Minggu, 22 Februari 2015

STUDI KEMUNGKINAN PEMBUBARAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
                                                     Dosen Universitas Satyagama, Jakarta
 
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara yang dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C Jo. Pasal 22D melalui perubahan ketiga  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali, dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain . MPR yang jumlah anggotanya 692 orang (baca: 560 dari anggota DPR) merasa kapan pun bisa membubarkan DPD. Pelemahan DPD juga dapat disimak dengan saksama mengenai  jumlah anggota DPD yang tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi  adalah 1/3 jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132. Darimana DPD dapat menggenapi syarat 1/3 dari 692 anggota sebanyak 230 anggota MPR) jika sewaktu-waktu ingin merubah UUD 1945?. Tentu DPD harus berjuang keras dan "Merayu DPR" untuk memberikan dukungan usulan amandemen yang digagas oleh DPD. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini akan membuat susah payah DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  berkedudukan sebagai lembaga negara pernah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, hasil amandemen UUD 1945 tersebut MPR melahirkan lembaga Negara bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara substansial fungsinya sama saja dengan DPA sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan atau pendapat itu tidak ditindaklanjuti.   
           Komposisi keanggotaan MPR menurut Pasal 2 Ayat (2) UUD 1945 (redaksi lama) sebagai berikut:“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.                                                                       
            Setelah amandemen UUD 1945 Pasal 2 Ayat (2) berubah menjadi sebagai berikut:“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.[1]
Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara         bersamaan.
            Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Hal lain, status hukum TAP MPR tidak dikenal lagi di dalam UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU. P3). Tetapi anehnya melalui UU. No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan TAP MPR masuk kembali sebagai hierarki peraturan perundang-undangan. Pasca amandemen UUD 1945, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Pada 1 Oktober 2015 usia DPD sudah menginjak sebelas tahun. Mari berkontemplatif sejenak tentang keberadaan DPD. Apakah sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga Negara ini untuk rakyat, dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya?. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab issu-issu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD hanya menjalankan tugas konstitusionalnya tetapi tidak melakukan terobosan-terobosan baru yang bersifat progressif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaan yang wajib dijawab oleh DPD, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan selama ini?. Sungguh ironis!.
            Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti           ini DPD akan     dikenal            luas oleh masyarakat.
            Menurut Sri Soemantri, salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasr 1945 ialah dibentuknya badan baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam ketentuan lama (sebelum diubah), tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam undang-undang yang kemudian ditetapkan yang dimaksud dengan utusan-utusan dari daerah-daerah ialah wakil dari provinsi-provinsi yang jumlahnya antara 4 (empat) sampai dengan 8 (delapan) orang, tergantung dari jumlah penduduk warga Negara di masing-masing provinsi. Hal ini dituangkan dalam undang-undang.[2]
            Sri Soemantri lebih lanjut mengemukakan, DPD mempunyai tiga macam fungsi, yaitu, fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi DPD tersebut dimiliki secara terbatas, dalam arti tidak meliputi keseluruhan fungsi yang pada umumnya ada pada Majelis Tinggi. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 22D, fungsi legislasi diatur dalam ayat (1) dan ayat (2)  sebagai berikut:
a.       Fungsi legislasi
DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:
1.      Otonomi Daerah;
2.      Hubungan Pusat dan Daerah;
3.      Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah;
4.      Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya; serta
5.      Yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
            Apabila fungsi legislasi akan dijalankan dalam undang-undang perlu dijelaskan makna kelima fungsi tersebut. Yang perlu juga dipikirkan ialah bagaimana fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh Dewan Perwakilan Daerah. Hal ini akan berkaitan dengan hak dan kewajiban DPD (sebagai lembaga) dan hak dan kewajiban anggota DPD.
b.      Fungsi Pertimbangan
Seperti diatur didalam UUD 1945 {Pasal 22D Ayat (2)}, DPD juga memiliki fungsi pertimbangan. Fungsi ini oleh DPD disampaikan kepada DPR. Hal ini berkenaan dengan:
1.      Rancangan undang-undang tentang anggaran dan pendapatan belanja Negara;
2.      Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
c.       Fungsi Pengawasan
Fungsi ini tercantum dalam perubahan ketiga UUD 1945 {Pasal 22D Ayat (3)}. Dalam ketentuan tersebut dikatakan: DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
1.      Otonomi Daerah;
2.      Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
3.      Hubungan pusat dan daerah;
4.      Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
5.      Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara;
6.      Pajak;
7.      Pendidikan; dan
8.      Agama.[3]
            Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan prinsip yang mendasari bangunan parlemen Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 berkembang dari anutan prinsip supremasi parlemen dan pembagian kekuasaan (distribution of power) ke prinsip pemisahan kekuasaan (sparation of power) dan “check and balances”. Sejak perubahan pertama UUD 1945 MPR tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi Negara yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga lainnya. Di bidang legislatif terdapat tiga institusi, yaitu MPR, DPR, dan DPD, ditambah dengan BPK yang juga berfungsi sebagai instrumen kontrol di bidang keuangan Negara. Di bidang yudikatif, terdapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung disertai Komisi Yudisial yang berfungsi dalam rangka rekruitmen hakim dan kontrol atas integritas dan kehormatan para hakim dengan kemungkinan mengusulkan pemberhentian mereka. Sedangkan dibidang eksekutif, terdapat jabatan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Lembaga-lembaga yang menyandang ketiga cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif tersebut diatas, diletakkan diatas basis pengaturan yang sederajat satu sama lain, dan mempunyai hubungan yang saling mengandalkan satu sama lain dalam rangka menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan demokrasi.
            Masih menurut Jimly, MPR sebelumnya dianggap merupakan penjelamaan seluruh rakyat, dan karena itu sistem rekruitmen anggotanya ditentukan berlapis-lapis dengan mengendalikan tiga pilar perwakilan, yaitu melalui prosedur perwakilan politik (Political representation), utusan daerah (perwakilan daerah= regional representation), dan utusan golongan (perwakilan fungsional=functional representation). Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena itu, (1) hakekat perwakilan daerah pada DPD dan hakekat perwakilan rakyat pada DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakekat perwakilan daerah dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur rekruitmenya. Calon DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan oleh partai politik. (3) Karena hakekat DPD terkait erat dengan kepentingan daerah, maka fungsi-fungsi yang dimilikinya seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi pertimbangan dikaitkan secara khusus dengan kepentingan daerah atau berkenaan dengan hal-hal yang mempunyai sangkut paut langsung dengan kepentingan daerah.[4]
            Saat ini DPD menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama parlemen di  konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amandemen UUD 1945 menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya.
          Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak    memilik arti (meaningless), itulah kajian penulis tentang keberadaan DPD yang anaomali dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan layaknya lembaga-lembaga Negara lain. .

BAB II
PEMBAHASAN
B. Perlunya Amandemen Konstitusi
Penulis pernah mengemukakan dalam artikel di Harian Media Indonesia (11/5-2007), bahwa usulan perubahan kelima UUD 1945 pada tahun 2007 sebenarnya inisiator dari DPD, namun dalam perjalanannya dihambat oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya. Tujuan penghambatan tersebut dapat terbaca dengan jelas, DPR tentu tidak ingin DPD menjadi lembaga Negara kuat dan sejajar kelembagaannya, yang akan menjadi rivalnya dalam pertarungan legislasi. Padahal usulan perubahan UUD 1945 ketika itu telah mencapai 238 anggota MPR, dari jumlah anggota MPR 678. Dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR 678. Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga kesempatan bagi MPR unsur DPR  untuk menyatakan usulan amandemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan keluar,  apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amandemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi disalahgunakan oleh pimpinan MPR memberikan keputusan untuk menarik atau memberikan dukungan amandamen?.
          Sebenarnya jika anggota MPR unsur DPR patuh hukum, meski perjanjian usulan amandemen sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR.   Setelah DPD gagal mengamandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya di dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD tidak kurang akal, sejurus kemudian berpendapat dan mendesak agar calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 lalu  tanpa harus melalui perubahan UUD 1945, menurutnya aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. Usulan dari Dewan Perwakilan Daerah agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan diperbolehkan untuk berkompetisi jelas mudah dimentahkan. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/9-2007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undang-undang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang juga tidak dianjurkan, dengan demikian DPD mengambil kesimpulan bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut dilontarkan dengan pedas oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD “Tolong UUD 1945 dibaca secara komprehensif, jangan dipotong-potong, kalau kami katakan DPD enggak mengerti UUD kami kan tidak enak”. (Kompas, 7/9-2007).
         
Marilah kita menyimak dengan saksama kutipan Ir. Soekarno berikut ini:
            Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan                zaman.
                Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga1          15 Juli   1945).
            Kutipan Ir.Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan karena hanya buatan manusia biasa, sehingga di dalam Pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law). Jadi masih ada ruang untuk amandemen UUD 1945, apakah DPD dibubarkan atau dipertahankan dengan diberi wewenang.
            Dewan Perwakilan Daerah yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika sendiri di dalam konstitusi. Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balances) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah analoginya anak lahir kondisi sudah “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas
konstitusionalnya secara maksimal.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak  keterwakilan    daerah.
            Sikap   Kenegarawanan
            MPR tidak perlu ragu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. Hasil amandemen, UUD 1945 juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi disisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang secara substansi mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembaga-lembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD menjadi tidak bernilai (meaningless).
            Selain melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang benar adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan pasal 7C UUD 1945 itu  sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah membekukan MPR/DPR 21 juli 2001 sehingga dia diturunkan MPR melalui sidang istimewa pada 23 Juli 2001. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur didalam penjelasan.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak  keterwakilan    daerah.’
            Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lemah ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
            Untuk Apa DPD?.
Editorial Media Indonesia 29/12/2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media       Indonesia            29/12-2007).
            Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asalkan kegiatan itu tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD kembali agar sesuai dengan paham demokrasi.

Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?
Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Pemasungan kewenangan kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan konsensus atau lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amendemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
            Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir limabelas tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU. MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah hati atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa tuan-tuan mudah membuat UUD ketinggalan zaman dan cepat usang (verourded)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuan-tuan melahirkan lembaga Negara DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?.
            Pasca amandemen UUD 1945, dipastikan tidak ada satupun anak bangsa  yang hafal konstitusi. Hal ini disebabkan, disamping amandemen UUD 1945 hampir menambahkan 300% ayat, hal lain ketidakhafalan pelajar dan mahasiswa diakibatkan oleh kandungan konstitusi yang sudah tercerabut akarnya dari nilai-nilai estetika, sehingga kebanyakan orang segan untuk membacanya apalagi menghafalnya. Berapa jumlah ayat UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan?. Jawabnya 71 ayat. Setelah dilakukan perubahan menjadi 199 ayat, dengan demikian penambahannya 128 ayat.
            Dewan Perwakilan Daerah kini mulai sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga Negara lain. Singkatnya DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi, karena yang memutuskan undang-undang adalah DPR bersama presiden..
            Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (baca: bukan kewenangan) di dalam Pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Tugas DPD tersebut jika kita mengkaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat bermuara ditangan DPR. Mengapa tidak menyampaikan aspirasi langsung ke DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari ameandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar sejajar dengan DPR memiliki tugas fungsi saling mengontrol.
            Adapun Mekanisme Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah diatur secara jelas dan tegas didalam konstitusi.

            Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah 692 anggota MPR (DPR 560, DPD 132). Jadi 1/3 nya 692 anggota MPR adalah 230 sebagai syarat usulan perubahan konstitusi untuk diagendakan dalam sidang MPR.
Ayat (2) untuk mengubah Pasal-Pasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (692x2/3)= 461 anggota MPR. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan. Disni pentingnya kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota majelis agar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 tetap dapat dilaksanakan.
            Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (692:2+1) dibutuhkan jumlah  347 anggota MPR untuk amandemen konstitusi..
            Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amendemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada Pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amandemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak sadar telah membentuk cluster bernama MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MPR itu antara lain adalah menetapkan dan merubah UUD 1945. Seperti itulah gambarannya jika MPR memperkuat kelembagaan DPD akan berdampak kepada konstitusi yang mengatur kewenangan MPR.
            Sebenarnya MPR ketika 2007 lalu sudah harus menindaklanjuti dengan saksama
usulan perubahan UUD 1945 yang digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Usulan dukungan amandemen tersebut ternyata fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan,sehingga dukungan amandemen tersebut menjadi berkurang, namun demikian masih dalam batas ambang memenuhi persyaratan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan malah menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnysa MPR melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian tersebut mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya dukungan amendemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
            Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini juga agar DPD dapat berkonsentrasi untuk tahap berikutnya mencapai kourum 2/3 kehadiran jumlah anggota MPR. Dan tahap berikutnya mencapai  lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis, putusan untuk merubah UUD 1945 agar kelembagaan DPD dapat kuat sejajar dengan lembaga DPR.
            Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (baca: pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).

            Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Lex superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR. DPD perlu memahami bahwa yurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden. Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD. Asas kehati-hatian ini penting dimiliki DPD, agar tidak terperosok ke dalam lubang untuk kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD itu hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari seluruh jumlah 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya adalah persyaratan kourum kehadiran rapat 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
            Kegagalan amandemen UUD 1945 dan kegagalan menggagas Capres dari unsur perseorangan untuk diwadahi dalam undang-undang, bukan duka terakhir untuk DPD. Usulan DPR agar judul undang-undang pemilu memberi pemisahan antara lembaga legislatif dan DPD, menambah lengkap duka DPD. Usulan DPR itu mendapat reaksi keras dari pimpinan dan anggota DPD (Media Indonesia 21/9-2007). Pemisahan lembaga DPD dengan legislatif, membuat berang sebagian anggota DPD yang merasa kelembagaannya itu dilecehkan. Tanggapan itu dilontarkan oleh Ketua DPD 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita, “kalau DPD dianggap bukan bagian dari legislatif, lantas lembaga apa?. Eksekutif pasti bukan, yudikatif? Apalagi pasti bukan. Audit jelas juga bukan itu tugas BPK. Pertimbangan?. Tentu bukan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden. Penasehat seperti DPA? Jelas bukan karena penasehat tidak dipilih oleh rakyat. Menurut Ginanjar penasehat itu diangkat oleh yang dinasehati” tanya Ginandjar (Media Indonesia 21/9-2007). Senada dengan itu anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yang juga Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud kala itu mempertanyakan motivasi dibalik usulan tersebut, Aksa Mahmud meminta “kalau bukan legislatif bubarkan saja”. Masak DPD lembaga eksekutif. Ini ada apa?. Tegasnya di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta ( Media Indonesia 2/9-2007). Tanpa upaya pendelegitimasian DPD, pada hakekatnya peran dan fungsi DPD itu sudah dipasung oleh konstitusi, DPR tidak perlu menambahi pelengkap derita DPD dengan mengusulkan pemisahan DPD dari lembaga legislatif.
Keteledoran melahirkan lembaga DPD dampaknya luar biasa dahsyat, yaitu, uang rakyat akan terkuras untuk kegiatan operasional dewan dan Sekretariat Jenderalnya sedangkan produknya tidak bernilai (meaningless).
            MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan MPR tidak cermat ketika merubah UUD 1945, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
            Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
            Dewan Perwakilan Daerah kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai kekuatan penuh di parlemen. Tugas dan fungsi DPD dirumuskan dalam Pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaannya hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Yang menjadi permasalahan sekarang, beranikah DPR dengan sikap kesatria memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan ataukah sebaliknya politik yang dikedepankan. Apabila jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis. Begitulah idealnya jika MPR ingin merubah UUD 1945.

            Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 37 UUD 1945). Ini perlu dipahami seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian  sistemik. Mari kita simak Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang keras untuk melakukan amandemen kelima UUD tetapi belum berhasil. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, apakah DPD dipertahankan diberi kewenangan ataukah dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

C.    POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan Latar belakang dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.      Jka MPR tidak segera mengadakan amandemen UUD 1945 ntuk  membubarkan atau memperkuat DPD, dapatkah Presiden membubarkan DPD?
2.      Bagaimana peran DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?.
3.      Apa yang menyebabkan produk DPD menjadi tidak memiliki arti (meaningless)?..
4.      Apa yang harus dilakukan oleh MPR melihat DPD tidak memiliki arti ini?.

