Rabu, 09 September 2015

Etika Kehidupan Berbangsa





Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa (TAP MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Jika ada menteri yang seharusnya patuh kepada yang mengangkat (Presiden), dibelakang malah mengoceh menjelekkan, meski, perbuatannya bukan tergolong melanggar hukum, tetapi, dikategorikan sudah menyalahi etika kenegaraan. Jika ada menteri yang mengkritisi kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya didukung, biar secara normatif juga tidak menabrak undang-undang, tetapi dari norma: etika, kepatutan, kebiasaan dan nilai-nilai keadaban publik sudah jatuh ke titik nadir.
Merasa Malu Harus Mundur
Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sampai saat ini masih berlaku dan merupakan hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3). Etika Kehidupan Berbangsa bertujuan membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan kualitas tiap-tiap anak negeri agar beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Dalam Etika Politik dan pemerintahan sudah memberikan amanat kepada setiap pejabat dan elit partai politik di negeri ini untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Etika Penegakan Hukum
Etika Penegakan hukum yang berkeadilan, mengamanatkan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap ada ketertiban umum di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya tertib sosial di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya ketenangan di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya keteraturan di masyarakat, semua itu hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Etika Kehidupan berbangsa meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif kepada tiap-tiap anak negeri ini dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Jika para politisi, para menteri, pejabat publik dan warga masyarakat paham akan pentingnya etika kehidupan berbangsa ini, maka setiap tindakannya akan senantiasa berpikir ulang: Melanggar hukum atau tidak; baik atau buruk; patut atau tidak; dan pantas atau tidak. Terlebih, jika ada pejabat publik yang sudah diberi raport lampu kuning, bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht), baru mundur, menurut amanat Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini, sebenarnya pejabat tersebut selekas-lekasnya sudah harus mundur dari jabatannya. Tapi, jika nekat tidak mau mundur dan bermuka tembok meski melakukan kesalahan, pada hakekatnya, sesungguhnya yang bersangkutan sudah gugur dengan sendirinya menjadi pejabat publik.


Lembaga Kenotariatan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Oleh WARSITO 
Dosen Universitas Satyagama, Jakarta 

BAB I P E N D A H U L U A N

 1.1. Latar Belakang Masalah Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai “Notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka, lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag), yang dikehendaki oleh masyarakat, untuk membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan autentik, demikian fungsi lembaga kemasyarakatan Kenotariatan dikemukakan oleh G.H.S Lumban Tobing (1983:2). Kedudukan Notaris berfungsi sebagai pejabat umum (openbare ambtenaar) yang melaksanakan sebagian tugas umum pemerintahan dalam bidang hukum privat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan /atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Notaris berkedudukan sebagai pejabat umum yang melaksanakan sebagian tugas dari negara di bidang hukum perdata untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta-akta autentik, dimana akta-akta itu sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Peranan Notaris yang diangkat oleh negara, menjalankan tugas utama pemerintah untuk melayani masyarakat di bidang hukum perdata, diberikan kewenangan menggunakan Lambang Negara dalam menjalankan tugas dan jabatannya, tetapi anomalinya, keberadaan Notaris diluar sistem pemerintahan Indonesia. Notaris tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tidak dimasukkannya Notaris kedalam salah satu sistem pemerintahan Indonesia itu, satu sisi, agar Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tetap mandiri dan tidak berpihak. Sisi lain, beradanya Notaris diuar sistem pemerintahan Indonesia secara psikologis dapat mengganggu Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pelayan publik, karena tidak mendapatkan hak-hak pensiun dari negara. Kedudukan Notaris bertindak untuk dan atas nama serta diangkat oleh Negara melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Selain itu, di dalam menjalankan tugas dan jabatannya Notaris diberikan kuasa oleh Undang-Undang untuk membuat akta-akta autentik yang dapat memiliki pembuktian sempurna. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 Pasal 7 Ayat (1), Tentang Penggunaan Lambang Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 54 menyatakan bahwa penggunaan Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatan diperuntukkan oleh: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Dewan Perwakilan Rakyat; d. Dewan Perwakilan Daerah; e. Mahkamah Agung dan badan peradilan; f. Badan Pemeriksa Keuangan; g. Menteri dan pejabat setingkat menteri; h. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan; i. Gubernur, bupati atau walikota; j. Notaris; dan k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang. Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor digunakan untuk kantor: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Dewan Perwakilan Rakyat; d. Dewan Perwakilan Daerah; e. Mahkamah Agung dan badan peradilan; f. Badan Pemeriksa Keuangan; g. Menteri dan pejabat setingkat menteri; h. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan; i. Gubernur, bupati atau walikota; j. Notaris; dan k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang. Obyek materia dan forma ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara rakyat dengan organisasi tertinggi negara (pemerintahan) dalam kontek kewenangan dan pemberian pelayanan publik. Dengan bahasa yang berbeda Ndraha (2003:7) mendefinisikan ilmu pemerintahan sebagai: “ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan pelayanan civil, dalam hubungan pemerintahan (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan.” Dalam sistem civil law (Eropa Continental) seperti yang dianut Indonesia, karakteristik utama Notaris adalah menjalankan fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat publik di bidang hukum perdata. Notaris diangkat oleh Negara dan bertugas menjalankan fungsi pelayanan publik dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik. Profesi Notaris adalah mandiri (independent), Notaris dilarang memihak salah satu pihak, perbuatan hukum akta yang dibuatnya dapat menjamin kepastian hukum. Begitulah keluhuran dan kemuliaan profesi Notaris sebagai jabatan kepercayaan dari Negara, yang pembuatan akta-aktanya tidak dapat diintervensi atau didekte oleh pihak-pihak lain, sekalipun oleh pemerintah itu sendiri. Sebelum terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diberlakukan mulai tanggal 6 Oktober 2004, maka perundang-undangan yang pernah berlaku di bidang Notariat, adalah: 1. Peraturan Jabatan Notaris (Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie, Stbl. 1860: 3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris sementara (lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan lembaran Negara Nomor 700); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang sumpah/ janji Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang Jabatan Notaris sangat dinanti-nantikan oleh Notaris, Undang-Undang ini sebagai pelaksanaan dari Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Kalangan Notaris sudah cukup lama berharap Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Jabatan Notaris. Akhirnya, pada tanggal 6 Oktober 2004 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut diundangkan dan disahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri yang disambut gembira oleh kalangan Notaris. