Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama,
Jakarta
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas
Satyagama, Jakarta
Gerakan
reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto
dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi
berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998
yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis
moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan
orde baru. Gerakan reformasi menuntut antara lain, amandemen UUD 1945 untuk
menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi
saling mengontrol (cheks and balances).
Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, selengkapnya
sebagai berikut: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan
supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); desentralisasi dan hubungan yang adil
antara pusat dan daerah (otonomi daerah); mewujudkan kebebasan pers; mewujudkan
kehidupan demokrasi.
Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita,
pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi menjadikan Indonesia
pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi
di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh
rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005.
Dalam
perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh
rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan
akuntabilitas yang tinggi, selain
diwarnai money politic, berbiaya
tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada
secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik
lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman
melaksanakan Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi
kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan
Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada
pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Pilkada dipilih secara demokratis
ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang MPR tahun
2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur
tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada
frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir,
sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam pelaksanaannya menjadi masalah.
Ingatan kita masih segar, tatkala
tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk
untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai
partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang
tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur)
dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung
sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan
nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik
kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik
sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode
2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP
(Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi
Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR
yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi
rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang
menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki
Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal,
sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3)
menentukan demikian. Hal ini, dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi
ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan
DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat
berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur
DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah
rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung,
SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini
semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu
Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung,
desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan
dukungan meluas dari parlemen menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU.
No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan
kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali
pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang digawangi oleh
rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil
Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan
kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung
oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada
yang menyatakan bahwa, untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat
serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati
sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan
beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang
selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan
keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146)
bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara,
membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah
kepada rakyat. Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati yang tidak dapat dilakukan
perubahan oleh konstitusi. Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang lepas dari
NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus dihormati
dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR
merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan: Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau
antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
Tepat apa yang dikatakan oleh
Ndraha, bahwa ilmu pemerintahan dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang
akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat
diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan
mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana
seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan,
jadi normatif, ideal, das sallen dan
kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang
bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
Penjelasan
umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah
nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah
yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan
Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Otonomi Daerah
Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan
Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada
perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal
18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam
Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
Tujuan Negara sebagaimana
diamanatkan pembukaan UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan
daerah.
Haluan Negara yang Hilang
Bangsa Indonesia pernah memiliki
GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan
Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam
kondisi umum dijelaskan konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi
diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat
mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi
Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan
ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi
dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang
pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara
luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga
ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan
lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan
pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah
perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip
desentralisasi dan otonomi daerah.
TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut
berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan menjadi enam bagian.
Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8
ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
(3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP
MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku
sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu
2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan
tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104
ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga
yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil
pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang
GBHN sekarang sudah tidak berlaku lagi.
Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan jelas mengenai keberlangsungan pembangunan yang terstruktur
dan berkelanjutan (sustainable).
TAP MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut penyelenggaraan
otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski
Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan
Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum
seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku
(memiliki daya laku/validity dan daya
guna/efficacy). Dalam konsideran
Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi
daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara
demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen
oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada
dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh
DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD
1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi
tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau
melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
Penegasan mekanisme Pilkada penting dilakukan,
agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi sesuai:
selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya. Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak
mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara
benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah
ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti
Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Penjelasan
umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa
pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,
dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam
bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme
yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan
diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak
puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam
pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah
kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi
untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat
yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang
digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri
ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui
pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan
ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan
bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama
separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang
mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat
diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk
memperoleh kekuasaan.
Akibat
perseteruan kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya
roda pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh pemerintahan daerah yang akan memilih calon
pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada
diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang
terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan
rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang
demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila
yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
Rumusan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan
dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan yang meliputi meliputi: kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan;
tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan;
kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
Kesimpulan,
bentrokan antarpendukung (konflik horizontal) maupun konflik vertikal ketika pelaksanaan Pilkada secara langsung
oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun, Pilkada oleh rakyat secara
langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat, dan akuntabilitas
yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu mewakili aspirasi
rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD 1945, kelak MPR
tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi
saling mengontrol (checks and balances),
tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis termasuk
didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota,
apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab, Pasal 18
ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera kelompok,
golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran terhadap
substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR tidak
melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan
ketidakpastian hukum di negeri ini.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal
22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD
1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam
sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan
sedikit pun oleh konstitusi layaknya
lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi
rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan
keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki
fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR
tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak
memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan
daerah.
Menurut
Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka
restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak
memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi
restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang
dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah
anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan
dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam
pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial
representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan
sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
Meski, Pilkada secara langsung oleh
rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung, dan berbiaya tinggi, bagaimana
pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan Pilkada tidak langsung oleh DPRD.
Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal. Pilkada oleh rakyat secara
langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi. Amandemen
UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak terbatas menata ulang sistem
ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances). Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis itu secara
langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Amandemen
pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai
lembaga Negara perwakilan daerah (regional
representation).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.