Oleh WARSITO
-Dosen Fakultas Hukum Universitas
Satyagama, Jakarta,
-Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama,
Jakarta
-Tim Perumus Tata Naskah DPD RI Tahun 2007 -Juara
I Lomba Pidato Tingkat MPR-DPR Tahun 2003
Menonton
perilaku anggota DPR yang kerap membuat kebijakan yang bertentangan dengan
aspirasi rakyat, padahal fungsi utama
dewan sesungguhnya adalah mengemban aspirasi rakyat, kita patut menilai
bahwa DPR sudah bermuka tembok dan mati rasa. Ingatan kita masih segar tatkala di ruang sidang paripurna MPR,
Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menyebut
anggota DPR mirip Taman Kanak-anak (TK). Sontak ucapan GusDur itu membuat
DPR bermuka merah, dan gigi berkerut-kerut, hujan interupsi di persidangan tak
terbendung lagi meminta penjelasan GusDur atas ucapannya itu. Anggota DPR
menilai ucapan GusDUR sebagai bentuk pelecehan terhadap lembaga terhormat DPR (contemp of parliament).Bukan GusDur
kalau tidak bisa menjelaskan maksud dari analogi DPR sebagai anak TK.
Seiring
dengan perkembangan zaman, ternyata ucapan Gus Dur itu terbukti ada benarnya. Kebuktian
itulah banyak kalangan yang menganggap GusDur memiliki linuwih (kelebihan), karomah,
bahkan tidak sedikit yang mengatakan GusDur itu aulia atau Waliyullah. Kita akan
membenarkan ucapan GusDur bahwa DPR itu mirip anak-anak TK, tatkala kita menyaksikan
DPR sedang rapat melaksanakan tugas konstitusionalnya, tetapi ada anggota
dewan malah ngorok dan mendengkur. Begitu pula orang akan “mensaktikan” ucapan GusDur, ketika anggota
DPR yang baru dilantik hujan interupsi berebutan microphone biar terlihat masuk
layar kaca. Perilaku
sebagian anggota DPR mirip seperti TK, terlihat ketika akan merubah UU. No.
27/2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang akrab disebut UU
MD3. DPR menggunting pasal 82 ayat (1) UU yang semula posisi Ketua DPR otomatis
berasal dari pemenang pemilu, dirubah tidak otomatis sebagai pemenang pemilu
(baca PDI-P). Koalisi yang tergabung merah putih seperti Golkar, Demokrat, PAN,
PKS, PPP yang mengusung Capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa berdalih, dengan
perubahan itu akan memperkuat fungsi pengawasan parlemen agar terjadi check and balance antara legislatif dan
eksekutif. Kelihatannya argumentasi itu baik untuk penguatan sistem ketatanegaraan,
karena salah satu fungsi DPR adalah pengawasan. Memang ada masalah besar jika
pemenang partai otomatis menjadi ketua DPR, sebab, jika ketua DPR berasal dari partainya presiden, sedangkan
presiden melakukan pelanggaran UU atau konstitusi atau kebijakannya telah merugikan rakyat
banyak, tentu DPR pengawasannya tidak akan menjadi maksimal.
Momentum
Tidak Tepat
Meski
argumentasi yang disampaikan oleh koalisi merah putih kelihatannya lebih masuk
akal, masalahnya, pengguntingan otomatis jabatan ketua DPR itu dilakukan bebarengan
dengan momentum Pilpres. Kita bisa membaca dengan jelas arah koalisi merah
putih, ada kekhawatiran yang berlebihan jika Joko Widodo terpilih menjad presiden akan melakukan
kebijakan yang progresif. Kita juga mafhum, ini adalah pertarungan Pilpres, dugaan
koalisi merah putih menghalangi PDI-P otomatis menjadi ketua DPR, agar
sewaktu-waktu Joko Widodo menjadi presiden terpilih melakukan pelanggaran
konstitusi, mudah digiring menuju impeachment
(pemakzulan). UU MD3 jika dipaksakan voting, tentu koalisi yang di dalamnya PDI-P,
PKB dan NasDem.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus