Selasa, 08 September 2015

Konstitusionalitas Pilkada





Oleh WARSITO       
                 Dosen   Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta                                 
  Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta



          Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Gerakan reformasi menuntut antara lain, amandemen UUD 1945 untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, selengkapnya sebagai berikut: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); mewujudkan kebebasan pers; mewujudkan kehidupan demokrasi.
            Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita, pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi menjadikan Indonesia pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005.
            Dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman melaksanakan Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Pilkada dipilih secara demokratis ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang MPR tahun 2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam  pelaksanaannya menjadi masalah.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menentukan demikian. Hal ini, dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU. No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang digawangi oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menyatakan bahwa, untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146) bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara, membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat.  Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh konstitusi. Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang lepas dari NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan: Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
            Tepat apa yang dikatakan oleh Ndraha, bahwa ilmu pemerintahan dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
            Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
           
Otonomi Daerah
            Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota  dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Tujuan Negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945  untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah.
Haluan Negara yang Hilang
            Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
 TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN sekarang  sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan  jelas mengenai  keberlangsungan pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).
 TAP MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy). Dalam konsideran Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4)  UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
 Penegasan mekanisme Pilkada penting dilakukan, agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi sesuai: selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya.  Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk memperoleh kekuasaan.
            Akibat perseteruan kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya roda pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh  pemerintahan daerah yang akan memilih calon pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
            Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang meliputi meliputi: kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan;  tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
            Kesimpulan, bentrokan antarpendukung (konflik horizontal) maupun konflik vertikal  ketika pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun, Pilkada oleh rakyat secara langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat, dan akuntabilitas yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu mewakili aspirasi rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD 1945, kelak MPR tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances), tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis termasuk didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera kelompok, golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran terhadap substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR tidak melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan ketidakpastian hukum di negeri ini.
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan  melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan sedikit pun  oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan daerah.
                Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
            Meski, Pilkada secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung, dan berbiaya tinggi, bagaimana pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal. Pilkada oleh rakyat secara langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi. Amandemen UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak terbatas menata ulang sistem ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances). Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis itu secara langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Amandemen pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai lembaga Negara perwakilan daerah (regional representation).


Senin, 07 September 2015

Polemik Amendemen Konstitusi



                 
Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta

Bertambahnya sederetan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan  Indonesia, khususnya kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tidak mendapat sambutan positip oleh masyarakat. Pasalnya DPD, tidak memiliki kewenangan  sama sekali alias produknya meaningless (tidak memiliki arti). Berbeda lembaga Negara yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK), eksistensi lembaga negara kekuasaan kehakiman ini, di elu-elukan masyarakat luas, putusan yang dihasilkan sering menggebrak kebekuan hukum yang selama ini konvensional bersifat konservatif. Contoh putusan MK yang progressif  adalah membatalkan calon terpilih anggota legislatif melalui nomor urut, mengganti dengan suara terbanyak. Contoh lain, putusan MK membolehkan warga negara mencoblos pemilu dengan menggunakan identitas (KTP/SIM) dan sebagainya. Pertanyaannya, apa yang dihasilkan oleh DPD?. Selama ini yang dihasilkan DPD hnaya tumpukan-tumpukan kertas menggunung berupa pertimbangan kepada DPR yang tidak memiliki implikasi yuridis.
Polemik amendemen konstitusi kembali menghangat. Pro kontra amendemen kelima konstitusi yang digagas oleh DPD merupakan  keniscayaan, sebab, lembaga negaranya berjalan ditempat, akibat  konstitusi tidak memberinya kewenangan sedikitpun. Sebagian tokoh-tokoh bangsa, yang kontra amandemen antara lain, Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno,  menilai justru perubahan UUD dapat merusak bangsa (Kompas, 31/1). Pernyataan tersebut disampaikan Mantan Wapres dalam pekan konstitusi yang bertemakan: “UUD 1945, Amendemen dan Masa Depan Bangsa”, Senin (30/1) di Jakarta, yang diadakan oleh DPD bersama International Conference of Islamic Sholars (ICIS). Kebalikannya, pernyataan yang pro disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa “DPD harus diberi kewenangan untuk memutuskan suatu persoalan agar kehadiran lembaga tersebut mempunyai dampak dalam kehidupan berbangsa” (Media Indonesia, 31/1) dalam acara yang sama dalam pekan konstitusi tersebut.
