Selasa, 09 Februari 2016

Akankah Reformasi Jilid II Terjadi?.

Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,                                                                Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta                                                   Tim Perumus Tata Naskah DPD RI Tahun 2007                                                                                 Juara I Lomba Pidato Tingkat MPR-DPR Tahun 2003


Dengan terdepreasinya nilai tukar rupiah hingga menyentuh level Rp. 14.145 per dolar, adakah alasan gerakan reformasi tahun 1998 berulang kembali?  
Situasi 1998 Berbeda Dengan Sekarang
Meski nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar, gerakan reformasi jilid II untuk menumbangkan presiden pilihan rakyat hampir mustahil bisa dilakukan. Sebab, kondisi reformasi tahun 1998 sangat berbeda dengan situasi sekarang, krisis ekonomi tahun 1998 tidak melulu soal ekonomi. Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Ini artinya, jika ada yang memanfaatkan suasana yang tidak menguntungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk meminta mundur, rakyat yang telah memilihnya, tentu akan merapatkan barisan untuk tetap mendukung presiden pilihan rakyat tersebut. Gema reformasi yang pernah mengguncang Indonesia dan disorot dunia pada tahun 1998, bertujuan, agar kondisi secara umum kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan semakin lebih baik kesejahteraannya.
 Tuntutan reformasi tahun 1998 adalah: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI;  penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);  desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);  mewujudkan kebebasan pers; dan mewujudkan kebebasan demokrasi.
Bagaimana Reformasi di Bidang Politik?.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menentukan demikian. Hal ini, ada dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR merambah ke paket Pimpinan MPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU No 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU No 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Hasil reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek. ketatanegaraan kita menjadi lebih modern dan progresif, antara lain, dapat menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power). Penting bagi kita merefleksi sejenak makna reformasi yang digelorakan tahun 1998 yang usianya sudah  menginjak tujuh belas tahun sejak Soeharto digulingkan dari jabatan presiden. Kontemplatif diperlukan, agar reformasi yang telah diperjuangkan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa dengan mengorbankan harta benda, tetesan darah, bahkan nyawa taruhannya, kembali memiliki arah yang jelas. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang menggetarkan dunia di gedung MPR/DPR yang  dipadati lautan manusia. Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti sesegera mungkin dari jabatan presiden, tetapi tidak berpikir jauh ke depan apakah lengsernya Soeharto, keadaan negeri ini bisa menjadi lebih baik, ataukah justru sebaliknya.
 Mari Dukung Presiden Pilihan Rakyat

Dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang tidak hanya dialami Indonesia saja, maka kita perlu mendukung langkah-langkah pemerintah yang akan menstabilkan perekonomian kita. Sepanjang presiden pilihan rakyat sudah bekerja sesuai panduan konstitusi, meski Negara dalam situasi sesulit apa pun, tidak ada alasan yang membenarkan untuk dimakzulkan (impeachment), niscaya rakyat akan tetap mendukung presiden yang dicintainya sampai titik darah penghabisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Keputusan Berhenti Menjadi PNS Keputusan Besar Terdapat Suka dan Duka

Hari gini ada yang berhenti menjadi PNS?. Pastilah akan banyak orang yang mengatakan tidak wajar dan dianggap kita tidak mensyukuri ni’mat A...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19