUD 1945, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Sikap Kenegarawanan

          MPR tidak perlu malu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR (dapat disebut mata hatinya MPR) adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amendemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi disisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembaga-lembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD tidak bernilai (meaningless).
Selain berdosa telah melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amendemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang benar adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan pasal 7C UUD 1945 sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah membekukan MPR/DPR 23 juli 2001 sehingga dia disidang istimewakan MPR. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur didalam penjelasan. Pada waktu itu terjadi pro dan kontra, apakah penjelasan UUD 1945 itu merupakan bagian hukum atau tidak?.

Belajarlah Dari Pengalaman

       DPD pernah mengalami kegagalan dalam mengamendemen UUD 1945 guna memperkuat kelembagaannya di dalam pasal 22D UUD 1945. Gagal mengamendemen UUD 1945 sejurus kemudian DPD berpendapat dan mendesak calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 mendatang tanpa harus melalui perubahan UUD 1945, menurutnya aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. Usulan dari Dewan Perwakilan Daerah agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan dibuka terlihat bakal “mentah”. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/9-2007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undang-undang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang juga tidak dianjurkan, dengan demikian DPD mengambil kesimpulan bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut dilontarkan dengan pedas oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD “Tolong UUD 1945 dibaca secara komprehensif, jangan dipotong-potong, kalau kami katakan DPD enggak mengerti UUD kami kan tidak enak”. (Kompas 7/9-2007).

        Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Lex superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR. DPD perlu memahami bahwa yurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden.Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD. Asas kehati-hatian ini penting dimiliki DPD, agar tidak terperosok lubang kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amendemen UUD 1945 itu sulit untuk diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD itu hanya 128 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi atau 226 anggota MPR dari seluruh jumlah anggota MPR 678. Tahapan berat berikutnya adalah persyaratan kourum kehadiran rapat 2/3 dari jumlah anggota MPR 678 yang berarti 452 anggota. Selanjutnya putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR 678 yang berarti memerlukan persetujuan 340 anggota. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Kegagalan amendemen UUD 1945 dan kegagalan menggagas Capres dari unsur perseorangan untuk diwadahi dalam undang-undang, bukan duka terakhir untuk DPD. Usulan DPR agar judul undang-undang pemilu memberi pemisahan antara lembaga legislatif dan DPD, menambah lengkap duka DPD yang pada 1 Oktober 2009 akan tutup usianya. Usulan DPR itu mendapat reaksi keras dari pimpinan dan anggota DPD (Media Indonesia 21/9-2007). Pemisahan lembaga DPD dengan legislatif, membuat berang sebagian anggota DPD yang merasa kelembagaannya itu dilecehkan. Tanggapan itu dilontarkan oleh Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, “kalau DPD dianggap bukan bagian dari legislatif, lantas lembaga apa dong?. Eksekutif pasti bukan, yudikatif? Apalagi pasti bukan. Audit jelas bukan itu tugas BPK. Pertimbangan?. Tentu bukan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden. Penasehat sebagai DPA? Jelas bukan karena penasehat kok dipilih oleh rakyat. Penasehat itu kan diangkat oleh yang dinasehati” tanya Ginandjar (Media Indonesia 21/9-2007). Senada dengan itu anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yang juga Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud mempertanyakan motivasi dibalik usulan tersebut, Aksa Mahmud meminta “kalau bukan legislatif bubarkan saja”. Masak DPD lembaga eksekutif. Ini ada apa?. Tegasnya di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta ( Media Indonesia 2/9-2007). Tanpa upaya pendelegitimasian DPD, pada hakekatnya peran dan fungsi DPD itu sudah dipasung oleh konstitusi, DPR tidak perlu menambah pelengkap derita DPD dengan usil mengusulkan pemisahan DPD dari lembaga legislatif. DPD memang sengaja dijadikan anak tiri konstitusi, oleh karena itu MPR perlu introspeksi dan mengambil sikap tegas, kedepan DPD dibubarkan atau diberi kewenangan..

