Selasa, 08 September 2015

Konstitusionalitas Pilkada





Oleh WARSITO       
                 Dosen   Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta                                 
  Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta



          Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Gerakan reformasi menuntut antara lain, amandemen UUD 1945 untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, selengkapnya sebagai berikut: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); mewujudkan kebebasan pers; mewujudkan kehidupan demokrasi.
            Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita, pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi menjadikan Indonesia pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005.
            Dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman melaksanakan Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Pilkada dipilih secara demokratis ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang MPR tahun 2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam  pelaksanaannya menjadi masalah.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menentukan demikian. Hal ini, dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU. No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang digawangi oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menyatakan bahwa, untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146) bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara, membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat.  Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh konstitusi. Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang lepas dari NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan: Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
            Tepat apa yang dikatakan oleh Ndraha, bahwa ilmu pemerintahan dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
            Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
           
Otonomi Daerah
            Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota  dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Tujuan Negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945  untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah.
Haluan Negara yang Hilang
            Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
 TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN sekarang  sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan  jelas mengenai  keberlangsungan pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).
 TAP MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy). Dalam konsideran Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4)  UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
 Penegasan mekanisme Pilkada penting dilakukan, agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi sesuai: selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya.  Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk memperoleh kekuasaan.
            Akibat perseteruan kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya roda pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh  pemerintahan daerah yang akan memilih calon pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
            Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang meliputi meliputi: kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan;  tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
            Kesimpulan, bentrokan antarpendukung (konflik horizontal) maupun konflik vertikal  ketika pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun, Pilkada oleh rakyat secara langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat, dan akuntabilitas yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu mewakili aspirasi rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD 1945, kelak MPR tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances), tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis termasuk didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera kelompok, golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran terhadap substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR tidak melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan ketidakpastian hukum di negeri ini.
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan  melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan sedikit pun  oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan daerah.
                Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
            Meski, Pilkada secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung, dan berbiaya tinggi, bagaimana pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal. Pilkada oleh rakyat secara langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi. Amandemen UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak terbatas menata ulang sistem ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances). Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis itu secara langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Amandemen pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai lembaga Negara perwakilan daerah (regional representation).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Bangga Anak Saya Diterima di IPB Jurusan Kimia

  Siapa orang tua yang tidak bangga dan terharu anaknya dapat diterima di PTN ternama. Hari yang membanggakan pada tahun 2016 itu akhirnya t...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19