Oleh
WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama, Jakarta,
Program
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta-Barat
Warsitopati1967@gmail.com
ABSTRAK
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh
rakyat secara langsung yang dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan
akuntabilitas yang tinggi, dalam
prakteknya selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, juga rentan adanya konflik.
Jika diteruskan, Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak pihak yang
mengkhawatirkan akan terjadi benturan fisik secara masif, baik konflik
horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman itu, terjadi pro kontra dari
berbagai kalangan perlunya mengevaluasi kelemahan dan kelebihan Pilkada secara
langsung oleh rakyat. Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab
VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, adalah rumusan yang bersifat
multitafsir. Dalam amandemen kelima UUD 1945, MPR diharapkan melakukakan
perubahan secara komprehensif untuk menata ulang kelembagaan Negara agar
keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and
balances), termasuk didalamnya mempertegas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,
apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui perwakilan tidak
langsung oleh DPRD. Hal ini penting, guna memberikan kepastian hukum, agar
tidak ada lagi anggota DPR yang menafsirkan rumusan konstitusi sesuai selera:
kelompok, golongan dan/atau partai politiknya.
Kata Kunci: Legitimasi, pemilihan langsung rakyat,
kepastian hukum, amandemen UUD 1945.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
belakang Masalah
Gerakan reformasi pada Tahun 1998
secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada
hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis
ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan
perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum,
yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru.
Dalam Panduan memasyarakatkan UUD
1945[1],
era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan
negara yang lebih demokratis, transparan dan mempunyai akuntabilitas tinggi,
serta terwujudnya good governance dan
adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan
berbagai komponen bangsa, bertujuan antara lain:
a.
amandemen UUD 1945;
b.
penghapusan dwi fungsi ABRI;
c.
penegakan supremasi hukum, penghormatan
Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN);
d.
desentralisasi dan hubungan yang
adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e.
mewujudkan kebebasan pers;
f.
mewujudkan kehidupan demokrasi.
Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita untuk
pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi ini. Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan Indonesia pusat
pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di
Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh
rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005. Pilkada dipilih secara
demokratis ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang
MPR tahun 2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
mengatur tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”.[2]
Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir,
sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam pelaksanaannya menjadi masalah.
Dalam
perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh
rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan
akuntabilitas yang tinggi, selain
diwarnai money politic, berbiaya
tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada
secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik
lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman melaksanakan
Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi
kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan
Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada
pemilihan tidak langsung oleh DPRD.
Ingatan kita masih segar, tatkala
tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk
untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai
partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang
tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur)
dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung
sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan
nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik
kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik
sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode
2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP
(Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi
Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR
yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi
rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang
menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki
Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal,
sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)
menentukan demikian. Hal ini, ada dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP
menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket
Pimpinan DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba
didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan
kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu
KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai
Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1
Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan
Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite
politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan
berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah
tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen
menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU. No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan
kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali
pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh
rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil
Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan
kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung
oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menyatakan bahwa[3],
untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan
demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan
mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah
dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah
mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya
tidak mencerminkan prinsip demokrasi. [4]
1. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam
permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat
terjadi bentrokan masif baik konflik horizontal maupun vertikal dan seberapa penting
amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait Pilkada dilakukan? .
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD
selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya Undang-Undang yang terkait dengan kepentingan
daerah sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar
lembaga-lembaga negara?.
3.
Apakah tepat, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah, jika dikaitkan dengan Pilkada serentak 9 Desember 2015?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1.
Faktor-faktor
yang menyebabkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat terjadi
bentrokan masif baik konflik horizontal maupun vertikal dan pentingnya amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 terkait mekanisme Pilkada agar memiliki kepastian hukum.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak
turut serta memutuskan undang-undang (regelling),
utamanya yang berkepentingan dengan daerah, DPD juga tidak dapat melakukan
kegiatan fungsi saling mengontrol (checks
and balances) antar lembaga-lembaga negara.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang
menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tidak relevan lagi ketika pemilu
digelar serentak pada 9 Desember 2015.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Konsepsi Negara
2.1.1.