Reformasi Telah Mati



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Alumnus Magister Kenotariatan UI
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri




          Gerakan reformasi membahana yang dipelopori oleh kaum mahasiswa yang didukung elemen masyarakat pada tahun 1998 kini tinggal nama saja. Tujuan semula memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden, tidak lain agar kondisi secara umum kehidupan masyarakat, bangsa dan negara akan semakin lebih baik.Namun teori reformasi itu tidak sejalan dengan kenyataan,justru reformasi yang didambakan, kini jauh panggang dari api. Makna reformasi justru harus direformasi kembali.
Gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa,klimaksnya berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa heroik berhentinya Soeharto dari jabatan presiden terjadi ditengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi awal pergerakan reformasi di tanah air.
        Tuntutan reformasi antara lain yakni: a. amendemen UUD 1945; b. penghapusan dwi fungsi ABRI; c. penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); e. mewujudkan kebebasan pers; dan f. mewujudkan kebebasan demokrasi.
Marilah memerhatikan dengan saksama, apakah sesungguhnya yang telah dihasilkan oleh reformasi ini?. Di bidang perekonomian,kebutuhan harga bahan pokok justru semakin meroket, sebagian besar rakyat sudah tidak berdaya lagi menjangkau harga-harga yang menggila ini.

Bagaimana reformasi di Bidang Politik?.

          Reformasi konstitusi hanya menambah kesemrawutan di dunia politik.Sederet lembaga-lembaga negara dihadirkan,padahal sebenarnya keberadaannya itu tidak dibutuhkan.Contoh lembaga negara yang tidak dibutuhkan adalah, yakni, Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang hanya sekedar dijadikan accessoir (ikutan) dalam sistem ketatanegaraan belaka, sebab parlemen pokoknya adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Keberadaan DPD tidak lebih sekedar hanya memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR tetapi tidak berimplikasi yuridis.Namanya sebuah pertimbangan kalau tidak dipakai pastilah dibuang ke tong sampah oleh DPR.
Namun hasil reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek.Dari sisi manfaat,pasca amendemen konstitusi, ketatanegaraan kita menjadi lebih modern dan progressif, antara lain dapat menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.Sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power).

           Celakanya lagi, reformasi di bidang politik itu tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru sebelumnya. Indikatornya terlihat, undang-undang pemilu 2009 yang baru disyahkan (sebelumnya sempat mengalami penundaan), malah menjadi ajang keributan antara DPR dengan DPD. Permasalahannya cukup sederhana, DPR dianggap menyerobot kavling DPD. Pada pemilihan umum sebelumnya anggota DPR yang ingin menjadi anggota DPD diberikan jeda selama 4 tahun tidak menjadi pengurus partai politik. Pada undang-undang pemilu yang baru,anggota DPR yang ingin mencalonkan menjadi anggota DPD cukup mengajukan berhenti dari kepengurusan partai politik. Ketentuan undang-undang yang membuat longgar anggota DPR menjadi anggota DPD dipandang merugikan DPD. Benarkah hak konstitusional DPD dirugikan UU pemilu?. Konflik DPD dengan DPR tentang persyaratan menjadi anggota DPD, tidak lain hanya bertujuan untuk kepentingan anggota DPD dan DPR. Substansi yang diributkan sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Inikah makna reformasi itu?. Oleh karena itu wajar, jika masyarakat bersikap acuh kepada DPD ketika ingin mengajukan judicial review UU pemilu terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
           Penting bagi kita merefleksi makna reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 yang usianya kini hampir sebelas tahun,sejak Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Kontemplatif tersebut diperlukan, agar reformasi yang telah diperjuangkan dengan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa yang mengorbankan harta benda, tetesan darah bahkan nyawa, kembali memiliki arah yang jelas.
          Kini Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Soeharto adalah presiden yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara kita Indonesia. Sebagai manusia biasa, tidak bisa dipungkiri, Soeharto tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya semasa memimpin negeri ini. Namun demikian, kekurangan-kekurangan Soeharto itu, tidak boleh dijadikan senjata untuk mendiskreditkan Soeharto. Kita perlu mikul duwur mendem jero kepada pemimpin kita. Falsafah jawa ini perlu kita pegang teguh, kita agungkan dan kita junjung tinggi, agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang begitu membahana di gedung MPR/DPR yang dipadati oleh lautan manusia.Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti dari jabatan presiden sesegera mungkin.Tetapi tidak dipikir apakah lengsernya Soeharto, keadaan negara akan semakin membaik ataukah justru sebaliknya. Atas desakan para mahasiswa dengan dibantu berbagai komponen bangsa, akhirnya pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 tepat pukul 9.05 WIB, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Mendengar pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden,seketika itu juga para mahasiswa melakukan sujud syukur,berpelukan dan menangis terharu,seraya mengumandangkan takbir, atas kemenangan perjuangan reformasi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menceburkan diri ke kolam air mancur gedung MPR/DPR untuk meluapkan kegembiraannya.
Reformasi Telah Mati