Dalam konteks amendemen konstitusi, penulis hendak mengatakan dengan bahasa gamblang kepada Majelis Permusyawaratann Rakyat (MPR). Ada dua cara mendesign DPD agar menjadi lembaga negara yang kuat, bukan hanya sekedar assessories belaka, dan biarkan lembaga negara bernama DPD menjadi  mati muda, jika memang keberadaannya tiada berguna. Pertama, keniscayaan MPR melakukan amandemen konstitusi untuk memperkuat kelembagaan DPD. konsekuensinya, akan dihadang tembok raksasa DPR. Pangkal masalahnya, jumlah anggota DPD itu cuma 132, sedangkan anggota DPR berjumlah 560. Untuk mengusulkan amandemen konstitusi sendiri, sekurang-kurangnya dibutuhkan 1/3 dari jumlah anggota MPR 692 sebanyak 230. Untuk itulah sebabnya, meskipun DPD berulangkali giat mengusulkan amandemen konstitusi untuk memperkuat kelembagaannya, DPR, sedikit pun tidak merasa terganggu apalagi jengkel. Sikap DPR, hampir pasti mengatup, tidak akan meluluskan niat DPD itu. Alih-alih mengusulkan amandemen konstitusi, yang didapati DPD justru hidangan melankolis dari DPR: “DPD, bersabarlah!, jangan meminta amandemen sekarang, belum waktunya, tunggu pemilu berikutnya”. DPR paham betul, Keberadaan DPD itu berada dalam kuasanya.
Cara kedua, jika DPR bergeming tidak merespon usulan amandemen konstitusi memperkuat DPD, presiden, atas nama panduan konstitusi, dapat membubarkan DPD. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/membubarkan DPR”. Dari  panduan konstitusi tersebut jelas tidak ada larangan presiden untuk membubarkan DPD.
Satire DPD sebagai lembaga negara “antara ada dan tiada”, sungguh tidak mengenakkan telinga dan menyesakkan hati seluruh anggotanya. Lembaga negara hasil amendemen konstitusi ini, seksi, tetapi tidak berkontur. Seksi, sebab, gaji dan uang tunjangan yang diterima sangat menggiurkan, sehingga, bikin orang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi  anggota DPD, soal nihil kewenangan, peduli amat, yang penting kantong tebal. Lembaga negara ini tidak berkontur, keberadaannya praktis sebagai accessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Relasi yang dibangun antar lembaga negara, utamanya kepada DPR inharmonis, kesetaraan lembaga negara yang didambakan check and balances luruh ditangan kepurbawisesaan DPR. Dalam praktek ketatanegaraan pun, acap kali DPD dipandang sebelah mata (sepele), dianggap sebagai anak bawang yang lahir prematur dari konstitusi. Jargon sebagai lembaga negara komplementer, sudah tentu membuat DPD masygul. Faktanya, lembaga negara ini memang hanya sebagai penghibur yang tidak memiliki kewenangan apa pun. Kecuali, memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika tidak  ditindaklanjutinya. Organ konstruksi DPD, bekerjanya pun tidak beritme, bagaikan kendaraan matic yang berjalan nggelonjor ketika direm, tak berakselerasi ketika menuntut percepatan tinggi  dan berinovasi ketika menghadapi lika liku perjalanan yang cukup curam, menikung dan down the street.
Dari sudut pandang filosofis, sosiologis, politis dan yuridis, secara teoritis UUD dapat diubah. MPR perlu terus didorong agar mengupayakan perubahan konstitusi yang lebih baik, demi kepentingan negara-bangsa. Kesalahan besar (blunder) MPR ketika melakukan perubahan UUD 1945, satu sisi, MPR tepat membubarkan lembaga tinggi negara (sebutan) untuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ironinya, sisi lain, MPR, menukargantikan (melahirkan) lembaga negara bernama DPD, padahal kedua-duanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945, yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001, kini, para anggotanya baru sadar, kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi napas buatan oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Anggota DPD secara resmi dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. Alias, DPD bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Penyebabnya, DPD tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi. DPR sudah barang tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan. Sebab, jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR, dengan menempatkan di Pimpinan MPR yang dianggap memiliki  peran strategis.
