Selasa, 05 Juli 2016

Menyoal Masa Jabatan Presiden




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
                                         -Mantan PNS MPR Bagian Persidangan Majelis 1997-2008


          Masa jabatan presiden telah dikatup oleh konstitusi maksimal dua kali masa jabatan. Konstitusi tidak peduli, apakah presiden berprestasi besar untuk rakyat atau justru kinerjanya memble. Pokoknya, masa jabatannya sudah di vonis  dua periode maksimal 2 kali masa jabatan. Galibnya, setiap presiden cenderung masygul, ketika masa jabatannya mendekati detik-detik akhir. Adilkah pembatasan masa jabatan presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung?.
Image result for gambar pemilihan umum
Tumbangnya Soeharto dari jabatan presiden secara heroik  melalui gerakan reformasi pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998, pukul 9.05 WIB, mengantarkan rakyat Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan  berdemokrasi.
Salahsatu hasil reformasi itu ialah reformasi konstitusi, yakni, menyempurnakan aturan dasar ketatanegaraan Indonesia. Hasil reformasi konstitusi selain menata ulang lembaga-lembaga negara agar berjalan saling mengimbangi dan mengontrol (cheks and balances), juga berhasil mengukuhkan kedaulatan ditangan rakyat, dengan meluruhkan pemilihan presiden oleh MPR, menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Hingar bingar pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, disambut antusiasme pesta kemenangan demokrasi di tanah air. Sebelumnya, mekanisme pemilihan  presiden dikooptasi oleh MPR, dipandang tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Sejarah besar telah ditorehkan bangsa Indonesia, bahkan dunia pun mengelu-elukan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga demokrasi di dunia. Puncaknya, kemenangan pesta demokrasi Indonesia itu ditandai keberlangsungan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum pada Tahun 2004, menuju demokrasi dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.

Masa Jabatan Presiden Tidak Relevan
Terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dibatasi konstitusi maksimal dua kali masa jabatan, selain mengacaukan konstitusi, pembatasan masa jabatan itu, tidak sejalan dengan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Berbeda, ketika presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, justru pembatasan masa jabatan presiden itu relevan dan mutlak diperlukan, hal lain, agar tidak terjadi a buse of power. Tersebab, anggota MPR yang jumlahnya cuma  ratusan, berpotensi digiring menuju bilik kamar hotel untuk memilih presiden, yang sesungguhnya belum tentu  mencerminkan aspirasi rakyat.
 Secara normatif, konstitusi sebagai panduan bernegara tidak boleh mengurung apalagi membatasi masa jabatan presiden untuk mencalonkan periode berikutnya, ketika presiden dipilih oleh rakyat secara langsung. Biarkan rakyat sendiri  yang akan menghukumnya tidak memilih lagi, jika presiden memiliki track record  buruk. Pertanyaan yang menghujam, bagaimana jika presiden masih dikehendaki oleh rakyat, sementara konstitusi memagarinya?. Pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan, selain tidak cocok dengan pemilihan langsung oleh rakyat, justru dapat membahayakan penurunan kinerja sang presiden. Jangan biarkan Presiden kena  depresi akibat tidak dapat mencalonkan kembali. Hal ini berdampak mengancam kesinambungan pembangunan nasional, baik pembangunan fisik maupun pembangunan jiwa. Pembatasan masa jabatan presiden ini selayaknya ditinjau ulang, dengan cara amendemen konstitusi.
 Ini artinya, sepintar, dan sehebat apa pun  presiden, konstitusi telah mengatup hak warga negara untuk mencalonkan kembali menjadi presiden.  Dari perspektif konstitusi, pernyataan jatuh tempo masa jabatan presiden bukan isu penting untuk ditanggapi apalagi dikomentari. Sebab, UUD 1945 memang sudah membatasinya. Kecuali, SBY pada waktu itu masih berambisi menjadi presiden dengan mengutak-atik konstitusi untuk di amendemen melalui kepanjangan partainya dan koalisinya di parlemen.
        Namun, meski jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibatasi oleh konstitusi maksimal dua kali masa jabatan, bukan berarti  pengabdian kepada negara berakhir. Tengoklah, mantan Wapres Jusuf Kalla, begitu lengser dari jabatannya, justru beliau aktif di Palang Merah Indonesia dan aktif di kegiatan-kegiatan sosial lainnya, yang tidak kalah penting dari jabatan formal kenegaraan lainnya untuk pengabdian  kepada rakyat, negara-bangsa dan sekarang terpilih kembali mendampingi Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Presiden periode 2014-2019.
          SBY pernah membuat pernyataan menyangkut 2014. Ia, bertekad untuk tidak melibatkan diri dan keluarganya dalam perebutan kursi presiden di Pemilihan Presiden 2014.
Penegasan itu disampaikan Yudhoyono saat berpidato pada Presidential Lecture Indonesian Young Leaders yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dan Fakultas Ekonomi UI di Jakarta. Menurut Yudhoyono, tahun 2014 adalah waktu bagi dirinya untuk lengser karena sudah jatuh tempo.
Marilah memerhatikan dengan saksama masa jabatan presiden sebelum amendemen UUD 1945: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama  masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali (Pasal 7 UUD 1945). Presiden yang diangkat oleh MPR bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden sebagai mandataris MPR.
Sekarang bandingkan konstitusi hasil amendemen:“Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama  lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembal dalam jabatan yang sama,  hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945).
Perhatikan dengan teliti Pasal 6A UUD 1945: “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
Ketika pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, justru konstitusi membatasi masa jabatan presiden. Berkorelasi kah?.