         Pada 21 Mei 2009 mendatang, reformasi genap memasuki 11 tahun. Melihat keadaan reformasi yang tidak jelas seperti ini, saya sedih. Ternyata reformasi yang pernah menggetarkan dunia itu,tidak mendatangkan banyak kebaikan untuk rakyat. Reformasi macet,secara umum keadaan reformasi tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru. Reformasi benar-benar telah mati. Yang lebih menyakitkan lagi, perilaku elite politik tidak mencerminkan perilaku kelembagaan negara yang memperjuangkan aspirasi rakyat.Tercermin banyaknya elite politik yang ditangkap KPK karena skandal kasus korupsi.Mereka tidak menyadari,bahwa keberadaannya di gedung MPR/DPR yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas wah, pada hakekatnya mahasiswa lah yang mengantarkan mereka kesana.Bukankah elite politik sebelumnya ‘terserang flu berat’ diam seribu bahasa terhadap penguasa?.Mahasiswa dan seluruh komponen bangsa yang telah memperjuangkan reformasi,tidak menuntut elite politik memberikan balas jasa kepadanya.Yang diharapkan pejuang reformasi hanya satu, yaitu, meminta kepada elite-elite politik untuk dapat memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
       Jangan sampai era yang serba sulit ini, kata reformasi diplesetkan menjadi sebuah novel dengan judul: ‘repot nasi’.Judul novel itu bisa saja kita anggap sebagai guyonan,tetapi pada hakekatnya hati kita tidak dapat memungkiri kenyataan itu,karena kondisi masyarakat yang terjadi saat ini memang demikian,yaitu, sulitnya mencari sesuap nasi di era reformasi.

Selasa, 03 Maret 2009

Surat Terbuka Untuk Setjen MPR-DPD Penyesuaian Ijasah itu Kebijakan Atau Peraturan?.


Oleh: Warsito, SH., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta;
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI;
-PNS DPD-RI digolongkan II/c Yang Berhenti Atas
Permintaan Sendiri;
- Master Kenotariatan UI;
- Juara I Lomba Pidato Tingkat Pegawai MPR-DPR
Tahun 2003;
- Juara I Lomba MTQ Kec. Kayen, Pati
Tahun 1983.


Pembaca website MPR yang saya cintai.
   