DPD saat ini, sedang gencar menggalang dukungan usulan perubahan kelima konstitusi. Menurut anggota DPD dari Maluku John Pieris, bahwa usulan amendemen UUD 1945 secara substansi  telah disetujui oleh mayoritas fraksi (Media Indonesia, 26/12). Lebih lanjut John Pieris mengklaim bahwa fraksi-fraksi besar di MPR seperti Demokrat, Golkar dan PDIP secara personal sudah setuju dari isi amandemen yang diajukan DPD. Klaim DPD bahwa telah mendapat persetujuan usulan amandemen dari mayoritas fraksi-fraksi di MPR patut disangsikan. Pasalnya, persetujuan itu bukan tidak mungkin sekedar basabasi politik, rasa tidak enak kepada DPD, yang kerap mengundang DPR diberbagai pertemuan.
 Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, anggota DPR sudah 110, dari 550 memberikan dukungan usulan  amendemen konstitusi dalam bentuk tertulis, tetapi, sayangnya, sebagian mencabut secara sepihak, mengingkari perjanjian tanpa rasa malu. Usulan perubahan konstitusi ketika itu telah mendapat dukungan 238 Anggota MPR, tetapi terjungkal dibantai DPR dipertigaan simpang jalan. Padahal, sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi.
  Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit, DPD dianjurkan mengusulkan amandemen konstitusi hasil pemilu 2009 saja. Kini, DPR hasil pemilu 2009 berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014 dan seterusnya. Hasil pemilu 2014 pun tidak tertutup kemungkinan, anggota DPR bakalan memiliki watak sama dengan pendahulunya memainkan DPD terus. DPR merasa besar kepala, karena paham sejarah kelahiran DPD berkat  kebaikan hatinya, dan DPR pula yang  akan bisa “menghabisi DPD” kapan pun jika ia mau.
 Semenjak MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, untuk kali kedua, DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen). DPD mengaku telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12-2011).
Ihwal amandemen konstitusi, sebelumnya, penulis telah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita menyimak secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen konstitusi jilid II kali ini, tidak nampak terlihat draft baru, hanya sedikit semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat dengan mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi. Meskipun, gagasan ini  dianggap cemerlang oleh DPD, besar kemungkinan bakalan tetap dirontokkan DPR tetap menghendaki presiden diusung hanya  oleh  partai politik. Dibanding 2007 lalu, usulan amandemen DPD kali ini, memang cukup cemerlang dan realistis, dapat membaca urat nadi masyarakat, yang menginginkan calon presiden tidak hanya dimonopoli oleh partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi, sejatinya DPD memiliki nafsu dan hasrat besar, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat sejajar dengan DPR.                        
Selama ini, DPD terlalu asyik berpolitik kepura-puraan (komunikasi prior ethos). Sebagai lembaga negara berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 17 Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPD adalah salahsatu rumpun legislatif. Tetapi anehnya, DPD yang dirumpunkan legislatif itu, tidak ikut memutuskan UU bersama DPR dan pemerintah. Keterpasungan DPD oleh konstitusi, diperparah lagi dengan sikap para anggotanya yang masa bodoh tidak berakselerasi gebrakan-gebrakan politik untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa. Selama ini, DPD terpaku hanya menjalankan tugas rutinitas sebagaimana teks redaksional semantik konstitusi. Keringat DPD yang dikucurkan deras, dipastikan tidak memiliki makna apa-apa (meaningless). Produk DPD, hanyalah tumpukan-tumpukan kertas menggunung.  Ia hanyalah lembaga negara penghias, jika pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti, tidaklah memiliki implikasi yuridis. Sesungguhnya, DPD adalah lembaga negara yang ditempatkan bagian terkecil (genre) dari bagian ketatanegaraan trikameral (genus), yaitu MPR dan DPR. Jika DPR diberikan kewenangan bersama pemerintah memutuskan UU, maka MPR diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Pertanyaannya, apakah kewenangan DPD?. Cuma pertimbangan?. Apa beda DPA dengan DPD?.