Pengertian Pemerintahan
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146)
dalam Nasution[5]
bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara,
membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah
kepada rakyat. Menurut Natsir masih dalam Nasution[6]
negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi. Natsir beranggapan
bahwa negara merupakan lembaga, sebuah organisasi yang mempunyai tujuan,
lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum. Dalam
sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga: Pendidikan, ekonomi, agama,
politik, keluarga, perdagangan, dan sebagainya. Negara mencakup keseluruhan
masyarakat dan semua lembaganya; Negara mempersatukan lembaga-lembaga ini
didalam sistem hukum, mengatur bagian-bagian masyarakat yang berbeda-beda itu.
Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan dan hukumnya;
tujuannya ialah untuk membimbing dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik[7].
Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga
mati yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh konstitusi[8].
Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang
lepas dari NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus
dihormati dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR
merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan[9]:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
Ilmu pemerintahan menurut
Ndraha[10]
dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan
melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan
civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat
dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan
dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima
oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut
bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah
ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
Sedangkan pemerintahan menurut
Suradinata[11] berasal
dari kata pemerintah, yang artinya bertujuan menyuruh melakukan sesuatu.
Pemerintah, sebagai kata benda, berarti suatu kekuasaan untuk memerintah suatu
Negara, sedangkan pemerintahan adalah suatu kegiatan, proses atau juga suatu
prosdur bagaimana menjalankan perbuatan pemerintah suatu Negara. Utrech,
sehubungan dengan pengertian pemerintah dalam Suradinata (1998:16) menguraikan lebih
lanjut pengertian pemerintah sebagai berikut:
a. Pemerintah
merupakan gabungan penyelenggaraan kenegaraan yang berkuasa memerintah, dalam
arti kata yang luas, semua badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan
kesejahteraan umum. Ini berarti mencakup badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
b. Pemerintah
sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di
wilayah suatu Negara, misalnya, Raja, Presiden dan yang Dipertuan agung.
c. Pemerintah
dalam arti kepala Negara (Presiden) bersama dengan para menterinya, sebagai
organ eksekutif, yang disebut dewan menteri atau cabinet, di Inggris disebut
Privacy Council.
Penjelasan
umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah
nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah
yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan
Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Syarat dan
Pelaku Good Governance dikemukakan
oleh Santosa (2001), didalam Sedarmayanti[12],
secara teoritis, keberadaan Good
Governance yang kokoh membutuhkan berbagai persyaratan yaitu:
a. Lembaga
perwakilan rakyat memiliki legitimasi politik dan mampu menjalankan fungsi
kontrol yang efektif.
b.
Pengadilan independent (mandiri, bersih
dan profesional).
c. Aparatur
pemerintah (birokrasi) profesional dan memiliki integritas kokoh.
d.
Masyarakat sipil yang kuat sehingga
mampu melaksanakan fungsi kontrol publik.
e.
Desentralisasi dan lembaga
perwakilan di daerah yang kuat.
2.1.2. Otonomi
Daerah
Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan
Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada
perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal
18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam
Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
BAB
III
METODOLOGI
3.1.
Pengertian Metodologi
Pengertian metodologi[13]
adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian.
Salah satu metode yang harus ditentukan dalam metode peneitian ini adalah
metode penelitian. Setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode
penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan
tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan
metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan
penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan
karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat
keumuman (level of generality) dari
kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Pada bab ini adalah bagian dari
epistemologi ilmu pemerintahan yang menjadi fokus penelitian tentang pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota dan berbagai permasalahannya dalam sistem
pemerintahan daerah dan ketatanegaraan di Indonesia. Sementara itu, salah satu
realitas (bagian ontologi) tentang Pilkada menarik untuk diteliti, dilembagakan secara konstitusional atas dasar
ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, tetapi pada frasa “dipilih secara demokratis”,
mengandung rumusan multitafsir, apakah dipilih secara langsung oleh rakyat, atau
melalui perwakilan tidak langsung oleh DPRD.