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang. G.H.S Lumban Tobing (1983:2-17) menyatakan, sejarah Notariat di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah lembaga Notariat di negara-negara Europa pada umumnya dan di negeri Belanda pada khususnya. Perundang-undangan di Indonesia di Bidang Notariat berakar pada “Notariswet” dari negara Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned.Stbl. No. 20), Notariswet mengambil contoh dari Undang-Undang Notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda. Sejarah lembaga Notariat dimulai pada abad ke -11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara, yaitu “Latijnse Notariaat”. Mula-mula lembaga Notariat ini dibawa dari Italia Utara ke Perancis, dari Perancis ini pula pada permulaan abad ke-19 lembaga Notariat dikenal meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara lain. Nama “Notariat”, berasal dari nama pengabdinya, yakni “Notarius”. Para “Notarii” adalah orang-orang yang memiliki keahlian tulisan cepat didalam menjalankan pekerjaan mereka dan disamakan sebagai “stenografen”, “Notarii” mula-mula memperoleh namanya dari “Nota Literaria”, yaitu ”tanda tulisan” atau “character”. Lembaga Notariat dari Italia Utara, abad ke -13 dibawa ke Perancis, di Perancis inilah lembaga Kenotariatan telah memperoleh puncak perkembangannya. Pada tanggal 6 Oktober 1791 di Perancis pertama kalinya diundangkan undang-undang di bidang Notariat, berdasarkan undang-undang tersebut hanya dikenal satu macam Notaris. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan undang-undang dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803). Berdasarkan undang-undang ini para Notaris dijadikan “ambtenaar” dan sejak itu mereka berada dibawah pengawasan dari “Chambre de Notaries”. Dari Perancis, Notariat dibawa ke negeri Belanda dengan dua buah dekrit Kaisar, masing-masing pada tanggal 18 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1811. Dikeluarkanlah Undang-Undang pada tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. No. 20) Tentang Jabatan Notaris, sebagai perubahan dari “Ventosewet” itu sendiri. Notariat seperti yang dikenal di zaman “Republik der verenigde Nederlanden” mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, beberapa bulan setelah Jacatra sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan Batavia), Melchior Kerchem, Seorang berkebangsaan Belanda dari Sekretaris College Van Schepenen” di Jacatra, diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan Notaris pada waktu itu, oleh karena berbeda dengan pengangkatan para Notaris sekarang ini, didalam akta pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota Jacatra untuk kepentingan publik. Untuk menjalankan pekerjaannya itu sesuai dengan sumpah setia pengangkatannya dihadapan Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal dengan Departemen Gedung Keuangan-Lapangan Banteng). Pada tanggal 16 Juni 1625, dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para Notaris di Indonesia, yang berisi 10 pasal, diantaranya mengatur ketentuan bahwa para Notaris terlebih dahulu harus diuji dan diambil sumpahnya. Pada masa itu Notaris adalah pegawai dari Oost Ind. Compagnie. Tahun 1632 dikeluarkan plakkaat yang berisi ketentuan bahwa para Notaris, Sekretaris dan pejabat lainnya dilarang membuat akta-akta transport, jual beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari gubernur jenderal dan “Raden Van Indie”, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Jika didasarkan pada kenyataan, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kita pernah memiliki perundang-undangan di bidang Notariat, yakni Peraturan Jabatan Notaris(Notaris Reglement-Stbl.1860-3) yang merupakan pengganti dari ”Instructie Voor Notarissen in Indonesia” (Stbl.1822-11). Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum itu dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang, Notaris adalah pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapat perlindungan dan jaminan dan tercapainya kepastian hukum, demikian konsideran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Selain itu, UUD 1945 menentukan secara tegas Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Istilah Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah Konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Grondwet. Perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Undang-Undang, dan grond berarti tanah/dasar. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang-Undang Dasar) diatas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau grondwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam desertasinya menyebutkan Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia. Konstitusi suatu negara termuat di dalam Undang-Undang Dasar(Grondwet, fundamental law) dan berbagai aturan Konvensi. Bahkan Inggris tidak memiliki Undang-Undang Dasar. Konstitusinya terdiri dari beberapa prinsip dan aturan yang timbul dan berkembang selama berabad-abad sejarah bangsa dan negaranya. Para sarjana politik berpendapat bahwa harus dibedakan antara negara berkonstitusi dan negara yang mempunyai pemerintahan Konstitusional (constitution state, constitutional government). Negara yang mempunyai konstitusi (mempunyai Undang-Undang Dasar yang lengkap dan indah) belum tentu mempunyai pemerintahan yang konstitusional. Harun Al Rasid, menyatakan bahwa secara yuridis, UUD 1945 masih berlaku sementara, walaupun berlakunya UUD tersebut dengan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang kemudian disetujui oleh DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, appeal tersebut berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 sebagai tugas MPR untuk menetapkan UUD 1945. Dekrit presiden merupakan political decision yang sudah tidak bisa diubah lagi, dengan demikian persetujuan DPR terhadap dekrit tersebut sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai efek yuridis, karena DPR fungsinya membuat undang-undang. Menurut Yamin, harus jelas bagi rakyat apakah Undang-Undang Dasar akan menuju pada Republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu, Undang-Undang Dasar harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan Negara dan juga memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya, singkatnya kebebasan-kebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu, serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita. Menurut Kosasih Taruna Sepandji (2000:9) untuk memudahkan penyelenggaraan negara, sesuai yang terkandung dalam konstitusi, maka negara memiliki semacam lembaga-lembaga dan perangkatnya yang mengatur jalannya roda pemerintahan, sehingga tercapai apa yang menjadi cita-cita bersama. Pada pelaksanaannya, lembaga-lembaga kenegaraan dan atau pemerintahan, akan mengambil kaidah gerak normatifnya dengan mengacu pada konstitusi yang dianut. Pengambilan acuan ini sangat penting, karena bagaimana pun konstitusi merupakan landasan bagi pelaksanaan kerja suatu lembaga negara dan atau pemerintahan. Di Indonesia dan negara-negara lainnya, berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara diatur dalam konstitusi misalnya Indonesia. Pengaturan ini perlu untuk memberikan batasan kepadanya agar tidak terjadi kekacauan dan tumpang tindih bidang kerja. Dengan kata lain bentuk pemerintahan dan sistem kenegaraan yang berlaku akan sangat ditentukan oleh isi dari konstitusi tersebut, oleh karenanya pemahaman yang luas, menyeluruh dan holistik sangat diperlukan dalam mempelajari suatu konstitusi dan kelembagaan negara. Lembaga Kenotariatan secara implisit diatur didalam Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: ”Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.” Selain lembaga-lembaga negara yang sudah diatur secara eksplisit di dalam UUD 1945, seperti lembaga negara MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah Konstitusi), MA (Mahkamah Agung), KY (Komisi Yudisial), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), ada lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yakni