          Tuan-tuan Pejabat Sekretariat Jenderal MPR-DPD yang saya hormati.
Sudah dua minggu ini saya tidak sempat menulis opini di website MPR,dikarenakan adanya kesibukan sehari-hari dalam menjalankan tugas jabatan saya sebagai Notaris-PPAT yang tidak dapat saya tinggalkan. Jika saya tidak menulis di website MPR seminggu saja, rasanya badan ini terasa pegal sekali.
        Dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf, jika tulisan ini dianggap suatu kritik pedas. Menulis opini ini saya niatkan tidak lain kecuali untuk mencari ridho Allah SWT agar saling nasehat-menasehati diantara kita dalam hal kebenaran.
Penyesuaian ijasah itu kebijakan (beleid) atau peraturan (regelling)?. Salah besar jika Setjen MPR-DPD selama ini berargumentasi bahwa penyesuaian ijasah itu adalah suatu kebijakan. Maukah tuan-tuan saya tunjukkan jalan yang lurus?. Jalan yang lurus yaitu, penyesuaian ijasah itu adalah peraturan, sebagaimana diatur di dalam PP No. 12 Tahun 2002 yang mengatur tentang kenaikan pangkat PNS. Kalau penyesuaian ijasah itu kebijakan, bagaimana kalau kebijakan tuan-tuan itu tidak membawa kabajikan?. Kebijakan itu artinya adalah sesuatu yang memberi manfaat bagi orang banyak, bukan sebaliknya malah mematikan karir orang. Sebagai contoh suatu kebijakan, Setjen MPR pada waktu itu mengeluarkan kebijakan yang membawa kebajikan kepada pegawai yang menikah diberikan “sesuatu”. Padahal tidak diberikan sesuatu itu pun tidak apa-apa karena memang aturannya tidak ada. Oleh karena itu pelajari UU. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apakah kebijakan itu termasuk peraturan perundang-undangan atau tidak?.
Apakah Sebenarnya Kenaikan Pangkat Itu?.
       Kenaikan pangkat itu adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS yang bersangkutan terhadap Negara, selain itu kenaikan pangkat juga dimaksudkan sebagai dorongan kepada PNS untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.
Bagaimana mereka dapat meningkatkan prestasi kerja, jika PNS MPR-DPD yang telah menyelesaikan S1 tidak segera disesuaikan ijasahnya?.Dengan perkataan lain malah dijegal?. Bukankah ketika mereka sekolah sudah memperoleh ijin?. Kalau argumentasi belum ada formasi, mengapa setiap tahun menerima pegawai baru?. Sebagai contoh si BADU yang tamatan SMA bergolongan II/b itu melanjutkan kuliah lalu lulus S1 sarjana politik, si BADU-nya bukan disesuaikan malah menerima pegawai baru si KEMPRIT yang formasi lulusannya sama dengan si Badu. Dimana logika hukumnya?.
        Jika Setjen MPR-DPD baru akan menyesuaikan ijasah si BADU menunggu dia bergolongan II/d itu namanya mengada-ada, kalau tidak mau saya bilang dholim. Apa bedanya dengan kenaikan pangkat reguler?. Lihat tetangga sebelah (Setjen DPR), seangkatan saya bergolongan II/c berijasah SI sudah disesuaikan golongan III/a. Kemudian sahabat saya di Departemen Hukum dan HAM bergolongan II/b yang berijasah SI langsung disesuaikan menjadi golongan III/a.
Jadi mana yang benar?. Apakah Setjen MPR-DPD, Setjen DPR, ataukah Departemen Hukum dan HAM?. Yang benar adalah di instansi Departemen Hukum dan HAM, instansi tersebut benar-benar paham oleh karena bisa mengetrapkan PP 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS.
Jangan teruskan kebijakan yang tidak terpuji tersebut. Bagaimana jika hal ini terjadi kepada tuan-tuan pejabat Setjen MPR-DPD?.
      Dedikasikanlah keilmuanmu untuk kepentingan umat. Jangan berlaku sebaliknya.Mempunyai kewenangan tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Itu namanya dholim, karena mematikan karir orang lain. Nasehat ini saya berikan kepada Setjen MPR-DPD karena saya masih sayang, meskipun saya sudah tidak berada di dalam lingkaran sana.
       Pada umumnya PNS bersekolah lagi itu untuk penyesuaian ijasah demi untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik. Pikiran mereka tidak salah meskipun saya tidak sepenuhnya sependapat.Mereka bergolongan rendahan bahkan ada yang membiayai kuliah sampai-sampai SK PNS-nya digadaikan. Kontras dengan perilaku sebagian besar pejabat Setjen MPR-DPD yang berkuliah di biayai oleh dinas, tetapi tidak banyak yang selesai karena merasa biaya bukan dari kantongnya sendiri.
      Oleh karena itu marilah memerhatikan pasal 18 Ayat (1) butir (e) PP. 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS: PNS yang memperoleh ijsaha sarjana (S1), atau ijasah diploma IV dan masih berpangkat pengatur tingkat I, golongan ruang II/d kebawah, dapat dinaikkan pangkatnya menjadi peñata muda, golongan ruang III/a. Sekali lagi untuk pejabat Setjen MPR-DPD dedikasikanlah keilmuanmu untuk pengabdian umat, sesuai dengan gelar akademis yang telah tuan peroleh. PP tersebut sudah jelas maksudnya tidak ada interpretasi lagi.
       Saya do’akan Allah SWT membukakan pintu hatimu, segera sesuaikan sahabat-sahabat saya di Setjen MPR-DPD yang telah menamatkan kesarjanaannya dengan susah payah, jangan ditunda-tunda lagi. Semoga tuan-tuan mendapatkan petunjuk. Amien.