PENUTUP
D.    Simpulan
1.               DPD yang dilahirkan tidak diberikan kewenangan sedikit pun ini, menyisakan permasalahan bagi DPD sendiri dan tentunya MPR. Majelis dapat mengagendakan perubahan UUD 1945 untuk memperkuat atau membubarkan DPD.
2.               Kedudukan DPD sebagai lembaga Negara yang sederajat dengan kepresidenan, DPR. DPD, MK, MA, BPK, KY belum otptimal menjalankan fungsi saling mengimbangi dan saling mengontrol antar lembaga-lembaga Negara.
3.               DPD terbatas hanya diberikan tugas pertimbangan, pendapat dan pengawasan, menjadikan  produk DPD menjadi tidak memiliki arti. DPD tidak ikut memutuskan UU, meski DPD di ikutkan pembahasan rancangan UU terterntu, tetapi lembaga ini tidak turutserta dalam pengambilan keputusan legislasi.
4.               Selama ini  DPD sebagai lembaga Negara tidak berdaya, Jika MPR masih melihat fungsi DPD berperan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan DPD harus diperkuat di dalam UUD 1945. MPR harus mengevaluasi keberadaan DPD selama ini, apakah bermanfaat atau tidak.
  1. Saran/Rekomendasi

1.      Melihat DPD yang dilahirkan tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, MPR harus segera mengadakan sidang Majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 untuk memperkuat atau membubarkan DPD. Ada dua pilihan bagi MPR, yang pertama, jika DPD dipertahankan berikan kewenangan seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain. Namun jika kondisi DPD dibiarkan seperti ini, hanya sebagai pelengkap penderita lebih baik dibubarkan saja. Tetapi jika DPD tetap tidak mengambil keputusan dari kedua opsi tersebut, maka Presiden atas nama konstitusi dapat saja  membubarkan DPD dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: ”Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Rumusan konstitusi ini dapat di interpretasikan bahwa tidak ada larangan Presiden untuk membubarkan DPD.
  1. Kedudukan DPD memang lembaga Negara yang sederajat dengan kepresidenan, DPR. DPD, MK, MA, BPK, KY tetapi karena tidak diberikan kewenangan, DPD tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal yaitu kegiatan saling mengimbangi dan saling mengontrol antar lembaga Negara.
  2. Karena DPD sebatas hanya diberikan tugas pertimbangan dan pendapat kepada DPR tentu produk DPD tidak memiliki arti. DPD tidak ikut memutuskan UU, meski DPD di ikutsertakan pembahasan rancangan UU tertentu tetapi lembaga ini tidak turutserta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi.Ini artinya konstitusi melahirkan DPD tidak konsisten karena hanya sebagai lembaga komplementer belaka yang tidak memiliki kewenangan.
  3. Yang harus dilakukan oleh MPR melihat DPD yang tidak berdaya ini, MPR perlu mengevaluasi keberadaan DPD. Dipertahankan atau dibubarkan. Jika MPR masih melihat DPD berperan dan berfungsi dalam ketatanegaraan kewenangan DPD harus diperkuat di dalam UUD 1945. Sebaliknya, JIka DPD dianggap sudah tidak memiliki arti lagi maka harus segera dibubarkan saja.






DAFTAR PUSTAKA
Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003.

Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen    
         Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966.

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan  Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan  Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.
Buyung Nasution, Adnan.  Asprasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).

Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbi Kanisius, 2007.

Indriati S., Maria Farida. Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945. Yuridika. Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005.

Indrayana Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reformn 1999-2000: An Evaluation of Contitutional-Making Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007.

Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968.

Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011.

  Marzuki, Laica. Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008.


Nasution, Adnan Buyung.      Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001.

Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.

Puspita Dewi, Rachmani. Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 25 No. 4, Oktober 2007.

Soemantri Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.

Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Sumardi. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2006.

Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Panduan Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945.  Jakarta:  Sekretariat Jenderal  MPR RI, 2004.

 Panduan Sosialisasi  Undang-Undang Dasar 1945.  
            Jakarta:  Sekretariat Jenderal  MPR RI, 2004.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia.  Undang-Undang Dasar 1945.

___________. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 1/MPR/2003, Tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

___________.  Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389.

__________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.12, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

A.   JURNAL
_________. Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum Jurnal, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2,  Nopember 2011.

_________. Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk Negara, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI,2014).

____________UUD 1945
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 116



[1] UUD 1945, Psl 2 Ayat (2).
[2] Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 17.
[3] Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 20.

[4] Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 116

Selasa, 17 Februari 2015

Reformasi Telah Mati


 Oleh Warsito, SH M.Kn. 
 - Dosen Universitas Satyagama Jakarta 
- Alumnus Magister Kenotariatan UI 


      Gerakan reformasi membahana yang dipelopori oleh kaum mahasiswa yang didukung elemen masyarakat pada tahun 1998 kini tinggal nama saja. Tujuan semula memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden, tidak lain agar kondisi secara umum kehidupan masyarakat, berbangsa dan negara akan semakin lebih baik.Namun teori reformasi itu tidak sejalan dengan kenyataan,justru reformasi yang didambakan, kini jauh panggang dari api. Gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa,klimaksnya secara heroik berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa heroik berhentinya Soeharto dari jabatan presiden terjadi ditengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi awal pergerakan reformasi di tanah air. Tuntutan reformasi antara lain yakni: a. amendemen UUD 1945; b. penghapusan dwi fungsi ABRI; c. penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); e. mewujudkan kebebasan pers; dan f. mewujudkan kebebasan demokrasi. Marilah memerhatikan dengan saksama, apakah sesungguhnya yang telah dihasilkan oleh reformasi ini?. Di bidang perekonomian,kebutuhan harga bahan pokok justru semakin meroket, sebagian besar rakyat sudah tidak berdaya lagi menjangkau harga-harga yang menggila ini. Bagaimana reformasi di Bidang Politik?. Reformasi di bidang politik konstitusi hanya menambah kesemrawutan sederet lembaga-lembaga negara dihadirkan,padahal sebenarnya keberadaannya itu tidak dibutuhkan.Contoh lembaga negara yang tidak dibutuhkan adalah, yakni, Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang hanya sekedar dijadikan accessoir (ikutan) dalam sistem ketatanegaraan belaka, sebab parlemen pokoknya adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Keberadaan DPD tidak lebih sekedar hanya memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR tetapi tidak berimplikasi yuridis.Namanya sebuah pertimbangan kalau tidak dipakai pastilah dibuang ke tong sampah oleh DPR. Namun hasil reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek.Dari sisi manfaat,pasca amendemen konstitusi, ketatanegaraan kita menjadi lebih modern dan progressif, antara lain dapat menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.Sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power). Celakanya lagi, reformasi di bidang politik itu tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru sebelumnya. Indikatornya terlihat, ada kubu-kubuan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) dan KMP (Koalisi Merah Putih) menjadi ajang keributan sesama DPR untuk berebut paket Pimpinan DPR juga Pimpinan MPR yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Penting bagi kita merefleksi makna reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 yang usianya kini hampir tujuhelas tahun,sejak Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Kontemplatif tersebut diperlukan, agar reformasi yang telah diperjuangkan dengan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa yang mengorbankan harta benda, tetesan darah bahkan nyawa, kembali memiliki arah yang jelas. Kini Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Soeharto adalah presiden yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara kita Indonesia. Sebagai manusia biasa, tidak bisa dipungkiri, Soeharto tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya semasa memimpin negeri ini. Namun demikian, kekurangan-kekurangan Soeharto itu, tidak boleh dijadikan senjata untuk mendiskreditkan Soeharto. Kita perlu mikul duwur mendem jero kepada pemimpin kita. Falsafah jawa ini perlu kita pegang teguh, kita agungkan dan kita junjung tinggi, agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang begitu membahana di gedung MPR/DPR yang dipadati oleh lautan manusia.Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti dari jabatan presiden sesegera mungkin.Tetapi tidak dipikir apakah lengsernya Soeharto, keadaan negara akan semakin membaik ataukah justru sebaliknya. Atas desakan para mahasiswa dengan dibantu berbagai komponen bangsa, akhirnya pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 tepat pukul 9.05 WIB, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Mendengar pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden,seketika itu juga para mahasiswa melakukan sujud syukur,berpelukan dan menangis terharu,seraya mengumandangkan takbir, atas kemenangan perjuangan reformasi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menceburkan diri ke kolam air mancur gedung MPR/DPR untuk meluapkan kegembiraannya. Reformasi Telah Mati Pada 21 Mei 2015 mendatang, reformasi genap memasuki 17 tahun. Melihat keadaan reformasi yang tidak jelas seperti ini, saya sedih. Ternyata reformasi yang pernah menggetarkan dunia itu,tidak mendatangkan banyak kebaikan untuk rakyat. Reformasi macet,secara umum keadaan reformasi tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru. Reformasi benar-benar telah mati. Yang lebih menyakitkan lagi, perilaku elite politik tidak mencerminkan perilaku kelembagaan negara yang memperjuangkan aspirasi rakyat.Tercermin banyaknya elite politik yang ditangkap KPK karena skandal kasus korupsi.Mereka tidak menyadari,bahwa keberadaannya di gedung MPR/DPR yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas wah, pada hakekatnya mahasiswa lah yang mengantarkan mereka kesana sebelumnya para politikus rame-rame terserang flu berat tidak bersuara.

Sabtu, 14 Februari 2015

PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH

Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Universitas Satyagama, Jakarta 


BAB I PENDAHULUAN 

 A. Latar Belakang
                                               
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sebagai lembaga negara lahir pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) melalui Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke-7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 November 2001 Sidang Tahunan MPR RI. Mahkamah Konstitusi di lembagakan secara konstitusional, atas dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Mahkamah Konstitusi dibentuk secara resmi pada tanggal 13 Agustus 2003, sejak dibentuknya lembaga tersebut sosialisasi gencar dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain melalui kegiatan temu wicara, seminar, bedah buku, penerbitan/publikasi bahkan melalui media massa baik cetak maupun elektronik serta situs Mahkamah Konstitusi. Memanasnya suhu politik, ditambah “bombardir” iklan di media cetak maupun elektronik oleh peserta pemilu partai politik dan Pilpres menambah semaraknya pesta demokrasi di tanah air. Tujuan calon legislatif dan calon Presiden dan Wakil Presiden gencar-gencarnya melakukan politik citra diri melalui iklan, tidak lain untuk merebut hati rakyat sebanyak-banyaknya agar menjatuhkan pilihan pada dirinya. Perang tanding slogan dari Capres yang mudah diingat oleh masyarakat ialah, kata mutiara: “lanjutkan versus “lebih cepat lebih baik’. Mahkamah Konstitusi memiliki keterkaitan erat agar pelaksanaan Pemilihan Umum dapat berjalan dengan jujur dan adil. Peran Mahkamah Konstitusi sangat penting di dalam menegakkan proses demokratisasi di Indonesia, oleh karena usai pemilihan umum baik pemilu legislatif maupun Pilpres sudah tentu rawan gugatan sengketa tentang hasil pemilihan umum oleh pihak-pihak yang tidak puas atas penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir bagi pencari keadilan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dengan obyektif, jujur dan adil. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final tidak ada upaya hukum lain, kiranya lebih mendorong Mahkamah Konstitusi memiliki improvisasi dan kepekaan kuat dalam menjawab perkembangan hukum yang senantiasa hidup di masyarakat. Mahkamah Konstitusi seyogianya menghindari peradilan bernuansa “konvensional” umumnya, misalnya: peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, pada umumnya hakim di lini peradilan ini memutus perkara hanya sebagai corong Undang-Undang (lobus de lagowa). Indikator Mahkamah Konstitusi bukan sebagai peradilan konvensional antara lain ditunjukkan dengan gebrakan putusannya sebelum pemilu legislatif April 2009 lalu menggedor kebekuan hukum melalui terapi kejutnya mengabulkan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD terkait calon legislatif berdasarkan nomor urut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut reasonable (masuk akal), oleh karena selain memberikan rasa keadilan juga menempatkan asas kesetaraan kepada setiap warga negara dimata hukum sebagaimana amanat konstitusi (Pasal 27 UUD 1945). Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga gawang konstitusi (the guardian of the constitution), memiliki peranan penting dalam tegaknya cita negara hukum di Republik ini. Mahkamah Konstitusi selain berkedudukan sebagai lembaga negara juga memiliki kewenangan untuk memutus sengketa lembaga negara. Ujian terberat bagi putusan Mahkamah Konstitusi adalah ketika nanti akan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan lembaganya sekaligus sebagai pihak yang berpekara. MPR pernah menerbitkan Ketetapan MPR No. XI/1998, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Rekomendasi dari Ketetapan MPR tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan Negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggungjwab kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara Negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk menghindarkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, seorang yang terpercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan Negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan, salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi terkait pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sesuai ketentuan Pasal 22E Ayat (6) UUD 1945, Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden yang berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap warga negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Selain itu, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden agar mendapat legitimasi kuat dari rakyat. Selain itu, demokrasi yang dilaksanakan dengan jujur dan adil dapat menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi dari penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan Psresiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Disamping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sekelumit Sejarah (“Prelude”) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Sesungguhnya, dalam rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945, telah muncul gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh. Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (Balai Agung) menjadi pula badan yang membanding, yakni, “..apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia atau hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.” Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas ( guna check and balances antar ketiga cabang kekuasaan). “Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.” (RM.A.B. Kusuma, 2004:229). Sehubungan hal tersebut, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya Constitutioneelhof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di Zaman Weimar.”Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya,” kata Soepomo lebih jauh. Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin, Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja. Suardi Tasrif menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara inkonklusif (1971:197). “Neither Fish, nor fowl (bukan ikan, bukan daging),” kata Tasrif. Dengan memerhatikan dan mencermati dengan saksama risalah BPUPKI mengenai perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Soepomo dengan Moh. Yamin tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa, peradilan Mahkamah Konstitusi (peradilan spesial/khusus) pada hakekatnya sudah didambakan oleh para perumus UUD 1945. Namun, mengingat kondisi negara ketika itu dalam keadaan darurat perang, kegiatan mempersiapkan kemerdekaan dan mengesahkan UUD 1945 lebih diprioritaskan, sehingga badan dimaksud (Mahkamah Konstitusi) untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut. Kita dapat membaca pemikiran para perumus UUD 1945 mengapa ketika itu tidak melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan badan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perumus UUD 1945 optimis dan menaruh harapan besar, kiranya setelah Indonesia merdeka dalam kondisi negara yang damai dan tentram, akan ada anak-anak bangsa melakukan pengkajian konstitusi membentuk lembaga kekuasaan kehakiman dimaksud. Kini, 56 tahun yang lalu dambaan itu menjadi kenyataan dengan terwujudnya keberadaan Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan secara konstitusional melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001. Sebaliknya, putusan Mahkamah Konstitusi itu, membuat jerit tangis dan gusar sebagian fungsionaris partai yang telah ditempatkan di nomor urut atas (nomor urut jadi). Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai politik yang mensyaratkan pembentukan partai politik menyertakan 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Mahkamah Konstitusi dapat digolongkan hakim progressif karena terobosan-terobosan penemuan hukum baru (rechtvinding) di dalam memutuskan sebuah perkara. Sedangkan hakim yang bersifat kolot (konservatif), ketok palunya hanya berdasarkan bunyi teks redaksional undang-undang semata. Tetapi putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait calon perseorangan turutserta dalam pemilu, disambut “jerit tangis” oleh elemen masyarakat karena tidak memberikan rasa keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dikwalifisir bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Inilah salah satu bentuk putusan Mahkamah Konstitusi yang membingungkan masyarakat. Sebab satu sisi, putusan Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan calon perseorangan Bupati, Walikota dan Gubernur turutserta dalam Pilkada, sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilihan Umum. Mengapa putusan Mahkamah Konstitusi tidak konkordan dengan putusan-putusan sebelumnya?. Kelemahan konstitusi sendiri tidak secara tegas mengharuskan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum (Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945). Satu sisi putusan Mahkamah Konstitusi itu menggebrak dunia hukum yang selama ini berjalan konservatif, sisi lain putusan Mahkamah Konstitusi menjadi permasalahan, apakah kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki kewenangan untuk memasukkan norma hukum baru di dalam Undang-Undang?. Hal lain, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak pada semangat pembentukan partai politik yang mengharuskan menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai interpreter constitution di Republik ini menjadi keniscayaan melahirkan putusan-putusan kredibel yang diterima oleh masyarakat luas. Gebrakan-gebrakan putusan Mahkamah Konstitusi yang selama ini telah ditunjukkan, mencerminkan bahwa peradilan tersebut inovatif di dalam memutuskan perkara. Meski UUD 1945 sendiri sebagai pijakan putusan Mahkamah Konstitusi, masih bersifat abstraksi. MPR sebelum melaksanakan perubahan UUD 1945 ada 5 (lima) kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan perubahan UUD 1945 tersebut sebagai platform atau koridor yaitu: a. tidak mengubah pembukaan UUD 1945; b. tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial; d. menghapuskan penjelasan UUD 1945 dengan memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan de dalam pasal-pasal; e. perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan dengan cara adendum. Penulis tertarik memilih judul: “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih”, pertimbangannya, dengan penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut, pandangan masyarakat akan tertuju pada sosok bangunan pengadilan yang bernama Mahkamah Konstitusi. Oleh karena Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara memiliki kewenangan antara lain, menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Melalui karya tulis ini pula, penulis ingin mengungkapkan seberapa besar peran Mahkamah Konstitusi di dalam menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum yang jujur dan adil oleh Komisi Komisi Pemilihan Umum. Jika putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan judicial review Undang-Undang terkait Pemilihan Umum dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, peran Mahkamah Konstitusi tidak hanya terbatas dapat terselenggaranya Pemilihan Umum dengan jujur dan Adil, lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi telah dapat menghantarkan pemerintahan yang baik (good governance) di negeri ini. B. POKOK PEMASALAHAN Berdasarkan Latar belakang dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana analisis hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait calon legislatif terpilih berdasarkan nomor urut?. 2. Bagaimana analisis hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengajuan judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terkait calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilihan Umum?. 3. Dapatkah calon legislatif ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, sedangkan kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator?. C. METODE PENELITIAN HUKUM Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pengajuan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait calon legislatif berdasarkan suara terbanyak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan penelitian ini pula dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam pemilihan umum ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dengan penelitian ini akan dapat diketahui kedudukan Mahkamah Konstitusi yang sebagai negative legislator, dengan cara menganalisa rumusan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga dengan demikian, pada akhirnya dapat disimpulkan, peran Mahkamah Konstitusi itu memiliki keterkaitan erat demi terwujudnya penyelenggaraan Pemilihan umum yang jujur dan adil. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif sehingga akan menghasilkan tipe penelitian yang bersifat evaluatif. Sementara penelitian hukum secara normatif dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, juga mengacu pada hukum internasional civil law (eropa continental), kemudian secara deduktif diinterpretasikan guna menguatkan argumentasi bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman memiliki peran aktif dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil. Penelitian ini menggunakan data skunder yang bersumber pada bahan primer, skunder, dan tersier. Alat Pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi dokumen Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan perundangan yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Disamping itu juga buku-buku, makalah seminar, kamus dan referensi antara lain jurnal Mahkamah Konstitusi dan lain-lain. b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan beberapa narasumber di Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia selama penelitian. Selain itu, mengadakan wawancara dengan narasumber yaitu pengamat konstitusi dan menyarikan pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait calon legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak. Selain itu juga menyarikan faktor-faktor yang menyebabkan Mahkamah Konstitusi menolak judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil presiden terkait calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam pemilihan umum. Dengan demikian, dapat melengkapi data perolehan informasi data. Penelitian diolah dengan metode kualitatif. Dengan demikian hasil penelitian bersifat evaluatif analitis. Merupakan bagian pembahasan terdiri dari 5 sub bab, antara lain sub bab pertama Mahkamah Konstitusi sebagai Constitutional Court terdiri dari undang-undang yang berlaku untuk Mahkamah Konstitusi, sub bab kedua tinjauan umum tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi, yang terdiri dari kedudukan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, sub bab ketiga yaitu, hubungan Mahkamah Konstitusi dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum yang jujur dan adil. Sub bab ke empat membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel terdiri dari gambaran umum deskriptip putusan Mahkamah Konstitusi dan analisis hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pemohon judicial review Undang-Undang Pemilihan Umum, sub bab kelima yaitu, peran Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI CONSTITUTIONAL COURT A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Constitutional Court Mahkamah Konstitusi adalah constitutional court yang ke-78 di dunia, ditetapkan tatkala perubahan ketiga UUD 1945, berdasar Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 24C UUD 1945 yang diputuskan dalam rapat paripurna MPR RI ke-7 (lanjutan 2), tanggal 9 November 2001 dalam Sidang Tahunan MPR RI. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan Mahkamah Konstitusi yang pertama di abad XXI Masehi. Fungsi Mahkamah Konstitusi di lembagakan secara konstitusional, atas dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Reformasi hukum nasional niscaya bermula dari reformasi konstitusi. Harun Alrasid (1998) berpendapat, berbicara tentang reformasi hukum, yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dengan sendirinya harus mengacu kepada Undang-Undang Dasar. Dikatakan, guna menghindari lingkaran yang tidak berujung pangkal, seharusnya dimulai dengan penyusunan Undang-Undang Dasar baru. UUD 1945 (redaksi lama) sejak disahkan dan diberlakukan, memang bersifat sementara, sudah verouderd, tidak dapat lagi mengakomodir pemberdayaan kedaulatan rakyat serta kehidupan demokrasi menuju civil society. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat kali sejak 1999-2002 merupakan upaya awal reformasi hukum nasional, diharapkan menjadi rujukan bagi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang pluralistik. Perubahan demi perubahan Undang-Undang Dasar itu diharapkan dapat merambah lahirnya suatu Undang-Undang Dasar baru. B. Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Mahkamah Konstitusi 1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman berkedudukan sebagai lembaga negara ditegaskan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain, antara lain, yakni, Mahkamah Agung (MA). Pembentukan Mahkamah Konstitusi diwujudkan dengan pengangkatan para hakim konstitusi menurut tatacara yang diatur dengan undang-undang. Pasal 24C UUD 1945 menentukan, “Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.” Kemudian disusul pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316. Atas dasar Undang-Undang ini, proses rekrutmen calon hakim dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya, baik oleh DPR, Mahkamah Agung maupun Presiden, sehingga pada tanggal 15 Agustus 2003, pengangkatan sembilan Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang pertama dalam sejarah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. 2. Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945. Laica Marzuki dalam bukunya Berjalan-jalan di Ranah Hukum (2006) mengatakan bahwa, Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna perkaitan struktur unity of jurisdiction, seperti halnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berkedudukan sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain yakni: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip check and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggraan negara. Yang menarik dari Mahkamah Konstitusi ini yaitu, satu sisi ia berkedudukan sebagai lembaga negara, sisi lain Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Permasalahannya, bagaimana jika sewaktu-waktu terjadi konflik antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara lain, apakah putusan Mahkamah Konstitusi dapat berjalan obyektif?. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Sejak berdiri pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi memiliki peranan strategis dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Peranan Mahkamah Konstitusi mengiringi proses reformasi di Indonesia yang memengaruhi tatanan sosial politik kepada tatanan demokrasi di Indonesia yang saat ini berkembang dengan sangat pesat. 3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang sebagai berikut: 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Mahkamah Kontitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang; b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih; d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang Jujur dan Adil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat secara langsung 2014 ini merupakan kali ketiga sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, sebelumnya, Pilpres secara langsung dilaksanakan pada tahun 2004. Sebelum perubahan UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, namun, dipandang sarat dengan kepentingan politik, hasilnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR ketika itu tidak mencerminkan aspirasi dan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Sehingga keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak memiliki derajat dan akuntabilitas yang tinggi dimata rakyat. Salah satu substansi penting lain dari perubahan UUD 1945 adalah, dikembalikannya fungsi kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Gebrakan putusan MPR tersebut perlu mendapat apresiasi kita semua sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat. Lawrence M. Friedman (1981), menyatakan penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum. Secara kelembagan, institusi penegakan hukum adalah bagian dari sistem pemerintahan dalam makna luas (in ruimere zin), termasuk alat perlengkapan negara yustisiil, lazim dikenal dengan nama lembaga peradilan dibawah kekuasaan kehakiman (MA RI). Pendapat Lawrence M. Friedman tersebut, dapat dianalogkan jika sewaktu-waktu terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan pihak yang berperkara Mahkamah Konstitusi, apakah Mahkamah Konstitusi dapat melaksanakan putusan seobyektif mungkin?. Jika tidak ditegakkan hukum materiil mengakibatkan pelanggaran (tegengesteld) atau pembiaran terhadap kaidah-kaidah hukum (materieel recht) yang dibuat guna mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dimaksud. Undang-Undang sebagai produk lembaga legislatif dan eksekutif sederajat kedudukannya dengan jurisprudensi sebagai produk lembaga judikatif yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde). Konsekuensi dari kesederhanaan itu otomatis dapat terjadi bahwa sesuatu materi dalam putusan pengadilan itu tidak sesuai atau pun justru bertentangan dari suatu materi yang diatur dalam suatu undang-undang. Perbedaan atau pertentangan yang mungkin terjadi diantara kedua lembaga legislatif dan judikatif ini dapat ditafsirkan esensi dari pemberlakuan hak uji material oleh kekuasaan kehakiman terhadap materi undang-undang sesuai dengan semangat UUD 1945 yang jelas-jelas berbeda dengan semangat yang diatur dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 yang menyatakan bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Menurut Van Apeldoorn, manakala orang awam ditanyakan tentang hukum maka ingatannya tertuju pada bangunan pengadilan, sosok-sosok hakim, advokat, juru sita dan polisi. Pendapat Van Apeldoorn tersebut menggambarkan betapa mulianya tugas hakim Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi dinantikan oleh jutaan umat manusia yang mendambakan keadilan seadil-adilnya di negeri ini. Pesta demokrasi yang baru usai dilaksanakan pada 9 April dan 8 Juli 2009 untuk memilih calon legislatif dan calon Presiden dan Wakil Presiden, membuat ingatan masyarakat Indonesia bahkan dunia tertuju pada sosok bangunan pengadilan yakni, Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Mahkamah Konstitusi adalah alat perlengkapan negara yustisiil, merupakan salah satu pelaksana (pelaku) kekuasaan kehakiman tertinggi, disamping Mahkamah Agung (MA RI). Selain itu, terdapat institusi penegakan hukum dari sistem pemerintahan dalam makna sempit (in engere zin), yakni bagian aparatur hukum dari kekuasaan pemerintahan negara dibawah presiden, sebagaimana dimaktub pada bab III, Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UUD 1945. Dengan demikian, terdapat dua macam institusi penegakan hukum. Pertama, institusi lembaga peradilan, dibawah kekuasaan kehakiman (judiciary power), merupakan kekuasaan yang merdeka menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif). Kedua, institusi penegakan hukum dibawah presiden, merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara (Bab III UUD 1945), misalnya institusi kejaksaan, institusi kepolisian dan lain-lain. Kemandirian suatu institusi penegakan hukum memang seyogianya mendapat jaminan normatif dari pembuat peraturan perundang-undangan sehingga pada akhirnya terwujudnya sistem penegakan hukum yang akuntabel. Sistem penegakan hukum yang akuntabel tidak hanya membutuhkan prasyarat kemandirian (selbstanding) tetapi harus pula didukung oleh aparat-aparat penegak hukum yang professional, bersih tidak korup dan akuntabel yang mendapat dukungan kepercayaan dari rakyat banyak (public trust). Hal dimaksud berarti sistem penegakan hukum yang akuntabel hanya dapat dibangun dari suatu pemerintahan yang bersih (clean government). Menurut P.M. Hadjon (1994:7), konsep pemerintahan yang bersih bukanlah suatu konsep normatif. Oleh karena itu, tidak ada ukuran normatif tentang patokan standarisasi pemerintahan yang bersih. “Dalam bahasa normatif, konsep pemerintahan yang bersih sejajar dengan konsep rechtmatig bestuur atau rechtmatigheit van bestuur”, demikian pendapat Hadjon. Dikatakan dalam konsep hukum administrasi, kita telah mengenal beberapa konsep yang berkenaan dengan asas rechtmatigheid, seperti rechtmatig, onrechtmatig. Pemerintah yang bersih pertama-tama harus dipahami dalam makna rechtmatig bestuur atau rechtmatigheid van bestuur, sebaliknya pemerintahan yang tidak bersih bermakna onrechtmatig bestuur atau onrechtmatigheid van bestuur. Namun demikian, suatu pemerintahan yang onrechtmatig atau onrechtmatigheid van bestuur tidak dengan sendirinya bermakna strafbaar yang digolongkan delik jabatan (ambstdelict). Pada umumnya, dalam suatu pemerintahan yang onrechtmatig merupakan pula lahan yang tidak steril dari perbuatan pejabat yang korup, termasuk aparat-aparat penegak hukumnya. Suatu sistem penegakan hukum yang akuntabel tidak bisa dibangun dari pemerintahan yang tidak bersih, atau onrechtmatig bestuur yang korup, terutama karena aparat-aparat penegak hukum yang merupakan bagian dari pemerintahan yang korup itu. Jika demikian halnya, dari mana dimulai perwujudan penegakan hukum yang akuntabel itu?. Pendapat P.M. Hadjon tersebut dapat dianalogikan jika Mahkamah Konstitusi keliru memutus sengketa tentang hasil Pemilihan Umum baik legislatif maupun Pemilu Pilpres, dampaknya pemerintahan yang terbentuk tidak memiliki legitimasi kuat, pemerintahan yang dilahirkan melalui proses yang tidak baik, tentu akan menjadikan pemerintahan yang tidak baik pula. Oleh karena itu, betapa pentingnya bangunan peradilan Mahkamah Konstitusi di negeri ini, sebab putusan yang dikeluarkan akan membidani pemerintahan yang baik (good governance). Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara, ketatanegaraan dan kehidupan politik. Dengan demikian, konflik yang terkait dengan penyelenggaraan negara tidak berkembang liar menjadi konflik horizontal tanpa penyelesaian yang obyektif, jelas, baku, transparan dan akuntabel. Menurut Kosasih Taruna Sepandji (2000 hal. 9) Untuk memudahkan penyelenggaraan negara, sesuai yang terkandung dalam konstitusi, maka negara memiliki semacam lembaga-lembaga dan perangkatnya yang mengatur jalannya roda pemerintahan, sehingga tercapai apa yang menjadi cita-cita bersama. Pada pelaksanaannya, lembaga-lembaga kenegaraan dan atau pemerintahan, akan mengambil kaidah gerak normatifnya dengan mengacu pada konstitusi yang dianut. Pengambilan acuan ini sangat penting, karena bagaimana pun konstitusi merupakan landasan bagi pelaksanaan kerja suatu lembaga negara dan atau pemerintahan. Di Indonesia dan negara-negara lainnya, berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara diatur dalam konstitusi misalnya Indonesia. Pengaturan ini perlu untuk memberikan batasan kepadanya agar tidak terjadi kekacauan dan tumpang tindih bidang kerja. Dengan kata lain bentuk pemerintahan dan sistem kenegaraan yang berlaku akan sangat ditentukan oleh isi dari konstitusi tersebut, oleh karenanya pemahaman yang luas, menyeluruh dan holistik sangat diperlukan dalam mempelajari suatu konstitusi dan kelembagaan negara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki tugas penyelenggaraan Pemilu dengan jujur dan adil, bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab amat sangat berat di dalam rangka mengawal pelaksanaan proses demokrasi secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Mahkamah Konstitusi berperan besar di dalam tegaknya proses demokratisasi di Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi itu pula menentukan tegaknya cita negara hukum, sekaligus melahirkan lembaga legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan legitimasi kuat dari rakyat. D. Membangun Sistem Penegakan Hukum yang Akuntabel 1. Gambaran Umum Deskriptip putusan Mahkamah Konstitusi Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD terkait calon legislatif terpilih berdasarkan nomor urut adalah sudah tepat, dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 juncto Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait usulan calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilu, justru bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” 2. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD terkait calon legislatif terpilih berdasarkan nomor urut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menggemparkan masyarakat karena sejalan dengan aspirasi rakyat yang ingin memperoleh keadilan. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan rumusan Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Apabila permohonan judicial review tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, maka dapat mengacaukan sistem hukum yang ada di Indonesia, terlebih-lebih tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat yang ingin menjadi calon legislatif. Tetapi putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait calon perseorangan turutserta dalam pemilu, disambut “jerit tangis” oleh elemen masyarakat karena tidak memberikan rasa keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dikwalifisir bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Inilah salah satu bentuk putusan Mahkamah Konstitusi yang membingungkan masyarakat. Sebab satu sisi, putusan MK pernah mengabulkan calon perseorangan Bupati, Walikota dan Gubernur turutserta dalam Pilkada, sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilihan Umum. Mengapa putusan Mahkamah Konstitusi tidak konkordan dengan putusan-putusan sebelumnya?. Kelemahan konstitusi sendiri tidak secara tegas mengharuskan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum (Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945). Apabila Mahkamah Konstitusi berani memutus calon Perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi pasti akan dielu-elukan masyarakat sebagai pahlawan demokrasi. Selain itu, dapat mendorong kepada MPR untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 terkait calon perseorangan Presiden tersebut. Penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum (Lawrence M. Friedman, 1981). Tanpa penegakan hukum (formeel recht) maka kaidah-kaidah hukum materiil (meterieel recht) niscaya menjadi tumpukan kertas (een papieren) saja. Negara hukum yang didambakan bakal menjadi impian belaka. Pendapat Lawrence M. Friedman tersebut menggugah kita semua agar peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan parlemen dengan susah payah, menguras tenaga dan biaya yang tidak sedikit, ditaati dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Betapa mahalnya proses sebuah Rancangan Undang-Undang sampai diundangkan, jika tidak dilaksanakan formil dan materiilnya, niscaya yang terjadi hanyalah tumpukan-tumpukan kertas sebagaimana digambarkan oleh Lawrence M. Friedman tersebut. Pada akhirnya, cita negara hukum sebagaimana didambakan konstitusi hanyalah teks redaksional semantik yang menjadi pajangan belaka. Oleh karena itu, sudah tepat, putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan calon legislatif terpilih berdasarkan nomor urut disambut bahagia oleh lapisan masyarakat. “Pendekar” sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dielu-elukan oleh masyarakat dianggap “dewa keadilan”. Peradilan Mahkamah Konstitusi layak disebut sebagai peradilan modern di abad XXI ini, karena bisa menjawab perkembangan hukum yang senantiasa hidup di masyarakat. Namun sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi itu, membuat jerit tangis dan gusar dari sebagian fungsionaris partai yang telah ditempatkan di nomor urut atas (nomor urut jadi). Hal lain, putusan Mahkamah Konstitusi juga dianggap tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum anggota legislatif DPR, DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai politik yang mensyaratkan pembentukan partai politik menyertakan 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Mahkamah Konstitusi dapat digolongkan hakim progressif karena terobosan-terobosan penemuan hukum baru (rechtvinding) di dalam memutuskan sebuah perkara. Sedangkan hakim yang bersifat kolot (konservatif), ketok palunya hanya berdasarkan bunyi teks redaksional undang-undang semata. Satu sisi putusan Mahkamah Konstitusi itu menggebrak dunia hukum yang selama ini berjalan konservatif, sisi lain putusan Mahkamah Konstitusi menjadi permasalahan, apakah kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki kewenangan untuk memasukkan norma hukum baru di dalam Undang-Undang?. Hal lain, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak pada semangat pembentukan partai politik yang mengharuskan menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai interpreter constitution di Republik ini menjadi keniscayaan melahirkan putusan-putusan kredibel yang diterima oleh masyarakat luas. Gebrakan-gebrakan putusan Mahkamah Konstitusi yang selama ini telah ditunjukkan, mencerminkan bahwa peradilan tersebut inovatif di dalam memutuskan perkara. Meski UUD 1945 sendiri sebagai pijakan putusan Mahkamah Konstitusi, masih bersifat abstraksi. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia itu terlindungi, hukum harus dilaksanakan, pelaksanaan hukum berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum dalam hal ini hukum yang dilanggar tersebut harus ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Jika menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya akan dikorbankan. Demikian pula jika yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan, begitu selanjutnya. Dalam penegakan hukum harus ada harmonisasi (kesesuaian) antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan masyarakat. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat menaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil, apa pun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau untuk dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura sed tamen scripta (Undang-Undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). Bicara tentang hukum pada umumnya kita hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Undang-Undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin mengatur kehidupan manusia secara tuntas, adakalanya undang-undang itu tidak lengkap, dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas, meskipun tidak lengkap dan tidak jelas undang-undang tetap harus dilaksanakannya. Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang, hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak adanya peraturan umum mengenai perundang-undangan untuk Indonesia/S.1847-23 hukumnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, setiap peraturan perundang-undangan itu tidak semua jelas dan tidak pula lengkap, oleh karena itu harus ditemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan. Dalam konteks itu, dibutuhkan kepiawaian hakim Mahkamah Konstitusi bermetode interpretasi atau metode penafsiran. Masih menurut Sudikno Mertokusumo, ajaran interpretasi dikenal cukup lama yang disebut hermeneutik yuridis atau metode yuridis. Penafsiran Undang-Undang terhadap konstitusi tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga dilakukan oleh peneliti hukum, dan mereka yang berhubungan langsung dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum. Berkaitan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo tersebut, penulis akan membahas masalah penafsiran oleh hakim Mahkamah Konstitusi, mengingat yang mempunyai kewenangan untuk itu dan penafsirannya tersebut memiliki wibawa besar di masyarakat dituangkan dalam bentuk putusan. Penafsiran oleh hakim yang dimaksudkan tidak lain adalah penafsiran atau penjelasan yang harus menuju penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap suatu peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat. Jika metode gramatikal (penggunaan kata-katanya tidak jelas), hakim tingkatan apapun termasuk hakim Mahkamah Konstitusi perlu melakukan metode penafsiran teleologis yang disesuaikan dengan maksud dan sifat dari pembuat undang-undang. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sangat penting di Republik ini guna mengawal konstitusi. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, Fiat Justitia et pereat mundus (meski dunia akan runtuh hukum harus ditegakkan), itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai karena justru hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Unsur yang ketiga adalah keadilan, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum dan mengikat kepada setiap orang, bersifat menyamaratakan. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan antara lain, menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Banyaknya Undang-Undang yang diujikan materi ke Mahkamah Konstitusi menandakan bahwa produk undang-undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah belum memenuhi harapan masyarakat banyak. Salah satu yang menyebabkan Mahkamah Konstitusi begitu cepat membumi (dikenal) luas oleh masyarakat adalah putusannya yang kerap menggetarkan jala demokrasi, contoh, Mahkamah Konstitusi memutus calon legislatif berdasarkan suara terbanyak bukan nomor urut. Dengan gebrakan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat progressif itulah, maka, sebagai lembaga negara baru, Mahkamah Konstitusi dapat melaju pesat meninggalkan lembaga-lembaga negara seusianya, bahkan sekali pun lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya. Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seketika itu juga, putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tolak ukur, seberapa besar proses berdemokratisasi di negeri ini telah dijalankan dengan jujur dan adil, begitu sebaliknya. Putusan Mahkamah Konsitusi yang obyektif, transparan dan akuntabel akan menghantarkan pemerintahan yang baik. Dengan mengkaji ragam putusan Mahkamah Konstitusi yang selama ini dihasilkan, dapat disimpulkan, Mahkamah Konstitusi telah memiliki kepekaan kuat membaca dinamika perkembangan hukum yang senantiasa hidup di masyarakat. Inilah ciri-ciri hakim yang bersifat progessif, Mahkamah Konstitusi layak disebut sebagai peradilan modern di abad XXI Masehi ini. BAB III PENUTUP A. Simpulan 1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang progressif antara lain membatalkan calon terpilih legislatif berdasarkan nomor urut mengabulkan berdasarkan suara terbanyak, dilihat dari sisi keadilan dan kemanfaatan hukum, sangat melegakan masyarakat. Sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mensyaratkan pembentukan partai politik disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30 % keterwakilan perempuan. Satu sisi putusan Mahkamah Konstitusi harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang menjadi permasalahan, apakah putusan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang memasukkan norma baru di dalam Undang-Undang?. Bukankah putusan Mahkamah Konstitusi itu kedudukannya sebagai Negative Legislator?; 2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait calon perseorangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maju dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang membolehkan calon perseorangan Gubernur, Bupati dan Walikota turutserta dalam Pilkada. Padahal jika Mahkamah Konstitusi berani memutus calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden boleh maju dalam Pemilihan Umum, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan berdampak mendorong MPR untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 menempatkan kembali setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Mahkamah Konstitusi “tidak berdosa”, jika sekiranya membolehkan calon perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilu Pilpres dan Cawapres. Sebab kandungan konstitusi sendiri masih bersifat abstraksi tidak ada aturan yang mengharuskan Capres dan Cawapres wajib diusung oleh partai politik, atau gabungan partai politik; 3. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator, oleh karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menyatakan pengujian Undang-Undang bertentangan dengan jiwa UUD 1945 atau tidak. Jika menurut penafsiran teleologis hakim Mahkamah Konstitusi ternyata Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka tugas Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi melakukan revisi Undang-Undang dimaksud. B. Saran/Rekomendasi 1. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain seyogianya memberikan rekomendasi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 terkait putusan Mahkamah Konstitusi memutus dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar UUD 1945 yang tidak diberikan final. Jika Mahkamah Konstitusi sudah memutus bersalah demi hukum dengan idealnya MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak perlu dilakukan pemungutan suara di forum Majelis untuk memberhentikan atau tidaknya (Pasa 7B Ayat (5, 6) UUD 1945); 2. Mahkamah Konstitusi agar memberikan rekomendasi kepada MPR untuk melaksanakan perubahan UUD 1945 memasukkan calon Perseorangan Presiden dan Wakil Presiden turutserta dalam Pemilihan Umum, dalam rangka melaksanakan Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945). 3. Putusan Mahkamah Konstitusi sebaiknya tidak memasukkan norma baru dalam Undang-Undang. Sebab kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Jika dilakukan judicial review ternyata memang bertentangan dengan UUD 1945, maka tugas legislatif dan pemerintah selanjutnya untuk melakukan revisi/perbaikan seperlunya undang-undang sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi. DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia, 2003. Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet. 1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhati, 1993. Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cet. 3. Yogyakarta: Liberty, 2004. Taruna, H.R.E Sepandji Kosasih. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Cet. 1. Bandung: universal offset, 2000. Marzuki, Laica. Berjalan-jalan di Ranah Hukum. Buku kesatu. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Panduan Memasyarakatkan UUD 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. _______.Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi. UU No. 24, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. _______.Undang-Undang Tentang Partai Politik. UU No. 2, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801. _______. Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 10, LN No. 51 Tahun 2008, TLN No.4836. ________.Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU No. 42, LN No. 176 Tahun 2008, TLN No.4924.