antara lain, Lembaga Kenotariatan. Fungsi Notaris adalah sebagai pelayanan publik dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik yang sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Ketentuan Pasal 24 Ayat (3) tersebut menjadi dasar hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, juga keberadaan berbagai badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut, hal-hal mengenai badan-badan lain itu diatur dalam Undang-Undang. Notaris berwenang membuat alat bukti yang sempurna sebagaimana dinyatakan Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang lebih dikenal dengan sebutan BW (Burgerlijk Wetboek): ”Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya.” Alat bukti adalah salah satu kebutuhan di dalam upaya penegakan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan tulisan autentik atau tulisan dibawah tangan. Menurut ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata yang dimaksud sebagai tulisan dibawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Namun kedudukan akta dibawah tangan dapat berubah memiliki pembuktian sempurna seperti akta autentik jika isi dan kebenarannya diakui oleh para pihak sebagaimana ditentukan Pasal 1875 KUHperdata sebagai berikut: “Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siap tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut UU dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik.” Agar akta-akta dapat digolongkan sebagai akta autentik harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan Pasal 1868 KUHPerdata sebagai berikut: a. Bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang; b. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum; dan c. Ditempat berkuasa dimana pegawai umum tersebut. Akta Autentik memiliki 3 (aspek) pembuktian sebagai berikut: a. Aspek Pembuktian Formal maksudnya akta otentik dibuat bentuknya telah sesuai ketentuan UU dan dibuat oleh Pegawai-Pegawai Umum; b. Aspek Pembuktian Lahiriah Maksudnya akta otentik akan dapat membuktikan kebenaran dirinya sendiri, jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di Pengadilan; c. Aspek Pembuktian Materiil Maksudnya orang tidak dapat memungkiri sifatnya akta yang otentik tsb kecuali dapat sebaliknya. Begitu pentingnya peranan Notaris didalam melayani masyarakat terkait pembuatan akta-akta yang bersifat autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan, baik yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik. Dalam hal perjanjian yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, Peran Notaris dapat memberikan kepastian hukum bagi mereka yang membuat perjanjian, karena dipersamakan dengan Undang-Undang yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab sebagaimana ditentukan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” (Terjemahan: Subekti dan Tjitrosudibio). Agar suatu perjanjian memiliki daya ikat lebih kuat tidak dapat dimintakan kebatalan atau batal demi hukum dengan sendirinya, maka haruslah perjanjian itu memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHperdata sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; dan d. Oleh sebab yang halal. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia itu terlindungi, hukum harus dilaksanakan, pelaksanaan hukum berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum dalam hal ini hukum yang dilanggar tersebut harus ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Lawrence M. Friedman (1981), menyatakan penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum. Secara kelembagaan, institusi penegakan hukum adalah bagian dari sistem pemerintahan dalam makna luas (in ruimere zin), termasuk alat perlengkapan negara yustisiil, lazim dikenal dengan nama lembaga peradilan dibawah kekuasaan kehakiman (MA RI). Pendapat Lawrence M. Friedman tersebut, dalam makna luas dapat diartikan bahwa akta autentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dapat memberikan kontribusi nyata dalam penegakan hukum jika sewaktu-waktu dikemudian hari terjadi sengketa di pengadilan, hakim akan bersifat pasif dengan alat bantu berupa bukti akta autentik. Penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum (Lawrence M. Friedman, 1981). Tanpa penegakan hukum (formeel recht) maka kaidah-kaidah hukum materiil (meterieel recht) niscaya menjadi tumpukan kertas (een papieren) saja. Negara hukum yang didambakan bakal menjadi impian belaka. Pendapat Lawrence M. Friedman tersebut menggugah kita semua agar Indonesia yang berdasar atas hukum, pembuatan akta-akta autentik yang kewenangannya telah didelegasikan Negara kepada Notaris/PPAT dapat menjamin kepastian hukum di masyarakat, baik dari aspek hukum formil maupun materiil. Jika pembuatan akta-akta autentik tidak memenuhi aspek legalitas formil dan materiilnya, niscaya yang terjadi hanyalah tumpukan-tumpukan kertas sebagaimana digambarkan oleh Lawrence M. Friedman tersebut. Pada akhirnya, cita negara hukum sebagaimana didambakan konstitusi hanyalah teks redaksional yang bersifat semantik. Menurut Sudikno Mertokusumo, setiap peraturan perundang-undangan itu tidak semua jelas dan tidak pula lengkap, oleh karena itu harus ditemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan. Dalam konteks itu, dibutuhkan profesionalisme seorang Notaris/PPAT dalam melaksanakan tugas dan jabatannya harus bertindak teliti, hati-hati, dan cermat, meskipun demikian, tetap sewaktu-waktu akta yang dibuatnya ada kemungkinan terjadi konflik di pengadilan, meski sudah memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya. Menurut Van Apeldoorn, manakala orang awam ditanyakan tentang hukum maka ingatannya tertuju pada bangunan pengadilan, sosok-sosok hakim, advokat, juru sita dan polisi. Pendapat Van Apeldoorn tersebut menggambarkan betapa mulianya tugas profesi Notaris /PPAT sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam membuat akta-akta yang bersifat autentik yang dapat dijadikan sebagai alat pembuktian. Jika seorang Notaris/PPAT tidak cermat, teliti dan hati-hati dalam melaksanakan tugas dan jabatannya membuat akta-akta yang bersifat autentik, maka dampaknya akan terjadi ketidakpastian hukum di masyarakat luas. Pada akhirnya, peran Notaris/PPAT yang mendapat pendelegasian kewenangan dari Negara justru turut mendegradesi pemerintahan yang sudah memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Akta-akta autentik yang dilahirkan melalui proses yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dampaknya dapat dibatalkan atau dengan sendirinya batal demi hukum/dianggap tidak pernah ada (null and void). Oleh karena itu, betapa mulianya profesi seorang Notaris/PPAT di negeri ini, sebab akta yang dibuatnya, selain dapat memberikan jaminan kepastian hukum juga memberikan kontribusi kepada Negara berupa pajak BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang harus dibayar oleh pembeli tanah, dan Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada Penjual dalam hal peralihan hak atas tanah. Peran Notaris/PPAT dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik dapat memberikan jaminan kepastian hukum, sekaligus dapat mengantarkan lahirnya pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Pembentukan Mahkamah Agung dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara, ketatanegaraan dan kehidupan politik, dan tentunya dalam kontek penelitian ini konflik akta yang dibuat oleh Notaris/ PPAT yang berpotensi mendapat gugatan oleh masyarakat. Dengan tersedianya jalan pembentukan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, diharapkan konflik yang terkait dengan pembuatan akta-akta autentik oleh Notaris/PPAT tidak berkembang liar menjadi konflik horizontal tanpa penyelesaian yang obyektif, jelas, baku, transparan dan akuntabel. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, banyak faktor-faktor yang menyebabkan peranan Notaris/PPAT yang diangkat oleh negara, menjalankan fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat publik di bidang hukum perdata, tetapi berada diluar sistem pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan demikian dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Pemerintah belum memperhatikan pemberian honorarium/gaji bulanan dan uang pensiun, hal ini secara psikologis berdampak mengganggu peran dan fungsi Notaris/PPAT sebagai pelayanan publik; 2. Notaris/PPAT yang selama ini dipahami oleh masyarakat memiliki peran dan fungsi sama, sesungguhnya dalam praktek kewenangannya berbeda. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, sedangkan PPAT, secara limitatif kewenangannya hanya mengenai perbuatan hukum yang berobyek tanah. 3. Pengangkatan PPAT masih menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37/1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Semestinya, seseorang yang sudah diangkat menjadi Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dengan sendirinya merangkap menjadi PPAT, namun BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini, dengan dalih kewenangan Notaris dengan PPAT itu berbeda domainnya. Padahal kedudukan Undang-Undang itu lebih tinggi dibandingkan dengan PP, berlaku asas lex superior derogat legi inferior (Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi). 4. Anomali kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh negara menggunakan lambang negara, tetapi tidak termasuk sistem pemerintahan di Indonesia, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. 5. Sulitnya pemerintah memberikan izin praktek kepada Notaris di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, meski sudah memenuhi syarat masa kerja lebih dari tiga tahun. 6. Tingginya biaya peralihan hak (jual beli) yang dikenakan kepada pajak penjual dan pajak pembelian yang disebut BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) masing-masing sebesar 5% (lima persen) setelah BPHTB dikurangi NJOPTKP (Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak), masing-masing daerah NJOPTKP-nya berbeda-beda, ditambah biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya-biaya lain yang mengakibatkan masyarakat menganggap jasa Notaris/PPAT itu terlalu mahal. 7. Penerbitan Sertipikat baik dari kepemilikan girik atau dari kepemilikan akta jual beli biayanya terlalu mahal dan memerlukan proses yang cukup lama. 1.3. Pembatasan Masalah Setelah mencermati dengan saksama dan sungguh-sungguh ruang lingkup masalah sebagaimana telah diutarakan diatas, peneliti dapat merumuskan masalah-masalah yang dapat diformulasikan kedalam pembatasan masalah. Penelitian ini membedah fungsi Notaris/PPAT yang diangkat oleh negara sebagai pejabat umum untuk melayani masyarakat yang melaksanakan sebagian tugas dari negara di bidang hukum perdata dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik. Tetapi menariknya, meski Notaris diangkat oleh negara diberikan kewenangan menggunakan Lambang Negara, tetapi Notaris berada diluar sistem pemerintahan, Notaris tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan tidak dimasukkannya Notaris dalam sistem pemerintahan Indonesia, mengakibatkan pemerintah mengabaikan hak-hak konstitusional Notaris yang selayaknya mendapatkan honorarium/tunjangan atau gaji bahkan pensiun di hari tua. Sulitnya Pemerintah memberikan Izin praktek kepada Notaris di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, meski sudah memenuhi syarat masa kerja lebih dari tiga tahun. Selain itu tingginya biaya peralihan hak (jual beli) yang dikenakan kepada pajak penjual dan pajak pembelian yang disebut BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) masing-masing sebesar 5% (lima persen) setelah dari BPHTB dikurangi NJOPTKP (Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak), masing-masing daerah NJOPTKP-nya berbeda, ditambah biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya-biaya lain yang mengakibatkan masyarakat menganggap jasa Notaris/PPAT itu terlalu mahal. Hal lain, penerbitan sertipikat dari girik atau dari akta jual beli terlalu mahal dan memakan waktu terlalu lama. 1.4. Perumusan Masalah Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kedudukan Notaris diluar sistem pemerintahan Indonesia, tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif ? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pemerintah tidak memperhatikan gaji/tunjangan atau pensiun kepada Notaris/PPAT di hari tua? 3. Sejauhmana peranan pemerintah terhadap pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT? 4. Sejauhmana peranan Notaris/PPAT dalam memberikan pelayanan publik terkait dengan kepengurusan Sertipikat dan perijinan lainnya terkait dengan tindaklanjut pembuatan aktanya? 5. Sejauhmana peranan pemerintah tentang pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT sebagai pelayanan publik dalam sistem pemerintahan di Indonesia? 1.5. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.5.1. Maksud Penelitian Maksud penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kedudukan Notaris berada diluar sistem pemerintahan Indonesia tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal Notaris mendapat pendelegasian kewenangan dari negara diangkat oleh negara untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta-akta yang bersifat autentik yang sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Selain itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya diberikan kewenangan menggunakan Lambang Negara. 1.5.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan kedudukan Notaris diluar sistem pemerintahan Indonesia, tidak termasuk ruang lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif . 2. Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah tidak memperhatikan gaji/tunjangan atau pensiun kepada Notaris/PPAT di hari tua. 3. Peranan pemerintah terhadap pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT. 4. Peranan Notaris/PPAT dalam memberikan pelayanan publik terkait dengan kepengurusan Sertipikat dan perijinan lainnya terkait dengan tindaklanjut pembuatan aktanya. 5. Peranan pemerintah tentang pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT sebagai pelayanan publik dalam sistem pemerintahan di Indonesia. 1.6. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat, baik untuk kalangan akademisi, praktisi maupun ruang lingkup pemerintahan itu sendiri yang menjadi obyek materia dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Akademisi Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi bagi ilmu pengetahuan pada umumnya di bidang Kenotariatan yang keberadaannya menarik untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut mengenai lembaga kemasyarakatan yang bernama Notaris dikaitkan dengan teori-teori tentang sistem pemerintahan, kualitas pelayanan publik serta bagi pengembangan ilmu pemerintahan khususnya yang menyangkut pemberian pendelegasian kewenangan kepada Notaris/PPAT. 2. Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi para penentu kebijakan pengangkatan Notaris/PPAT, ditandai dengan bertambahnya wawasan pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu Kenotariatan dan ke-PPAT-an, mengenai konsep-konsep pendelegasian kewenangan, peran negara, sistem pemerintahan dan kualitas pelayanan publik. Penelitian ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah, sehingga pada akhirnya dapat memposisikan peran Notaris/PPAT dalam sistem pemerintahan di Indonesia dengan tepat. Notaris yang berada diluar sistem pemerintahan Indonesia, bukan termasuk eksekutif, legislatif dan yudikatif, satu sisi memang sudah tepat, agar Notaris senantiasa dalam menjalankan tugas dan jabatannya bertindak mandiri dan tidak memihak. Sisi lain, Peran Notaris sebagai pelayan publik yang diangkat oleh negara berdampak psikologis, karena tiadanya penghargaan pemerintah kepada Notaris dengan memberikan uang pensiun di hari tua. Kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris sudah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, agar Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya senantiasa taat dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga kode etik yang mengatur mengenai kaidah moral yang harus ditaati dan dihormati dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab sudah diatur di dalam kode etik Notaris. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pemerintahan 2.1.1. Ilmu Pemerintahan Menurut Ndraha (2003: 7), Ilmu pemerintahan dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein. Berdasarkan definisi itu dapat dikonstruksikan ruang lingkup ilmu pemerintahan sebagai berikut: -yang diperintah; -pemerintah; -tuntutan yang diperintah (jasa publik dan layanan sipil); -hubungan pemerintahan; -pemerintah yang bagaimana yang dianggap mampu menggunakan kewenangan, menunaikan kewajiban, dan memenuhi tanggungjawabnya. -bagaimana membentuk pemerintahan yang demikian itu; -bagaimana pemerintah menggunakan kewenangan, menunaikan kewajiban, dan memenuhi tanggungjawabnya; -bagaimana supaya kinerja pemerintahan sesuai dengan tuntutan yang diperintah dan perubahan zaman?. Sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait mengkait satu sama lain. Dengan melihat dan menganalisis sistem dapat diketahui berfungsi atau tidaknya. Rusaknya salah satu bagian dari sistem akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri. Pemerintahan pada semua tingkatan pada dasarnya adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, organisasi atau lembaga merupakan sistem yang dinamis yang senantiasa mengalami perubahan. Untuk menjaga kestabilan sistem dalam menghadapi perubahan diperlukan pemahaman terhadap kedudukan dan fungsi masing-masing sistem. Berkaitan dengan sistem, “sistem” pada sistem pemerintahan nasional perlu dipahami kedudukan dan fungsinya agar terjadi keharmonisan bangsa yang dinamis didasarkan pada asas saling percaya. Pemerintahan adalah bisnis kepercayaan, oleh karena itu perlu terus menerus dibangun rasa saling percaya antar komponen bangsa. Berkaitan dengan kepercayaan (trust), Fukuyama (2002) mengingatkan bahwa untuk membangun sebuah bangsa yang maju diperlukan kondisi saling percaya yang tinggi (high trust). Menurut Prajudi (1973:11), sistem adalah suatu jaringan daripada prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan atau fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan. Sistem-sistem dapat dibedakan menjadi: a. Sistem-sistem alamiah; b. Sistem-sistem buatan. Namun ada pula pembagian menjadi: 1. Sistem tertutup (sebuah sistem yang didalamnya tidak ada hubungan antara sistem tersebut dengan lingkungannya). 2. Sistem terbuka (sebuah sistem yang berhubungan dengan lingkungannya). Selain itu sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni tata jenjang dan fungsi. Menurut sudut pandang tata jenjang sistem bersifat hierarkis mulai dari suprasistem sampai sub-subsistem yang terkecil. Menurut Ryass (2000:28), ada tiga komponen besar yang menjadi bagian dalam menjalankan sebuah sistem pemerintahan yaitu: 1. Aturan main dari sistem pemerintahan tersebut, baik konstitusi yang terbentuk, penegakan hukum yang jelas, dan pola-pola pengembangan etika pemerintahan; 2. Lembaga-embaga yang menjalankan sistem pemerintahan yang berwenang melaksanakan aturan main yang berlaku; 3. Pelaku yang menjadi aktor utama dalam menjalankan sistem pemerintahan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kewenangan-kewenangan yang melekat pada lembaga-lembaga yang mewadahi. Suatu sistem pada tingkat pertama memerlukan aturan main tentang proses dan prosedur pengambilan keputusan yang disepakati. Sekali aturan main ditetapkan, semua pihak harus tunduk kepadanya, senang atau tidak senang. Inilah yang disebut sebuah sistem. Sebagai konsekuensi dari adanya aturan main yang disepakati, diterima, dan harus ditaati itu, diperlukan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas yang cukup untuk melaksanakan aturan main tadi, serta mengawasi perilaku dari pihak-pihak yang dirujuk oleh aturan itu untuk mematuhinya. Bicara tentang lembaga, pada umumnya orang sependapat bahwa organisasi atau lembaga merupakan sebuah sistem yang dinamis yang senantiasa mengalami perubahan dan sebagai sebuah reaksi atas lingkungan yang dengan cepatnya berubah sehingga berpengaruh secara langsung terhadap aturan main dan perubahan kultur dari para pelaku atau yang menjalankan sistem tersebut. Kembali ke organisasi atau lembaga yang dimaksud bahwa masalah yang dihadapi dalam sebuah sistem dipengaruhi oleh bagaimana caranya mengubah organisasi yang ada sekarang menjadi organisasi masa depan. Sistem yang baik dipengaruhi oleh organisasi yang baik. Sebuah organisasi yang baik harus memiliki pola adaptasi atau perubahan yang sangat cepat mengikuti perkembangan yang ada sehingga kalau perlu sebuah organisasi telah mendesaian diri menjadi organisasi yang lebih maju pada sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Menurut Soepomo dalam Adnan Buyung Nasution (2001:91), Hubungan antara Negara dan masyarakat betul-betul identik negara tidak dapat dilihat terlepas dari masyarakat dan masyarakat tidak dapat dilihat lepas dari Negara. Negara tidak lebih dari masyarakat yang ditata, dijaga ketertibannya, diperintah atau dikendalikan oleh negara. Negara benar-benar bersifat totaliter karena mencakup semua bidang dalam masyarakat tanpa pengecualian. Soepomo menjelaskan hubungan ini sebagai berikut: “Menurut pengertian negara” yang integralistik, sebagai bangsa yang teratur, sebagai persatuan rakyat yang tersusun, maka pada dasarnya tidak ada dualisme “staat dan individu”, tidak akan ada pertentangan antara susunan staat dan susunan hukum individu, tidak akan ada dualisme “staat und staatfreir Gesellchaft” (negara dan masyarakat bebas dari campur tangan negara). (Yamin, I, 1959:114). Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris berdasarkan Pasal 3 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 (duapuluh tujuh) tahun; d. Sehat Jasmani dan Rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e. Berijasah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (duapuluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Berdadasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, kewenangan Notaris sebagai berikut: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan Petetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewajiban Notaris diatur di dalam pasal 16 UUJN sebagai berikut: 1. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; 2. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol; 3. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta; 4. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; 5. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; 6. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; 7. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; 8. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut waktu urutan pembuatan akta setiap bulan; 9. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang Kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; 10. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; 11. mempunyai cap stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; 12. membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; 13. menerima magang calon Notaris. Sementara larangan Notaris diatur di dalam pasal 17 UUJN sebagai berikut: 1. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; 3. merangkap sebagai pegawai negeri; 4. merangkap jabatan sebagai pejabat Negara; 5. merangkap jabatan sebagai advokat; 6. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; 7. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; 8. menjadi Notaris Pengganti;atau 9. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Kode Etik Notaris adalah: ”seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut ”perkumpulan” berdasar keputusan Kongres perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para pejabat sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.” Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Tentang Peraturan Jabatan PPAT, Perbuatan Hukum PPAT sebagai berikut: a. Jual beli; b. Tukar-menukar; c. Hibah; d. Pemasukan kedalam Perusahaan (inbreng); e. Pembagian Hak bersama; f. Pemberian HGB atau HP diatas HM; g. Pemberian Hak Tanggungan; h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Menurut Natsir masih dalam Adnan Buyung Nasution (2001: 107), negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi. Natsir beranggapan bahwa negara merupakan lembaga, sebuah organisasi yang mempunyai tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum. Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga: Pendidikan, ekonomi, agama, politik, keluarga, perdagangan, dan sebagainya. Negara mencakup keseluruhan masyarakat dan semua lembaganya; Negara mempersatukan lembaga-lembaga ini didalam sistem hukum, mengatur bagian-bagian masyarakat yang berbeda-beda itu. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan dan hukumnya; tujuannya ialah untuk membimbing dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu Natsir menyimpulkan, penegasan Ibnu Chaldun benar bahwa arti negara dalam hubungannya dengan masyarakat seperti bentuk (aradh) dalam hubungannya dengan isi (jauhar). Kedua hal itu tak dapat dipisah-pisahkan. Karena itu negara seharusnya berakar dalam masyarakat, dan dasar negara seharusnya dianggap bukan sekedar sebagai falsafah negara tetapi juga sebagai falsafah kehidupan, sebuah falsafah yang dijalankan sehari-hari, yang akan membentuk manusia sebagai pribadi maupun secara kolektif (Risalah, 1975/V:359-360). Gejala dan peristiwa pemerintahan dikaji oleh sejumlah disiplin ilmu pengetahuan menjadi spesialisasi masing-masing, bergerak dari obyek forma Ilmu Pengetahuan. Ini yang dinamakan pendekatan lintas (trans) disiplin. Misalnya, tatkala Sosiologi mempelajari gejala pemerintahan, lahirlah subdisiplin Sosiologi yang baru, yaitu sosiologi pemerintahan, sejajar dengan spesialisasi-spesialisasi sosiologi yang lain seperti sosiologi politik, sosiologi bahasa, sosiologi industri, sosiologi hukum, dan sebagainya. Oleh ilmu pemerintahan, sosiologi pemerintahan bisa juga diklaim sebagai subdisiplin ilmu pemerintahan, bergantung pada siapa produsernya. Dilihat dari sudut epistemologi, pendekatan lintas disiplin itu amat penting. Studi yang mempergunakan pendekatan ini bisa menghasilkan disiplin baru, minimal kajian baru, hybridized discipline. Memang selain terra incognita, daerah perbatasan dan kawasan lintasan ilmu-ilmu merupakan sasaran imajinasi dan obsesi para pemburu ilmu pengetahuan (researcher), berupa situs misterius yang menantang untuk di eksplorasi. Pada gilirannya, hibrida-hibrida itu berkembang dan melepaskan diri dari bayang-bayang induknya, untuk kemudian menjadi disiplin baru. Pada saat itu, Ilmu Pemerintahan berkembang membentuk sebuah masyarakat Ilmu-Ilmu Pemerintahan (bestuurswtenschappen). Gejala sosial, manusia adalah makhluk sosial. Ia adalah pelaku proses sosial. Proses sosial meliputi proses assosiatif (dekat mendekati) dan proses dissosiatif (jauh menjauhi). Dilihat dari sudut pelaku, mendekati yang satu dapat berarti menjauhi yang lain. Proses sosial merupakan rangkaian, keadaan, atau peristiwa. Kejadian, keadaan atau peristiwa tersebut dapat diamati melalui kenampakannya(appearance). Yang tampak dan dapat diamati pada atau dialami melalui, sesuatu hal (kejadian, keadaan, peristiwa) disebut gejala atau fenomena (tunggal phenomenan, jamak phenomena). Hal-hal yang dapat menggejala dapat dibedakan dengan hal-hal lain yang merupakan thing-in-itself atau ding-an-sich. Sudah barang tentu, gejala yang berulang-ulang atau terdapat dimana-mana (universal) itulah yang dapat diamati secara leluasa, gejala yang sekali lalu, tidak. Dengan demikian, gejala sosial adalah bidang kajian yang maha luas. Ia menjadi sasaran kajian (obyek ilmu-ilmu) humaniora. Gejala pemerintahan adalah gejala sosial khusus (spesifik). Identifikasi gejala pemerintahan berawal dari definisi pemerintahan dan ilmu pemerintahan. Pemerintahan adalah proses pemenuhan (penyediaan) kebutuhan pihak yang diperintah akan jasa publik yang tidak di privatisasikan dan layanan civil kepada setiap orang pada saat diperlukan. Jadi pemerintahan selalu menyangkut kedua belah pihak, pemerintah (dengan kekuasaannya) dengan yang diperintah (dengan tuntutannya). Lembaga yang didesain khusus yang berkewajiban memenuhi kebutuhan yang dimaksud disebut pemerintah (unit kerja publik). Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari semua aspek pemenuhan kebutuhan itu dalam hubungan pemerintahan. Pemenuhan kebutuhan itu terlihat melalui berbagai kegiatan, peristiwa, kejadian, atau keadaaan. Hal-hal yang dapat diamati dan dialami berkaitan dengan kegiatan, kejadian, peristiwa, dan keadaan yang dimaksud, dianggap sebagai gejala pemerintahan. Gejala pemerintahan itulah yang menjadi sasaran kajian atau obyek penelitian ilmu pemerintahan. Gejala dan peristiwa pemerintahan menurut Von Bertalanffy di dalam Sadu Wasistiono (2013: 1), baik sebagai ilmu (knowledge) maupun sebagai kemahiran (know-how) dewasa ini semakin banyak diminati orang untuk dipelajari dan didalami baik di Indonesia maupun di mancanegara. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya literatur yang secara khusus membahas pemerintahan, yang terlepas dari bayang-bayang kajian politik ataupun administrasi publik. Dari berbagai literatur tentang pemerintahan yang ada diperoleh pemahaman bahwa pemerintahan adalah sebagai sebuah sistem yang dinamis. Dilihat arah sistem sebagaimana dikemukakan oleh Bertalanffy, pemerintahan dapat dikategorikan ke dalam socio cultural system. Sebagai sebuah sistem dinamis, pemerintahan selain dianalis komponen-komponen pembentuk sistemnya, perlu pula dipelajari interaksinya dengan lingkungan (environment) baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternalnya. Dinamika yang terjadi dalam sistem pemerintahan justru seringkali malah disebabkan karena adanya interaksi dengan lingkungannya. Apalagi dalam era teknologi komunikasi dan informatika seperti sekarang ini, telah menyebabkan perubahan lingkungan terjadi dengan sangat cepat dan sulit diprediksi. Penerapan ilmu pemerintahan bagi pembangunan di Indonesia, adalah merupakan fungsi sosial dari ilmu pemerintahan, mengembangkan ilmu pemerintahan melalui prioritas penelitian dan pengembangan, hendaknya dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat, penetrasi global telah menyentuh tanpa mengenal marjin masuk mempengaruhi dinamika kehidupan manusia dan alam. Dalam mempelajari ilmu pemerintahan perlu dipertahankan Epistemologi, yaitu bagaimana cara kita mendapat pengetahuan. Selanjutnya hakekat apa yang dikaji (Ontologi), dan aksiologi yaitu nilai kegunaan ilmu yang dipelajari. Manusia sebagai Homo Sapiens diberikan kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk membuat rencana, melaksanakan dan proses lainnya, dengan mempergunakan alat itu karena adanya kemampuan dari pengetahuan yang dimilikinya. Penguasaan sarana berpikir ilmiah merupakan suatu hal bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan, tanpa penguasaan hal tersebut maka kegiatan ilmiah yang baik tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik. Berpikir ilmiah dalam proses pendidikan merupakan bidang studi tersendiri yang berarti kalau kita mempelajari pemerintahan sebagai salah satu cabang ilmu sosial, dalam hal ini kita perlu meperhatikan dua hal sebagai berikut: 1) Sarana ilmiah yang merupakan bukan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Sebagaimana kita ketahui karakteristik ilmu adalah antara lain penggunaan berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. 