Dalam penelitian tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota ini, penulis mempergunakan metode penelitian
kualitatif dengan maksud mendapatkan teori baru guna memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia. Untuk
mengadakan pengkajian penelitian kualitatif, dapat merujuk definisi dari Bogdan
dan Taylor (1975:5) di dalam Lexy J. Moleong[14]
mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini,
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam
hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel
atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya
dan dalam peristilahannya.
Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan mekanisme Pilkada yaitu: UUD 1945; Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1
Tahun 2014, dan; UU No 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU No 8 Tahun 2015. UU.
No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. UU No 24 tahun 2003 perubahan
kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I
Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang Mahkamah Konstitusi.
3.2. Pengertian
Metode Penelitian
Metode Penelitian menurut Noeng
Muhadjir[15]
merupakan ilmu yang mempelajari tentang metode-metode penelitian, ilmu tentang
alat-alat penelitian. Di lingkup filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang
alat untuk mencari kebenaran, bila ditata dalam sistematika, metodologi
penelitian merupakan bagian dari logika.
3.3.
Sarana Berpikir Ilmiah
Untuk melakukan kegiatan ilmiah masih
menurut Jujun S. Suriasumantri[16]
secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut
memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat.
Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini kegiatan ilmiah yang
baik tak dapat dilakukan.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Pembahasan
Tujuan
Negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan
daerah.
Bangsa Indonesia pernah memiliki
GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan
Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam
kondisi umum dijelaskan[17]
konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di
Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan
kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan
Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan
pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait
dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga
mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan
bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga
politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya
masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan
pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah
perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip
desentralisasi dan otonomi daerah.
4.1.1.
TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003[18],
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI
Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan
menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku
dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke
empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan
masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR
Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak
perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah
selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga
yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil
pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang
GBHN sekarang sudah tidak berlaku lagi.
Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan jelas mengenai keberlangsungan pembangunan yang terstruktur
dan berkelanjutan (sustainable).
4.1.2. TAP
MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998[19], tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut
penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan
serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski
Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan
Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum
seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku
(memiliki daya laku/validity dan daya
guna/efficacy)[20]. Dalam konsideran
Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui
otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
4.1.3. Pasal
18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara
demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen
oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada
dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh
DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD
1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi
tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau
melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
Penegasan mekanisme Pilkada ini penting
dilakukan, agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi
sesuai: selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya. Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak
mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara
benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah
ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti
Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Gerakan reformasi menuntut antara lain,
amandemen UUD 1945 untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan
kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks
and balances). Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan[21], bahwa pemberian otonomi
yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan
strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam
bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme
yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan
diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak
puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam
pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah
kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi
untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat
yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang
digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri
ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui
pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan
ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan
bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama
separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang
mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat
diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk
memperoleh kekuasaan.
Hasil
4.2.
Akibat perseteruan
kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya roda
pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh pemerintahan daerah yang akan memilih calon
pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada
diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang
terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan
rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang
demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila
yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
Rumusan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan
dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014[22]
tentang Administrasi Pemerintahan yang meliputi meliputi:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
Berdasarkan
penjelasan umum UU. No. 8 tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan, MK tidak mempunyai
kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Putusan ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim
pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Sebagai
konsekuensinya, maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak
berwenang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
4.2.1.
Wewenang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) itu sejalan dengan Pasal 24C UUD 1945 Juncto UU No 24 tahun
2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang
MK, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sebagai berikut:
a. Menguji UU terhadap UUD 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara;
c. Pembubaran Partai Politik;
d. Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum.
Dan Kewajiban MK untuk
memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Bentrokan antarpendukung (konflik
horizontal) maupun konflik vertikal ketika
pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun,
Pilkada oleh rakyat secara langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat,
dan akuntabilitas yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu
mewakili aspirasi rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD
1945, kelak MPR tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan
fungsi saling mengontrol (checks and
balances), tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis
termasuk didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau
Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab,
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera
kelompok, golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran
terhadap substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR
tidak melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan
ketidakpastian hukum di negeri ini.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal
22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD
1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam
sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan
sedikit pun oleh konstitusi layaknya
lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi
rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan
keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki
fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR
tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak
memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan
daerah.
Menurut
Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka
restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak
memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi
restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang
dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah
anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan
dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam
pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial
representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan
sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
5.1.1.
Saran
1.
Meski
Pilkada secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung,
dan berbiaya tinggi, bagaimana pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan
Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal.
Pilkada oleh rakyat secara langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan
akuntabilitas yang tinggi. Amandemen UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak
terbatas menata ulang sistem ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling
mengontrol (checks and balances).
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis
itu secara langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD;
2.
Amandemen pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai lembaga Negara perwakilan
daerah (regional representation). Berdasarkan
Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD
dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
3.
Pemilihan
kepala Daerah secara serentak pada 9 Desember 2015, menjadikan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai
kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, menjadi
tidak relevan lagi. Ketika Pilkada serentak dilakukan 9 Desember 2015 yang
berskala nasional, justru kewenangan MK untuk memutus perselisihan tentang hasil
Pilkada.
DAFTAR
PUSTAKA
Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung:
Rosdakarya.
Nasution, Adnan
Buyung. (2001). Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio- Legal atas
Konstituante 1956-1959). Jakarta: Temprint.
Ndraha,
Taliziduhu. (2003). Kybernology (Ilmu
Pemerintahan Baru).
Jakarta: Rineka Cipta.
Sedarmayanti. (2009). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi
Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan
(Mewujudkan Pelayanan Prima dan
Kepemrintahan yang baik). Bandung:
Refika Aditama.
Suradinata, Ermaya. (1999). Filsafat dan Metodologi Ilmu Pemerintahan.
Bandung: Ramadan Citra Grafika.
Peraturan
Perundang-Undangan
UUD 1945
TAP MPR No.
IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003,
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002.
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU. No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota.
UU. No. 1 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota.
UU. No. 8 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota.
UU. No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemerintahan Daerah.
UU. No. 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah Konstitusi.
UU. No. 8 Tahun 2011, Tentang Mahkamah Konstitusi.
UU. No. 4 tahun 2014, Tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014,
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013,
Tentang Mahkamah Konstitusi
Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.
2004), hal xi,
xii 5,6, 16, 25
[3] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota UU No. 1, LN No.
2015 Tahun 2015, TLN. No. 5588.
[5] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia, (Studi Sosio- Legal atas
Konstituante 1956-1959), (Jakarta: Temprint, 2001), hal. 85.
[7] Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, ps. 1 ayat (1).
[8] Ibid, ps. 37 ayat (5).
[9] Ibid, ps. 18A.
[10] Taliziduhu Ndraha, Kybernology
(Ilmu Pemerintahan Baru), Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.7
[11] Ermaya Suradinata,
Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Cet. 1, (Bandung:
Ramadan, 1999), hal.
99.
[12] Sedarmayanti, Reformasi
Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan
(Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang
baik), (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 302.
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal.
328.
[16] Ibid, hal. 165.
[17] Penjelasan Umum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
IV/MPR/1999, Tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
[18] Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002.
[19] Ketetapan MPR No.
XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
[20] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69
[21] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang
Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23, LN
No. 244 Tahun 2014,
TLN. No.5587.
[22] Indonesia, Undang-Undang Tentang Administrasi
Pemerintahan, UU No. 30, LN No.
292 Tahun 2014, TLN.
No. 5601, ps. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.