Momentum Amandemen Konstitusi Tidak Tepat
Masa bhakti DPR periode 2009-2014, sudah berakhir. Sisa waktu yang relatif   pendek masa jabatan DPR periode 2014-2019, DPR akan fokus menghadapi  pemilu 2014 dengan rajin mengunjungi konstituennya di daerah, agar terpilih kembali ketimbang, merespon usulan amandemen konstitusi yang diajukan DPD. Hal lain, keengganan DPR merespon usulan amandemen konstitusi, justru dianggap mengancam kewenangan DPR yang akan dimadu bersama DPD. Tidak berlebihan, jika penulis mengatakan, usulan amandemen kali ini tidak pada momentum yang tepat. Sangat mudah diprediksi, kalaupun dipaksakan, usulan amandemen ini hampir pasti  mustahil, dan lagi-lagi hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Masalah muncul, jika amandemen konstitusi dikabulkan, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD, berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Teliti Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap membonsai peran DPD, lembaga negara ini selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD diperkuat, berdampak di konstitusi, kebalikannya, jika hanya dijadikan keassessorisan, lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak berguna sama sekali. Sesungguhnya, anggota DPR berjumlah 560 jika reinkarnasi MPR, “memasuki ruang sidang majelis”, sudah bisa membubarkan  DPD, sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD.
Usulan perubahan kelima konstitusi jilid I, yang digagas DPD telah  mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal  204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. DPD akhirnya tak berdaya mendapati serangan mematikan tiba-tiba ini. Halusinasi amandemen konstitusi gagal total yang diusung DPD. Sikap yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu akal-akalan itu, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), bukan tidak mungkin memiliki kepentingan dibalik penjegalan amandemen itu. Sebab, jika DPD benar-benar menjadi lembaga negara kuat, pimpinan MPR terancam dihapuskan. Logika berpikir MPR menjadi terbalik, sebab, batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya.
Jika DPD dibubarkan, sesungguhnya DPR ataukah DPD yang masygul?. Bisa kedua-duanya. Pasalnya, DPR sendiri menginginkan DPD tetap survive, meski DPD nihil kewenangan. Ada udang dibalik batu, jika sewaktu-waktu anggota DPR sudah tidak laku di partai politik, bisa loncat ke DPD. Pihak yang paling kelojotan dengan bubarnya DPD saat ini, sesungguhnya  anggota DPD itu sendiri. Bagaimana pun, DPD tidak mau lembaga negaranya dibubarkan  secara dramatis, meski faktanya tidak memiliki kewenangan apa pun. Bagi anggota DPD, sudah tentu tidak mau kehilangan sawah subur yang dipaneninya setiap bulan. Sepakterjang  kepentingan elite politik itu, apabila dikaitkan dengan tugas dan tanggungjawabnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Dibalik kemubadziran DPD, pada hakekatnya yang kasihan adalah  rakyat. Bersebab, pajak dari uang rakyat yang disetor ke kas negara, sebagian dipergunakan untuk membiayai mahal kegiatan DPD, tetapi tidak memiliki arti sama sekali (meaningless).
 Kesimpulannya, usulan amandemen konstitusi itu ditentukan keikhlasan hati dan sikap kenegarawanan 560 anggota DPR yang merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi, meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD, bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).
            Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.
Pasal 7C UUD 1945 menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/membubarkan DPR”. Rumusan pasal tersebut suatu kekhilafan, keteledoran, ataukah kesengajaan?. Bunyi teks redaksional tafsir bersayap konstitusi ini sangat membahayakan eksistensi DPD. Pertanyaannya, dapatkah secara hukum Presiden membubarkan DPD?. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, bergantung lembaga negara manakah yang menafsirkan dibalik kepentingan politik. Jika Pasal 7C UUD 1945  ditafsir oleh pihak DPD, sudah barang tentu, disengajamaknai Presiden selain tak boleh membubarkan DPR, juga diharamkan membubarkan DPD. Bukankah DPD tak mau bunuh diri?. Namun, jika rumusan tersebut dikaji, ditelaah hati-hati, teliti, saksama dan sungguh-sungguh oleh peneliti konstitusi dan ketatanegaraan, akan bertenu  penafsiran teleologis yang mendekatkan kepada tujuan dan maksud sesungguhnya perumus konstitusi,  yakni tidak adanya pelarangan pembubaran DPD oleh Presiden. Namun, masalahnya, jika Presiden bernyali membubarkan DPD, akan  terjadi kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai legal tidaknya aksi nekat Presiden tersebut. Selain itu, dipastikan akan berdampak krisis konstitusi. Kebalikannya, jika rumusan tersebut dimaknai  Presiden tidak dapat membubarkan DPD, jawaban itu terlalu naif, kita tidak belajar dari kasus Presiden Abdurrahman Wahid yang gagah berani membubarkan MPR/DPR pada tahun 2001. Pertimbangan Gusdur, aksi nekatnya  membubarkan parlemen karena tidak ada larangan dalam pasal-pasal, melainkan cuma di penjelasan UUD 1945. Sempat terjadi perdebatan sengit, apakah penjelasan itu bagian dari hukum, atau bukan. Meski secara sporadis, akhirnya Gusdur bernasib tragis dipaksa turun dari jabatan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR, namun, kehebatan dan keberanian Gusdur patut diacungi jempol, terlepas akrobatik hukum yang dilakukannya. Konstitusi adalah staats fundamental norm, berisi dokumen hukum dan politik resmi dari suatu Negara, berisi kesepakatan-kesepakatan pokok tentang Negara, mengatur mengenai organisasi Negara, kekuasaan lembaga Negara, hubungan antar lembaga Negara. Pasca amandemen, UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal, sedangkan penjelasan yang memuat hal-hal yang bersifat normatif  telah  dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Bahasa gamblangnya, sepanjang pasal-pasal tidak mengatur larangan pembubaran DPD, maka Presiden dengan pemikiran progressif, jika berkehendak dapat membubarkan DPD.
