Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Satyagama, Jakarta, Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama,
Jakarta Tim Perumus Tata Naskah DPD RI Tahun 2007 Juara
I Lomba Pidato Tingkat MPR-DPR Tahun 2003
Dengan terdepreasinya
nilai tukar rupiah hingga menyentuh level Rp. 14.145 per dolar, adakah alasan gerakan
reformasi tahun 1998 berulang kembali?
Situasi
1998 Berbeda Dengan Sekarang
Meski nilai tukar
rupiah anjlok terhadap dolar, gerakan reformasi jilid II untuk menumbangkan
presiden pilihan rakyat hampir mustahil bisa dilakukan. Sebab, kondisi
reformasi tahun 1998 sangat berbeda dengan situasi sekarang, krisis ekonomi
tahun 1998 tidak melulu soal ekonomi. Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya
dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21
Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun
1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional,
berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis
kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Ini artinya, jika ada yang memanfaatkan suasana yang
tidak menguntungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk meminta
mundur, rakyat yang telah memilihnya, tentu akan merapatkan barisan untuk tetap
mendukung presiden pilihan rakyat tersebut. Gema reformasi yang pernah
mengguncang Indonesia dan disorot dunia pada tahun 1998, bertujuan, agar
kondisi secara umum kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan
semakin lebih baik kesejahteraannya.
Tuntutan reformasi tahun 1998 adalah: amandemen
UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI;
penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM),
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat
dan daerah (otonomi daerah); mewujudkan
kebebasan pers; dan mewujudkan kebebasan demokrasi.
Bagaimana
Reformasi di Bidang Politik?.
Ingatan
kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah
dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999.
Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah,
akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi
Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan,
dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit
dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika
menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah
berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini,
DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan
Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH
(Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri
ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan
aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu
KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak
menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu.
Padahal, sebelumnya UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)
menentukan demikian. Hal ini, ada dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP
menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket
Pimpinan DPR merambah ke paket Pimpinan MPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat
berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur
DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah
rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD.
Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat
rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari
negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam
penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi,
Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU No 1 Tahun
2015, diubah terakhir UU No 8 Tahun 2015.
Jika
dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak
dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme
pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi
pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Hasil
reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek. ketatanegaraan kita menjadi lebih
modern dan progresif, antara lain, dapat menetapkan presiden dan wakil presiden
dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Sebelumnya, presiden
dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan aspirasi mayoritas
rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan
kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan (a buse of power). Penting
bagi kita merefleksi sejenak makna reformasi yang digelorakan tahun 1998 yang
usianya sudah menginjak tujuh belas
tahun sejak Soeharto digulingkan dari jabatan presiden. Kontemplatif diperlukan,
agar reformasi yang telah diperjuangkan mahal oleh mahasiswa bersama komponen
bangsa dengan mengorbankan harta benda, tetesan darah, bahkan nyawa taruhannya,
kembali memiliki arah yang jelas. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis
menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang menggetarkan
dunia di gedung MPR/DPR yang dipadati
lautan manusia. Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti sesegera
mungkin dari jabatan presiden, tetapi tidak berpikir jauh ke depan apakah lengsernya
Soeharto, keadaan negeri ini bisa menjadi lebih baik, ataukah justru sebaliknya.
Mari Dukung Presiden Pilihan Rakyat
Dengan
melemahnya nilai tukar rupiah yang tidak hanya dialami Indonesia saja, maka
kita perlu mendukung langkah-langkah pemerintah yang akan menstabilkan perekonomian
kita. Sepanjang presiden pilihan rakyat sudah bekerja sesuai panduan konstitusi,
meski Negara dalam situasi sesulit apa pun, tidak ada alasan yang membenarkan
untuk dimakzulkan (impeachment), niscaya
rakyat akan tetap mendukung presiden yang dicintainya sampai titik darah
penghabisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.