Jumat, 20 Februari 2009

Selamat Datang Sekretariat Parlemen



Oleh Warsito, SH., M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Mantan PNS DPD-RI di golongkan IIc
Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Juara I Lomba Pidato Tingkat Pegawai MPR-
DPR Tahun 2003


Pembaca website MPR yang saya hormati dan saya cintai.

     Tidak terasa,setahun sudah saya tidak bekerja lagi menjadi PNS MPR-DPD-RI.Disela-sela kesibukan saya menjalankan tugas jabatan sebagai Pejabat umum (public official) sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris,saya tetap menyempatkan diri untuk memantau perkembangan kontemporer ketatanegaraan Indonesia saat ini, baik melalui media cetak, maupun elektronik.
Sebagai rasa kecintaan saya kepada Sekretariat Jenderal MPR yang pernah telah membesarkan saya, tentu saya tidak pernah dan tidak akan melupakannya. Saya akan mikul duwur mendem jero.Demi kecintaan itu pula,saya sering memberikan masukan kepada Sekretariat Jenderal melalui website MPR maupun melalui media cetak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana perintah Allah SWT.

        Saudaraku Sekretariat Jenderal yang saya cintai……...
Menanggapi issu serius yang berkembang saat ini tentang penggabungan Sekretariat Jenderal MPR-DPD dilebur menjadi Sekretariat Parlemen, anda semua tidak perlu cemas,tidak perlu menyambut dengan jerit tangis. Yakin lah, rezeki itu sudah diatur oleh Allah SWT. Terutama saudara-saudaraku yang berkedudukan sebagai staff,anda ditaruh dimanapun juga tidak berpengaruh. Dampak besar terhadap peleburan sekretariat jenderal ini akan dirasakan oleh eselon III sampai dengan eselon I.
    Jika saudaraku masih ingat,didalam website MPR ini saya tidak pernah henti-hentinya menyuarakan agar pegawai Setjen MPR jangan dipindahkan ke Setjen DPD. Kecuali dengan promosi tentu mereka merasa diberikan hiburan.Masih ingatkah anda dengan pesan Sekretariat Jenderal agar kita merebut hati anggota DPD?. Ada apa dengan pesan ini?.Jawabnya,karena mereka mempunyai kepentingan untuk menduduki jabatan tertentu di Setjen DPD. Tetapi Allah SWT berkehendak lain, ternyata Sekjen DPD-RI bukan dari internal MPR sebagaimana diidam-idamkan oleh mereka.Itu merupakan salah satu do’a saya, agar jabatan itu tidak diberikan kepada orang yang meminta-minta.
Bagi staff MPR yang di pindahkan ke DPD termasuk saya merupakan malapetaka. Sebab pekerjaan numpuk, hanya pindah tempat duduk, ditambah lagi Setjen MPR tidak memahami (baca: tidak mempunyai itikad baik) terhadap PP 12 tahun 2002 yang mengatur tentang kenaikan pangkat PNS.Lebih gila lagi Setjen DPD-RI bekerjanya pulang larut malam(absen finger) belum diberlakukan pada waktu itu.
     Oleh karena itu,pesan saya kepada saudara-saudaraku,jika secara nyata nanti terjadi peleburan sekretariat Jenderal MPR-DPR-DPD menjadi Sekretariat Parlemen kita semua tidak perlu resah.
Saya do’akan semoga anda bekerja dalam damai, naungan dan ridho Allah SWT.