Hanya ada dua opsi untuk menyelesaikan DPD. Dengan cara pertama diatas, jika  mempertahankan DPD,  MPR harus amandemen konstitusi memperkuat kelembagaannya. Cara kedua, mendorong presiden agar berani membubarkan DPD, jika DPD terus diambangkan seperti ini. Tidak boleh ada opsi samar-samar mengkonstruksikan DPD, melahirkan, tetapi memandulkan peran dan fungsinya. MPR unsur DPR, diharamkan membiarkan DPD berkelana dan terpasung di konstitusi. Indikasi kuat, memeranakan DPD dipertontonkan secara telanjang oleh DPR, dengan sikap pasifnya merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. DPR perlu berpolitik santun (fatsoen) dan sikap kenegarawanan sejati, sebagaimana dicontohkan para pendahulu kita (the founding fathers). Keberadaan DPD yang dilahirkan sudah cacat bawaan, mestinya, MPR segera merekonstruksi lembaga negara berboneka tersebut. Eksistensi DPD jangan terus ditelantarkan (diambangkan), sekedar untuk mainan politik, yang mengakibatkan organ kelembagaan ini bekerjanya menjadi  liar dan mengalum. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Periksa dan teliti ulang keberadaan DPD dengan cermat. Agar keberadaan DPD tidak menjadi beban anggaran negara terus-menerus, karyanya tidak dinistakan dan mubadzir, janganlah mengotori menuliskan tinta keberadaan DPD di konstitusi. Sayangilah konstitusi. Ukirlah cairan penamu di konstitusi yang indah untuk anak-anak bangsa. Menjadi anggota MPR itu kesempatan untuk berbuat baik, kapan lagi, jika bukan saatnya sekarang mendapat predikat negarawan sejati.
Dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang tidak mencantumkan secara eksplisit larangan Presiden membubarkan DPD, demi untuk menyelamatkan kepentingan negara-bangsa, dan dalam rangka menghemat anggaran negara, penulis sarankan, Tuan Presiden tidak perlu takut untuk membubarkan DPD. Hanya Tuan Presiden yang bisa diharap membubarkan DPD. Menunggu MPR membubarkan DPD tidak mungkin dilakukan, meski kewenangan membubarkan DPD secara normatif ada pada lembaga negara tersebut. Bersebab, di dalam tubuh MPR ada mayoritas anggota DPR yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dibalik keberadaan DPD. Oleh karena itu, tidak berlebihan penulis  menyerukan: Jika sekiranya MPR tidak menata ulang keberadaan DPD, lebih baik Tuan Presiden yang membubarkan DPD. Bagi DPD, penting dipahami, saat ini, lebih baik fokus bekerja untuk memperjuangkan aspirasi daerah. Jangan terlalu  berharap amandemen konstitusi, sebab, amandemen konstitusi hampir pasti mustahil. Percayalah, DPD akan selalu mendapati jawaban dari DPR, sabar, sabar, dan sabar terus. Oleh karena itu, lupakanlah harapan yang indah itu untuk mengamendemen konstitusi. Energi anggota DPD akan sia-sia memikirkan usulan amsndemen konstitusi, sebab, ujung dari semua itu, bakalan luruh di kaki DPR. Lebih baik, DPD, berkaryalah!.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19