2) Tujuan mempelajari sarana ilmiah yaitu untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk memecahkan masalah, terutama ilmu pemerintahan untuk memecahkan masalah-masalah praktek dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ilmu pemerintahan pada awalnya membangun dan berkembang sebagai ilmu, melalui perkembangan yang mempergunakan hasil studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial, secara bertahap ilmu pemerintahan menyusun landasan sendiri, cara pendekatan sendiri, dan metodologi tersendiri dalam meneliti dan menghayati aktivitas pemerintahan, atau gejala-gejala proses kegiatan pemerintah. Menurut Max Weber (1921) ada tiga jenis kewenangan yakni: a. Tradisional; b. Kharismatik; c. Rasional. Kewenangan tradisional tercipta karena adanya tradisi-tradisi tertentu yang dipelihara sehingga seseorang atau suatu lembaga secara tradisional diberi kekuasaan yang sah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kewenangan tradisional banyak ditemui pada sistem sosial yang masih sederhana atau lembaga-lembaga yang dibangun sejak jaman dahulu. Kewenangan kharismatik terbentuk karena adanya seseorang yang memiliki keunggulan, baik fisik, kecerdasan, psikis, maupun metapsikis kemudian memperoleh pengakuan dari orang lain. Kewenangan rasional terbentuk karena adanya dasar hukum yang mengaturnya. Dikalangan pemerintahan yang digunakan adalah kewenangan rasional. Seorang pejabat melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan publik karena yang bersangkutan diberi mandat oleh peraturan perundang-undangan. 1. Pemberian pelayanan disini dimaksudkan bahwa pemerintah sebagai public servant yang tugas utamanya memberi pelayanan kepada rakyatnya. Terlebih lagi pada negara demokrasi berkedaulatan rakyat dimana kedaulatan memang berada ditangan rakyat. Jenis-jenis pelayanan yang diberikan pemerintah meliputi: a. Pelayanan pertahanan, yakni mencegah serangan dari luar maupun dari dalam yang dapat mengancam eksistensi negara; b. Pelayanan hubungan dengan lain negara dan dunia internasional; c. Pelayanan keamanan dan ketertiban; d. Pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, fasilitas umum dan sebagainya; e. Pelayanan pemenuhan kebutuhan pengembangan sesuai potensi masyarakat; f. Pelayanan administrasi berupa ijin, surat keterangan, dokumen-dokumen dari negara seperti paspor dan sebagainya; g. Pelayanan residual sesuai kebutuhan masyarakat secara spesifik. Prinsipnya tidak boleh ada kekosongan pelayanan publik. Adapun ciri khas dari ilmu pemerintahan yang dapat diproses penilaiannya secara terus-menerus yaitu: 1. Berkaitan dengan kekuasaan yang sah (kewenangan); 2. Melingkupi kepentingan orang banyak/masyarakat luas; 3. Berkaitan dengan pemberian pelayanan pada masyarakat luas; 4. Syarat dengan nilai-nilai. 5. Dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah empirik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1 . Desain Penelitian Denzin dan Lincoln (1994:2) dalam Emzir mengemukakan definisi penelitian kualitatif sebagai berikut: Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study in their natural setting, attempting to make sense of or interpret phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of variety of empirical materials-case stydy, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts-that describe routine and problematic moment and meaning in individuals’ lives. Definisi ini menyarankan suatu pendekatan a priori yang didasarkan pada asumsi filosofis (pendekatan naturalistis interpretatif) pada penelitian kualitatif dan sumber-sumber informasi jamak dan pendekatan naratif yang tersedia bagi peneliti. Sementara itu Crewell mengemukakan masih dalam Emzir (2010:1) mendefinisikan penelitian kualitatif yang kurang bertumpu pada sumber-sumber informasi, tetapi membawa ide-ide yang sama: Qualitative research is an inquiry process of undersanding based on distinct methodological traditions of inguiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting. Creswell menekankan suatu gambaran yang “kompleks dan holistik”, suatu rujukan pada naratif yang kompleks yang mengajak pembaca kedalam dimensi jamak dari sebuah masalah atau isu dan menyajikannya dalam semua kompleksitasnya. Sementara itu menurut Lodico, Spaulding, dan Voegtle masih dalam Emzir (2010:2), penelitian kualitatif, yang juga disebut penelitian interpretatif atau penelitian lapangan adalah suatu metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan anthropologi dan diadaptasi ke dalam seting pendidikan. Peneliti kualitatif menggunakan metode penalaran induktif dan sangat percaya bahwa terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan. Penelitian kualitatif berfokus pada fenomena sosial dan pada pemberian suara pada perasaan dan persepsi dari partisipan dibawah studi. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa pengetahuan dihasilkan dari seting sosial dan bahwa pemahaman pengetahuan sosial adalah suatu proeses ilmiah yang sah (legitimate). Desain Penelitian atau Rancang Bangun Penelitian, adalah rencana dan struktur penyelidikan yang disusun demikian rupa sehingga peneliti akan memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. Rencana itu merupakan skema menyeluruh yang mencakup program penelitian. Disini terangkum paparan mengenai hal-hal yang akan dilakukan oleh peneliti mulai dari penulisan hipotesis dan implikasi operasional hipotesis tersebut, sampai pada analisa terhadap data. Adapun struktur penelitian lebih sulit dijelaskan, karena “struktur” menjadi konsep yang semakin penting jika kita melanjutkan kajian, marilah kita berhenti sejenak untuk mengupayakan suatu definisi dan penjelasan singkat. Suatu struktur adalah kerangka, pengaturan, atau konfigurasi unsur-unsur struktur itu yang terhubungkan dengan cara-cara jelas serta tertentu. Cara terbaik untuk menyatakan struktur ialah menuliskan persamaan matematik yang merelasikan bagian-bagian struktur tersebut antara satu dengan lainnya. Persamaan matematik seperti itu, karena term-termnya didefinisikan dan dihubungkan secara spesifik oleh persamaan itu, atau sehimpun persamaan, tidaklah bersifat taksa (ambigu). Pendek kata struktur adalah paradigma atau model relasi-relasi antara variabel-variabel dalam suatu kajian. Suatu desain penelitian mengungkapkan struktur masalah penelitian maupun rencana penyelidikan yang digunakan untuk mendapatkan petunjuk empirik mengenai relasi dalam masalah tersebut. Kegunaan desain penelitian mempunyai dua maksud atau kegunaan mendasar: (1) Menyediakan jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (2) Mengontrol atau mengendalikan varian. Desain membantu peneliti mendapatkan jawab untuk pertanyaan penelitian dan juga membantu peneliti mengontrol varian-varian eksperimental, varian ekstra, dan varian galat pada suatu masalah penelitian tertentu yang sedang dikaji. Karena seluruh kegiatan penelitian boleh dikata mempunyai maksud dan tujuan menyediakan jawab untuk pertanyaan penelitian, kita dapat melewatkan saja kegunaan ini dan dapat menyebut-nyebutnya dalam pembicaraan. Maka dapatlah kita katakan sekarang bahwa desain penelitian mempunyai maksud dan kegunaan besar, yaitu: mengontrol varian. Akan tetapi, penyempitan seperti ini dapat pula berbahaya. Desain penelitian dibuat untuk menjadikan peneliti mampu menjawab pertanyaan penelitian dengan sevalid, seobyektif, setepat, dan sehemat mungkin. Desain penelitian disusun dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan agar dapat menghasilkan petunjuk empirik yang kuat relevansinya dengan masalah penelitian ( Kerlinger, 2006: 483-485). DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003. Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966. Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987. Garna, Judistira. Pemikiran Modern dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Primaco Akademika, 1997. Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968. Kusumaatmadja Mochtar dan Ett R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003. Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993. Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001. Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989. Soemantri Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1982. Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993. Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Tobing, G.H.S Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga, 1983. Panduan Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. Panduan Sosialisasi Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬___________. Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris. UU No. 30, LN No. 117 Tahun 2004, TLN No.4432. ___________. Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi. UU No. 24, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No.4316. ___________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389. ___________. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No.39, LN No. No. 3886. ____________. Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial. UU No.22, LN No. 89 Tahun 2004, TLN No. 4415. ____________. Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU No.8 LN No. 44 Tahun 1985, TLN No. 3298. ____________. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 35. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. ____________. Undang-Undang Tentang Bank Indonesia. UU No.3, LN No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357. C. KEPUTUSAN MPR RI Indonesia. Keputusan MPR RI No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002 Lembaran Lepas 2002. D. PERATURAN PEMERINTAH Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Penggunaan Lambang Negara, PP No. 43 Tahun 1958 LN No.71 Tahun 1958, TLN 1636. E. PERATURAN MENTERI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia no. M.02.PR.08.10 Tahun 2002. F. KEPUTUSAN MENTERI Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Pembinaan Notaris. Kepmen Kehakiman Republik Indonesia no. M.04- HT.03.10 Tahun 1998. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Kenotarisan. Kepmen Kehakiman Republik Indonesia no. HT.01.HT.03.10 Tahun 2003. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Formasi Notaris di Seluruh Indonesia. No. M. 01-HT.HT.03.01 Tahun 2004. G. SURAT EDARAN Surat dari Presiden Union Internacional Del Notariado Latino(UINL), yang dikirimkan kepada Harun Kamil, S.H. selaku Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 4 September 2002, tentang keharusan adanya satu wadah tunggal organisasi profesi Notaris, di Negara yang berbentuk Kesatuan. Rome: 2002. H. KEPUTUSAN KONGRES INI Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Ikatan Notaris Indonesia (INI). Jakarta: 2005, Sekretariat PP-INI. Kode Etik Notaris Indonesia. Jakarta: 2005, Sekretariat PP-INI. Keputusan Kongres Luar Biasa INI tentang Penyesuaian Anggaran Dasar INI Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Januari di Bandung 2005, Jakarta: Sekretariat PP-INI,2005. Keputusan Kongres Ke-XIX INI di Jakarta tanggal 27-28 Januari 2006, Jakarta: Sekretariat PP-INI,2006. I. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 2 Desember 2005 tentang Perkara Hak Uji Materiil antara HNI, PERNORI dan ANI melawan Pemerintah c.q Menkeh dan HAM RI c.q. Dirjen AHU Jakarta: 2005.

Selasa, 08 September 2015

Konstitusionalitas Pilkada





Oleh WARSITO       
                 Dosen   Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta                                 
  Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta



          Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Gerakan reformasi menuntut antara lain, amandemen UUD 1945 untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, selengkapnya sebagai berikut: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); mewujudkan kebebasan pers; mewujudkan kehidupan demokrasi.
            Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita, pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi menjadikan Indonesia pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005.
            Dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman melaksanakan Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Pilkada dipilih secara demokratis ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang MPR tahun 2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam  pelaksanaannya menjadi masalah.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menentukan demikian. Hal ini, dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU. No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang digawangi oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menyatakan bahwa, untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146) bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara, membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat.  Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh konstitusi. Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang lepas dari NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan: Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
            Tepat apa yang dikatakan oleh Ndraha, bahwa ilmu pemerintahan dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
            Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
           
Otonomi Daerah
            Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota  dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Tujuan Negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945  untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah.
Haluan Negara yang Hilang
            Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
 TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN sekarang  sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan  jelas mengenai  keberlangsungan pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).
 TAP MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy). Dalam konsideran Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4)  UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
 Penegasan mekanisme Pilkada penting dilakukan, agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi sesuai: selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya.  Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk memperoleh kekuasaan.
            Akibat perseteruan kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya roda pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh  pemerintahan daerah yang akan memilih calon pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
            Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang meliputi meliputi: kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan;  tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
            Kesimpulan, bentrokan antarpendukung (konflik horizontal) maupun konflik vertikal  ketika pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun, Pilkada oleh rakyat secara langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat, dan akuntabilitas yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu mewakili aspirasi rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD 1945, kelak MPR tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances), tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis termasuk didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera kelompok, golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran terhadap substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR tidak melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan ketidakpastian hukum di negeri ini.
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan  melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan sedikit pun  oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan daerah.
                Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
            Meski, Pilkada secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung, dan berbiaya tinggi, bagaimana pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal. Pilkada oleh rakyat secara langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi. Amandemen UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak terbatas menata ulang sistem ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances). Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis itu secara langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Amandemen pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai lembaga Negara perwakilan daerah (regional representation).


HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19