Selasa, 10 Februari 2009

Mengapa MPR Mendistorsi Kewenangan DPD”?.




Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI


          Angin segar kini kembali berhembus memberikan harapan kepada Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Menanggapi disertasi dari teman saya Saldi Isra yang menyatakan presiden terbelenggu oleh legislasi, ada baiknya kita merenungkan dan mengkalkulasi seberapa besar pembelengguan konstitusi tersebut terhadap presiden. Sebab sebelum perubahan UUD 1945 terjadi eksekutive heavy, pasca amendemen terjadi pergeseran parlemen heavy. Apabila keposisian kedua lembaga Negara ini masih diotak-atik lagi, itu namanya kita melangkah mundur. Hal lain seringnya konstitusi diamendemen menjadi tidak baik, karena akan menggganggu keberlangsungan dinamika konstitusi dimasa mendatang. Untuk mensejajarkan DPR dengan presiden, kedua lembaga Negara baik presiden maupun DPR harus sama-sama diberi hak veto untuk menyetujui atau menolak undang-undang. Hak veto tidak boleh hanya diberikan kepada presiden saja, keliru besar pemikiran demikian.
Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini.
Dampak Pembelengguan Presiden
        Dampak dari pembelengguan presiden DPD lah yang akan menangguk untung besar, sebab jika amendemen UUD 1945 dilaksanakan, DPD akan nimbrung agar kelembagaannnya disejajarkan dengan DPR. Jadi dalam konteks ini DPR akan “dikeroyok” oleh kedua lembaga Negara yaitu, presiden dan DPD yang sama-sama meminta kewenangannya disejajarkan.
Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. Juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?. Ibarat jenis kelamin, DPD bukan laki-laki bukan juga perempuan. Lantas apa jenis kelamin DPD ini?. Apakah mau DPD disebut khuntsa (banci)?.
Referendum Untuk DPD
       MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960-2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
         Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Ada adagium hukum, lex superior derogat legi inferiori, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi.
DPD kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen.
          Marilah memerhatikan dengan saksama tugas dan fungsi DPD sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 22D UUD 1945, sbb: DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaan DPD hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan, meskipun anaknya nglunjak tidak marah. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “Sabar anakku, jangan meminta amendemen sekarang, tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kemungkinan akan memberi wejangan lebih manis lagi: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, tunggu di 2014” susun dulu perubahan secara komprehensif.
       Dibutuhkan keberanian sikap DPR memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant terhadap politik, ataukah sebaliknya politik yang determinant terhadap hukum. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka keberadaan konstitusi dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia senantiasa akan dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
       DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD. Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945 diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak konstitusional setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 1338 BW dan pasal 37 UUD 1945). Hal ini perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis jika ingin memiliki sifat kenegarawanan.Dibutuhkan kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sedemikian sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 226 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 sebagai pembelengguan DPD yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
       Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amendemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, memilih DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amendemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD,dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat DPD tersebut. Sebab ketika membuat perjanjian, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amendemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amendemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
 Berilah kewenangan DPD yang jelas kesimpulannya, pilih DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan sekarang juga karena sebagai lembaga Negara tiada bermakna.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19