Kembalikan Rumusan Konstitusi Semula
Kesimpulannya, rumusan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden itu tidak  tepat, cermat, teliti dan hati-hati. Pembatasan masa jabatan presiden oleh konstitusi, justru terjadi kontradiktif interminis antara Pasal 7 dengan Pasal 6A UUD 1945 tentang pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat. MPR tidak boleh indolen melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan UUD 1945. Pembatasan masa jabatan presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung sudah selayaknya dikembalikan kepada rumusan semula yang menyatakan: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali (Pasal 7 UUD 1945).
Dengan tidak dibatasinya masa jabatan presiden dan wakil presiden, akan konkordan/sejalan atau (nyambung) dengan pemilihan presiden oleh rakyat secara langsung.


Sabtu, 02 Juli 2016

Guru Menjewer Muridnya atau Cubitan Kecil Bersifat Mendidik Tidak Dapat Dikatakan Kekerasan.


 
Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum  Universitas Satyagama, Jakarta;
              Pemerhati dunia pendidikan

                Sebagai seorang dosen yang memiliki profesi  sama dengan guru yang bertugas untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan,  teknologi, seni dan budaya kepada anak didik, saya merasa berduka, simpati, dan empati ketika mendengar khabar ada guru di Sidoarjo yang dilaporkan polisi karena cuma sekedar mencubit siswanya yang membandal. Apalagi akhirnya terkuak murid itu kelakuannya tidak baik, masih kecil saja sudah merokok, bagaimaan kalau besar nanti?.
 
 
CUBITAN KECIL DAN MENJEWER UNTUK MENDIDIK BUKAN KEKERASAN

 
         Apa yang dilakukan guru untuk menjewer muridnya atau cubitan kecil kasih sayang sepanjang bersifat mendidik tidak dapat dikatakan Kekerasan. Sebagai dosen dan guru, tentu kami paham betul bahwa tindakan kekerasan fisik terhadap murid adalah bentuk tindakan kriminal, tetapi kalau sekedar menjewer atau mencubit untuk mengingatkan muridnya yang membandal tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan. Menurut saya itu dalam batas kewajaran, seharusnya itu dimaknai sebagai cubitan sayang kepada muridnya agar kelak menjadi orang  yang baik dan berguna untuk nusa dan bangsa serta agama. Jangan mentang-mentang bapaknya tentara terus sedikit-sedikit melaporkan guru di  kepolisian, ini adalah negara hukum.  Dapat dipastikan orang tua murid model ini pasti akan mendapatkan hujatan dari nitizen dan  profesi sesama  guru yang tidak rela rekannya bakalan dikriminalisasi.
 
          Era reformasi sekarang berbeda jamannya dengan orde baru, dimana tahun 80 an murid yang disuruh maju di depan kelas  tidak bisa mengerjakan tugas, bukan cuma cubitan atau jeweran, sabetan penggaris atau tamparan dari guru itu sudah hal biasa diterima. Tapi sekarang guru dan dosen tidak boleh mengajar dengan main kayu selain sudah ada UU Perlindungan Anak, juga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Kini saya sebagai pendidik (dosen), memang melihat saat ini sudah bukan jamannya lagi main kekerasan fisik kepada mahasiswa, suatu ketika pernah ada mahasiswa yang membandal jarang masuk kuliah, giliran masuk kuliah bikin keonaran di kelas saya menggertak dan membentak mahasiswa itu, dikiranya mentang-mentang kuliah di swasta mudah lulusnya sehingga menggampangkan, seolah segala sesuatunya bisa dibeli dengan uang. Menghadapi mahasiswa yang seperti ini saya tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas apalagi moral dan etikanya sudah bejat.
          Jadi jangan salahkan guru jika hanya sekedar mencubit anak-anak kita yang bandal di sekolah.

Jumat, 01 Juli 2016

HUKUM WARIS MANAKAH YANG BERLAKU?


                             

Oleh  Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,
         Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
                          Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata
                          JABATAN FUNGSIONAL: LEKTOR 



Pluralisme hukum kewarisan di Indonesia ada 3 (tiga) macam hukum yang berlaku di negara kita, yang pertama, hukum kewarisan islam, hukum  kewarisan adat dan hukum kewarisan perdata. Masing-masing  orang tunduk pada hukumnya masing-masing. 
Bagi umat muslim wajib menundukkan diri dengan kewarisan islam sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 11, 12 dan 176. Sejak terbitnya UU. No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama juga mewajibkan bagi umat muslim menundukkan diri  dengan hukum kewarisan islam.
Sementara hukum kewarisan perdata berlaku bagi golongan Tionghoa dan eropa (keturunan), namun mengacu ayat-ayat Al-Qur’an  dan hukum positip yang mewasiatkan umat muslim tunduk pada kewarisn islam, maka sekali pun bagi golongan tionghoa dan keturunan eropa jika beragama muslim wajib taat pada hukum kewarisan islam. Berbeda dengan hukum adat, masing-nasing di setiap daerah berlaku secara partikulatif, misalnya di daerah sumatera-utara mewaris berdasarkan patrilineal (dari garis ayah), sementara di Minangkabau mewaris dari garis matrilineal (garis ibu).
Ada sedikit perbedaan antara hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata, jika kewarisan perdata bagian suami/istri dan anak-anak sama besar tidak memperdulikan apakah dilahirkan dari lain-lain perkawinan (pasal 852 KUHPerdata), pun tidak memperdulikan apakah anak laki-laki atau anak perempuan bagiannya sama, satu berbanding satu. Sementara hukum kewarisan islam anak laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan anak perempuan (QS: 4: 11a), meminjam istilah mewaris di jawa sepikul  segendongan, sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Perbedaan hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam juga terletak pada keterangan mewaris yang dikeluarkan, jika golongan tionghoa keterangan mewaris dikeluarkan oleh Notaris, sementara bagi penduduk pribumi (seharusnya terbitnya UU kewarganegaraan mengakhiri istilah pribumi dan non pribumi), keterangan waris dikeluarkan oleh kelurahan diketahui oleh camat. Satu lagi perbedaan antara hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam, jika konflik kewarisan perdata maka domisili hukumnya di pengadilan negeri, sementara konflik kewarisan islam domisili hukumnya diselesaikan di pengadilan agama. Persamaan antara hukum kewarisan perdata dengan hukum kewarisan islam keduanya sama-sama menganut sistem bilateral dapat mewaris dari bapak maupun dari ibunya.
ANOMALI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA
Meski negara Indonesia  mayoritas penduduknya muslim tetapi terjadi penyimpangan dalam hal pembagian kewarisan. Al-Qur'an sudah mewajibkan bagi umat muslim untuk melaksanakan wasiat kewarisan islam, namun kebanyakan muslim lebih memilih pembagian kewarisan secara perdata yang dianggapnya lebih adil samarata bagiannya dibandingkan  hukum kewarisan islam anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Secara filosofi hukum kewarisan perdata buatan manusia tidaklah akan lengkap apalagi mencapai ke tingkat kesempurnaan jika dibandingkan dalil naqli buatan Allah SWT tentunya hukum yang mengatur kewarisan islam jauh lebih unggul dan sempurna karena yang menciptakan adalah dzat yang maha kuasa yang mengetahui segala-galanya. Secara filosofi dan dalam batas penalaran logis, siapa yang memiliki tanggungjawab lebih besar, maka konsekuensi logisnya dialah yang akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki jelas memikul tanggungjawab lebih besar daripada anak  perempuan, dimana wajib memberikan nafkah lahir dan bathin kepada keluarga sementara anak perempuan tidak. Contoh terang benderang, bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan, APRIELA PETERPANIK 60 juta, sedangkan bagiannya TJIUT MENARI 30 Juta. Karena mau kawin APRIELA PETERPANIK harus memberikan mahar dan nafkah kepada istri maka uang 60 jutanya semakin berkurang bahkan bisa habis, sementara TJIUT MENARI akan mendapatkan tambahan terus dari suaminya. Disinilah letaknya, justru kewarisan islam itu mengangkat derajat bagi seorang wanita, tetapi kebanyakan dari masyarakat belum memahami bagian perempuan separoh dari laki-laki dianggapnya sebagai pembagian yang tidak adil, padahal secara filosofi tidak demikian.
Bagaimana jika hukum Kewarisan saling berbenturan?
Para ahli waris dapat bersepakat mengadakan perdamaian dalam pembagian warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI/Kompilasi Hukum Islam). Setelah ditempuh dengan jalan musyawarah tidak mencapai kata sepakat, masing-masing dapat melakukan gugatan kewarisan di pengadilan, bagi muslim di pengadilan agama, sedangkan bagi yang menundukkan diri hukum kewarisan perdata penyelesaiannya di pengadilan negeri.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19