Jumat, 12 April 2013

Faktor-Faktor yang Menghambat Nikah Siri Dipidanakan

 Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


         Tiga tahun lalu tepatnya 2010 publik dihebohkan pemberitaan kontroversi mengenai legal tidaknya nikah siri dapat dipidanakan. Bagi kalangan perempuan terutama yang duduk di parlemen tentu geram melihat sepak terjang banyaknya laki-laki yang menikah lagi dengan alasan sunah nabi, padahal syarat-syarat untuk menikah kedua, ketiga dan seterusnya tidak terpenuhi, seperti tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya. Besar kemungkinan anggota parlemen dari kalangan wanita akan memuluskan menyetujui draft RUU Nikah siri menjadi undang-undang untuk memidanakan suami-suami menikah siri. Sisi lain, anggota Parlemen dari kalangan Pria, kuat dugaan akan menolak habis-habisan RUU tersebut, karena menganggap membatasi hak asasinya. Kedudukan hukum Nikah siri memang sangat menarik untuk diteliti, dikaji, dianalisa dengan saksama, sungguh-sungguh, holistis, sistemik, secara terintegrasi dan komprehensif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (ius constitutum), maupun secara hukum Islam (dalil naqli) bagi warga Negara Indonesia yang tunduk dan taat pada hukum Islam. Yang menarik, pemidanaan nikah siri ini pada saatnya, diobsesikan akan mendapatkan dukungan penuh dari kalangan anggota parlemen perempuan, srikandi-srikandi senayan tentu tidak mau menjadi korban suaminya menikah lagi. Ironisnya, sisi lain, wanita non parlemen yang dinikahi siri, justru merasa berbahagia, nikah siri baginya dianggap berkah. Kemauan nikah siri bagi kaum wanita pada umumnya banyak faktor kepentingannya, misalnya, menyukai pria yang berjabatan dan harta yang berlimpah tetapi tidak peduli, soal rupa, usia senja, apalagi yang namanya cinta. Tetapi bagi kaum laki-laki nikah siri dianggap suatu kebutuhan dan kepuasan, apalagi jika ekonominya sudah mulai mapan, maka bisikan nikah siri terngiang kuat ditelinga kaum laki-laki pada umumnya untuk melaksanakan hasrat “sunah nabi” itu. Umumnya laki-laki merasa kurang puas hanya memiliki seorang istri. Pendapat tersebut pada umumnya, artinya nikah siri bagi kaum wanita tidak mutlak selalu dilandasi oleh faktor-faktor negatif semata, tentu ada pengecualian bagi kaum wanita yang memiliki jiwa shalehah, baginya melaksanakan nikah dibawah tangan (siri), tetap tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kepada sang suaminya. Sebagaimana kita ketahui hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini ada tiga yaitu, hukum positip, hukum Islam dan hukum adat. Semuanya hukum tersebut menjadi living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah masyarakat, keberadaannya perlu diakui, dijunjung tinggi dan dihormati, tidak boleh hukum antar tata hukum saling berbenturan satu sama lain, sehingga mengakibatkan perpecahan antar umat. Pasal 143 RUU Nikah Siri yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antar dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta. RUU yang mengatur sanksi bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan untuk melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus nikah siri. Tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus. Sebab selama ini anak-anak maupun istri-istri hasil nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum. Namun pemberlakuan pemidanaan nikah siri ini jelas tidak tepat selain melanggar Alqur’an juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nikah siri ini hanya soal tidak tertib administrasi saja sehingga dampaknya anak-anak dan suami atau istri tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Pernikahan sudah dilakukan dengan memenuhi syarat nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan. Namun pernikahan ini belum dicatat, sehingga tidak memiliki akta perkawinan. Kedudukan akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak memiliki bukti otentik inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki hubungan perdata. Apakah legal memidanakan Nikah Siri?. Marilah menyimak dengan saksama Firman Allah SWT dalam Alqur’an Surat An Nisaa: 3 yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berangkat dari Firman Allah SWT Surat AN Nisaa sebagaimana tersebut diatas, jelas pemidanaan nikah siri dalam konteks sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Selain dalil naqli yang kuat sebagaimana tersebut diatas pemidanaan nikah siri juga tidak mendapatkan ruang didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai saat ini masih berlaku. UUP (undang-Undang Perkawinan) Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Yang menjadi masalah besar karena perkawinan siri tidak dicatatkan maka secara hukum perdata, baik suami/istri atau anak-anaknya tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, dengan pengakuan yang dilakukan oleh seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Bedakan Pasal 43 UUP yang menyatakan bahwa, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya pasal tersebut menyatakan untuk anak luar nikah bagi ibunya tidak perlu mendapat pengakuan, dengan sendirinya anak luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun untuk bapak agar anak memiliki hubungan perdata tetap harus mendapat pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU. No. 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 8/2011, tentang Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 1. menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 3. memutus pembubaran partai politik; 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : UUD 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. . Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris. Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat. Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya. Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris. Dengan putusan MK tersebut diatas jelas anak luar kawin selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya juga dengan bapak atau keluarga bapaknya. Dengan demikian gugurlah pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 43 UUP tersebut diatas. Dalam konteks Islam menikah untuk kedua, ketiga dan keempat kalinya memang dimungkinkan sepanjang laki-laki itu dapat berlaku adil pada istri-istrinya, dan tentu saja mendapat persetujuan istrinya. Akan tetapi bagi yang tidak dapat berlaku adil maka lebih baik cukup satu saja. Perbedaan Asas Perkawinan menurut Hukum Perdata dengan UU. No. 1 Tahun 1974 Sebagai perbandingan asas Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah monogami mutlak sebagaimana dipersepsikan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Maksud pasal ini suami atau istri baru dapat menikah untuk kedua kali dan seterusnya, jika salah satu pasangannya terjadi cerai hidup atau cerai mati. Hukum perdata memandang soal perkawinan hanya memiliki hubungan-hubungan perdata (Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dilihat dari sudut pandang UUP (Undang-Undang Perkawinan) asas perkawinan juga monogami, tetapi monogami pengecualian, dipersepsikan pasal 3 ayat (1) :”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Pasal 3 ayat (2): “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Berbeda dari sudut pandang kitab undang-undang hukum perdata, tujuan perkawinan menurut UUP pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan abadi berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa”. Jadi perkawinan menurut UUP ada unsur religiusnya yang berorientasi nilai-nilai Ketuhanan, untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah dalam naungan dan ridho Allah SWT. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dipandang memiliki hubungan-hubungan bersifat keperdataan saja. Syarat Menikah untuk kedua kali dan seterusnya Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“ Kesimpulan Sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang partikulatif tidak memungkinkan pemidanaan bagi pelaku nikah siri, selain melanggar Firman Allah SWT dalam Surat AN NISAA:3 sebagaimana tersebut diatas juga melanggar Undang-Undang Perkawinan itu sendiri sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19